He's Dangerous

By wanodyakirana

9.9K 2.1K 7.1K

[Mature Content] "Jung, kau memang berbahaya." Nyatanya, Jeon Jungkook memang sinting. Lebih dari apa pun, Le... More

1. Comfort
2. Treason
3. Risk
4. The Plans That Failed
5. Circulation Of Money
6. Jungkook is Back
7. The Quandary
8. Who is He?
9. Hiraeth
10. Craftiness
11. Tacenda
12. Bamboozle
13. Strange
14. Peace Agreement
15. Decero: Start From Zero
16. Bae Soora's Death
17. Hidden Facts
18. Leira Becomes A Suspect
19. He's Dangerous
20. Traitor's Neighbor
21. The Right Hand
22. Feeling Relieved
24. Now It's All Over
25. Wherever I May Go

23. The Last Wedding Gift

207 35 148
By wanodyakirana

udah mau tamat loh, masa kalian gamau muncul, sih? ayolah<3
——

"Mari, kita bicarakan di ranjang."

Sudah pasti ini—timbal balik yang diinginkan Jung. Leira mengiyakan, tetapi tidak melaksanakan malam itu juga. Timbal balik itu berlaku hari ini, di mana hari jadi pernikahan mereka. Begitupun permintaan yang akan diajukan Leira. Biar adil untuk keduanya.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Leira yang masih bingung ingin mengajukan permintaan apa nanti. Leira menoleh, menatap kehadiran salah satu bawahannya membawakan minum. Leira mengusap wajahnya pelan, ia agak stress karena juga memikirkan beberapa rentetan kejadian tempo lalu.

Daripada bosan di ruangannya, Leira memutuskan turun dan membantu memasak makanan di dapur. Cara itu berhasil menghilangkan sedikit kejenuhannya.

Leira dengan senyum cantiknya berjalan menuju meja nomor sepuluh untuk memberikan makanan yang baru selesai ia masak. Ia memberikan sepaket menu yang baru dirilis kepada pelanggannya. Ternyata resep baru ini begitu menarik perhatian, rasanya juga tidak kalah nikmat, hingga semua orang berdatangan.

Pandangan pertama kali Leira tangkap saat berbalik adalah presensi Hira—bedebah lancang yang berani menghianatinya, berakhir dengan pemecatan Hira. Leira masih tidak habis pikir dengan jalan hidup Hira, kenapa masih berani datang ke sini sedangkan dulu diusir paksa?

Gadis yang masih berumur kepala dua itu berkaca-kaca, meletakkan tangan di depan dada—memohon agar Leira memaafkan dan berubah pikiran untuk merekrutnya kembali bekerja.

Leira tidak memedulikan keberadaan Hira. Ia berlalu ke dapur untuk menyiapkan pesanan selanjutnya. Hira tidak menyerah, mengikuti ke mana perginya Leira. Gadis itu tetap memohon agar dimaafkan. Nyatanya, membujuk Leira bukan hal yang mudah.

Leira terlalu kecewa dengan Hira. Selama ini ia mengira jika Hira gadis polos yang tidak akan macam-macam. Namun, perkiraan Leira terpatahkan—kalau Hira bukan gadis baik nan polos, bahkan Hira rela menghianati Leira demi membantu rencana Taehyung sampai lancar, dengan imbalan yang besar.

Hira hanya mampu tersenyum pedih ketika mengetahui semua rencana Taehyung gagal total. Uang yang dijanjikan juga melayang karena Taehyung tidak mendapatkan uang milik majikannya itu. Tentunya Hira menyesali telah terhasut oleh Taehyung.

"Hira! Berhenti merengek di sini!" Leira muak melihat Hira terus-menerus memohon. Itu sama sekali tidak mempan baginya.

"Bu, tolong dengarkan saya. Saya sangat menyesal telah membantu Taehyung-ssi." Sekali lagi, Hira pantang menyerah.

