Kemilau Revolusi

By romanceholic

101K 16.9K 5.6K

❤️ Cryptic Ops. Vol.1 Saat berusia tujuh tahun, Kemilau Gemintang Pertiwi pernah diculik oleh penjahat sadis... More

Prolog
Bagian 1 : -Lelaki Getir-
Bagian 2 : -Wanita Bermasalah-
Bagian 3 : -Aftershave-
Bagian 4 : -Undercover-
Bagian 5 : -Balah-
Bagian 6 : -Eidetik-
Bagian 7 : -Giris-
Bagian 8 : -Klandestin-
Bagian 9 : -Cryptic Ops-
Bagian 10 : -Terang Laras-
Bagian 11 : -Konsensual-
Bagian 12 : -Ganar-
Bagian 13 : -Jentaka-
Bagian 15 : -Dissosiatif-
Bagian 16 : -Kilau-
Bagian 17: -Belantara-
Bagian 18 : -Altschmerz-
Bagian 19 : -Stratagem-
Bagian 20.1 : -Radiks-
Bahkan 20.2 : -Radak-
Bagian 20.3 : -Radu-
Epilog
💛 CO Vol.2 Binar Sanubari

Bagian 14 : -Liberosis-

3.9K 739 235
By romanceholic


Suara petikan gitar akustik membangunkan Mila dari tidur panjangnya. Mila lega bisa terbangun di tempat yang sama seperti ketika ia pergi tidur, meskipun ia sedikit kecewa karena ranjang di sisinya sudah kosong, seolah tidak pernah di tempati.

Suara senar gitar yang mengalun lembut semakin menghipnotisnya untuk tetap berbaring. Mila memejamkan mata, ikut terhanyut dalam getaran gairah dari nada harmonik yang dipetik pemainnya.

"Suara yang indah, bukan?" Mata Mila terbuka dan langsung terarah ke pintu masuk tempat Kristal muncul dengan setumpuk pakaian bersih di tangan kanan, dan sepatu boot kulit berwarna cokelat di tangan kiri.

Penampilan Kristal hari ini tidak jauh berbeda dari kemarin. Celana kargo dan atasan kaos. Namun, kali ini kausnya tanpa lengan. Rambutnya yang panjang dikuncir tinggi-tinggi di puncak kepala.

"Apa itu suara rekaman?" Mila bangkit duduk. "Kedengarannya, dia sangat profesional."

"Bukan rekaman, itu Wolf." Ingatan Mila langsung tertuju pada sosok seorang lelaki berambut gondrong. "Wolf bermain gitar hanya untuk bersenang-senang," imbuh Kristal memberitahu.

"Wolf bisa main sebagus itu?"

"Yeah, dia sangat mencintai gitarnya."

"Oh? Apakah ada yang membuat dia senang pagi ini?"

"Dia menggoda Bear. Semua orang tahu Bear tidur di sini dan bertanya-tanya apa yang dia lakukan semalaman." Kristal tersenyum lebar seraya membantu Mila berjalan menuju wastafel di sisi lain ruangan untuk membersihkan diri.

"Apa semalam terjadi sesuatu?" tanya Kristal penasaran.

"Menurutmu?" Mila mencebik, lalu mengambil sikat gigi yang masih terbungkus. Semalam Mila harus puas hanya dengan berkumur karena wajahnya terlalu sakit untuk sekadar membuka mulut.

"Tidak." Kristal menyandarkan punggungnya di dinding dan bersedekap menghadap Mila. "Membayangkan dia melakukan hal yang pria normal bisa lakukan rasanya mustahil."

"Kenapa mustahil?"

"Entahlah. Mungkin karena selama ini aku mengenal Bear sebagai sosok ksatria tangguh yang tidak berperasaan. Kehadirannya saja bisa membuat musuh merasa terancam. Sulit membayangkan Bear―"

"Aku mengerti maksudmu." Mila berkumur dan membersihkan muka dengan hati-hati.  "Semua manusia pasti memiliki sifat manusiawi. Jika tidak terlihat, mungkin dia sengaja menyembunyikannya di suatu tempat."

"Menurutmu begitu?"

"Tentu saja."

"Ah benar. Psikolog sepertimu tentu tahu hal semacam itu." Kristal mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kenapa? Apa kamu mengenal seseorang yang menurutmu tidak manusiawi?"

Kristal tampak menunduk memperhatikan ujung sepatu boot tempurnya. "Mungkin aku. Aku sudah menembak banyak orang dengan cara yang tidak manusiawi. Aku selalu mengincar kepala mereka karena kupikir itu satu-satunya cara agar mereka berhenti menggunakan otaknya untuk tujuan jahat."

