SHOW ME (Tamat)

Galing kay Unianhar

336K 41K 5.8K

(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Karma is real. Itu pepatah yang cocok menggambarkan nasib Saka Rivano Thomas, sang d... Higit pa

Part 01 || Sapaan Hangat Tuan Muda
Part 02 || Gagal Keren
Part 03 || Serangan Telak Hero
Part 04 || Bertamu Pagi-pagi
Part 05 || Mimpi Indah
Part 06 || Mengecek Email
Part 07 || Hukum Aku Semaumu
Part 08 || Undangan Makan Malam
Part 09 || Enam Tahun Lalu
Part 10 || Perdebatan di Pagi Hari
Part 11 || Tutup Mulutmu Lena
Part 12 || Jalan ke KUA
Part 13 || Ternyata Memang Dia
Part 14 || Menyelesaikan Masalah
Part 15 || Dua Orang Asing
Part 16 || Jangan Menyia-nyiakan yang Tulus
Part 17 || Darah Biru Saka
Part 18 || Permintaan Kakek
Part 19 || Sialan Kamu Saka
Part 20 || Berkunjung ke Rumah Lama
Part 21 || Merayakan Bersama
Part 22 || Malam Yang Indah
Part 23|| Keputusan Untuk Menerima
Part 24 || Semua Karena Leon
Part 25 || Sedang Tidak Waras
Part 26 || Perdebatan Tak Berfaedah
Part 27 || Menyusul ke Bogor
Part 28 || Tamu Tak di Undang
Part 29 || Pertengkaran Renan-Kakek
Part 30 || Calon Menantu Pricillia
Part 31 || Sekat yang Terlihat
Part 33 || Badai Menyerang
Part 34 || Perkenalan Resmi
Part 35 || 2 Lawan 1
Part 36 || Memanipulasi
Part 37 || Kebetulan yang Mengejutkan
Part 38 || Jessie Sakit Lagi
Part 39 || Hujan Punya Cerita
Part 40 || Bercocok Tanam
Part 41 || Serangan Telak Saka
Part 42 || Meminta Restu
Part 43 || Dua Keluarga
Part 44 || Uneg-Uneg Jessilin
Part 45 || Tak Berkesudahan
Part 46 || Rencana Masa Depan
Part 47 || Dipersimpangan Jalan
Part 48 || Perlahan Tapi Pasti
Part 49 || Fakta yang Menyakitkan
Part 50 || Flashback Juli 1999
Part 51 || Memori Kelam
Part 52 || Benang yang Kusut (Tamat)
Spin Off
Info Extra Chapter

Part 32 || Kedatangan Sari dan Awan

2.6K 400 71
Galing kay Unianhar

Jangan lupa follow Unianhar, vote dan komentar sebanyak-banyaknya. Okey?

------------------

Pria bermata sipit itu mengembuskan napas ke atas. Rambutnya yang jatuh menutupi kening terkibas lalu kembali pada posisi semula. Kedua tangan diletakkan di sisi sofa, jari telunjuk diketuk-ketukkan, kaki menyilang, telapak kaki kanannya terus digerak-gerakkan seraya matanya melirik jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam.

Ini sudah sejam menunggu pujaan hatinya pulang. Hatinya tak tenang memikirkan keberadaan wanita itu. Kata mami Jessie langsung pulang ke apartemen tapi dia tidak ada. Hanya ada makhluk kurang ajar yang berlalu lalang di hadapannya. Bukan tanpa alasan menyebutnya kurang ajar, mulai masuk ke tempat itu sampai sekarang dia tidak mengajaknya bicara sepatah kata pun. Katakan, di mana lagi ada manusia sekurang ajar itu?

Abang-abangnya memang kurang ajar, tapi adik Jessie lebih kurang ajar. Sampai saat ini ia masih menahan diri untuk tidak memelintir lehernya dari belakang. Meski leher itu menggoda untuk melakukannya tapi iman Saka masih kuat. Biar bagaimana pun makhluk itu akan menjadi adik iparnya.

