Melodi Dua Dimensi [ON GOING]

By DestianaRika

5.3K 1.1K 1.1K

Ketika asa mulai terasa berjarak, dia datang dan melukiskan harapan yang tak pernah terpikirkan oleh Melodi s... More

Prelude
#01 - Dua Dimensi
#02 - Tempo
#03 - Blue Melodies
#04 - The Handkerchief
#05 - Sweet Scale
#06 - Black Notes
#07 - Paradox
#08 - In the Middle of the Rain
#09 - D-Day
#11 - Contradiction
#12 - Strings Duo
A/N
#13 - Pandora Box
#14 - Little Conversation
#15 - Invitation

#10 - The Color Journey

181 45 79
By DestianaRika

Banyaknya penonton yang telah berkerumun di depan Museum Seni Rupa merupakan pertanda bahwa sesi live art pada acara Festival Seni Nasional memang menjadi salah satu pertunjukan yang paling dinantikan dan menarik perhatian para pengunjung yang hadir di sana. Sorak-sorai dan riuhnya tepuk tangan yang terdengar ketika satu per satu performer telah selesai menampilkan proses berkarya mereka membuat seorang gadis yang kini berdiri tidak jauh dari lokasi pertunjukan semakin mengeratkan genggaman jemarinya. Beberapa kali ia harus menghela napas dalam guna meredakan degup jantungnya yang kian bergejolak. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa gadis itu juga merasa sangat antusias menanti gilirannya tiba untuk tampil beberapa saat lagi.

"Nervous?"

Melodi sedikit tersentak begitu menyadari Revan kini telah berdiri tepat di sampingnya—setelah beberapa saat yang lalu pemuda itu harus kembali berkoordinasi dengan anak perkap guna memastikan semua properti yang akan mereka gunakan telah siap seluruhnya. Revan tampak tersenyum lembut seolah dapat membaca dengat akurat apa yang tengah Melodi rasakan sekarang. Gadis itu juga membalas dengan senyum meski gugup yang tengah ia rasakan tidak dapat sepenuhnya ia sembunyikan.

"Well ... actually this is my first time appearing on an event like this," ujar Melodi diiringi helaan napas dalam.

"Really?" tanya Revan mengkonfirmasi.

Melodi mengangguk pelan. "Biasanya gue perform cuma buat kompetisi aja sih. So, yeah .... Ini bakal jadi pengalaman pertama gue buat tampil jadi pengiring di luar kompetisi piano atau pun classical event yang selalu gue ikuti."

"Ah ... that's why you look so nervous right now?"

"Hng ... do I?"

Revan tampak buru-buru meralat ucapannya, takut kalau lawan bicaranya merasa tidak nyaman. "Enggak, ya? Sorry kalau pernyataan gue sebelumnya terkesan sok tahu."

Melihat perubahan sikap Revan yang mendadak itu, Melodi nyaris saja tergelak secara impulsif karena tidak menyangka Revan akan memberi respon seperti itu. Gadis itu akhirnya kembali melanjutkan perkataannya tanpa menghilangkan senyum yang sedari tadi menggatung di kedua sudut bibirnya.

"Dibandingkan nervous secara literal, gue malah ngerasa excited banget buat perform," ungkap Melodi jujur. "I think, it will be one of my best performance I've ever done. Jadi, gue ngerasa agak nervous sekarang karena gue penasaran experience kayak gimana yang bakal gue rasain pas perform nanti."

Untuk beberapa saat, tidak ada respon yang diberikan oleh Revan. Hening kembali hadir di antara keduanya. Melodi sedikit kebingungan harus bersikap seperti apa sekarang. Namun, pandangan Revan tidak sedetik pun lepas dari dirinya, membuat Melodi kini merasa agak kikuk di hadapan pemuda itu.

"Uhm ... kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu, Kak?" Melodi memberanikan diri untuk kembali memulai percakapan karena berada pada sunyi yang terus berlalu sangatlah tidak mengenakkan.

"Lo ngerasa se-excited itu ya?" Revan malah balik bertanya kepada Melodi.

"Of course! Why not?" Melodi membalas dengan semangat yang tidak dapat ia sembunyikan. "Konsep performance yang Kak Revan bikin tuh unik banget! Apalagi ada cerita yang bakal Kak Revan sampaikan dengan medium lukis, musik, dan ... tari? Gue bahkan belum pernah lihat kolaborasi performance kayak gitu seumur hidup gue."

