M O N O K R O M

Od FatmaLotus

185K 33.8K 3.4K

Gibran Wiratama terperosok dua kali di lubang yang sama. Ditinggal menikah oleh mantan pacar dan sahabatnya s... Viac

PROLOG
Satu
dua
Tiga
Tujuh
Empat
Sembilan
Lima
Sepuluh
Enam
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Gibran POV
Dua Puluh Dua
Dua puluh tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
27
28
29
30
31

Delapan

2.9K 572 36
Od FatmaLotus

Semesta tak pernah menjanji langit selalu cerah, namun setelah hujan akan datang pelangi.

---

Hidup adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk berteman dengan siapa. Pilihan untuk bersekolah di mana. Pilihan untuk menghabiskan sisa waktunya bersama siapa.

Hari ini, Januar akan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan untuk hidup bersama Shakila--wanita yang sudah dicintainya lebih dari satu windu. Wanita yang selalu disebut dalam doanya. Wanita yang selalu mengisi relung hati dan pikirannya.

Dibalik punggungnya yang tegap, Mikha berdiri anggun dengan gaun putih selutut seolah ingin menunjukan betapa jenjang kaki miliknya. Gaun yang mempertontonkan pundak dan ditambah aksen pita di bagian pinggang.

Dengan langkah terbata, Mikha menghampiri Januar. Lengannya dengan kuat melingkari pinggang lelaki itu. Kakaknya, pun malaikat pelindungnya. Selama ini, hanya Januar yang sepenuh hati menyediakan jiwa dan raganya untuk Mikha. Saat dirinya harus diungsikan ke luar negeri, Januar pun dengan suka rela ikut melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Hiks! Isaknya terdengar lirih. Kali ini dirinya tak punya pilihan selain merelakan Januar bersama dengan orang yang disayanginya. Dia tahu, Kila adalah wanita yang tepat untuk berada di samping Januar. Menemaninya dalam suka dan duka.

Setelah ini, Mikha bukanlah nomer satu untuk kakaknya itu. Akan ada wanita lain yang dengan sepenuh hati Januar jaga.

Tak ada pilihan lain selain mendoakan.

"Selamat ya, Mas," ucapnya. Mempererat pelukannya.

Januar pun memeluk Mikha lebih erat, "Mikha udah mau 24 tahun, harus lebih mandiri, nggak boleh bergantung dengan siapapun."

Anggukan itu terasa samar. Mikha hanya berharap riasannya tak hancur karena air mata yang mengalir tanpa diperintah.

---

"Saya terima nikah dan kawinnya Shakila Indira Listy binti Aditya Hermawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," suara Januar lantang dalam sekali tarikan napas.

Mikha duduk di belakang Gibran yang hari ini menjadi saksi. Beberapa kali tatapan Kila mengarah pada lelaki itu. Apa Mikha tak menyadari? Tentu saja! Gosip di divisi sudah beredar sejak pertama Mikha mengklaim dirinya teman dekat Gibran.

Bahkan sudah banyak yang membandingkan mereka. Jika ditanya apakah Mikha iri pada Kila? Tentu saja. Kila dicintai Januar, Kila mendapatkan perhatian Gibran yang meski memikirkan Nata. Tetap saja, Gibran pernah berniat melabuhkan hatinya pada Kila.

"Seperangkat alat sholat banget ya, Kil," sorak Dinda. Tak kuasa menahan bahagia melihat sahabatnya menikah.

"Gue takut Pak Naib nggak bisa nyebut hermes lagi, ntar malah nggak sah gue nikahnya," kilahnya. Kila juga ikut tertawa.

Sungguh cantik. Kila biasa saja sudah memesona apalagi dipadu padankan dengan paes ageng yang tampak cocok dengan bentuk wajahnya. Hari ini Kila nampak seperti ratu dan membuat pulahan orang tersihir oleh penampilannya. "Eh kenalin, ini Mikha. Adik ipar gue."

Kila menarik tangan Mikha, memperkenalkan dengan para sahabatnya.