Sambil menunggu Saka merebahkan punggung di sandaran sofa, melipat kedua tangan di dada kemudian menutup mata. Kalau di rumahnya sudah pasti sekarang ia rebahan di atas ranjang, tarik selimut membiarkan kesadarannya direnggut oleh kantuk. Ia akan mengisi daya agar tidak kekurangan energi untuk minggu depan.

Memikirkannya saja membuat Saka pening. Hari minggunya akan tersita di rumah sakit, kesempatan bertemu Jessie berkurang dikarenakan jadwal terlalu padat. Ia datang memberitahu wanita itu setelah tidak sempat bilang karena Jessie buru-buru pulang dari rumah sakit.

Ting tong!

Mendadak mata Saka terbuka ketika suara bel berbunyi. Renan yang selonjoran di sofa panjang meletakkan remot televisinya, kemudian bangkit menuju pintu. Tidak lama pemuda itu kembali menenteng plastik bergambar kakek berkacamata.

Saka kembali menutup mata. Suara gesekan plastik menusuk pendengaran, aroma lezat merembek indera penciumannya yang sensitif, suara remesan kembali menggelitik telinga sampai hidungnya kembang-kempis. Renan sialan! Setidaknya basa-basi kek nawarin makan. Diajak pun Saka tidak langsung mau.

Saka mengetatkan rahang. Perasaannya bergemuruh hebat. Didiamkan ratusan detik, dianggapnya tidak ada di tempat itu, bahkan makan pun tidak tawari masih ia terima. Tapi suara televisi yang terlalu besar membuatnya muak.

"Kau ini kayak orang tuli nontonnya," ketusnya melepaskan tangan di dada.

Renan yang duduk melipat kaki di atas sofa kini menoleh sembari menggigit sendoknya, di tangannya ada semangkok sup krim. Ekspresinya datar, tak suka dengan penuturan Saka. Bukannya membalas, pemuda itu kembali menatap layar yang menampilkan balapan Formula 1.

"Kurangin volume-nya!" sentak Saka jengah.

Alih-alih menurut, Renan memasukkan remot ke dalam bajunya. Saka melotot tak percaya, kedua tangannya terkepal menyumpahi Renan tersedak sup.

"Dasar maruk."

"Nggak punya mulut."

"Tuli."

"Mana pelit lagi makan nggak nawarin. Apa lihat-lihat?!" ketusnya mendapati tatapan Renan sinis. Mata sipitnya bisa melihat mulut belepotan pemuda itu misu-misu seakan mengabsen semua binatang haram di muka bumi.

"Aku ngomong fakta, jadi jangan tatap aku kayak gitu."

Saka tidak merasa bersalah sama sekali. Malah semakin kesal dengan respon adik Jessie. Apa yang terjadi padanya sampai Renan mendadak tuli dan bisu?

Tidak tahan dengan omongan tamu tak tahu malu itu, Renan pun mengeluarkan ponselnya mengetik sesuatu. Tidak lama ponsel Saka berdering, dengan tak santai pria itu merogoh saku celananya.

Renan set*n

Diam kau!

Mulut kau meresahkan

Alis Saka mencuram, keningnya terlipat membaca pesan masuk dari orang di sampingnya. Dengan tidak santai menatap Renan sebal. Segitu bencinya sampai pemuda itu tidak mau bicara langsung padanya? Memangnya Saka salah kakak pemuda itu jatuh cinta padanya?

"Ngomong langsung kalau berani," tantang Saka.

Renan mendengkus kembali mengiriminya pesan.

Aku kalem ya

Jangan mancing buat disumpahin

Kalau aku diam sebaiknya mulut kau juga diam.

"Nggak sopan kau!" sembur Saka menunjuk Renan.

Renan melotot, hendak melayangkan sup yang kini diletakkan di atas pahanya. Ingin sekali meneriaki manusia sipit itu tapi harus ditahannya sampai ia mampu. Pemuda itu kembali mengetik tak santai pada ponselnya.