Mendengarkan penuturan tersebut, Revan sedikit membulatkan matanya untuk sesaat. Melodi tidak menyadari perubahan ekpsresi Revan karena Satya tiba-tiba hadir mendistraksi percakapan di antara keduanya.

"Kalian udah siap?"

"Is it our turn?" tanya Revan memastikan.

Satya mengangguk pelan. "Sand painting* performance-nya hampir selesai. Akan lebih baik kalau kalian siap-siap sekarang."

Melodi dan Revan mengiakan saran dari Satya tersebut. Lantas sebelum mereka mempersiapkan diri untuk tampil, Revan berkata sembari menatap lekat pada kedua netra Melodi.

"Sejujurnya, gue masih nggak nyangka kalau lo bakal se-excited itu buat perform bareng gue hari ini."

Melodi masih mendengarkan dengan penuh atensi.

"Tapi karena lo bilang begitu, gue jadi ngerasa agak lega sekarang. Setidaknya gue tahu kalau lo bisa enjoy sama performance yang bakal kita lakuin sebentar lagi."

Revan tampak menghela napas dalam sesaat sebelum akhirnya kembali berujar seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Melodi.

"So ... because you said it's your first time appearing on an event like this, let's make our performance extraordinary and unforgettable for us and the audiences."

🌻🌻🌻

Matahari tampak benar-benar berada di ujung barat ketika Revan memposisikan diri pada kanvas besar yang kini terbentang di bawah kakinya. Kanvas yang tergelar tanpa bingkai dengan beralaskan kain putih itu merupakan 'panggung' yang akan menjadi medium Revan untuk menyalurkan seluruh emosinya melalui warna-warna. Penggambaran emosi yang mendalam, sarat akan kisah yang ingin Revan ungkapkan pada detik ini, dengan puluhan pasang mata yang menjadikan dirinya sebagai pusat atensi.

Ada alasan berlapis kenapa Revan memberi nama The Color Journey pada pertunjukannya kali ini. Selain karena Revan akan bermain-main dengan spektrum warna yang telah ia tentukan, Revan ingin menggambarkan sebuah kisah seseorang melalui susunan warna yang juga menjadi sebuah analogi dari arti tahapan kehidupan itu sendiri. Kisah seseorang yang akan selalu menjadi sosok paling penting dalam hidup pemuda itu, namun telah tiada bertahun-tahun silam hingga membuat pemuda itu selalu terkukung pada amarah dan rasa bersalah yang entah kapan akan memudar.

Revan mengambil napas dalam sejenak. Pemuda itu melakukan kontak mata dengan Melodi untuk terakhir kali sebelum ia memulai pertunjukan yang mungkin juga akan membawa perubahan pada diri Revan secara pribadi. Lantas setelah Melodi memberi anggukan pelan sebagai tanda bahwa semuanya telah siap, Revan mengubah posisinya menjadi meringkuk di atas kanvas putih hingga dirinya seolah menyatu dengan spektrum warna dasar tersebut.

Denting piano pun mengalun, dengan tempo yang teramat lambat, dalam tangga nada minor yang menggambarkan nuansa sendu pada tiap harmonisasi yang terdengar. Revan bergerak pelan mengikuti melodi yang mengalun, mengubah posisinya menjadi setengah duduk dengan kaki kiri seperti orang bersimpuh dan kaki kanan dinaikkan seperti orang yang tengah bertongak lutut. Dalam posisi seperti itu, tanpa cat yang belum ia sentuh, Revan melukiskan tahapan paling awal dari kehidupan itu sendiri.

Kelahiran, dalam balutan warna putih sebagai lambang kesucian ketika seseorang pertama kali hadir di dunia.

Revan sering mendengar bahwa setiap insan yang lahir di dunia tergambarkan seperti kertas putih tanpa noda, suci tanpa dosa. Lantas, apakah kelahiran Revan juga demikian? Apakah kelahiran sang mama juga demikian? Jika memang demikian, kenapa banyak orang menyalahkan kelahiran dari dirinya dan juga sang mama?