"Saya bukan pendengar yang baik. Jadi, ucapanmu tidak akan terserap ke dalam indra pendengaran saya."

"Bu, saya janji akan berubah jadi lebih baik lagi." Hira mengusap sudut matanya yang hampir menangis. Hira juga tidak malu memohon, meskipun semua orang di dapur menyaksikannya.

Leira memutar bola matanya jengah. "Jangan berjanji kalau kau tidak akan sanggup menepatinya. Lagi pula saya sudah memberikanmu pesangon lumayan banyak untuk keluar dari sini."

Tidak disangka, Hira menangis. "Saya janji akan melakukan apa pun agar diterima di sini kembali, Bu. Saya mohon."

Leira tidak tega melihat Hira menangis. Ia mengusap punggung Hira pelan, lalu membawa gadis itu keluar dapur. "Ikut saya sebentar." Hira mengangguk, mengikuti langkah Leira menuju pintu keluar restoran. "Sayangnya, saya tidak akan luluh dengan air mata palsumu. Lebih baik kau pulang saja. Saya sudah baik, mau mengantarkanmu sampai ke depan." Leira tersenyum manis.

Walaupun sudah diusir, Hira tetap keras kepala. Bahkan berani berlutut di kaki Leira, supaya mantan atasannya berubah pikiran. Hira juga tak berhenti terisak. Leira membuang napas jengah. "Jangan biarkan harga dirimu jatuh di depan saya. Sebaiknya kau cari pekerjaan lain, yang atasannya bisa menerima penghianatan."

Terpaksa Leira melepas tangan Hira dari kakinya saat tak sengaja melihat siluet yang menurutnya tidak asing. Yang menurut Leira bentuk tubuh orang itu sangat ia kenal. Leira yakin, ia tidak mungkin salah lihat. Jadi, untuk memastikan—Leira mengejar sosok itu tanpa memedulikan Hira yang masih setia di bawah kakinya.

Orang itu berhenti di gang sempit, bersamaan Leira yang baru sampai dengan napas terengah-engah. Orang itu tidak langsung menoleh, hanya melirik ke samping kiri. Sontak mata Leira terbelalak lebar.

"Ji-Jimin?"

***

Helaan napas panjang Jung udarakan. Ditemani secangkir kopi panas, dan sebatang rokok yang menyala. Netranya masih terpaku dengan benda persegi panjang nan lebar yang bisa ditekuk—melihat susunan rencana untuk memenangkan tender bulan depan.

Jung tersenyum puas karena yakin isi dari dokumen itu akan memudahkan untuk meyakinkan tender bulan depan. Ia menyeruput kopi sambil meniup pelan-pelan. Satu tangannya memutar musik. Tubuhnya memutar kursi untuk menghadap ke jendela.

Ketukan pintu menghampiri rungu, lantas Jung tak acuh dan tetap pada posisinya. Karena ia tahu, jika Namjoon yang datang untuk memberi laporan. Pria itu duduk di depannya, menata dokumen sekaligus melepas kacamatanya. Lalu, menyenderkan punggung.

"Boss, nanti ada rap—"

"Iya. Aku tahu, jadi dibahas nanti saja, ada yang lebih penting dari itu." Jung menukas sebelum Namjoon merampungkan kalimatnya. Namjoon menaikkan satu alis, dia merasa tidak ada yang lebih penting selain membahas rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Tetapi, firasat Namjoon berkata; pasti Jung akan membicarakan tentang istrinya. "Apa itu, Boss?"

Jung menghela napas. "Menurutmu, Leira akan mengajukan permintaan apa?"

Namjoon mengembuskan napas. "Tidak tahu. Yang pasti, kau akan mengabulkannya atau tidak?"

Jung mengangguk.

"Apa pun itu?" Jung kembali menganggukkan kepalanya tanpa berbalik menghadap Namjoon.