"Nggak usah ngechat lagi! Pulsa kau nanti abis gara-gara aku."

Kuotaku banyak tahu

Kau pikir aku misqeen?

"Kau kan pelit." Saka mencebikkan bibir meledek.

Kalau pelit nggak mungkin aku beliin ayam

"Mana?!"

Renan menunjuk satu wadah berisi daging ayam di atas meja. Tutupnya sudah terbuka, sambelnya juga sudah tersedia. Dokter tampan itu menaikkan sebelah alis menatap Renan memastikan.

Itu aku beliin buatmu.

Hitung-hitung sedekahku biar kau kuat nunggu sampai besok pagi.

Bukannya terprovokasi untuk menanggapi, Saka malah penasaran kenapa Renan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Apalagi melihat reaksinya saat ia berkata kasar pemuda itu bernafsu sekali membalasnya tapi seperti ada yang menahan. Ponselnya juga sempat berbunyi beberapa kali dan pemuda itu mematikannya begitu saja.

"Sakit gigi?" tebak Saka.

Saka mengamati mulut Renan. Selain mulutnya masih belepotan, bibir pemuda itu pecah-pecah, kulit bibirnya terkelupas, dan ada beberapa bagian yang kemerahan. Bukan. Itu bukan sakit gigi tapi...ponsel Saka kembali berbunyi, sudah pasti dari Renan.

Sariawan

Sumpah ini benar-benar nyiksa.

Berat badanku turun gara-gara ini

Aku nggak bisa makan apapun selain bubur

Itu pun makannya terpaksa saking perihnya, kalau nggak makan nanti aku mati kelaparan

Ngomong aja nggak bisa

Tatapan Saka berubah datar. Kok malah curhat? Memangnya sekarang ia jadi Mamah Dede? Pantas saja tidak banyak omong ternyata kedatangan sari dan awan. Kalau tahu dari awal harusnya ia bersorak senang karena Renan tidak bawel padanya. Biasanya kalau ia datang pemuda itu langsung mengoceh.

"Oral hygiene-mu pasti buruk," kata Saka menarik wadah di meja kemudian mengambil satu paha ayam. Paha ayam kesukaan Jessie.

Oral hygieneku baik tahu

Aku sikat giginya dua kali sehari, pagi setelah sarapan malam sebelum tidur

Aku juga pakai benang gigi

Jangan fitnah kau!

"Masa, sih?" Saka tidak percaya.

Aku sikat giginya kekencengan terus kepentok gusi sampai luka

Renan menggebu-gebu mengetik sanggahannya. Ia tidak terima kesehatan mulutnya diragukan. Ia termasuk pria yang selalu menjaga kesehatannya termasuk mulut yang menjadi aset bertemu banyak orang.

Saka mangguk-mangguk meletakkan ponselnya di meja. Menggigit paha ayam di tangan. Setelah menelan, ia kembali berkata, "Kurangi makanan yang berminyak, sering-sering makan makanan yang berserat kayak buah semangka atau apel, sikat giginya santai aja, nggak usah pakai tenaga ternado meminimalisir luka kecil, sering-sering minum air putih, itu ampuh buat halangin kemunculan sariawan."

Saka terus memberikan kiat-kiatnya sebagai dokter. Renan duduk di bawah, mangkok supnya diletakkan di atas meja lalu menatap Saka serius. Keduanya tak menyadari kehadiran Jessie yang keheranan. Tumben akur, biasanya kayak Tom dan Jerry.

"Aku pulang."

Saka dan Renan menoleh. Jessie pun tersenyum mendekati sofa kemudian duduk di sana. Ia melihat meja berserakan karena kemasan makanan. Tidak heran jika itu Renan, adiknya paling malas memasak.

"Baru pulang?" tanya Saka. Jessie mengangguk menyugar rambut ke belakang. "Dari mana aja?"

"Ketemu Kak Leon."