"Sebagai orang yang pernah jadi korban kejahatan, aku berani bilang kalau mereka bukan manusia." Mila mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil yang terlipat di atas meja samping wastafel, lalu menatap Kristal yang masih menunduk. "Mereka iblis dan sama sekali tidak manusiawi. Dan itu artinya kau sudah menembak banyak iblis yang menyamar jadi manusia."

"Yeah.'' Kristal kembali mendongak dan tersenyum cerah, kemudian melangkah menuju meja tempat dia menyimpan pakaian. "Aku harap kau menyukai baju yang aku bawa."

"Terima kasih." Mila menerima celana kargo berwarna hijau militer dan kaus tanpa lengan berwarna putih.

"Maaf, kalau tidak sesuai dengan selera berpakaianmu."

"Kau tidak mengatakan itu untuk menghinaku, bukan?"

"Memangnya aku berani? Aku mungkin bakal habis dicincang Bear."

"Ck, dengar, saat ini aku tidak begitu peduli dengan pakaian bermerek, oke? Yang penting bersih."

"Oke. Tapi aku tidak yakin itu muat. Di sini aku paling pendek."

"Ini sempurna dan kau tidak pendek. Teman-temanmu saja yang raksasa."

Kristal tergelak. "Kenapa aku tidak pernah berpikir ke sana?" Wanita itu berbalik memunggungi Mila untuk memberi privasi.

"Jadi, kau jago menembak?" tanya Mila ingin tahu.

"Lumayan."

"Apa kau bisa mengajariku menembak?"

"Apa?" Kristal tiba-tiba berbalik meskipun Mila belum selesai berpakaian. "Aku tidak yakin Bear akan mengijinkannya."

"Apa urusannya dengan dia? Aku ingin belajar menembak supaya bisa menjaga diri saat sedang sendirian."

Kristal meringis. "Percayalah, setelah kejadian kemarin, aku ragu Bear akan meninggalkanmu sendirian."

"Percayalah, dia selalu meninggalkanku sendirian."

"Dengan pengawasan."

"Oh baiklah." Mila memutar mata. "Dengan pengawasan. Apa sekarang dia juga mengawasiku?"

Kristal melirik sekilas ke atas. "Kulihat kamera pengintainya menyala."

"Apa?" Mila sontak ikut memperhatikan kamera di sudut ruangan.

"Aku bercanda, sayang." Kristal terkekeh geli. "Bear tidak ada di sini. Dia selalu berlari 30 kilometer setiap pagi."

"Meskipun terluka?" Mila mendadak cemas memikirkan luka tembak Gelar yang pasti masih basah.

"Kalau terluka, dia bakal berlari lebih jauh lagi. Bear tidak akan membiarkan luka menghalanginya bergerak seperti biasa."

"Ck! Apa lelaki itu tidak pernah beristirahat menjadi sok kuat?"

Kristal terbahak. "Mustahil. Mungkin kamu mau mencoba membujuknya. Semalaman bersamamu, efeknya lumayan bikin telinga adem. Sepagian ini Bear tidak mengomel. Itu di luar kebiasaan."

Setelah selesai berpakaian, Kristal mengajak Mila berkeliling rumah yang ternyata tidak seperti yang Mila bayangkan tentang sebuah markas rahasia.

"Rumah ini hanya penyamaran," sahut Kristal seolah bisa membaca pikiran Mila. Wanita itu kemudian menjelaskan kalau rumah ini hanya rumah biasa bergaya kolonial Belanda yang banyak kita temui di berbagai daerah.

Rumah kolonial Belanda umumnya memiliki halaman depan dan belakang yang luas. Ruangannya berbentuk kotak yang simetris, berukuran besar, dan menjulang tinggi untuk menjaga rumah tetap sejuk.

Kristal memberitahu kalau rumah ini dijaga ketat oleh sistem keamanan paling mutakhir. Semua jendelanya merupakan cermin satu arah yang tidak bisa ditembus dari luar.

Setelah puas berkeliling ruangan, langkah Mila akhirnya berhenti di sebuah ruangan bernuansa klasik yang satu bagian dindingnya merupakan rak kayu besar dipenuhi buku sampai ke langit-langit.

Sofa bergaya lawson yang dipasang tepat di depan rak, memungkinkan siapa pun betah berlama-lama membaca di sana. Satu set meja kerja dari kayu jati diletakkan di depan jendela tanpa tirai yang memperlihatkan pemandangan taman belakang rumah.

Di sisi lain ruangan, terdapat lemari hias kaca bergaya Victoria setinggi dua meter dan lebarnya hampir memenuhi satu bagian dinding.

