Melodi Dua Dimensi [ON GOING]

By DestianaRika

5.3K 1.1K 1.1K

Ketika asa mulai terasa berjarak, dia datang dan melukiskan harapan yang tak pernah terpikirkan oleh Melodi s... More

Prelude
#01 - Dua Dimensi
#02 - Tempo
#03 - Blue Melodies
#04 - The Handkerchief
#05 - Sweet Scale
#06 - Black Notes
#07 - Paradox
#08 - In the Middle of the Rain
#10 - The Color Journey
#11 - Contradiction
#12 - Strings Duo
A/N
#13 - Pandora Box
#14 - Little Conversation
#15 - Invitation

#09 - D-Day

155 52 42
By DestianaRika

Jalanan Kota Tua siang ini dipenuhi orang-orang dari beragam latar belakang yang ingin menghabiskan waktu akhir pekan mereka. Sebagian dari mereka tampak berjalan-jalan santai sambil menikmati bangunan tua peninggalan kolonial Belanda tersebut, sedangkan sebagian lain memang mengkhususkan diri untuk datang guna melihat pameran seni dan beragam pertunjukan yang telah dipersiapkan oleh panitia acara Festival Seni Nasional tahun ini. Acara dua tahunan tersebut memang selalu menarik perhatian berbagai pihak, bukan hanya mereka yang terlibat dalam rangkaian acara itu saja, tetapi juga masyarakat yang ingin mengenal lebih jauh tentang beragam seni yang ada di seluruh penjuru nusantara maupun seni yang terkenal dari mancanegara.

Di bawah naungan pohon yang rindang, Revan duduk pada bangku taman kota sambil meminum ice americano yang baru saja ia beli beberapa saat yang lalu. Menipisnya jam tidur yang ia miliki di malam sebelumnya membuat pemuda itu membutuhkan kafein agar fokusnya dapat tetap terjaga. Satya yang sedari tadi menemani dirinya sejak ia datang ke lokasi acara terlihat sibuk dengan tablet miliknya, seolah sedang memastikan beberapa hal dan berkoordinasi dengan rekan sesama panitia acara.

"Nah, Van ... lo lihat area di depan Museum Seni Rupa itu?" Satya bertanya seraya menujuk salah satu bangunan berwarna putih yang terletak tepat di bagian utara taman kota. Revan yang merasa kepanasan karena sinar matahari yang terlalu menyengat hanya mengangguk pelan sambil tetap mendengarkan penjelasan dari sahabatnya itu.

Satya melanjutkan dengan semangat yang masih menggebu, "Itu area yang bakal jadi panggung terbuka buat sesi live art nanti sore. Belum ada setting apa-apa soalnya properti yang dipakai emang nggak banyak dan nggak terlalu ribet kayak mini performance musik atau tari kemarin. Karena lo bakal tampil di urutan terakhir, properti yang lo butuhin bakal disiapin setelah penampilan sebelum lo kelar."

"Termasuk keyboard dan sound system yang dibutuhkan Melodi?" tanya Revan memastikan seraya memasang tampang serius. Kedua hal yang disebutkan Revan sebelumnya juga termasuk properti penting. Apabila terjadi kendala pada perangkat elektronik tersebut, bisa dipastikan performance yang dibawakan Revan akan berakhir gagal total.

Tentu saja Revan tidak berharap demikian. Pemuda itu tidak ingin seluruh persiapan yang telah mereka lakukan menjadi sia-sia.

"Well ... you don't have to worry," jawab Satya dengan intonasi yang menenangkan. "Semua kesiapan properti lo udah gue cek berulang kali dan nggak ada masalah apa pun, termasuk keyboard dan sound system yang lo maksud tadi. Gue juga udah koordinasi sama anak perkap buat nyiapin apa aja yang lo butuhin sesuai dengan instruksi gue. Yang perlu lo lakuin sekarang cuma fokus sama performance lo dan ekspresiin semua perasaan lo ke dalam lukisan yang bakal lo buat nanti."

