Hipokrit ✔️

By cutputrikh

361K 89.6K 61.5K

❝Dunia ini dikelilingi oleh orang-orang yang pandai berpura-pura.❞ [.] Baru 14 hari berstatus sebagai anak... More

|Prelude
1| Bingkisan
2| Jangka
3| Teror
4| Kecemburuan
5|Teror Lagi
6| Benci Sentuhan
7| Merasa Bersalah
8| Curiga
9| Kamera
10|Loker Radheya
11| Gelang
12|Banyak Tanda Tanya
13|Salah Sasaran
14| Minuman
15| Menuduh
16|Tabur Tuai
17| Penasaran
18|Investigasi
19| Hati-hati
20|Pusat Perhatian
21|Stereogram
22|Perihal Menfess
23| Kehilangan dan Party
24|Hampir, Jurnal, dan Rencana
25| Flashdisk
26|Mabuk
27|Perangkap
28|Sebentar Lagi
29|Masalah
30|Tidak Banyak Waktu
31|Ancam-Mengancam
32|Membungkam
33|Sebuah Janji
34| Siapa Penyebarnya?
35|Kebohongan
36|Sulit Percaya
37|Postingan Terakhir
38|Dicurigai Tersangka
40|Peneror
41|Deja vu
42|Pengakuan
43| Akhirnya Berjumpa
44|Mengetahui Semuanya
45|Akhir dari Semuanya
HIPOKRIT SEASON DUA

39|Penyesalan

3.7K 1.1K 808
By cutputrikh

CW // Harsh word, abuse

Ada typo atau ada kata yg ketinggalan tegurin ya^^

Jam berapa baca hipokrit part 39?

Plak!

Sena refleks terhuyung dan membelalakkan mata tatkala mamanya menampar pipinya.

"Mama?"

Baru bersuara sekali, mamanya menampar pipinya lagi, menampar bolak-balik bebeerapa kali, lantas berhenti ketika putrinya itu berseru menyebutnya.

"Mama!"

Celine memandangi putrinya itu tajam, ia menarik napasnya dalam, sebelum kemudian menoyor kepala Sena kasar. "Anak bodoh!"

Sena meringis. Menatap Celine kalut.

"Mati-matian mama forsir kamu jadi anak yang pintar, bisa-bisa kamu malah sebodoh ini Sena!"

Sena terisak, menatap Celine berkaca. "S-sena nggak sengaja ma! Sena nggak bermaksud..."

"Jadi kamu benar-benar membunuh teman kamu, huh?" Celine menoyor kepala Sena lagi.

Sena menggeleng, masih bersikeras menyanggah pernyataan itu. "Engga! Itu nggak bener! Itu—"

Celine tanpa ampun menggerakkan tangannya menoyor kepala putrinya itu. "Mama minta kamu untuk terus juara satu biar apa? Biar kamu berhasil jadi dokter. Sekarang, kalau statusmu udah kriminal begini, mau jadi apa kamu, hah?"

Sena terus saja menggerakkan kepalanya, air matanya mengalir. "T-tapi, Sena nggak salah, ma! Sena nggak salah."

"Nggak salah kata kamu? Sekarang status kamu sebagai tersangka, anak bodoh!" Telunjuk Celine menunjuk dahi Sena sebelum kemudian menoyornya lagi.

Sena meraih tangan Celine dengan air mata yang berlinang. "T-tapi, Sena nggak bakalan masuk penjara kan ma? Mama bakalan nolongin Sena kan ma? Mama... mama belum tau soal itu kan?" pertanyaan terakhir Sena mengarah pada fakta dirinya yang baru saja disebar oleh anonim.

Celine sudah semarah ini ketika tau Sena dituduh menjadi tersangka. Sena tidak tau lagi kalau mamanya juga tau kalau ternyata putrinya itu diam-diam menjadi simpanan guru di sekolahnya.

Celine menepis tangannya, menilik putrinya itu sinis. "Soal apa lagi? Jangan banyak bicara. Mama udah menyewa pengacara kondang untuk bela kasus kamu di pengadilan. Bukti kamu bersalah masih belum sepenuhnya kuat untuk dekam kamu di penjara sekarang. Jadi, kamu masih bisa masuk sekolah dan perbaiki image kamu sekarang ini."

