Drunk in Love

By DoubleUniverse

242K 15.5K 307

Terkenal sebagai selebgram dengan jutaan pengikut, Lovely Anatasya Gunadhya menerima tawaran menjadi brand am... More

0. | Prolog
1. | Duta Merek BuyGet
3. | Manik di Kalung Kamu Enggak Rapi
4. | Danesh Gunadhya, Abang Lovely
5. | Undangan Makan Siang Bersama
6. | Stop Thinking Too Much
7. | Dinner with Lavaka's Friends
8. | Jangan Berekspektasi
9. | Pengiring Pengantin
10. | Mulainya Rumor
11. | Our Privacy
12. | Maunya Disebut Mas Aja?
13. | Menemui Danesh Secara Empat Mata
14. | Menghadapi Wartawan
15. | Perdebatan Adik dan Kakak
[Double Universe]

2. | Nomor Aku Masih Sama!

12.2K 1.4K 26
By DoubleUniverse

〈Hai. Kalau suka bab ini nanti, jangan lupa vote dan comment-nya, ya. Ditunggu!✨〉

Lavaka | Lovely
Nomor Aku Masih Sama!❞︎

○◔◑●

Sepuluh tahun. Iya, Sepuluh tahun berlalu dari terakhir Lovely peduli terhadap pemilik nama yang huruf awalnya sama dengannya. Ia tidak menduga takdir kembali mempertemukannya dan Lavaka. Kakak kelas yang dahulu amat sangat disukai Lovely, bahkan—meskipun sebentar—pernah menjalin hubungan.

Di masa lampau, Lovely tidak tutup telinga akan fakta kalau dirinya yang menjadi penyebab mereka berpacaran. Bermodal perasaan tertantang setelah diejek tidak berani, ditambah sifat agresif yang mendarah daging … Lovely-lah yang berperan menyatakan cinta pada Lavaka. Sesimpel itu, sehingga tidak salah jika tidak bertahan lama.

Di ingatan Lovely pun sikap Lavaka tidak menyenangkan. Laki-laki itu selalu saja mengabaikannya seolah bukan siapa-siapa. Tiga bulan resmi menyandang status pacar, tidak membuat Lovely bahagia, alih-alih tertekan dan memudarkan keceriaannya. Tidak akan membahagiakan jika penuh paksaan.

Hal itulah juga yang membuat Danesh turut membenci Lavaka, mungkin sampai hari ini tidak juga memaafkan. Danesh terlampau tidak menyukai tiap nama Lavaka tiba-tiba disebutkan untuk hal apa pun.

“Love, are you sure?”

Baru saja disinggung dalam hati, sahutan Danesh dipastikan ingin memicu Lovely bimbang. Malas menanggapi pembahasan serupa seperti semalam, ia berniat berbincang saja dengan Daisy, pacar sekaligus sekretaris Danesh yang duduk tenang di sisi kirinya. Lovely tidak mau mengacaukan mood-nya sendiri. 

“Mbak, hari Minggu aku ada waktu, lho. Kita shop—”

“Lovely Anatasya Gunadhya.” Danesh menekan nama lengkap adiknya di dalam satu tarikan napas dan menyentak tangan Lovely agar menghadapnya. “Abang enggak pernah ajarin kamu untuk enggak dengar apa yang Abang bilang.”

Lovely mengerjap, lalu sedikit beringsut menjauh. Posisi di tengah-tengah Danesh dan Daisy, menyebabkan pergerakannya tak bebas. Sejuk AC tidak terasa menerpa kulit Lovely, melainkan aura marah di mata Danesh. Lovely menunduk, meminta pembelaan Daisy pun tidak ada gunanya.

“Kamu benaran yakin mau ketemu Lavaka?”

“I-iya, Bang. Aku … aku terima, kayaknya.” Lovely menjawab hati-hati, berusaha tidak terdengar ragu. “Enggak ada masalah, kan?”