Anggukan pelan yang diberikan oleh Revan menjadi tanda bahwa seluruh penjelasan dari Satya telah ia pahami dengan baik. Pemuda itu memilih untuk menghabiskan ice americano yang masih tersisa seraya mengamati lokasi festival yang ada di sekitarnya.

Acara Festival Seni Nasional tahun ini mengusung tema 'Diversity' yang mana setiap perbedaan dari beragam seni yang dipamerkan dan dipertunjukkan saling berkolaborasi satu sama lain hingga membentuk suatu ragam seni baru. Sama seperti yang akan dipertunjukkan oleh Revan nanti. Ia akan menampilkan proses lukis abstract expressionism painting secara langsung dengan diiringi live music yang akan dibawakan oleh Melodi. Gerak lukis yang akan ditampilkan Revan nanti juga tidak dilakukan secara asal. Pemuda itu akan memadukan gerak dasar tari kontemporer* pada tiap gores lukis yang dibuat agar cerita di balik lukisan yang ingin ia tunjukkan dapat diterima dengan baik oleh penonton.

Revan masih saja mengamati sekelilingnya ketika Satya kembali bersuara, "By the way, Van, jam berapa Melodi bakal sampai sini?"

"Sekitar jam setengah tiga-an kayaknya," jawab Revan sambil melihat jam tangan yang melingkari lengan kirinya.

"Hah? Sore banget. Emang dia lagi di mana sekarang?"

"Katanya sih lagi di salon sama Feli."

"Di salon? Ngapain?"

"Ck, masa yang kayak gini perlu gue jelasin, sih?" Revan menanggapi dengan sedikit menggerutu. "Ya girls' things, lah! Emang kalau cewek ke salon tuh ngapain?"

"Ya ... nyalon?" jawab Satya clueless sambil menggaruk salah satu pelipisnya.

"Nah, itu tahu. Intinya gitu deh. Melodi sama Feli bakal ke sini kalau urusan mereka di salon udah kelar."

"Ah, I see ...," celetuk Satya seraya mengusap dagunya. Pemuda itu kembali melanjutkan, "Yang penting jangan sampai telat deh. Sesi live art-nya kan bakal dimulai jam setengah empat. Gue cuma pengen Melodi ngecek apa yang dia butuhkan sekali lagi sebelum kalian perform biar semuanya lebih clear, jadi kalau ada apa-apa anak perkap bisa langsung nyiapin hal-hal yang emang diperlukan."

Revan mengangguk paham. "Hm ... okay. Nanti gue bilangin ke Melodi."

🌻🌻🌻

"Is it too much?"

Melodi memperhatikan pantulan dirinya dalam cermin yang penuh dengan pencahayaan. Gadis itu beberapa kali menyentuh helaian rambutnya, merasa tidak yakin dengan penampilannya hari ini. Beberapa staf dari salon yang ia dan Feli kunjungi telah selesai merias dirinya beberapa saat yang lalu dengan hasil kerja yang cukup bagus—well ... sangat bagus malah. Hanya saja, sentuhan tidak biasa yang mereka berikan membuat Melodi sedikit merasa tidak percaya diri.

"Emang kenapa, Mel? Lo cantik gitu, kok. Make up lo juga nggak yang aneh-aneh banget." Feli menanggapi seraya melirik Melodi dari tempatnya duduk. Staf wanita yang ada di dekat gadis itu masih sibuk merias wajah Feli.

"Tapi ... rambut pendek?" tanya Melodi sekali lagi dengan keraguan yang menyelimuti nada bicaranya.

"Ya elah, Mel. Kenapa respon lo gitu, sih? Lagian itu kan cuma wig. Lo bisa lepasin itu kapan aja pas perform lo udah kelar."