Rasa penasaran membawa Mila mendekati lemari yang didominasi kaca tersebut, lalu menatap foto-foto dalam bingkai yang dipajang di dalamnya. Keterangan di foto menyebutkan kalau mereka adalah para anggota CO angkatan pertama.

"Kamu baru saja mengintip salah satu rahasia negara." Suara Kristal terdengar dari arah samping. Mila menoleh dan melihat wanita itu ikut memandangi foto. "Bagian sejarah yang tidak akan pernah diungkap ke publik sampai kapan pun juga."

"Ini benar-benar luar biasa." Mila mengamati foto itu satu persatu dengan takjub. Wajah-wajah yang tergambar di sana tidak tampak seperti pasukan militer yang membahayakan. Mereka lebih terlihat seperti keluarga besar yang berperang bersama memperjuangkan nilai-nilai yang mereka percayai.

"Jujur saja, sebelumnya aku tidak percaya CO itu benar-benar ada. Aku mengira kalian hanya pasukan khusus biasa dan Badai sengaja membumbui cerita supaya terdengar lebih keren. "

Kristal terkekeh. "Tidak aneh. Di tubuh militer sendiri, CO masih dianggap mitos." Wanita tiba-tiba menarik tangan Mila dan menyeretnya menuju pintu kayu yang  berada di ruangan itu. "Ayo! Masih ada satu ruangan lagi yang harus kaulihat."

Begitu Kristal membuka pintu, Mila terkejut melihat ruangan yang dimaksud hanya ruang berukuran dua kali dua meter dan tidak ada apa-apa di dalamnya.

Mila memperhatikan Kristal mengetuk panel tersembunyi, lalu tiba-tiba saja ruangan itu bergerak turun dengan cepat.

"Ini lift penyamaran," jelas Kristal, menjawab keingintahuan Mila.

Hal pertama yang Mila sadari begitu lift terbuka adalah kalau ia ternyata tidak menuju bunker bawah tanah seperti yang ia pikirkan, tetapi sebuah tempat yang berada di kaki bukit.

Dari tempatnya berdiri di lorong berdinding kaca, Mila bisa melihat hamparan padang rumput hijau di hadapannya. Di ujung Padang rumput, terdapat pepohonan tinggi besar yang tumbuh sangat rapat, seolah sengaja ditanam untuk menyamarkan keberadaan tempat ini.

Mila mengikuti Kristal menuju sebuah pintu besi yang berada di ujung lorong tersebut. Wanita itu menekankan telapak tangannya ke atas pemindai di dinding dekat pintu. Tampak kilatan cahaya hijau, sebelum pintu besi bergerak terbuka, memperlihatkan dunia lain yang tidak pernah Mila bayangkan benar-benar ada.

Rasanya seolah Mila berpindah zaman. Dari zaman kolonialisme, ke masa depan di mana ruangannya sangat futuristik dan berlimpah cahaya. Persis seperti bayangan Mila tentang markas rahasia.

Ruangan itu sangat besar dan berbentuk persegi. Seluruh dindingnya dicat putih dan tidak ada jendela. Lantainya dilapisi marmer hitam. Sebuah meja persegi panjang besar yang terbuat dari potongan kayu trembesi gelondongan utuh, berada di satu sisi ruangan dan dikelilingi kursi-kursi empuk.

Di seberang ruangan terdapat monitor raksasa yang ditempel ke dinding, sederet monitor komputer, setengah lusin printer, telepon-telepon satelit, serta berbagai macam alat elektronik yang tidak familiar bagi Mila, tetapi tampak mahal dan berteknologi tinggi.

Semua peralatan itu menyala, berkedip-kedip, berdengung, sesekali mengeluarkan suaran seperti dentingan, seolah menunjukkan semua peralatan itu tengah sibuk mengerjakan sesuatu.

Namun, yang menarik perhatian Mila adalah keberadaan para lelaki bertubuh besar yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing membuat ruangan berukuran besar itu terasa penuh dan hidup.

"Selamat datang di pusat operasi CO," ujar Kristal setengah berbisik. Telunjuknya lalu mengarah ke salah satu lelaki yang tengah asyik memainkan gitar tanpa memedulikan sekitar. Mila mengenali lelaki berambut gondrong itu karena beberapa waktu lalu mereka terlalu sering bertemu secara kebetulan di sekitar apartemennya.

"Itu Wolf. The Night Stalker."

Sedetik kemudian, jari Kristal berpindah ke lelaki yang ia kenal sejak kecil dan tampak sedang menelepon dengan raut wajah yang tidak ramah. "Itu sepupumu, Fox. The Top Gun."