"Ini Dinda, Rizka, sama Nata," jelasnya memperkenalkan satu persatu.

Tatapan Mikha jatuh pada wanita yang mengenakan hijab berwarna salem itu. Wajahnya putih, anggun, dan terlihat dewasa. Nata, mantan kekasih yang masih terus berputar dalam benak Gibran. Nata yang selalu disambangi lelaki itu tiap hari. Meski hanya lewat depan rumahnya.

"Mikha," ucap Mikha akhirnya.

"Gue kok nggak tahu Januar punya adek secakep ini," seloroh Zhio yang tiba-tiba datang merangkul Rizka, "padahal gue kerja sama Pak Wibisana udah lama. Tapi kenapa nggak tahu kalau Pak Webek punya emas permata begini sih."

Dasar lelaki dan modusannya.

"Oh... Gitu, maksudnya apa nih? Aku bukan emas permata gitu?" Rizka melepas dekapan Zhio dan bersidekap.

"Kalau kamu intan berlian," rayu Zhio.

Tawa menggema. Dari sudut matanya, Mikha masih sibuk meneliti Nata. Tubuhnya memang sedikit berisi jika dibanding Mikha tapi auranya sungguh terpancar. Pantas saja Gibran susah berpaling meski Nata sudah menjadi milik orang lain.

Cinta memang bukan perlombaan, tapi apa mungkin Mikha mampu mengalahkan Nata. Bahkan dengan bayangannya saja, Mikha sudah kalah telak.

---

Mikha menutup pintu kamar mandi berbarengan dengan seseorang yang enggan ditemuinya. Sungguh nasib, hari ini dirinya bertemu dengan orang-orang tak teduga di hidupnya.

"Mikha!"

Panggilan untuknya tapi Mikha tak menoleh.

"Budeg ya, lo." Kali ini ditambah dengan tarikan di pundaknya.

Kesal. Dengusan itu keluar dari mulutnya. "Oh... Tante Shafa datang juga. Sebagai seorang kakak atau calon ibu tiri," sindirnya tanpa basa basi.

"Mulut anak kecil nggak tahu etika."

Geram. Mikha hendak berbalik enggan melanjutkan pembicaraan yang tak ada ujung pangkalnya. Membuat emosinya meradang saja.

"Apa bedanya gue sama nyokap lo. Sama-sama perebut suami orang."

Mikha maju selangkah, mendorong tubuh Shafa hingga terhuyung ke belakang. Untung ada tembok yang menjadi tameng hingga tak sampai terjatuh di lantai. "Berhenti membicarakan ibu saya, kalau anda nggak ngerti apapun. Dasar jalang!"

Shafa ganti maju selangkah. "Lo ya..."

Satu pukulan hendak melayang ke pipinya. Dengan spontan Mikha menutup mata namun dalam hitungan ketiga tak dirasakan apa-apa. Hidungnya menghidu bau yang beberapa waktu ini selalu menjadi favoritnya. Harum yang selalu ingin dirasakannya sepanjang hari. Harum tubuh Gibran. Benar saja, lelaki itu sudah berdiri tegap di depannya.

Selama ini Januar yang selalu melindunginya, menjadikan punggungnya sebagai tameng, membiarkan tubuhnya sebagai umpan. Menemukan Gibran berdiri di sana, membelanya membuat hangat melesak ke dalam dadanya, memenuhi setiap rongga hingga tak tersisa satu ruang pun.

Gibran menahan tangan Shafa. Tak ada apa-apanya memang kekuatan lelaki dibanding dengan wanita. Dari sorot matanya, Gibran tahu Shafa sedang menahan amarah. "Lo tau kan, ini acara pernikahan adek lo. Lo mau bikin masalah lagi? Apa nggak cukup hidup Kila pontang panting karena elo."

Shafa mendengus, "kenapa dunia sesempit ini. Kemarin waktu sama Kila. Ada Lo. Sekarang sama adeknya juga ada lo lagi. Apa lo nggak capek selalu jadi pemeran pembantu?" Shafa menarik tangannya dan menjauh dari sana.