Melodi kembali meyentuh rambut baru yang kini melekat pada kepalanya. Sesaat sebelum ke salon, gadis itu hanya mengiakan saja segala saran Feli terkait penampilan Melodi untuk perform nanti. Hanya saja, Melodi tidak menyangka kalau Feli akan mempersiapkan segalanya sampai sejauh ini. Melodi bahkan tidak berpikiran sampai ke sana supaya identitas dirinya tidak dikenali siapapun saat perform—terutama dari sudut pandang Mama kalau saja video performance-nya nanti tidak sengaja tersebar dan sampai di tangan sang mama. Namun, sesuatu yang tergeletak pada meja rias yang ada di hadapan Melodi adalah penyebab utama kenapa gadis itu mengembuskan napas berkali-kali.

"Hng ... okay. Not bad lah karena wig-nya juga nyaman dipakai," ujar Melodi seraya mengedikkan bahu. Gadis itu kembali melanjutkan seraya menunjuk benda yang sedari tadi membuat Melodi dipenuhi tanda tanya. "Tapi Fel, lo yakin gue juga harus pakai ini?"

Feli mengikuti arah pandang yang ditunjukkan Melodi. Gadis itu menangguk dengan semangat meski wanita yang sedang merias dirinya beberapa kali memberi peringatan untuk tetap diam dan mempertahankan posisi wajahnya agar make up-nya dapat cepat terselesaikan.

"Of course! Perfect banget, kan, ide gue? Orang-orang pasti nggak akan ngenalin lo kalau lo pakai topeng yang gue pesan secara khusus buat lo." Feli berujar dengan penuh antusias.

Melodi mengambil benda yang memiliki beragam detail ornamen tersebut—sebuah topeng mata berwarna putih transparan dengan bentuk menyerupai siluet kupu-kupu. Melodi mencoba memakainya secara perlahan. Gadis itu memperhatikan bayangannya dalam cermin sambil beberapa kali menolehkan kepalanya ke kiri maupun ke kanan agar detail topeng tersebut dapat ia perhatikan dengan lebih cermat.

"You look so gorgeous, seriously!" Feli berseru heboh setelah ia selesai dengan make up-nya. Gadis itu memutar kursi yang sedang ia duduki agar posisinya dapat berhadapan dengan Melodi.

"But I still think it's too much for me," ujar Melodi kembali meragukan dirinya sendiri. "Orang-orang bakal mikir yang aneh-aneh nggak sih kalau penampilan gue kayak gini?"

"Ya jelas enggak, lah! Kan gue udah bilang. Lo tuh bakal perform di sesinya anak seni rupa bebas berekspresi. Kalau orang-orang sampai nyinyirin lo karena penampilan lo yang keren ini, bisa dipastikan ada sesuatu yang salah sama isi otak mereka."

Melodi tergelak pelan. Untuk kali ini, gadis itu setuju dengan seluruh pernyataan Feli.

"Lagian nih ya, gue nyariin kostum sama mesenin lo topeng mata itu tuh nggak sembarangan." Feli melanjutkan celotehannya tanpa jeda. "Konsep musik sama cerita yang bakal lo dan Kak Revan bawain nanti kan tentang perjalanan kehidupan yang digambarkan melalui warna-warna, jadi detail ornamen berbentuk air itu juga merepresentasikan lambang dari kehidupan itu sendiri. Well, makhluk hidup mana sih yang bisa hidup tanpa air?"

Melodi masih saja mengangguk seraya tetap mendengarkan penjelasan dari Feli.

"Untuk masalah kostum lo hari ini juga udah gue diskusikan sama Kak Revan, kok. Warna putih yang Kak Revan pilih tuh juga nggak sembarangan. Kalau diperhatikan dari keseluruhan cerita yang pengen disampaikan Kak Revan di pertunjukan nanti, lo pasti bisa ngerti alasan kenapa Kak Revan memilih warna putih sebagai tema warna kostum kalian."