“Enggak ada masalah matamu, Love!” Danesh menggeram gemas, tampak sangat ingin menyadarkan kebodohan adiknya kali ini. “As I see, kamu kelihatan happy banget mau ketemu curut satu itu, kan? Jangan lupa, sejauh mana dia dulu sakiti kamu! Kamu pikir Abang main-main waktu bilang enggak setuju?!”

Tebakan tepat sasaran. Raut menyipit curiga Danesh tidak dapat dihindari Lovely. Helaan napas menjadi bukti jika apa yang dituduhkan padanya benar. “Well, aku cuma mau profesional, Kak. Ini pekerjaan, sama sekali enggak ada kaitannya sama apa yang terjadi dulu. Pekerjaan.”

“Kamu yakin bisa profesional, hem?”

Lovely meringis ketika Danesh menekankan telunjuk ke dahinya. “A-aku …, ya, bisa. Kenapa enggak?”

“Hem?”

“Bang, aku sudah besar and now I can controling what I do. Aku sekadar brand ambassador, sedangkan dia bos perusahaan yang merekrut aku untuk kerja sama. Just it. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan dan enggak selamanya aku berurusan sama dia terus. Aku yakin, kok, cuma sekali ini.”

“Kamu berani dan siap tanggung jawab?” tanya Danesh lebih terpampang serius.

“Iya, Bang.”

Jawaban Lovely bertepatan kendaraan yang ditumpanginya mulai berhenti tepat di parkiran sebuah tempat makan—sesuai janji. Tak menghiraukan detak jantungnya yang berdegup kencang, ia mengecup kedua pipi dan memeluk Danesh sebelum melakukan hal serupa pada Daisy.

“Aku keluar dulu, Bang, Mbak.”

“Kalau Lavaka macam-macam, langsung telepon Abang, Love.”

“Iya, Bang Dan. Ini aku mau turun, jangan ditahan, dong!”

Dengan terpaksa, Danesh melepaskan cekalannya di lengan Lovely. Terlihat tidak ikhlas membiarkan adik kesayangannya keluar dari mobil dan kini terpampang binar kegembiraan di wajah cantiknya itu. “Awas kamu enggak cerita apa-apa. Jangan sekali-kali sembunyiin sesuatu, ya!” 

Daripada meladeni omelan Danesh, Lovely memilih membalas lambaian Daisy—calon kakak iparnya. “Mbak Dai, bawa Bang Danesh, gih. Cerewet banget.”

“Iya, Love. Kamu juga semangat, ya, kerjanya!”

“Siap, Mbak!”

Selanjutnya, barulah Lovely berbalik dan lanjut melangkah tanpa menoleh lagi ke arah belakang. Ya, semoga keputusannya tidak salah dan tak juga mengacaukan karier yang susah payah dibangun. Di dalam hati, Lovely berdoa supaya tak sampai membuat Danesh, abang tercintanya, kecewa.

Nyatanya, harapan sekian tahun lalu agar tidak bertemu Lavaka atau sekadar tahu kehidupan laki-laki itu, justru membawa Lovely ke restoran favoritnya akhir-akhir ini. Ia gugup bukan kepalang di saban kaki jenjangnya melangkah elegan mengikuti pelayan yang mengarahkannya ke ruangan privasi.

“Mbak Love, akhirnya!”

Benar. Setidaknya, Lovely sedikit aman ditemani oleh Nia.

○◔◑●

Setengah jam menunggu, akhirnya tanda-tanda kehidupan mulai terdengar di luar sana. Lavaka yang didampingi Dina, memerintahkan sekretarisnya itu untuk membuka berkas daripada mengikuti jejaknya melamun. Ia hampir mati kebosanan jika tidak ingat siapa yang akan dijumpainya.

Kali ini, Lavaka memasang telinganya baik-baik. Sepertinya, sosok-sosok di balik pintu tersebut tak sadar jika percakapan keduanya menggema hingga ke dalam. Lavaka tidak akan salah menebak bila salah satunya merupakan Lovely.

“Ya ampun, Mbak ke mana aja, sih, baru datang sekarang?!”

“Biasa, Ni. Abangku cerewetnya kambuh.”