Seiring dengan tempo yang berubah sedikit lebih cepat, Revan berdiri secara perlahan guna mempersiapkan diri untuk masuk pada tahapan warna selanjutnya. Pemuda itu berjalan dengan artistik ke bagian 'panggung' sebelah kanan, mengambil salah satu warna dasar dengan kedua tangannya, lalu kembali bergerak pelan secara dramatis hingga warna tersebut terlukis abstrak memenuhi sebagian kanvas di sisi kanan hingga bagian tengah.

Biru, sebuah warna yang memiliki makna ketenangan dan kepercayaan, tetapi juga dapat diintepretasikan sebagai lambang ketakutan dan keputusasaan.

Dalam hidup, sebuah kepastian dalam ketidakpastian yang dapat menjadi alasan agar kita mampu bertahan dalam situasi apa pun adalah rasa percaya. Percaya, dipercaya, dan kepercayaan. Bahkan sejak kita dilahirkan, lalu tumbuh, hingga dapat berdiri di atas kaki sendiri, tanpa disadari kita mempercayakan hidup kita pada orang-orang yang menganggap kita berharga dalam suatu ikatan darah ataupun tanpa ikatan darah. Namun, apabila takdir sedang tidak memihak, kita terpaksa mempercayakan ketidakpastian nasib pada orang-orang yang memang tidak menganggap eksistensi kita adalah sesuatu yang berharga. Sangat berkontradiksi, tetapi hal-hal tersebut memang nyata adanya di sekitar kita.

Pada warna biru yang terlihat menenangkan, Revan menggoreskan garis-garis tegas dan patah saling sejajar dalam satu tarikan dari kedua tangannya. Garis-garis yang mencerminkan suatu keterbalikan. Penggambaran rasa percaya yang dimiliki oleh Revan dan juga sang mama pada setiap alur kehidupan yang mereka jalani, tetapi juga tersirat ketakutan dan keputusasaan apabila rasa percaya itu terpatahkan oleh orang-orang yang tidak menganggap eksistensi kedua insan tersebut sesuatu yang berarti.

Namun di atas itu semua, selalu ada harapan pada setiap fase kehidupan yang telah terlewati.

Revan beralih pada spektrum warna paling terang di antara warna-warna yang ada. Pemuda itu berjalan sedikit tergesa menuju sisi kiri 'panggung', meraup cat berwarna kuning hingga memenuhi seluruh tangannya, lantas ia tumpahkan pada kanvas dengan gerak lukis sedikit lebih pasti daripada sebelumnya.

Kuning, perlambangan dari harapan dan juga kebahagiaan.

Seulas senyum tipis terpatri pada kedua sudut bibir Revan. Warna kuning akan selalu menjadi warna yang mengingatkan dirinya dengan sang mama. Warna yang selalu bisa memberi sedikit kebahagiaan kepada sang mama ketika biru sedang hadir pada waktu yang tidak pernah dapat terprediksi. Warna yang mampu membuat sang mama bertahan sedikit lebih lama, meski warna itu tidak pernah benar-benar mampu mencegah sang mama untuk mengambil suatu keputusan yang paling Revan takuti.

Amarah itu seketika memenuhi relung batin Revan. Kepalan tangan kanannya ia hantamkan pada alas kanvas. Dengan emosi yang mengalir pada seluruh denyut nadinya, pemuda itu berlari pada bagian belakang 'panggung' dan menumpahkan sebagian warna dasar terakhir dengan napas yang memburu.

Merah, simbol dari ketidaksabaran dan kemarahan.

Pada puncak spektrum emosi yang membara, Revan menyapu asal cairan warna merah itu dengan kedua tangannya, dengan kedua kakinya, bahkan dengan sebagian tubuhnya yang kini telah dipenuhi oleh warna-warna. Revan bahkan tidak peduli dengan dunia di luar kanvas yang mungkin tengah berspekuliasi terhadap apa yang sedang ia lakukan sekarang. Musik yang mengalun dalam tempo allegretto juga semakin menegaskan emosi yang kini Revan rasakan. Ia marah, sangat marah, ketika mengetahui fakta bahwa masih teramat sulit bagi dirinya dan juga sang mama untuk dapat diterima di lingkungannya. Memang ada beberapa orang yang masih peduli, tetapi luka yang tertoreh akibat hinaan dan makian dari orang-orang itu akan selalu terpatri dalam benak Revan, entah sampai kapan.