Melodi berpikir sejenak. Memang benar apa yang dikatakan Feli. Secara pribadi, Melodi sudah beberapa kali mendapatkan briefing dari Revan terkait pertunjukan yang akan mereka bawakan nanti, jadi seluruh pernjelasan Feli terkait kostum yang Melodi kenakan hari ini terasa masuk akal dan tidak sembarangan—meski gadis itu masih merasa seluruh detail ornamen pada kostum yang ia kenakan sekarang terasa berlebihan. Namun, Melodi sangat menghargai upaya Feli untuk membantu dirinya dalam pertunjukan kali ini. Kalau bukan karena sahabatnya itu, Melodi juga tidak tahu bagaimana harus mempersiapkan segala kebutuhan pertunjukannya hari ini seorang diri.

"Thank you so much, Fel. Effort lo gede banget cuma buat bantuin gue hari ini."

"Loh, ini tuh nggak 'cuma' lho, Mel. Enak aja gue bantuin lo sampai seribet ini dengan cuma-cuma."

"Hah? Jadi lo minta imbalan dari gue?"

"Ya iya lah! Lo kan juga tahu kalau di dunia ini tuh nggak ada hal yang gratis gitu aja."

Melodi speechless. "Gitu, ya? Emang lo pengen gue kasih balasan apa?"

Seringai tipis perlahan tampak dari salah satu sudut bibir Feli. "Tunjukin ke orang-orang bahwa musik yang lo bawakan nanti bisa menyentuh hati orang-orang, terlepas dari performance Kak Revan yang sudah pasti bakalan keren banget."

Melodi terdiam sejenak. Lantas setelah ia memahami maksud dari pernyataan Feli, gadis itu tertawa seketika.

"Well ... I'll try my best," jawab Melodi lugas, meski di lubuk hatinya yang paling dalam gadis itu masih memiliki sedikit keraguan. Namun, Melodi juga akan berusaha sebaik mungkin untuk tampil dengan mengerahkan seluruh perasaannya agar musik yang ia bawakan hari ini bukan hanya sebatas musik iringan yang akan memandu gerak lukis milik Revan. Setidaknya, cerita di dalam musik yang akan ia mainkan nanti harus tersampaikan dengan baik supaya penampilan dirinya dan Revan dapat membekas di hati para penonton.

🌻🌻🌻

Revan beberapa kali melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dengan sedikit gelisah. Pemuda itu juga berkali-kali mengamati setiap pengunjung yang melintasi area Museum Seni Rupa, berharap seseorang yang sedang sangat ia nantikan sekarang segera menampakkan batang hidungnya. Melodi memang mengatakan bahwa ia telah berada di lokasi festival, tetapi hingga sepuluh menit setelahnya gadis itu masih saja belum datang.

Satya yang sedari tadi setia menemani dirinya pun kembali bertanya dengan nada sedikit mendesak, "Gimana? Melodi udah sampai mana?"

Revan menjawab setelah mengembuskan napas pelan, "Katanya tadi masih cari parkiran di sekitar sini."

"Suruh dia cepetan dikit, Van. Anak perkap udah menghubungi gue terus dari tadi."

"Ya ya ya. Ini gue telepon dia lagi—"

Belum sempat Revan menekan tombol dial pada ponselnya, sepasang matanya menangkap siluet gadis yang sedari tadi ia tunggu. Pemuda itu akhirnya dapat bernapas dengan lega.

"Sorry ya Kak, kita agak telat. Jalanan buat masuk ke area parkir macet banget tadi. Sopir gue bahkan terpaksa nurunin kita dulu di deket sini biar kita nggak tambah telat." Feli memberikan penjelasan tanpa jeda, sangat khas seorang Feli apabila sedang merasa terdesak.

"Well ... okay. Yang penting kalian udah sampai sini sekarang." Tatapan Satya beralih pada Melodi yang berdiri tepat di belakang Feli. "Lho, Melodi, lo potong rambut?"

Revan yang tadi tidak terlalu memperhatikan penampilan Melodi kini menatap lekat pada gadis itu. Dalam balutan jaket berwarna hijau dengan tudung kepala yang menutupi seluruh rambutnya, Revan baru menyadari ada yang berbeda dari penampilan Melodi karena celotehan Satya. Gadis itu tampak membuka tudung kepala yang ia kenakan seraya menampilkan seulas senyum tipis begitu Satya ingin mengkonfirmasi lebih jauh.