Sena membelalakkan mata. "Mama masih maksa Sena sekolah? Ma! Semua orang pasti nggak bakalan diem aja kalo Sena masih masuk sekolah Ma! Kalo mereka nyakitin Sena gimana?"

Celine menoyornya lagi. "Makanya, kalo mau ngelakuin sesuatu itu di pikirkan dulu, anak bodoh!"

Sena kembali meringis.

"Setelah Radheya temen kamu itu meninggal, seharusnya kamu bisa memanfaatkan itu untuk tetap jadi nomor satu di sekolah! Kamu udah kehilangan saingan, loh, Sena! Bisa-bisanya kamu malah bikin rusak namamu begini!"

"Ma!" Sena memekik tidak terima, air matanya telah mengalir di pipi.

"Mama itu nggak pernah ngertiin aku! Aku udah susah payah buat terus berusaha jadi anak sempurna sesuai kriteria yang mama mau! Aku udah maksa diri aku, Ma! Aku terima mama batasin aku dan kehidupan remaja aku! Aku rela ngelakuin apa aja supaya aku tetap juara satu dan punya nilai yang semuanya sempurna! Tapi mama tetep nggak pernah bisa ngerti aku! Semua yang terjadi sekarang ini gara-gara mama!"

Plak!

Tangan Celine kembali mendarat ke pipi mulusnya. Pipi Sena berdesir pedih. Memandang mamanya yang menatapnya tajam selama beberapa saat.

"Selesaikan masalah kamu. Mama nggak mau dengar masalah apa pun lagi. Kalau ada satu aja yang terdengar lagi di telinga mama, habis kamu, Sena."

[.]

Sena tidak pernah memikirkan mengenai masa-masa terburuknya yang akan ia hadapi ketika semua orang mengetahui rahasia terburuknya.

Tidak adalagi hari-hari yang baik setelah kejadian itu. Semua penghuni Satya Bangsa terus memberikan caci maki untuknya. Memandangnya penuh benci. Menyoret mejanya dengan kata-kata tidak enak dibaca. Menumpukkan sampah ke dalam lokernya. Sengaja menumpahkan saus ke rambutnya. Semua orang memperlakukannya semena-mena.

Dasar tukang fitnah!

Diam menjadi siswi teladan, bergerak menjadi anak setan.

Nggak tau malu lo masih masuk sekolah! Dasar pembunuh!

Pembunuh kayak lo nggak seharusnya ada di sini! Seharusnya lo mati juga di dalam penjara!

Oh, pantesan nilai olahraga lo selalu aman, dipake guru biar nilai sempurna ternyata!

Dasar simpanan! Pelakor! Mati aja deh lo!

"Diam lo semua!" Sena memekik tidak terima, mengedarkan pandangannya kepada semua orang. Namun yang ia dapat selanjutnya adalah lemparan-lemparan benda, membuat sena sontak bergerak untuk melindungi dirinya sendiri.

Rumor telah menyebar kemana-mana. Entah sudah sampai ke lingkungan guru atau belum. Yang jelas seingatnya, peneror itu bilang akan segera menyebar rahasia kotor itu lebih luas sampai ke lingkungan guru, bahkan juga mamanya. Sena benar-benar frustasi. Ia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.

Bahkan pak Risandi... terlihat seperti menjauhinya.

"Pak..." panggil Sena pelan menyentuh lengan lelaki dewasa itu tatkala melewati koridor. Risandi melepaskan tangannya, kemudian berlalu meninggalkannya begitu saja.

Sena berteriak frustasi, mengacak-acak rambutnya sendiri. Kemudian berjongkok di lorong yang sepi, meringkuk dan menangis seorang diri.

"Sen? Are you okay?" Raline menunduk berdiri di sebelah Sena, gadis itu mendongak padanya.

Sena seketika berdiri, matanya yang memerah memandang Raline marah. "Puas lo? Ini semua gara-gara lo Raline! Lo udah bongkar rahasia gue sampai gue dibenci dan disiksa sama satu sekolahan! Udah puas lo hah?"

Raline mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras tidak terima. "Lo seharusnya mikir, Sen! Lo menuai apa yang lo tabur! Lo udah fitnah Geyzia dan dorong Sheryl! Dang... dan bahkan otak dari perundungan Radheya itu sebenernya lo! Lo rela nyakitin sahabat lo sendiri, coba lo pikirin!"