"Top Gun?" Mila terkejut. "Maksudmu seperti Maverick?" Mila menyebutkan tokoh utama dari film Top Gun yang terkenal karena kemampuan terbangnya yang luar biasa.

"Semacam itu, tapi menurut pendapatku, Fox lebih gila dari Maverick." Kristal tersenyum lebar sebelum telunjuknya beralih ke satu-satunya lelaki yang berada di depan komputer. "Snake. The Grey Hat."

Mila terbelalak. Ia tahu beberapa istilah yang melibatkan hat. Black hat adalah sebutan untuk hacker yang mengakali sistem komputer orang lain untuk tujuan buruk. White hat sebutan untuk programmer yang jago teknologi, tapi tidak menyalahgunakannya untuk tujuan jahat. Terakhir, grey hat yang merupakan sebutan untuk hacker yang tidak memiliki motif jahat, tapi cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan tidak selalu legal alias licik.

"Maksudmu, Grey hat―"

"Apa pun yang kamu pikirkan, jawabannya adalah iya." Kristal mengedipkan sebelah matanya penuh arti.

"Lalu apa sebutanmu selain Light?" tanya Mila mendadak penasaran.

"Coba tebak?"

"The Sniper?"

Kristal menggeleng. "The Doctor. Bisa dibilang ketimbang menembak, aku lebih mahir merawat para lelaki dewasa yang mendadak jadi bocah perengek ketika sedang terluka."

Mila spontan tersenyum lebar. "Tapi kau sayang mereka semua," ujarnya tidak melewatkan sorot bangga yang secara alami terpancar di mata Kristal ketika wanita itu menatap para lelaki dewasa yang dimaksud.

"Tentu saja. Mereka semua keluargaku. Satu-satunya keluarga yang kumiliki."

Untuk sesaat Mila yakin Kristal akan menitikkan air mata. Namun, saat air di mata wanita itu sudah tampak tak terbendung, seseorang memutus momen tersebut.

"Hei, Light! Mau dengar lagu cinta yang kuciptakan untukmu?" Teriakan itu membahana ke seluruh ruangan, membuat semua orang sontak menoleh ke arah Mila dan Kristal.

Kristal mendengkus kasar sekaligus menyeka air matanya tanpa kentara. "Aku tidak membutuhkan gombalanmu,  Wolf. Terima kasih."

"Oh, kenapa kamu selalu tahu cara menghancurkan hatiku, Sayang?" Kemudian, lelaki itu memetik gitarnya sehingga menghasilkan harmonik nada pembuka lagu Godfather yang populer. Mila memandang Kristal penasaran.

"Jangan dengarkan ucapan Wolf. Dia bajingan yang sudah tidak tertolong. Kau tidak akan bisa membayangkan berapa banyak wanita yang sudah dia buat menangis."

Kristal menggandengnya menuju meja besar yang dikelilingi lima pria yang sedang bermain kartu.

"Selamat pagi, Nona." Badai mendongak dari kartunya begitu Mila tiba di depan meja.

"Hai, Bad."

"Perkenalkan ini Storm, Bolt, Flash, Typhoon, dan Blast." Kristal menunjuk satu persatu pemuda yang duduk mengelilingi meja sambil menyebutkan nama mereka dengan cepat. "Kalian semua, tolong layani tamu kita dengan baik," imbuh wanita itu sebelum pergi terburu-buru karena radio komunikasi yang menggantung di pinggangnya berbunyi.

"Halo semuanya." Mila tersenyum ramah. "Apa kalian punya makanan?" tanyanya kepada lima pemuda yang kini memandang Mila seolah ia adalah makhluk beda alam.

"Bad?" Mila menatap Badai. "Apa kamu punya makanan?" Pemuda itu tak menjawab. Hanya mengulurkan tangan ke atas meja, sementara keempat pemuda lain merogoh saku masing-masing dan meletakkan uang kertas di tangan Badai.

"Terima kasih, Bro." Badai menghirup aroma uang tersebut, sebelum menyimpannya di saku celana. "Aku bertaruh Nona bisa membuat Papa Bear jadi bucin."

"Apa?"

"Sementara mereka semua bertaruh kalau Bear tidak mungkin jadi bucin karena dia terlalu kuat. Padahal ini bukan pertarungan fisik, tapi hati."

Saat ini Mila tidak tertarik mendengarkan penjelasan Badai tentang taruhan. Ia hanya ingin seseorang membawakannya makanan karena demi apa pun, ia kelaparan.

"Apa kalian punya makanan?" Mila mengulang pertanyaannya ketika perutnya mulai bergemuruh.