"Ngapain aja sama Si Siba?"

"Nggak ngapa-ngapain selain ngobrol."

Saka mengerucutkan bibir kemudian mendecih, "Ngobrolin utang negara makanya lama," sarkasnya meletakkan paha ayam ke dalam wadah, punyanya belum habis, ia baru menggigit sekali dan kehilangan selera makan.

Renan dan Jessie bersitatap beberapa detik, lalu kembali menatap Saka yang merajuk. Renan bergidik ingin menumpahkan supnya ke muka Saka. Sumpah, melhat wajahnya sekarang memancing kebrengsekan Renan untuk menampolnya. Bukan menggemaskan malah menjijikan.

"Kamu capek, makanya emosinya nggak stabil, sebaiknya Kakak pulang istirahat atau mau nginap di sini? Nanti tidurnya bareng Ren---"

"Ya masa tidur sama manusia satu ini?!" sentak Saka tidak terima. Sementara itu Renan terbelalak menyilangkan kedua tangan di depan bertanda ikut keberatan dengan usulan kakaknya.

Jessie terjungkit kaget, menatap keduanya kebingungan. "Mau tidur di sofa aja?"

"Tidur sama kamu, boleh?" pinta Saka memelas.

Bugh!

Sebuah slepetan mendarat di paha keras Saka. Renan berhasil melayangkan telapak tangannya mendengar permintaan gila itu. Katanya dokter tapi otaknya dipenuhi pikiran kotor. Kesal mendapat kekerasan dari koloni sari dan awan, Saka pun melotot menatap garang, alih-alih takut atau merasa bersalah Renan menggariskan ibu jarinya di leher untuk mengancam agar tidak macam-macam.

"Ren, nggak sopan." Jessie menarik tangan Renan.

Pemuda itu menggerakkan tangannya seolah berbicara dengan bahasa isyarat. Saka memandangi keduanya penasaran, mereka bisa bahasa isyarat? Kira-kira mereka ngomongin apa?

Jessie menarik napas kemudian mengembuskan pelan. "Ren, Kakak nggak ngerti. Ngobrolnya lewat chat aja," hembusnya.

Renan menepuk kening capek sendiri. Saka mendengkus, ternyata ngasal bahasa isyaratnya.

"Udahlah Renan, Kak Saka cuma becanda, jangan serius amat." Jessie tahu pria itu tidak berniat untuk benar-benar tidur bersamanya. Ia hanya bercanda agar Renan murka padanya.

Saka selalu saja seperti itu. Sudah tahu Renan sensitif padanya tapi masih saja dibikin kesal. Bagaimana adiknya itu bisa menerima hubungan mereka kalau Saka terus memancing untuk dimusuhi. Pria itu juga tidak mau mengalah.

"Aku ambil minum dulu." Jessie lantas berdiri meninggalkan ruang tamu menuju dapur.

Di sana ia mengeluarkan sebotol minuman dari kulkas, menuangkan ke dalam gelas. Saka menghampiri masih dengan ekspresi merajuk. Pria itu masih sebal karena kekasihnya bersama Leon sampai larut malam. Padahal ia menunggu seperti orang bodoh.

Jessie tersenyum meraih gelas di meja kemudian diulurkan pada Saka. Pria itu belum minum usai makan.

"Makasih." Saka menerima gelas itu kemudian meminumnya sampai habis. Setelahnya diberikan pada Jessie. Wanita itu menerima gelas tersebut dibawa ke wastafel.

Saka tidak berdiam diri saja. Ia mengikuti punggung Jessie yang bergerak kesana-kemari. Lelah karena tak berhenti juga, Saka pun menarik wanita itu duduk di kursi pantry lalu memegang kedua tangan kecil itu.

"Ke--kenapa?" Jessie tergagap. Ia seperti melakukan kesalahan yang fatal.

"Kamu ngomong apa aja sama Leon sampai pulang tengah malam?" tanya Saka serius.