Memangnya Gibran bisa memilih, kalau boleh lelaki itu juga ingin menjadi pemeran utama.

Gibran berbalik. "Gue nggak tahu kalau lo juga bisa bicara lantang kaya tadi, Mikh."

"Bang Gib denger?"

Gibran mengangguk. "Kalau gue nggak denger, gue nggak mungkin masuk toilet wanita begini," ujarnya. "Ayo keluar!"

Bukankah itu artinya Gibran tahu kalau dirinya adalah anak...

"Kenapa bengong, ayo keluar!" Gibran menarik lengan Mikha.

Bukannya memperhatikan jalanan. Dirinya malah disihir oleh genggaman Gibran pada tangannya. "Pulang aja, Bang. Mikha nggak biasa ketemu banyak orang."

"Ntar gue dikira bawa kabur anak orang." 

Mikha si introvert. Hidupnya hanya berotasi dengan Januar, dan si Mbak yang sudah mengurusnya sejak kecil. Boro-boro punya banyak sahabat, nomor ponsel teman sekantor saja banyak yang tak disimpannya. Di grup kantor cuma sebagai pengamat. Dan selalu kehabisan kata saat bertemu dengan orang baru.

Andai boleh memilih, lebih baik bergelimpungan di dalam kamar bersama ponsel pintarnya. Entah membaca novel atau menonton drama korea.

"Jadi, Shafa itu..." tanya Gibran ragu. Mereka duduk di depan gedung tempat resepsi berlangsung. Angin malam ini lumayan menusuk tulang. Gibran menoleh, Mikha hanya mengenakan pakaian minim begini. Bagaimana jika sampai masuk angin?

Mikha mengangguk dua kali, "calon istri Papa."

Gibran tak berani bertanya panjang lebar. Tak ingin membuat Mikha makin dirundung kesedihan. Bukankah ini hari berbahagia sang kakak, harusnya dirinya berada dipelaminan dan ikut berfoto dengan Januar bukan malah duduk disini bersama Gibran.

Merogoh saku celana, Gibran menyerahkan lolipop kesukaan Mikha. Dibalik hobinya yang persis anak kecil, ternyata Mikha menyimpan banyak teka-teki.

"Mikha juga cuma anak dari istri simpanan Papa," jelas Mikha kemudian. Menerima lolipop pemberian Gibran.

Gibran hanya diam.

Melihat reaksi Gibran membuat hatinya ciut. Jangankan menggantikan Nata, berada di samping Gibran pun rasanya Mikha tak punya kuasa. Apalagi menjadi seperti Kila, Mikha merasa tak layak.

Hening kembali menyergap. Mikha tertunduk dengan pikirannya sendiri. Hingga satu isakan lepas dari mulutnya.

Wanita dan air mata. Gibran tak tahu bagaimana cara meredakan tangisan wanita. Tangannya terjulur, menarik kepala Mikha dan menjatuhkan di pundaknya. Membiarkan air mata membasahi batik yang dipakainya.

"Gue takut ntar lo kaya zombi, Mikh. Maskara lo meleber kemana-mana," goda Gibran, "ntar ilang cantiknya lagi."

Mendongak, menempelkan dagunya di pundak Gibran, "emang Mikha cantik?"

"Cantik. Kalau nggak cantik, lo nggak mungkin jadi bahan gosip para emak-emak di kantor."

"Apa cantik saja cukup memupus kenangan Mbak Nata di hati Bang Gib?"

Mikha memang tak bisa memilih ingin dilahirkan dari rahim siapa, dibesarkan oleh siapa, namun bolehkan dirinya memilih ingin menautkan hati dengan siapa?

"Bang Gib, ayo nikah!"

---

Tbc

Karanganyar, 12 desember 2021

FatmaLotus

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

1.4M 90.8K 43
• Obsession series • [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk memanfaatkan kemiskinan dan keluguan gad...
1.1M 57.3K 49
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
251K 1.4K 17
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
253K 18.2K 30
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...