"Apa Nona benar-benar pacaran dengan Papa Bear? Bagaimana cara dia nembak, Nona?" Seorang pemuda selain Badai ikut buka suara.

"Aku―"

"Tentu saja dia pacarnya, Bolt. Untuk apa lagi Bear membawa dia ke markas kalau bukan untuk pacaran? Ya, nggak?"

"Untuk melindunginya dari orang gila yang kita buru, Blast."

"Ah, lo nggak asyik, Bro."

"Bener. Si Topan otaknya kurang piknik!"

"Lah, ketimbang lo otaknya traveling terus, Flash."

"Apa kalian semua tuli?" Sebuah suara tiba-tiba menyela. Mila menoleh dan tubuhnya langsung panas dingin begitu melihat sosok Gelar yang tiba-tiba muncul dengan tubuh bersimbah keringat. Kausnya yang basah melekat erat, menampakkan lekukan otot lelaki itu yang sempurna.

"Dia bilang lapar dan butuh makanan."  Gelar berkata lagi.

"Siap, Komandan!" Kelima pemuda tadi langsung berdiri tegak dan membubarkan diri, sebelum memasuki pintu yang sepertinya mengarah ke ruangan lain.

"Bagaimana keadaanmu?" Gelar membuka topinya. Untuk sesaat Mila tidak yakin apa yang akan lelaki itu lakukan, tetapi tiba-tiba saja Gelar membungkuk dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepalanya.

"A-a-aku baik-baik saja." Mila mendadak gugup, ia membuang muka seraya meremas jemarinya di bawah meja. Menghindari tatapan Gelar yang kini duduk di sampingnya.

Setelah semalam, Mila semakin tidak yakin bisa menghadapi Gelar dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Dulu Mila sering menggoda Gelar karena yakin bisa mengendalikan diri. Namun, sekarang Mila enggan menggoda Gelar karena takut dirinya mulai berani berbuat macam-macam demi mendapatkan tubuh hangat lelaki itu menjadi bantal tidurnya setiap malam.

Mila merasakan wajahnya memanas kala teringat dirinya memeluk Gelar sepanjang malam sambil mengharapkan sesuatu yang nakal terjadi. Akan tetapi, Gelar sama sekali tidak seperti pria kebanyakan. Lelaki itu malah tertidur pulas seperti anak kecil yang kelelahan setelah puas bermain seharian.

"Wajahmu merah." Mila terkejut saat Gelar kembali mencondongkan tubuh dan mengulurkan tangan ke arah dahinya. "Tapi tidak demam."

Mila sontak menepis tangan lelaki itu dan bergerak mundur. "Tentu saja tidak demam. Aku begini karena tubuh besarmu menghalangi pasokan oksigen masuk ke hidungku. Aku butuh bernapas," racaunya sembari mendorong bahu Gelar menjauh.

Beruntung saat itu seseorang, entah itu Flash atau Blast, datang membawakan nampan berisi sarapan. Perhatian Mila seketika tertuju pada roti tangkup yang isinya lebih tebal ketimbang rotinya serta jus jeruk dalam mug besar.

"Dek," Mila mendongak dan melihat Tegak sudah duduk di seberangnya sambil memegang ponsel. Mila mengenali ponsel berwarna merah muda itu sebagai miliknya.

"Temanmu si ratu es itu tak henti-hentinya menelepon. Setiap kali kujawab, dia semakin ngotot ingin bicara denganmu." Tegak menyerahkan ponsel yang masih tersambung itu ke tangan Mila.

"Halo?"

"Mila? Syukurlah akhirnya lo menjawab telepon gue. Sepupu lo yang banyak omong itu menceritakan semua yang terjadi padamu. Apa lo baik-baik saja? Bagaimana wajahmu?"

"Ya, aku baik-baik saja. Wajahku sudah kembali normal. Bagaimana keadaan klinik?" Mila menggigit roti tangkupnya seraya melirik Gelar yang tampak terlibat percakapan serius dengan Tegak.

"Baik, tapi Gita belum sadar."

Seketika Mila ingat kalau sebelum kejadian tabrakan itu terjadi, ia berniat menuju klinik untuk melihat keadaan sahabatnya.

"Apa ada yang menemaninya?" Mila kembali melirik Gelar dan bertanya-tanya apa lelaki itu sudah menjenguk adiknya.

"Ada pacarnya. Dia belum beranjak sedikit pun dari kamar Gita. Dia masih sepupu lo juga kan?"

"Iya."

"Cowok lo juga sering nelepon tiap jam untuk menanyakan keadaan adiknya."

"Siapa? Gelar?"