Namjoon berpikir sejenak, mencoba menerka-nerka apa yang akan diminta Leira selagi Jung akan mengabulkannya. Pasti wanita itu akan berpikir matang tentang isi permintaannya, mumpung bisa terpenuhi walaupun setahun sekali. Namjoon sendiri tahu, hari ini hari ulang tahun pernikahan sang atasan, makanya Jung meminta pendapat Namjoon karena ia pusing sendiri memikirkan permintaan Leira.

"Kalau aku jadi Leira, aku akan meminta ...." Namjoon menjeda, lalu menggigit bibir bawahnya tipis. "Separuh harta! Ah, kalau bisa berpisah juga," jawabnya santai.

Sontak Jung membelalakkan matanya sekaligus memutar kursi menghadap Namjoon. Telinganya kurang suka mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh sekertarisnya. "Joon, kalau yang pertama—mungkin bisa keterima. Tetapi untuk yang kedua, mungkin tidak."

"Katanya, kau akan mengabulkan semua permintaan yang diajukan istrimu?"

Jung mendengkus kasar. "Semuanya, yang tidak menyulitkanku."

Namjoon tertawa kecil. "Menurutku, itu tidak sulit. Seandainya dia meminta berpisah sungguhan, pasti yang mengurus semuanya Leira. Kau hanya tinggal bersantai saja. Mari kita realistis saja—mana mungkin istrimu akan terus bertahan hidup bersamamu jika hubungan kalian penuh dengan kepura-puraan? Dia menginginkan hartamu. Yang paling utama; mengakhiri semua permainan gila yang kau lakukan dengan cara berpisah dan menjauhi dirimu, bukan?"

Sial, Jung tertohok dengan ucapan Namjoon. Namun, Jung tidak marah, malah memasang raut wajah santai. "Itu Leira versimu. Kalau Leira asli, kurasa dia tidak akan meminta apa yang ada dalam pikiranmu itu."

Namjoon tersenyum tipis. "Ya ... semoga saja tidak." Jujur, setelah mendengar pendapat sekertarisnya yang cerdik, Jung takut kalau akan terjadi.

***

Leira tengah merenung sendirian di taman belakang, dekat dengan perapian—memandangi butiran salju turun. Daksa rampingnya hangat, dibungkus mantel coklat dan syal yang melilit lehernya. Wanita itu sudah rapi menjelang sore tadi. Sehabis membuat kue kering dan cokelat panas, Leira berencana akan menghabiskan waktu santainya dari fajar hingga petang di taman belakang.

Setengah menunduk, Leira mengusap perutnya. "Ibu ... bukanlah ibu yang baik." Ada getaran di rangkaian kalimat pertamanya. Leira mengulas senyum sendu. "Bahkan, ibu tidak tahu siapa ayahmu, Nak. Seandainya kau bukan anak Jungkook, bagaimana, hm?" Jujur, hati Leira tercabik-cabik. "Jika Ayahmu Jimin, apa kau bisa menerima kalau lahir tanpa seorang ayah?"

Tidak. Leira tidak boleh menangis. Leira harus kuat. "Ibu tahu jika kau benar-benar anak Jimin nanti, Jungkook bisa jadi ayahmu juga. Tetapi, ibu tidak bisa terus-menerus hidup dengannya. Ibu tidak bisa bertahan dengannya lagi, ibu—" Tidak bisa. Nyatanya, Leira menangis. "Ibu tidak lagi mencintainya. Ibu hanya mencintai Jimin, menyayangi Jimin, dan merindukan Jimin. Ibu tahu ini jahat, dan seharusnya tidak ibu lakukan. Sekarang, ibu harus bagaimana, hm?" Dia—si janin yang masih berumur hampir empat bulan, satu-satunya teman bercerita Leira. Tidak apa meskipun tidak ada jawaban, setidaknya Leira lega—bisa menumpahkan segalanya kepada si kecil di perutnya.

Leira terisak sekaligus mendesah bersamaan keluarnya udara dingin menjadi kepulan asap. Ia berkata seperti itu karena yakin, jika bayinya anak Jimin.