Lantas setelah semua emosi itu tercurahkan, intensitas gerak lukis Revan pun melandai seiring tempo musik yang Melodi mainkan lambat laun menurun. Revan bergerak mengambil keseluruhan warna dasar yang masih tersisa, dengan gerakan seolah teratih, lalu menumpahkan isi dari ketiga cat tersebut di tengah-tengah kanvas, pada pusat dari ketiga spektrum warna dasar yang telah terlukis sebelumya. Dengan gerakan yang tampak menyayat batin, Revan mencampur ketiga warna dasar itu hingga puncak dari keseluruhan warna terkomposisi dengan sempurna menjadi sebuah warna yang melambangkan akhir dari sebuah perjalanan.

Hitam, penggambaran dari emosi-emosi yang paling mendalam, yaitu kesedihan dan juga kematian.

Tidak ada orang yang bisa terbiasa dengan sebuah kematian. Membiasakan diri setelah kehilangan sosok yang sangat dicintai akan selalu menjadi perjuangan yang penuh luka. Seolah ada bagian yang hilang, tetapi tidak akan pernah bisa kembali diutuhkan. Sekali pun orang-orang berkata mereka telah mampu merelakan, pada malam-malam yang dingin, memori kelam itu bisa saja hadir dan membangkitkan kesedihan yang selalu berusaha ditutupi.

Kematian tidak adil yang dialami sang mama tidak dapat sedetik pun Revan lupakan. Jalan itu memang Mama yang memutuskan, tetapi tekanan negatif yang selalu Mama terima adalah alasan terkuat kenapa Mama memilih mengakhiri hidupnya seperti itu. Perjuangan yang telah mereka lakukan menjadi kesia-siaan semata. Pada akhirnya, Revan tetap kehilangan sosok yang paling ia cintai dengan cara yang paling Revan takuti.

Hidup selalu tidak berpihak pada sang mama, bahkan sejak beliau dilahirkan hingga sebuah akhir harus memutus jalan hidupnya.

Alunan musik yang Melodi mainkan hampir mencapai coda*, menjadi pertanda bahwa kisah yang ingin Revan sampaikan telah tercurahkan seluruhnya. Revan mengamati karya yang ia buat sekali lagi sebelum ia mengakhiri pertunjukan yang ia lakukan. Lantas dalam balutan nada-nada yang semakin merenggang, Revan kembali memosisikan dirinya menjadi meringkuk sebagai tanda bahwa pertunjukannya benar-benar telah berakhir.

Untuk beberapa saat, Revan tidak kunjung mengubah posisinya. Hening menyelimuti sekitar area pertunjukan secara magis, seolah mereka yang ada di sana ikut larut dalam emosi-emosi yang tengah Revan rasakan. Setetes air mata yang tiba-tiba mengalir adalah respon final dari seluruh emosi yang telah ia keluarkan. Begitu Revan memberikan hormat sebagai tanda terima kasih atas atensi yang telah ia terima dari seluruh penonton yang hadir, satu per satu tepuk tangan terdengar, menciptakan efek domino hingga semua penonton yang ada di sana tidak henti-hentinya memberi apresiasi, menjadi tanda bahwa kisah yang Revan sampaikan dapat menyentuh relung hati mereka.

Dengan batin yang masih terasa tidak menentu, Revan menggumamkan pesan pada seseorang yang kini berada pada tempat terbaiknya seraya menatap langit yang telah menggelap seluruhnya.

Ma, this is a story about you, the one I love the most. And finally, I decided to let them know how much I love you with these colors, even you are not here anymore.

🌻🌻🌻

"How do you feel right now?"

Satya yang sedari tadi menunggu Revan di ruang tunggu khusus untuk para pengisi acara live art langsung melontarkan pertanyaan pada sahabatnya itu begitu Revan terlihat telah membersihkan diri. Pemuda yang ditanyai tersebut hanya dapat mengembuskan napas dalam seraya duduk di samping Satya.

"Well ... I don't know. It's complicated."

"Is there any change?" tanya Satya sekali lagi.

Revan tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Hm, maybe."