"Siapa lagi? Emang lo punya cowok lain?"

"Ya nggak sih, hehehe..."

"Mil, ada sesuatu yang ingin gue bilang. Mungkin ini nggak terlalu penting." Mila mendeteksi nada cemas dari suara Meridian yang biasanya datar itu.

"Ada apa, Mer?" Mila memelankan suaranya.

"Semalam sepertinya ada orang yang masuk kantor gue tanpa sepengetahuan gue." Ucapan Meridian membuat Mila menyimpan rotinya ke atas piring, kemudian perlahan bergeser memunggungi Gelar. "Apa ada yang hilang?" bisiknya.

"Sayangnya, Ada."

"Apa itu?"

"Semua berkas pasien atas nama lo. Lo tahu kan? Seperti yang lo minta, semua informasi itu gue enkripsi dan hanya bisa diakses dari komputer gue oleh gue seorang. Tapi sekarang semua itu hilang tanpa jejak."

"Sialan! Apa lo udah periksa CCTV?"

"Sudah. CCTV di sekitar ruangan gue sempat mati sekitar lima menit," Meridian berdecak sebelum melanjutkan, "apa ini pekerjaan sepupu lo yang pasukan rahasia abal-abal itu? Soalnya selama lo liburan dia terus-terusan maksa minta berkas lo."

"Sepertinya bukan. Lagipula dia bukan pasukan rahasia abal-abal seperti yang kita sangka. CO beneran nyata dan sekarang gue ada di markasnya." Mila mengawasi orang-orang yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. "Sejauh yang gue lihat, semuanya asli."

"Oh ya?" ledek Meridian sangsi. "Apa markasnya bagus? Apa mereka punya senapan tempur? Granat? Misil penghancur bumi? Bom nuklir?"

"Mereka bukan pasukan pencipta perang dunia, Mer, tapi―" Tiba-tiba saja sambungan terputus, dan ponsel dalam genggaman Mila lenyap seketika.

"Hei! Kembalikan!" Mila sontak berdiri sampai kursinya terbalik, bertekad merebut ponselnya yang kini sudah berada dalam genggaman Gelar. Namun, begitu menyadari kalau semua anggota CO yang berada dalam ruangan itu menatapnya waspada, Mila langsung diam.

"Ada apa?"

"Kamu membicarakan CO dengan temanmu," tuduh Tegak. Baru kali ini Mila melihat wajah yang biasa penuh canda tawa itu tampak jengkel dan diliputi amarah.

"Memangnya kenapa?" timpal Mila tak terima. "Setelah kau mencuri data pribadi Meri, menculik dan menyanderanya di helikopter, bodoh sekali kalau dia tidak tahu dengan siapa berhadapan."

"Ya, pasukan rahasia abal-abal." Tegak mendengkus jijik sembari menarik earphone dari telinga. "Aku mendengarnya. Semua orang di sini mendengarnya dan tahu kau kehilangan berkasmu."

Mila menelan ludah, diam-diam melirik satu persatu anggota CO yang kompak menatapnya waspada. Termasuk Kristal yang entah sejak kapan berdiri di sana. Bodoh sekali Mila sempat berpikir bisa menyembunyikan sesuatu di depan pasukan yang terlatih mencium sesuatu yang tidak beres.

"Ma-ma-af, kalau―"

"Bukan itu masalahnya." Gelar menyela. "Kami baru saja menyadari sesuatu." Lelaki itu lalu berpaling dan mengeraskan suaranya agar terdengar sampai ujung ruangan. "Bagaimana, Snake?"

"Positif."

"Sial!" Tegak menggebrak meja. Bersamaan dengan itu Gelar menyimpan ponsel Mila di atas meja, lantas menghantamkan tinjunya sampai benda itu pecah.

"Kamu gila!" Mila mendorong Gelar menjauh dari ponselnya, berharap benda itu masih bisa berfungsi. Akan tetapi, begitu mengetahui benda penting itu sudah berubah jadi sampah, emosi Mila tersulut.

"Ada yang bisa jelaskan padaku apa yang terjadi? Kenapa orang gila itu menghancurkan ponselku?" Mila melemparkan tatapan bermusuhan kepada Gelar.

"Kami memasang aplikasi pada ponselmu supaya bisa memantau semua aktivitas di sana." Lelaki yang dijuluki Snake maju memberikan penjelasan. "Tapi ternyata sudah ada orang lain yang lebih dulu meretas ponselmu dengan spyware dan diam-diam menghancurkan aplikasi yang kami pasang."