Wanita itu beranjak dari kursi, pergi untuk bermain butiran salju. Ia akan melupakan kejadian tadi pagi yang mengejar seorang pria mirip seperti Jimin. Nyatanya, dugaannya salah. Itu bukan Jimin, hanya sekilas mirip Jimin. Mungkin Leira terlalu merindukan Jimin, hingga menyangka pria lain adalah Jimin.

Leira tersenyum, lalu kembali mengusap perutnya. "Ibu tak apa, kehadiranmu membuat ibu bahagia, meskipun harus kehilangan Jimin selama-lamanya."

Ada kejanggalan terjadi usai Leira mengusap perutnya. Tiba-tiba tangan kekar memeluk tubuhnya. Tangan Jung, lebih tepatnya. Suaminya pulang bekerja dan langsung ke taman belakang—menemui Leira. Instingnya berkata; jika istrinya ada di sana, dan ternyata benar adanya.

Pelukan belakang Jung sungguh menghangatkan, berkali-kali lipat lebih hangat dari perapian. Entahlah, Leira hanya merasa aura Jung berbeda---lebih hangat, tulus, dan penyayang. Leira merasa didominasi oleh Jung.

"Sedang apa berdiri di tengah salju turun, Sayang? Kasihan bayi kita, nanti dia kedinginan." Tanpa menoleh, Leira menghela napas. Cukup tertegun dengan kalimat yang Jung rapalkan, tersentuh oleh dua kata yang membuatnya lega---'bayi kita'.

Leira tetap diam. Jung berpikir jika Leira kaget dengan ucapannya beberapa detik lalu. "Aku tidak peduli jika dia bukan anakku, aku akan menerimanya. Asal kau selalu di sampingku." Sayangnya, Leira sudah tidak tahan di samping Jung dalam waktu yang lama.

Untuk mempercepat waktu, sekaligus mengajukan permohonannya, Leira membalik badan. Jemarinya mengusap pipi Jung. "Menunggumu pulang, ingin membicarakan permintaanku sekaligus timbal balikmu di atas ranjang, Sayang." Jung tersenyum. Ternyata pertanyaannya yang tadi ada jawabannya juga.

Daksa mungil itu sudah terkait di pinggang suaminya bersamaan baskara mulai turun mendekati cakrawala dengan warna jingga yang membias sempurna. Pun tangannya sudah terkalung rapat, disusul dengan kepala yang terbenam dalam ceruk leher, mengedus pelan aroma wewangian bunga lily yang menyapa penghidunya. Daksa istrinya turun, jemari lentik itu menari di dadanya sebentar. Lalu, beralih merengkuh sang adam dalam pelukan, merapatkannya, seolah tak mau kehilangan.

Sekian lama tak merasakan dijamah, hasrat keduanya membuncah. Saling mendominasi dan didominasi. Sama-sama ingin memperdalam, menerkam, dan bertahan lama dalam posisi ini. Jung sangat merindukan birai tipis ini menyentuh bibirnya, seakan frasa dan asa mereka tertukar, melebur menjadi buncahan perasaan yang kuat untuk saling mempertahankan.

Pagutan itu masih berlanjut, ditemani butiran salju yang turun tipis-tipis. Mereka tidak memedulikan dinginnya udara kala memasuki malam. Terlebih, Jung semakin merapatkan pinggang Leira ke daksanya tanpa mengurai sedikit pun ciumannya, membuat daksa mereka masih ada stok kehangatan untuk beberapa menit ke depan. Jangan lupakan tangan kanannya yang bekerja mendorong tengkuk Leira guna memperdalam ciuman mereka. Semakin dalam, semakin nikmat.

"Ahhh ...." Leira mendesah di sela-sela ciumannya. Ia memasok oksigen sebelum berlanjut ke tahap selanjutnya. Nyatanya Jung sadar; bahwa istrinya sudah tidak bisa berada di sini terlalu lama. Udara dingin yang menerpa tidak baik untuk kesehatan janin Leira.