Sena berteriak. "Lo nggak seharusnya ikut campur!" Air matanya jatuh. "Itu masalah gue! Itu emang kesalahan gue! Lo nggak berhak hukum gue! Masalah gue sama Radheya, bukan sama lo! Lo nggak seharusnya nyebarin rahasia itu!" Sena menangis sesenggukan.

"Asa lo tau, gue emang tau rahasia lo, Sen. Tapi gue belum ada nyebarin itu sama sekali! Gue nggak ngerti kenapa kalian terus nuduh gue pelakunya."

"Terus siapa? Siapa lagi?" Sena bertanya frustrasi, tubuhnya kembali terjatuh lemas. Menangis di sana.

"Lo emang sahabat yang buruk, Sen. Lo rela nyakitin Radheya padahal lo tau dia juga lagi dalam masa-masa terpuruk karena terornya. Seharusnya lo ada buat bantu dia, bukan malah bantu menyulitkan dia."

Gadis yang tengah menangis itu mendongakkan kepala. "Lo... lo tau soal peneroran itu?"

Raline mengangguk, turut berjongkok. "Gue nggak bermaksud ikut campur kalo lo mau tau. Gue cari tau soal Radheya karena kami diteror orang yang sama. Makanya gue butuh bantuan lo waktu itu."

Sena malah terisak pelan, lantas menundukkan kepalanya. "Gue emang sahabat yang buruk... gue tau niat Radheya baik negur gue. Dia nggak mau gue berakhir sama kayak dia. Tapi gue yang salah karena terlalu keras kepala, Lin..."

Sena mengusap air matanya sendiri. "Stereogram itu... stereogram itu nyelipin clue kenapa peneror itu terus berusaha nyakitin, Aya."

Raline mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali. "Stereogram?"

Sena menganggukkan kepala. Raline membelalakkan mata baru ingat. Stereogram itu Raline temukan di dalam catatan harian Radheya waktu itu.

"Stereogram itu nyelipin kata. Kata yang kemungkinan menjadi alasan kenapa Aya diteror terus-terusan sama dia."

"Kata? Kata apa?"

"Revenge," ujar Sena memberi tahu. "Peneror itu mau balas dendam sama Aya, Lin."

[.]

Apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai.

Sena pikir, penderitaannya akan segera selesai setelah ia mengakui kesalahannya. Namun ternyata ia salah, dosanya tidak semudah itu dihapuskan. Hari-hari penghakiman itu masih saja belum berakhir.

"Oh, jadi ini si pintar yang diam-diam merangkap jadi pembunuh itu?" Matthew dan teman-temannya, sang berandal Satya Bangsa menahan Sena tatkala pulang sekolah, mengitari gadis itu membuat Sena bergidik ngeri.

"Diam-diam juga jadi pereknya guru kita dong," cicit Matthew menggoda.

"Jangan kurang ajar!"

"Wah, songong ya?" Matthew manggut-manggut, menatap teman-temannya penuh arti sebelum kemudian menahan kedua tangan Sena erat, lantas menyeret gadis itu ke dalam gudang.

"Cewek kayak lo ini harus dikasih pelajaran biar sadar. Habisin!"

Seharusnya Sena tidak masuk sekolah lagi. Seharusnya mamanya mengerti dan menghukumnya di rumah saja. Seharusnya mamanya sekali saja peduli kepadanya, orang-orang bejat itu pasti tidak akan pernah menyakiti bahkan melecehkannya beramai-ramai seperti itu.

Seharusnya Celine menyambutnya dengan kasih ketika Sena sampai di rumah. Menyadari kondisi putrinya yang sudah kacau balau dengan baju yang koyak serta beberapa bagian tubuh yang memar sana-sini. Seharusnya mamanya memeluknya, bukan malah menampar pipinya di depan pintu. Membentaknya tanpa ampun.

"Ini apa? Hah? Ini apa?" Celine melemparkan ponselnya sendiri mengenai wajah putrinya.

"Juara paralel Satya Bangsa diam-diam menjalin hubungan dengan salah satu guru olahraga demi nilai sempurna? Sena!" Celine berteriak marah, matanya yang memerah terus menatap tajam putrinya sendiri.

Sena seketika berlutut sembari memegang erat tangan Celine, menatap penuh memohon. "Mama, Sena minta maaf, ma! Maafin Sena, ma! Ma, Sena mohon dengerin Sena dulu, Ma!"