“Pasti Mbak melakukan kesalahan, nih, makanya Pak Danesh ngomel. Tuh, kan, akibatnya jadi Mbak yang lelet.”

“Ya ampun. Giliran kamu yang cerewet di sini. Lagi pula, aku enggak punya salah apa-apa sama Bang Danesh, dasar dia aja ngomel enggak berjeda.”

“Masalahnya, Mbak, kita sudah ditunggu tahu.”

Lavaka berdeham singkat, lalu membenarkan posisinya agar nyaman. Perdebatan itu mereda, berganti ketukan yang terdengar. Lavaka melirik Dina, serta-merta mengode lewat mata sampai sekretarisnya menyahut—mempersilakan sang pengetuk memasuki ruangan yang lebih dahulu diisi mereka.

Lavaka membisikan sesuatu pada Dina yang lantas diangguki. Detik berikutnya, dengan napas tercekat ia memindai ke satu titik. Pintu yang terbuka secara perlahan dan pasti, memicu Lavaka meremas celana dasarnya. Menghadapi situasi ini ternyata lebih sulit daripada yang pernah dibayangkan.

Tubuh semampai itu tampak memukau dalam balutan gaun biru tua di bawah lutut dengan lengan pendek dan menggelembung, lengkap di bagian pundak kiri tersampir tas mewah berwarna senada, serta sepasang high heels putih yang tidak terlalu tinggi. Tidak lupa netra berbentuk almon yang memancarkan keteduhan.

Sedetik pun Lavaka tidak berpaling, sulit sekali. Walau ekspresinya tetap datar, tetapi gejolak di dada berkata sebaliknya. Lavaka memaksa matanya memejam sebentar, lalu menoleh sembarang arah sebelum membuka kembali. Bersamaan dengan itu, ia tersentak ketika mendapati dua kursi di hadapannya telah ditempati.

“Maaf, Pak Lavaka, Mbak Dina, kami terlambat datang. Ada sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya terjadi.”

“Enggak apa-apa, Mbak Nia.” Tanpa dikode bosnya, Dina menyambut permintaan maaf Nia dengan sama ramahnya. “Dan …, Mbak Love, saya izin memperkenalkan diri. Saya Dina, sekretaris Pak Lavaka.”

“Salam kenal, Mbak Dina.” Sembari mengulum senyum, Lovely menerima uluran tangan Dina. Untunglah ia telah lebih dahulu bertanya ke Dina terkait sekretaris Lavaka itu sebelum perasaan cemburu menyerang. “Sekali lagi kami minta maaf karena datang agak terlambat, ya.”

“Saya Lavaka.”

Bukan hanya ketiga perempuan di sekitar yang terkejut, bahkan Lavaka sendiri tidak tahu sejak kapan mulutnya bocor menyebutkan nama. Tidak mau bertambah malu, ia bersikap tak acuh dan menyuruh Dina mengambil alih percakapan. Saat tidak sengaja pandangannya dan Lovely bertemu, Lavaka pun berpaling.

“Hem …, enggak apa-apa, Mbak.” Dina mengusap tengkuknya dan beralih haluan menyodorkan sejumlah berkas yang telah disiapkan sebagaimana perintah Lavaka. “Ini, Mbak. Boleh dicek dulu. Semua poin di kontrak tertulis dapat kita diskusikan di awal sebelum sama-sama tanda tangan.”

Sama halnya Dina, Nia juga diselimuti bingung. Bermodal pengalaman menemani Lovely, ia berdeham singkat. “Baik, Mbak. Saya akan membacanya.”

Musyawarah berlangsung lancar biarpun hanya perwakilan antara dua belah pihak yang terlibat—Dina dan Nia. Adapun Lavaka serta Lovely yang sekadar mendengarkan, sesekali menyahut jika dibutuhkan. Itu juga perlu ekstra sabar karena dua insan yang di masa lalu sempat terlibat hubungan tersebut, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jari-jari Lovely yang berkeringat di pangkuan saling memilin. Ia menunduk, tetapi matanya masih menelaah bagaimana gerak-gerik datar Lavaka Delio Athalla. Sepuluh tahun ternyata tak banyak mengubah seseorang, termasuk perawakan wibawa dan sorot tajam yang tidak ada duanya.