Segera, Jung menggendong istrinya masuk ke dalam—menuju pantry. Lalu, mengambilkan Leira segelas air hangat agar tubuh istrinya kembali menghangat. Jung memandang wajah cantik yang terpahat apik seksama, membuat netra mereka bersirobok, sampai pada titik Jung mengulas senyum lebar.

Sangat terkesima.

Pun, jemari Jung menyingkirkan anak rambut Leira ke belakang telinga. Detik selanjutnya, jemarinya berpindah posisi—membelai pelan pipi Leira yang mulai berisi. Jujur, Leira bertambah seksi. Sangat menggoda.

Terlalu menggoda hingga harus dijamah secepatnya. Jung tidak mau berpikir panjang untuk melanjutkan ciumannya di pantry. Mendudukkan Leira di atas meja, lebih tepatnya. Lumatan itu semakin nikmat ketika lenguhan demi lenguhan yang Leira keluarkan, mampu mengobrak-abrik isi kepala Jung seakan ingin pecah. Leira semakin merapatkan cengkeramannya pada kemeja Jung.

Sumpah, senikmat itu.

Merebahkan pelan daksa ramping itu ke atas ranjang, lantas mengurung Leira di kedua lengannya. Jung tersenyum tipis, kali ini jemarinya tidak perlu repot untuk melucuti pakaian istrinya—sebab, Leira dengan senyum mengembang—perlahan membuka mantel sekaligus baju yang menutupi daksa. Lalu, beralih melepaskan kemeja suaminya hingga memaparkan perut sispek berotot itu.

"Jung ...," rengek Leira ketika Jung menyesap leher jenjangnya bak kucing kelaparan diberi ikan.

Bahkan Leira sampai meremas sprei kuat-kuat. Ia tidak bisa menahan puluhan desahan yang mengudara—sungguh mendamba. Apalagi ketika benda keras di bawah sana menubruk miliknya berkali-kali, namun tak kunjung dimasukkan. Membuat Leira kesal, namun bersamaan dengan pelepasan pertamanya.

"Rupanya kau begitu menikmatinya, Sayang ...." Jung tersenyum tipis. Telapak tangannya berhenti pada dua benda di dada Leira—bermain; memutar, menyesap, bahkan menggigit kecil area sensitif itu yang membuat Leira seketika menegang hebat.

"Jung, pelan-pelan. Jangan terlalu kasar, apalagi menerobos terlalu dalam—hmm." Leira memperingatkan, ketika desakan di bawah sana ingin segera masuk. Jung amat suka melihat Leira mendesahkan namanya. Jung obsesi pada suara Leira ketika bercinta dengannya di atas ranjang. Sangat lembut dan sopan memasuki rungu.

Leira melepas ciumannya secara paksa. Sebab, ia ingin bertanya sesuatu. "Mau berapa jam?"

"Sampai pagi juga kuturuti," jawabnya santai, terus mendorong miliknya masuk ke dalam. Sesekali memainkan aset berharga Leira.

"Senikmat itu kah, bercinta denganku, Sayan—ahhh!" Leira berteriak keras saat Jung menyesap lehernya dengan hasrat begitu menggebu. Lihatlah, lehernya sedikit merah dan membekas.

Jung membalikkan daksa ramping istrinya hingga berpindah ke atas. Kali ini waktunya Leira yang memimpin—menggoyangkan pinggul hingga maju mundur. Jung amat tak kuasa mendesah juga karena terlalu nikmat untuk ditahan.

"Sangat nikmat. Sangat candu sekali, hmm." Tangan Jung juga turut andil untuk menggerakkan pinggul Leira. Ia menghela napas, degup jantungnya tidak stabil. Lalu, Leira tumbang di samping Jung, memeluk daksa sang suami sejenak. Ini pelepasan mereka. Ah, pelepasan kedua untuk Leira, dan pelepasan pertama untuk suaminya.