Satya tidak bertanya lebih lanjut. Pemuda itu cukup mengerti bahwa apa yang tengah Revan rasakan kini adalah sesuatu yang cukup sensitif bagi diri Revan pribadi.

"By the way, Van, lo udah tahu, kan, kalau lukisan lo tadi juga bakal dipamerin di Musem Seni Rupa untuk beberapa minggu ke depan?"

Revan yang mendengar hal itu langsung menghadap sepenuhnya kepada Satya. "Hah?! Seriusan lo?!"

Satya menangguk pasti. Pemuda itu mulai menjelaskan kepada Revan dengan penuh semangat. "Karya lo sama beberapa karya lain yang tadi juga ikut tampil di sesi live art berhasil menarik perhatian salah satu kurator* Museum Seni Rupa. Beliau tadi langsung menghubungi salah satu penanggung jawab acara biar lukisan lo juga bisa ikut dipamerin di sana."

"What the—OH MY GOSH!" Revan tidak menyangka dengan kabar yang baru saja ia ketahui. "It's really a big opportunity for me."

"Exactly! Dan lo tahu, kan, apa artinya kalau karya lo bisa dipamerin di sana?"

Revan tahu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Satya, tetapi keterkejutannya saat ini membuat ia tidak mampu berkata-kata.

Satya pun kembali berujar, "Itu artinya, lo punya chance lebih besar biar bisa dapetin dukungan beberapa lembaga khusus dan terakreditasi buat bikin exhibition lo sendiri suatu saat nanti."

"For real?! Lo nggak lagi nge-prank gue, kan, Sat?"

Satu pukulan keras yang mendarat pada kepala Revan adalah validasi dari pertanyaan retoris yang baru saja pemuda itu lontarkan.

"Gue tahu lo lagi speechless sekarang, Van. Tapi gue nggak setega itu kali buat nge-prank lo untuk sesuatu yang serius kayak gini. Lo nggak percaya sama gue nih ceritanya?"

"Oke oke, gue percaya kok." Revan buru-buru meralat ucapannya, takut kalau Satya semakin merajuk dengan dirinya. "Gue masih nggak nyangka aja sama apa yang lo omongin tadi. Ini bener-bener kesempatan yang langka banget."

"You really deserve it!" ungkap Satya seraya menepuk pundak sahabatnya itu. "Dan lo nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini begitu aja."

"Alright. I know. Tanpa lo suruh gue juga nggak bakal nolak tawaran mereka."

"Nah, great! Untuk info selanjutnya bakal gue kasih tahu kalau infonya benar-benar udah clear."

Satu pesan yang masuk pada ponsel Satya membuat pemuda itu menghentikan percakapan yang tengah berlangsung. Setelah membaca isinya, Satya langsung bersiap untuk menemui salah seorang panitia yang sedang membutuhkan bantuannya sekarang.

"Gue harus cabut buat nemuin beberapa anak LO lain. Lo mau di sini aja atau gimana?"

"Rencananya gue bakal nyusul Melodi buat nonton closing ceremony bareng. Dia lagi sama Feli di ruang tunggu anak orkes sekarang."

Satya menggangguk pelan. "Hm, oke deh kalau gitu."

Lantas sebelum ia benar-benar pergi dari sana, Satya bertanya sekali lagi kepada Revan dengan sedikit keraguan dalam nada bicaranya. "You are okay with Melodi, right?"

"Maksudnya?" tanya Revan tidak mengerti.

"Hng ... nothing." Satya buru-buru mengalihkan percakapan sebelum ucapannya barusan disalahartikan oleh Revan. "Well ... have fun, ya. Ntar kalau emang bisa, gue sama Arka bakal nyusulin kalian di sana."

🌻🌻🌻

"THAT WAS SO AMAZING!"

Feli tidak henti-hentinya meneriakkan frasa tersebut meski sekarang mereka telah berada di ruang tunggu khusus untuk para pemain orkestra. Melodi bahkan sampai merasa tidak enak hati karena beberapa anak orkestra yang ada di sana tampak sedikit terganggu oleh celotehan Feli yang terlalu bersemangat. Meski demikian, gadis itu tetap mendengarkan seluruh ucapan Feli sebagai rasa terima kasih karena sahabatnya itu telah memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap dirinya.