Jessie tersentak. Pembicarannya dengan Leon? Mereka hanya membicarakan mamanya yang menyudutkan dirinya, ia tidak mungkin memberitahu Saka tentang itu. Jessie tidak ingin Saka tahu perilaku mamanya yang keterlaluan.

"Nggak ada apa-apa."

Saka menatap lurus ke dalam manik kekasihnya. Jelas sekali wanita itu menyembunyikan sesuatu.

"Sungguh?"

Jessie mengangguk ragu. Saka mendesah panjang, wajahnya berubah sendu. Ia merasa dirinya belum sepenuhnya menjadi kekasih wanita itu. Jessie belum terbuka padanya, masih banyak hal yang disimpan sendiri, bahkan ia merasa Leon lebih mengenal Jessie dibanding dirinya. Yang lebih mengecewakan Jessie lebih terbuka pada sahabatnya itu.

"Kalau ada apa-apa bilang sama aku ya. Aku juga pengen jadi orang pertama yang dengerin cerita kamu." Saka tersenyum pahit. Harusnya ada, tapi wanita itu memilih menyembunyikannya darinya.

"I--iya." Jessie terpaksa tersenyum.

Jika mengenai hal lain mungkin Jessie akan bilang padanya, tapi jika mengenai keluarganya, ia memilih tidak melakukan itu. Keluarganya terlalu buruk, takutnya Saka akan berpaling setelah ia benar-benar menyerahkan seluruh hatinya. Jessie tidak ingin kehilangan pria itu karena keluarganya.

"Kakak kenapa ke sini malam-malam? Beneran mau nginap ata---"

"Maunya nginap tapi nggak mau tidur bareng Renan."

"Terus?"

"Abis ini aku langsung balik."

"Okey."

"Kok okey? Nggak mau nahan aku?"

"Buat apa nahan? Di sana kan rumah kamu."

Mendengar jawaban Jessie, wajah Saka tertekuk. Ia membalikkan badan memunggungi meja pantry, punggungnya disandarkan di sana, kedua tangan terentang memegang pinggir meja, ia menoleh menatap Jessie hangat.

"Sayang."

Jessie terhenyak. Pria itu memanggilnya Sayang? Ini bukan pertama kalinya. Tapi kali ini rasanya menyentuh hati Jessie sampai termangu beberapa saat. Jantungnya semakin bertalu-talu, darahnya berdesir, seluruh tubuhnya memanas, wajahnya merona. Untuk sepersekian detik Jessie lupa caranya bernapas melihat Saka berdiri di depannya dengan posisi seperti itu.

"Minggu depan kayaknya aku nggak bisa nemuin kamu. Aku bisanya kasih kabar lewat telepone aja." Rasanya Saka tidak rela mengatakan hal ini. Namun, ia harus melakukannya. Ia tidak mau Jessie berpikir negatif karena tiba-tiba tidak menemuinya seperti sebelumnya.

Jadwal operasinya padat minggu depan. Belum lagi rawat jalan. Hari minggu harus tersita untuk pasien istimewa dokter Anton. Saka juga harus berkonsetrasi pada pasien tersebut.

"Kalau aku nemuin kamu gimana?" tanya Jessie. Kalau Saka tidak bisa menemuinya sekarang gilirannya yang menemui pria itu. "Kalau ketemu di rumah sakit kurasa nggak lama nyita waktumu, nggak usah makan bareng, seenggaknya tatap muka aja, bisa?" harapnya.

Saka menatap Jessie dalam lalu terkekeh. Jessie melambungkan perasaannya ke atas langit. Wanita itu berkata demikian seakan tidak bisa untuk tidak bertemu dengannya dalam seminggu itu.

"Akan aku usahain....demi ketemu kamu," kata Saka sempat menjeda kalimatnya.

Jessie bernapas lega. Saka mengubah posisi untuk duduk di kursi, ia menghadap Jessie dan menarik kursi wanita itu menempel padanya.