Jung mengusak rambut Leira. Pun mengusap dahi sang istri yang basah akibat berkeringat. "Tidak jadi sampai pagi. Kita akan lakukan setelah kau mendapatkan empat pelepasan dan aku tiga pelepasan."

Entahlah, yang terlihat begitu bergairah adalah Leira. Mungkin Leira kurang mendapat asupan seks dari Jung. Namun, sekalinya bercinta dengan Jung—sensasinya luar biasa mendamba.

Leira sampai kewalahan saat Jung mendorong asetnya lagi. Ternyata Jung di posisi bawah pun, nikmatnya tak kalah menggairahkan. Jung tetap bekerja keras menumpahkannya ke dalam, tetapi tidak terlalu dalam karena ia juga harus menjaga makhluk kecil yang ada di dalam perut Leira.

"Kau—shit! Pelan-pelan, bodoh!" Sumpah, sakit sekali begitu Jung menggigit buah dadanya hanya sebelah. "Sebelahnya juga? Biar impas," tawar Jung tanpa merasa bersalah.

Leira memutar bola matanya. "Lakukan dengan benar, atau timbal balikmu tidak setimpal—Jung—ahh!" cerocosnya lagi. Leira benar-benar tak tahan dengan rasa sakit yang Jung berikan saat menggigit buah dadanya.

"Sshh ... tidak biasakah kau berhenti mengomel dan kembali mendesah saja?" Sial, Jung menyeringai. Lalu, dengan sigap memposisikan daksa Leira di bawahnya. "Jangan buang tenagamu untuk mengomel. Lebih baik mendesah saja, huh?"

Daripada mendengar Jung menceramahinya di tengah kenikmatan ini, lebih baik Leira segera menyumpal bibir laknat Jung dengan bibirnya. Telinganya tidak baik mendengar bibir laknat itu terus berbicara lirih yang memabukkan.

Sekali lagi, mereka ambruk bersama. Lega karena sudah mencapai pelepasan yang diinginkan—itu bagi Leira. Jika Jung, kurang satu pelepasan lagi. Tetapi, saat melihat raut wajah Leira penuh dengan keringat sekaligus kelelahan, Jung mengalah untuk tidak berlanjut ke pelepasan selanjutnya. Ia tidak egois, malah memahami kalau Leira tidak sendiri lagi—melainkan berbadan dua. Jadi, Jung mengakhiri bercinta malam ini usai Leira menganggukkan kepalanya.

"Jung, kau sudah berjanji akan mengabulkan permintaanku apa pun itu, dan kau tidak bisa mengingkarinya."

"Aku janji, selama permintaanmu tidak menyulitkanku, Sayang."

Leira mengembuskan napas, lalu menelan ludah samar. "Baiklah. Ini pilihan terakhirku yang tidak bisa diganggu gugat. Besok, aku dan kau harus datang ke pengadilan."

Permintaan Leira membuat jantungnya mencelus tak karuan. Akhirnya yang ditakutinya terjadi juga. Pun berhasil membuat Jung nelangsa sekaligus meluluhlantakkan perasaanya.

Untuk sekarang; Leira memilih berpisah dan menjanda. Untuk seterusnya; Leira akan menjadi Ibu tunggal tanpa seorang suami yang menemani hari-hari berikutnya. Setelah semuanya selesai, Leira akan mencoba hidup setenang mungkin bersama anaknya nanti.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 199 4
[Mature] Seolhwa cukup sembrono dalam menggunakan masa remajanya. Jika ia tak mengikuti saran temannya untuk mengunduh aplikasi dating itu, mungkin s...
392 53 3
[09.03.24] Pernah dengar toko bunga yang tidak akan tutup? jika belum, cobalah datang ke Hanakotoba di tengah kota Winterfold, di sana mereka menjual...
6.3M 485K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
563K 85.4K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...