Melodi sedang melepas wig-nya ketika Feli kembali berseru, "Lo tahu??? Orang-orang di sana bahkan sampai speechless liat penampilan lo berdua!"

Anggukan pelan dari Melodi adalah respon yang membuat Feli kembali melanjutkan celotehannya.

"Dan lo tahu apa yang paling bikin gue nggak bisa move on dari tadi???"

Feli memberi tatapan penuh tanya kepada Melodi sehingga mau tidak mau gadis itu harus memberikan tanggapan dengan segera.

"Apa?"

Senyum Feli tampak semakin merekah. "The magical vibes! Lo nggak sadar, kan, kalau nuansa yang ada di sana tadi bener-bener mendukung performance kalian berdua?"

"Hng ... enggak," jawab Melodi lugas.

Feli menggelengkan kepala seraya mendekatkan tempat duduknya ke arah Melodi.

"Wajar sih, lo tadi kelihatan fokus dan menghayati banget pas main piano."

"Ya gimana gue bisa ngerti maksud lo yang berada di posisi penonton," gerutu Melodi. "Lo kan tahu sendiri, kalau sekalinya gue main piano gue bakal fokus banget dan kadang sampai nggak sadar sama apa yang terjadi di sekitar gue."

"Ya ya ya ... gue ngerti kok." Feli mengangguk pelan. Gadis itu kembali melanjutkan perkataannya, "Yang bisa bikin gue bilang kalau performance kalian kayak ada the magical vibes-nya tuh karena perubahan mood musik lo sama performance-nya Kak Revan benar-benar menyatu sama perubahan cahaya langit! Kayak ... secara ajaib lo dapetin natural mood lighting yang bisa menyesuaikan performance kalian tadi. And that was still amazed me!"

"Ah, lebay lo!"

"Ih, gue serius, Mel! Nggak percaya banget sih lo sama gue."

"Ya udah. Gue percaya deh sama lo."

"Ck, nggak ikhlas banget jawabnya."

Melodi yang sedang merapikan rambutnya lantas menaruh atensi pada Feli sepenuhnya. Gadis itu tersenyum kecil karena merasa gemas dengan Feli.

"Emang gue harusnya gimana?"

Feli tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, mengutak-atiknya sesaat, lalu memberikan ponsel tersebut kepada Melodi.

"Nih, gue udah ngerekam performance lo tadi. Baik banget, kan, gue? Lo bakal ngerti sama apa yang gue maksud kalau lo udah selesai nonton ulang performance lo sama Kak Revan di video itu."

Melodi mengiakan saja perintah tersirat dari Feli tersebut. Gadis itu masih belum bisa mengerti apa yang dimaksud Feli pada awal-awal video. Namun ketika Melodi baru saja mendapatkan poin penting dari seluruh penjelasan Feli sebelumnya, fokus Melodi terpecah ketika ia tidak sengaja mendengar keributan yang tiba-tiba terjadi di ruangan tersebut.

"Kita nggak mungkin batalin performance gue sama Lana."

"Terus siapa yang bisa gantiin posisinya Lana? Nggak ada, Sonya."

"Tapi lo tahu, kan, kalau kita batalin performance gue sama Lana resikonya gede banget?"

Melodi yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi lantas mendekati Feli yang ternyata sudah bergabung dengan kerumunan di sana.

"Ada apa sih, Fel?" tanya Melodi penasaran.

Feli menjawab tanpa memutus pandangannya dari orang-orang yang sedang berdebat di depan mereka, "Lana, partner perform-nya Sonya di acara closing ceremony nanti tiba-tiba nggak bisa perform. Dia kecelakaan waktu perjalanan ke sini gara-gara motornya nggak sengaja keserempet mobil yang lagi ngebut."

"Oh my God .... Terus kondisi Lana sekarang gimana?"

"Ada cedera di kaki, tapi selain itu nggak pa-pa, sih. Cuma kan dia jadi nggak bisa perform. Mr. Gatra lagi nyusul Lana di rumah sakit buat mastiin kondisi Lana sekarang."

Melodi mengangguk paham. Perdebatan di depan mereka masih terus berlanjut, membuat Melodi sedikit mengernyitkan dahi.