Jessie terperanjat nyaris terjungkit ke belakang kalau saja Saka tidak sigap menahan punggungnya, membuat jarak mereka sangat dekat.

"Kak Saka!" Jessie memukul lengan Saka.

Saka tertawa menangkis tangan Jessie berhenti memukulnya. Ia menarik kedua tangan wanita itu ke bibir bergantian, menciumi tangan kecil itu. Setelahnya meletakkan kening di bahu kekasihnya itu.

Saka mendesah frustasi. Menutup mata kemudian melingkarkan tangan besarnya di panggang kecil itu. Jessie menegang, kedua tangannya terangkat di udara sembari menatap wajah Saka dari samping.

Sesaat Jessie terdiam merasakan hembusan napas pria itu. Ia meneguk salivanya susah, jantungnya berdegub kencang, ia menggigit bibir dalamnya gugup.

"Kayaknya aku bakal kangen banget, Jessie," gumamnya menelungsupkan wajah ke leher Jessie.

"Ud--udah kubilang aku yang bakal ke sana." Jessie tergagap membasahi bibir bawahnya.

"Hm. Janji?"

"Iya." Satu tangan Jessie menyentuh punggung Saka kemudian yang satunya mengelus kepalanya lembut.

"Kak Saka."

"Jangan manggil Kak lagi, manggil Sayang dong biar romantis," ucap Saka masih dalam posisi nyamannya.

"Lepas."

"Nggak mau!" Saka menggeleng semakin mempererat tangannya di pinggang Jessie. Pria itu terkekeh tidak mau melepaskan. Jessie pasti kesal karena Saka banyak mau.

"Kalau gitu jangan banyak tingkah!" Jessie menunduk menatap wajah pria itu dari samping.

"Iya iya hehehe."

Jessie tersenyum geli. Ia seperti ibu yang sedang memanjakan anaknya.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu ngambil operasi hari minggu? Itu kan hari liburmu."

Selama menjadi dokter di rumah sakit Thomas, hari liburnya tidak pernah berubah. Pria itu sengaja memilih hari minggu sebab itu hari dimana seluruh keluarga besarnya berkumpul.

"Ini semua karena Direktur tengik itu," desisnya masih menaruh kekesalan mengingat ekspresi dokter Anton yang semena-mena. Kalau ia tidak kasihan melihat wajah keriputnya sudah pasti Saka menolaknya.

Dengan suara lemah Saka menceritakan kejadian yang mengharuskannya masuk kerja di hari minggu. Sebenarnya Saka ikhlas menerima pasien itu, yang masih membuatnya kesal karena dokter Anton. Untung kinerjanya bagus, kalau buruk seperti sifatnya Saka sudah lama melengserkannya.

"Emangnya kalau pejabat harus dapat keistimewaan begitu? Kenapa nggak bikin rumah sakit khusus pejabat aja sih," gerundelnya.

Jessie terkekeh mendengar ocehan kekasihnya itu. Sementara di pembatas ruang tamu dan dapur, Renan berdiri menggigit sendok supnya, menggebu-gebu mengetik sesuatu pada ponselnya. Matanya menatap bengis kedua orang yang bermesraan. Sialan! Menjauh dari kakakku! makinya dalam hati.

Sementara itu ponsel Saka di atas meja ruang tamu terus berbunyi, puluhan pesan masuk dari orang yang sama. Renan Set*an.

TBC

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2.4K 321 46
Seorang gadis keturunan blasteran yang disebut anak konglomerat berasal dari USA, tidak sengaja kembali bertemu dengan masa lalu yang ada di ingatann...
19.5K 1.2K 46
Tidak ada yang tahu tentang masa depan. Begitupun dengan Keisha. Dari masalah yang dialaminya, Keisha tidak pernah menyangka akan menghasilkan pertem...
50.9K 2.5K 46
Bagas namanya,cowok dengan sejuta pesona,pendiam dan belum pernah mempunyai pengalaman dekat dengan seorang perempuan tapi semenjak bertemu Gita hidu...
3.2M 177K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...