"Meski posisi markas ini tidak bisa dilacak, tapi siapa pun yang meretas ponselmu, dia akan tahu," sambung Gelar geram, lalu menatap Mila tegas. "Apa kamu tidak merasa ada keanehan dengan ponselmu? Baterai cepat panas dan nge-drop? Banyak SMS tidak jelas? Penggunaan data tidak wajar?"

"Aku tidak tahu."

"Apa kamu pernah membiarkan seseorang menyentuh ponselmu?"

Mila mendelik ke arah Tegak. "Dia."

"Yang benar saja, Dek. Aku baru pegang kemarin malam. Lagi pula buat apa aku meretas ponselmu?"

"Selain dia?"

"Kamu. Kamu baru saja menghancurkan ponselku!"

"Mungkin temanmu si Ice Queen itu, Dek. Aku tidak terkejut kalau ternyata dia dalang di balik semua teror yang menimpamu."

"Jangan sembarangan bicara, Lintang! Meridian satu-satunya orang yang kupercaya di dunia." Mila sengaja menyebut Tegak dengan nama tengahnya karena tahu sepupunya itu paling benci dipanggil dengan nama itu.

"Omong kosong! Dia mencurigakan, Tiwi." Tegak balas memanggilnya dengan panggilan masa kecil yang sangat Mila benci. "Coba kau pikir! Dia orang yang selalu ada di dekatmu, tahu segalanya tentangmu, tahu semua kelemahanmu, punya kesempatan memegang ponselmu tanpa dicurigai, punya akses ke apartemenmu."

"Tidak. Aku yakin seratus persen Meridian bukan pelakunya. Kau jahat menuduhnya seperti itu!"

"Jangan naif, sepupuku sayang. Entah berapa kali aku meminta salinan berkasmu, tetapi dia menolak dengan alasan melanggar kode etik kerahasiaan data pasien. Padahal undang-undang memperbolehkannya kalau untuk kepentingan penyelidikan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Berkas itu hilang dicuri? Cih! Dia semakin mencurigakan! Mungkin dia sendiri yang mencurinya untuk merencanakan pembunuhanmu!"

Mila menjerit sekuat tenaga. "KAU JAHAT!"

"Aku tidak jahat. Aku rasional. Temanmu yang jahat."

"Sudah cukup, Fox. Kau tidak dengar kalau dokter itu satu-satunya orang yang dia percaya di dunia?" Gelar menyela dengan nada datar. Namun, entah mengapa Mila malah merasa lelaki itu sedang mengejeknya karena semua orang di sana tiba-tiba tampak menahan senyum.

Mila pura-pura tidak melihatnya dan beralih menatap Snake. "Apa kau tahu sejak kapan orang itu meretas ponselku?"

"Yang pasti lebih lama dari kami. Worm-nya tersimpan rapi dalam memori ponselmu. Itu sebabnya kenapa sulit terdeteksi."

"Kalau begitu seharusnya dia tidak perlu menghancurkan ponselku, bukan?" Mila menunjuk Gelar dengan dagunya. "Setahuku masalah seperti itu bisa selesai dengan factory reset."

"Tidak semudah itu, Bear's girl," ujar Snake dengan nada terhibur. "Spyware itu bakal menghanguskan ponselnya kalau sudah ketahuan pihak lain, untuk menghilangkan jejak."

Lalu, seolah-olah ingin membuktikan tindakan Gelar sudah benar, tiba-tiba saja ponsel yang sudah hancur itu mengeluarkan percikan api sebelum akhirnya membuat ledakan kecil yang membakar seluruh bagian ponsel.

Mila benci setiap kali Gelar benar. Rasanya seolah ia tidak tahu apa-apa soal menjaga diri, sehingga selalu butuh bantuan lelaki itu untuk melindunginya.

Mila tertunduk lesu, kembali duduk melanjutkan sarapannya dan mengabaikan tatapan orang-orang yang berdiri mengelilinginya.

Beberapa saat kemudian, Tegak menduduki kursi kosong di samping Mila.

"Maafkan ucapanku tentang temanmu, Dek. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin melindungimu dari kemungkinan terburuk."

"Kalau begitu, berhentilah mencurigai Meridian," sergah Mila tanpa sedikitpun melirik Tegak. "Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dia!"

Tegak terdiam sejenak seperti sedang berpikir. "Aku tidak bisa."

"Apa?" Mila menatap sepupunya tak percaya.

"Setidaknya, sampai aku menemukan bukti kalau dia tidak bersalah."

"Dengan kata lain, kau akan terus mencurigainya, menuduhnya jahat, mencari-cari kesalahannya, mengganggu kehidupannya, tak ragu menyakitinya, sampai kau menemukan bukti kalau dia tidak bersalah? Bukankah tindakanmu lebih jahat?"