"Kalau gitu, kenapa sekarang mereka masih berdebat? Kan nggak masalah kalau Lana sama partnernya nggak jadi perform. Toh Lana nggak bisa perform karena kecelakaan, sesuatu yang seharusnya bisa dimaklumi."

Feli menggeleng pelan. "Masalahnya nggak sesederhana itu, Mel."

"Maksudnya?" tanya Melodi masih tidak mengerti.

Kini Feli memberikan seluruh atensinya kepada Melodi seraya menjelaskan dengan intonasi sedikit lebih rendah, tetapi masih bisa didengar oleh Melodi. "Dari apa yang gue tahu, sebenarnya strings duo performance yang bakal ditampilin Lana sama Sonya tuh nggak ada di dalam rundown acara."

"Hah? Terus?"

"Strings duo performance itu sebenarnya permintaan khusus dari salah satu sponsor di acara ini."

"Ah, I see .... Kalau kayak gitu ribet juga ya."

Feli mengangguk, membenarkan. "Tapi, Mel, masalahnya tuh nggak cuma berhenti di situ aja."

"Loh? Emangnya kenapa?"

"Yang jadi masalah sekarang tuh, pihak sponsor yang minta performance khusus itu juga merupakan salah satu sponsor tetap komunitas orkestra di kampus kita."

Melodi agak sedikit terkejut dengan fakta yang baru saja ia dengar.

"Oh gitu. Pantes aja perdebatan mereka dari tadi nggak selesai-selesai," ujar Melodi seraya mengembuskan napas pelan, ikut merasakan kekalutan yang ada meski dirinya bukanlah bagian dari anggota komunitas orkestra. "Tapi, Fel, bukannya bakal lebih baik kalau mereka mengkomunikasikan dulu sama pihak sponsor itu? Siapa tahu mereka bisa memaklumi situasi nggak terduga kayak gini."

"Harusnya sih bisa dimaklumi."

"Harusnya? Kenapa lo ngomongnya kayak gitu?"

"Gue nggak tahu siapa dan dari pihak mana sponsor yang mereka maksud itu, tapi dari apa yang gue denger, buat komunikasi sama mereka tuh susah banget," ujar Feli masih dengan intonasi yang sama dengan sebelumnya. "Keputusan yang udah mereka bikin nggak bisa diganggu gugat dan kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi kalau misalnya keputusan yang telah disepakati dilanggar gitu aja, entah itu beralasan atau enggak."

Kini, Melodi sudah paham duduk perkara yang ada. Gadis itu tidak mencari tahu lebih lanjut karena ia merasa masalah itu ada di luar urusannya. Melodi hendak kembali ke tempat duduknya semula, tetapi seruan dari seorang gadis yang sedari tadi masih berdebat kembali menarik atensinya.

"Di antara kalian masa nggak ada yang bisa gantiin Lana?!"

"Nggak bisa, Sonya. Kan gue udah bilang. Anak-anak lain belum pernah ada yang mainin aransemen lagu itu."

"Sight reading* kan bisa, nggak perlu ngapalin. Lagian, kalian kan udah sering dengerin lagunya selama gue sama Lana latihan."

"Oke, beberapa di antara kita mungkin emang ada yang skill sight reading-nya lebih bagus daripada yang lain. Tapi bukan berarti kita bisa perform lagu itu sekarang juga tanpa latihan intensif sama sekali."

"Oh God! Nilai sight reading kalian berapa sih sampai kayak gitu aja nggak bisa?!"

Atensi Melodi benar-benar teralih. Seruan terakhir yang diutarakan Sonya tersebut membuat Melodi mengepalkan kedua tangannya, merasa terusik dengan letupan amarah yang hadirnya tidak dapat Melodi kendalikan. Lawan bicara Sonya atau pun anak-anak orkestra yang lain juga tidak ada yang memberi tanggapan dengan segera hingga membuat suasana alot yang ada terasa kian mencekam. Lantas dengan napas yang sedikit terasa sesak, Melodi berani menghampiri Sonya hingga membuat seluruh pasang mata yang di sana sontak terpaku pada mereka berdua.

"Still need a help?"

Sonya terlihat sedikit terkejut dengan kehadiran Melodi yang tiba-tiba.

"Melodi? What do you mean?"