Sialnya lagi, Lovely paham hatinya tidak sepenuhnya sembuh dari fragmen yang selalu diingat. Ia konstan tenggelam pada pesona Lavaka yang tak pernah mati, bahkan makin terpukau akan sosok tampan nan rapi di depannya. Lavaka terpantau telah sukses, juga memiliki perusahaan yang banyak digunakan segala kalangan.

“Jadi, Mbak Lovely syuting dan pemotretan mulai tanggal satu. Kita kejar setoran, mengingat waktu kita yang tidak banyak. Minimal di hari itu, pemotretan untuk promosi di media sosial. Baru keesokan harinya lanjut take video. Mbak Lovely bisa latihan dulu buat tarian khas BuyGet.”

Lamunan Lovely buyar, mencoba memungut fokusnya dengan mengerjap berkali-kali. Ia menggigit bibir bawahnya sebab merasa lapar, tetapi sepertinya diskusi Dina dan Nia tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

“Untuk kostumnya sendiri bagaimana, Mbak Dina?”

“Perusahaan yang akan menyediakan, Mbak Nia. Semua yang dipakai oleh Mbak Lovely—baik di pemotretan ataupun pengambilan video—dari kami. Istilahnya, Mbak Lovely tinggal bawa badan.”

“Ah. Baik kalau begitu. Akan saya catat.”

“Dan sebaiknya … hari ini cukup sampai di sini.” Tiba-tiba nada ketus nan tegas Lavaka terdengar. “Dina, kita punya beberapa pertemuan lagi, kan, setelah ini?”

Dina melotot, mendadak pikirannya kosong. “Tidak a—”

“Enggak bawa berkas lagi? Kebiasaan kamu!”

Lavaka tak memedulikan lirikan Dina, Nia, terlebih Lovely. Gadis yang diakuinya sebagai mantan itu menaikkan sebelah alis tebalnya, membuat Lavaka segera mengedarkan pandangan sembarang. Ia bangkit seraya membenarkan jasnya seakan-akan tidak lagi rapi, begitu kentara tidak mau berlama-lama di tempat.

“Kita bisa minta nomor Lovely saja untuk percakapan lebih lanjut.”

“Nomor aku masih yang lama!”

Hening. Lovely, yang baru saja menjerit, sekejap gemetar dan linglung di bawah atensi seluruh pasang mata. Andai Nia tidak memegang lengannya, ia dipastikan sudah melemas di posisi. Terlebih Lovely jengkel dengan tingkah dan ekspresi Lavaka yang jauh dari kata profesional.

Mimik muka Lavaka masih seperti semula; tenang, datang, dan tajam. Tak mudah mengerti maksud pandangan yang saat ini terarah pada Lovely. Lavaka mengirim sinyal lagi pada Dina, sementara hanya melirik Lovely dan Nia sekali. Tubuh tinggi tegap laki-laki itu terlalu mengintimidasi hingga tidak satu pun berani berkedip.

For your information, mengingat ini baru kerja sama pertama antara BuyGet dan Anda …, kami tidak mempunyai nomor Anda. Jika berkenan, silakan kasih ke sekretaris saya untuk dihubungi nanti,” papar Lavaka lugas. “Oh, ya …, jangan lupa tanda tangan berkas ini. Jangan hanya kamu pelototi.”

Bukannya tersentak ataupun sakit hati, bibir Lovely justru merekah lebar hingga netra bulatnya menyipit. Tidak gentar sama sekali, ia berujar, “Entah kenapa, aku yakin kalau nomor aku pun … masih Kakak simpan. Bukankah begitu, Kak Lavaka?”

//15 Agustus 2022\\

○◔◑●

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 178K 28
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
4.7M 35.3K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
6.4M 325K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
769K 100K 36
Sebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai ya...