"Maksud Kak Satya ini?" Melodi menunjuk pada ujung rambut barunya yang hanya mencapai pundak. "Ini bukan rambut asli gue kok, Kak."

"Hah? Kalau bukan rambut asli, terus—"

"Itu namanya wig, Kak. Masa gitu aja nggak tahu, sih?" Feli menimpali sambil memutar kedua bola matanya.

"Ah, sorry. Gue cuma kaget aja sama penampilan Melodi yang tiba-tiba berubah. Gue kira Melodi potong rambut beneran."

"Ini tuh namanya totalitas biar performance Melodi dan Kak Revan nanti tambah keren."

Melodi tersenyum simpul mendengar penuturan Feli. Melodi tahu bahwa sahabatnya itu hanya sedang memberikan penjelasan paling logis agar dirinya tidak perlu repot-repot memberi tahu alasan sebenarnya kenapa ia berpenampilan demikian. Meskipun orang-orang tidak bertanya secara eksplisit, pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan selalu membuat penasaran ketika seseorang tiba-tiba mengubah penampilannya secara signifikan.

"But you look beautiful with your short hair, Melodi. It really suits on you."

Melodi tercenung mendengar pujian dari Revan secara tiba-tiba. Gadis itu beralih menatap Revan sepenuhnya seraya tersenyum kikuk.

"Uhm ... thank you."

Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat setelahnya. Waktu yang berjalan seolah mendadak terhenti, tergantikan bising dari orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Satya yang menyadari bahwa ada hal mendesak yang harus segera mereka lakukan lantas memutus koneksi tak kasatmata antara Melodi dan Revan.

"Iya, Van, gue juga tahu kalau Melodi tuh cantik. Tapi ngeliatinnya jangan sampai segitunya, elah. Melodi kan juga harus nemuin anak perkap sekarang biar preparation buat performance kalian nanti benar-benar clear."

Revan mendadak tersadar dari lamunannya. Pemuda itu segera mengkondisikan ekspresinya agar kembali terlihat biasa saja.

"Ah, bener juga." Revan buru-buru menjelaskan maksud ucapan Satya kepada Melodi agar yang lain tidak menyadari bahwa dirinya sedang menahan malu sekarang. "Nah, sama kayak yang udah gue bilang di-chat tadi, Melodi. Kita udah ditunggu sama anak perkap buat ngecek properti yang bakal dipakai nanti, termasuk keyboard sama setting sound sytem yang lo butuhin. Jadi, kita harus nemuin anak perkap sekarang sama Satya buat koordinasi yang terakhir kali."

"Okay, I got it. Sorry karena keterlambatan gue malah bikin semuanya jadi keteteran," ungkap Melodi penuh penyesalan.

"You don't need to. Yang penting sekarang kita harus nemuin anak perkap bareng Satya."

Satya memandu Melodi dan Revan agar mengikuti arah langkahnya. Feli yang sedari tadi menangkap gestur serta ekspresi tidak biasa dari Melodi dan Revan hanya tersenyum penuh arti seraya bergumam lirih, "How cute they are."

|
|
|
|
|
|
|

🟢

🌻🌻🌻

Keterangan:

1. Tari kontemporer: jenis tarian yang terpengaruh dampak modernisasi serta bersifat bebas dan tidak terikat oleh ketentuan gerak sebagaimana pada tari tradisional maupun ketentuan tari pada umumnya.

🌻🌻🌻

-tbc

Semarang, 20 Oktober 2021

Continue Reading

You'll Also Like

311K 39.8K 54
Prisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jik...
32K 129 25
Cerita dewasa, 21+ Evezyn Nielson sangat frustrasi dalam menghadapi rencana pernikahan dengan tunangan berengseknya. Ia tak ingin mengikat janji suci...
5.5M 271K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
52.4K 4.6K 62
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.