Melodi menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, "I heard you need someone who can replace Lana to perform this night. Do you still need that?"

Sonya tiba-tiba tertawa keras, tetapi sorot matanya tidak menampakkan suatu keramahtamahan pada Melodi. "Don't make me laugh! Is it a sign that you wanna play the violin part to replace Lana?"

Melodi mengangguk pasti. "Yes, I am."

Jawaban Melodi yang terdengar penuh keyakinan tersebut membuat yang lain ikut terkejut, tidak terkecuali Feli yang kini tengah menutup mulut dengan telapak tanggannya sebagai respon rasa tidak percaya.

"Are you crazy?! What's on your mind?!"

Melodi berusaha menjaga ketenangannya, meski Sonya masih saja memandang dirinya dengan sebelah mata.

"You know who can play it as well as it should, right? So, let me play the violin part with you to save your performance."

Tatapan tajam Sonya semakin menghunus kedua netra Melodi.

"But you have never played your violin again for more than five years! How can I believe in you?!"

"Do you have any better idea right now?"

Pertanyaan telak itu membuat Sonya tidak mampu berkata-kata. Masih dengan sedikit sesak pada rongga dadanya yang sedari tadi berusaha ia kendalikan, Melodi kembali melanjutkan perkataannya hingga membuat yang lain tidak berani mengusik teritorial antara Melodi dan Sonya.

"For this moment, please give me a chance to help you, to play 'Ah Vous Dirai-je Maman' again ... as your partner."

|
|
|
|
|
|
|

🔵

Live Painting Performance
[Abstract Expressionism Painting]

🌻🌻🌻

Keterangan:

1. Sand painting: seni lukis dari pasir berwarna, pigmen berbentuk bubuk dari minerals atau kristal, dan pigmen-pigmen dari sumber alam atau sintesis lainnya.

2. Coda: bagian akhir dari sebuah lagu.

3. Kurator: pengurus atau pengawas institusi warisan budaya atau seni, misalnya museum, pameran seni, galeri foto, dan perpustakaan. Kurator bertugas untuk memilih dan mengurus objek museum atau karya seni yang dipamerkan.

4. Sight reading: kegiatan membaca lagu dan memperagakannya secara langsung dari partitur tanpa mengetahuinya terlebih dahulu.

🌻🌻🌻

A/N:

Halo semuanya, apa kabar?

Duh, rasanya aneh banget nulis author note kayak gini. Mohon dimaklumi ya kalau kesannya agak kaku >.<

Setelah membaca bab ini, menurut kalian gimana?

Jujur, bab ini tuh termasuk bab paling rumit yang pernah aku tulis. Rumit, karena aku berusaha menuliskan tiap detailnya sesuai dengan apa yang aku bayangkan, tapi masih dalam bahasa yang mudah dimengerti. Banyak kesulitan yang aku temui dalam proses penulisan bab ini, jadi kalau ada bagian-bagian yang sekiranya kurang tepat, kalian bisa kasih tahu aku lewat komentar atau DM. Aku akan sangat senang kalau ada yang kasih kritik membangun dari apa yang aku tulis. Kalau mau diskusi hal lain juga boleh banget kok ^^

Aku emang nggak se-expert Melodi, tapi boleh lah ya aku nyelipin video hasil gabutku hehe...

Hng, adakah di sini yang juga SM stan atau kpopers? Kuy mutualan di twitter. Ini uname-ku '@/melodiesindream' :D

Oh ya. Aku tahu ini nggak related sama ceritanya. Tapi dua foto ini tuh gemes banget! Jadi aku juga mau kasih tahu ke kalian :3

Oke deh, kayaknya segitu aja. Stay safe, ya! Jangan lupa tetap patuhi prokes karena coronceh ini masih ada di mana-mana huhuuu :(((

See you on the next chapter ~~~

🌻🌻🌻

-tbc

Semarang, 2 November 2021

Continue Reading

You'll Also Like

Cafuné By REDUYERM

General Fiction

49.6K 5.1K 25
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
3.7M 77.2K 49
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
53.3K 2.6K 22
Rafael William Struick,seorang pemain bola Keturunan,yang kemudian sumpah WNI.Hingga dirinya bisa membela Timnas Indonesia.Pemain berdarah Indonesia...
1M 48.3K 47
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...