"Kau membuatnya terdengar buruk."

"Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu pada Meridian, aku tidak akan memaafkanmu!"

"Atau malah berterima kasih padaku," ucap Tegak keras kepala.

"Aku bersumpah kau akan kena karma!"

"Coba saja. Aku lumayan kebal," seloroh Tegak dengan angkuhnya seraya berlalu pergi.

"Kemilau." Gelar mengambil alih kursi yang tadi diduduki Tegak. Mila yang masih marah, sengaja menghindari kontak mata dengan lelaki itu dan kembali serius menggigit rotinya.

"Hari ini aku berencana menjenguk adikku. Kalau mau, kamu bisa ikut.  Kamu bisa melihat klinik dan menemui pasienmu, sementara aku mencari tahu siapa yang mencuri datamu." Ucapan Gelar membuat Mila berhenti mengunyah.

Ya Tuhan! Bagaimana mungkin Mila bisa tetap marah kepada lelaki ini? Sekarang ia sudah tahu polanya. Gelar mungkin pantang meminta maaf, tetapi setelahnya lelaki itu selalu bersikap seolah ingin menebus kesalahan dengan melakukan sesuatu yang berarti.

Manis sekali.

"Kemilau?"

"Aku ikut," sambar Mila terlalu bersemangat hingga makanan di mulutnya menyembur. "Maaf."

"Kalau begitu aku mandi dulu." Gelar berdiri dari kursinya.

"Tunggu!" Tanpa sadar Mila mengulurkan tangan, menahan lelaki itu supaya tidak pergi. "Kamu sudah sarapan?"

Gelar tidak menjawab, tetapi mata gelap lelaki itu terpaku menatapnya.

"Kamu harus makan supaya cepat pulih. Luka tembakmu tidak akan sembuh dalam sehari."

"Oh ya?" Sebelah alis Gelar terangkat, sebelum lelaki itu menurunkan pandangan pada jemari Mila yang menggenggam erat jemari lelaki itu.

Seolah tersadar, Mila buru-buru melepaskan tangan Gelar, lalu dengan canggung menggigit roti yang baru habis setengahnya. 

Sial! Kenapa roti ini tidak habis-habis sih? Mila menggigit roti itu sebesar mungkin demi mencegahnya berbicara melantur.

Di sampingnya, Gelar tampak kembali duduk dan menghadap Mila. "Aku sudah makan sebelum kamu bangun." Lengan lelaki itu terangkat, lalu mengusap bibir Mila dengan ibu jarinya. "Makanmu berantakan."

"A-a-apa?" Mila mengerjap. Bibirnya terasa terbakar di tempat Gelar menyentuhnya. Namun, itu belum apa-apa dibanding perasaan merinding ketika lelaki itu menjilat ibu jari berlumur saus yang berasal dari bibir Mila.

"Beri aku lima menit," ujar Gelar mengedipkan sebelah mata, lantas berlari dan menghilang di balik pintu besi. Saat itulah Mila menyadari kalau sejak tadi ia menahan napas.

Astaga! Apa yang baru saja terjadi? Kenapa jantungnya serasa melayang?

Jauh di seberang ruangan sana, Badai berseru dengan wajah semringah. Berbanding terbalik dengan keempat temannya yang bertampang kesal sambil merogoh saku dan menyerahkan sejumlah uang ke tangan Badai.

Ck! Sepertinya Badai kembali memenangkan taruhan.

_______________________

Happy reading, Readers!

Bab ini merupakan gabungan tiga bab, yang artinya sama dengan triple apdet, yang artinya sama dengan saya apdet tiap minggu. Yiiiha!

Jadi, kalo masih ada yang merasa apdetnya kok lama banget, saran saya mending tunggu cerita ini selesai, baru baca. No offense! Karena membaca lebih cepat daripada proses mengolah ide menjadi tulisan. Muehehehehehe...

Jangan lupa divote dan dikomen ceritanya. Terima kasih!

Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 3.5K 17
Titus Meridius terpaksa menjadi seorang gladiator dengan alasan klise. Dijual sebagai budak demi melunasi hutang judi ayahnya yang menumpuk. Penolaka...
1.1K 210 39
"Jika manusia adalah bilangan, bilangan apa yang menggambarkan sosok Kanu Aji Samudra menurut lo?" "Negatif satu." "Kenapa negatif?" "Karena saya pu...
415K 20.2K 9
Sidney, nama kota tujuan Merlin dan Dori yang sedang mencari Nemo. Tetapi ini bukan sekuel Finding Nemo. Apalagi Finding Dori. Mungkin yang lebih tep...