Celine menggelengkan kepalanya, menyeret Sena menjauh, keluar dari rumah mereka. "Pergi dari sini! Mama nggak mau lihat wajah kamu lagi! Anak mama udah mati! Kamu udah bukan anak mama lagi!"

Pintu tertutup kasar. Celine mengabaikan Sena yang terus mengetuk pintu untuk dibukakan, berharap mamanya itu sedikit saja berbelas kasih kepadanya.

Sena tidak punya lagi tempat berpulang. Bahkan Risandi, orang yang cintai pun menolaknya mentah-mentah ketika mendatangi ke rumahnya malam-malam itu. Mengabaikan permohonan serta tangisannya yang sendu. Meminta Sena untuk pergi dari kehidupannya.

"Kamu tau, Sena. Saya sudah punya keluarga. Saya tidak butuh kamu lagi. Jadi, tolong jauhi saya dan keluarga saya. Pergi dari rumah saya."

Sena berteriak frustrasi. Diusir untuk yang kesekian kali. Gadis itu kemudian menangis di pinggir jembatan. Meringkuk seorang diri. Mengingat-ngingat kembali kesalahannya.

Sena sadar ia telah berbuat sejauh ini. Nekat melakukan hal buruk untuk Radheya karena menghalangi tujuannya. Bahkan rela menjebak sahabatnya itu sampai dilecehkan bahkan disakiti oleh sepenghuni Satya Bangsa. Tetap meninggalkan sahabatnya ketika perempuan itu masih memanggilnya dengan lembut seolah telah memaafkannya dari lama.

Sena menyakiti banyak orang. Kini semua orang meninggalkannya. Ia tak lagi punya tempat berpulang.

"Maafin gue, Aya... gue tau gue salah... gue tau gue kelewatan..." ia terisak dengan kondisinya yang masih kacau balau.

Gadis itu berdiri di pinggir jembatan, berteriak sekencang-kencangnya. "Gue emang pembunuh! Gue udah bunuh orang-orang yang sayang gue! Gue bunuh sahabat gue sendiri! Gue bunuh banyak orang! Gue menuai apa yang gue tabur sekarang..."

Sena terisak pelan. Geyzia benar. Raline juga benar. Semua hal yang dilakukan, pasti akan dipertanggungjawabkan suatu harinya. Kalimat itu berlaku untuk semua orang. Termasuk Sena sendiri.

Maka di sinilah Sena sekarang, berada di pinggir jembatan, menaiki pembatas jembatan itu. Menangisi namanya yang sudah tidak bersih lagi, menangisi tubuhnya yang sudah tidak suci lagi, menangisi penyesalan yang tidak dapat lagi ia perbaiki.

Karena begitu awan gelap menyingkir dari cahaya bulan yang menyala malam itu, Sena menjatuhkan dirinya begitu saja.

[.]

Well, tidak sampai di sini hehe

Orang-orang yang terlibat sama kehancuran Radheya sudah menuai apa yang mereka tabur

Ett—tapi masih ada lagi

Kira-kira next ngapain nih?

Sejauh ini pada paham sama alurnya kan?🙈

Punya teori untuk cerita ini nggak? Share dong🙈

Jangan lupa share cerita ini ke semua kenalan kalian yaa wkwk promosiin di sosmed juga bolehhh
pakai tagar #wphipokrit yahhh guysss

Next?

Spam next di sini yaaa

Jangan lupa follow^^

Continue Reading

You'll Also Like

10.4K 3.9K 65
WARNING!! PART LENGKAP DAN SIAP-SIAP PATAH HATI! 𝓙𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹...
Lintang By cell.

Teen Fiction

20.2K 3.3K 10
"Ra, nasi goreng Pak Mamat, gas?" "Samper sambil bawain cimory squeeze." "On my wa-" "Coklat sama lays rumput laut juga ya hehe." "NGGA JADI, RA. PAK...
Schizophrenia By hera/aya

Mystery / Thriller

13.4K 1.4K 25
[13+] Bridget Wilson. Seorang penulis muda yang karyanya tidak pernah benar-benar terkenal. Dia didiagnosis memiliki gangguan psikiatri skizofrenia...
1.4M 137K 36
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Jika KITA begitu kelabu. Apakah bisa menjadi satu?" -Miserable 2 21/05/20 Note : Disarankan baca Miserable 1 dulu, biar pa...