In A Rainy Autumn [END]

Door AdistaSucardy

91.2K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... Meer

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

40. Trust

1.1K 252 112
Door AdistaSucardy

Aku berjalan cepat menuruni tangga dan menghambur masuk ke dapur karena mendengar bunyi berkelontengan. Setibanya di sana, ternyata penyebab dari keributan itu tidak lain adalah Mark.

"Kau sedang apa?" Kuhampiri Mark yang sedang berkutat dengan mangkuk besar berisi tepung bercampur dengan bahan-bahan yang tampaknya akan dijadikan adonan kue. Konter terlihat kotor dan agak berantakan.

Mark menoleh dan menyambutku dengan sebuah cengiran. "Aku ingin mencoba membuat kue."

Kulongok sekali lagi adonan kacau di dalam mangkuk yang tampaknya tidak akan mungkin berakhir menjadi kue. "Kenapa tidak bilang? Aku akan membuatkannya untukmu daripada kau repot-repot begini."

"Aku membuatnya sendiri karena ingin kuhadiahkan kepadamu." Mark tersenyum seraya kembali berkutat dengan adonan buruk rupa di mangkuk.

Dahiku mengernyit, namun hatiku menghangat mendengar niat tulus Mark.

"Kau sudah membuatku merasa bahagia sekali sejak menikah denganmu." Mark bergumam sembari mengulum senyum yang mempertegas lesung pipinya.

Aku tertegun mendengar itu. Rongga dadaku dipenuhi sesuatu yang hangat dan menyenangkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata.

Kau yang selama ini membahagiakanku, Mark.

Kuulurkan tanganku mendekati wajah Mark dan mengusap lembut noda tepung di tulang pipinya dengan ibu jariku. Mark tersenyum senang saat aku melakukannya.

Tiba-tiba aku terpikir sebuah ide gila.

"Mark, tolong menunduk sedikit. Aku ingin membisikimu sesuatu."

Dahi Mark mengernyit dramatis. "Kenapa harus bisik-bisik? Kita kan hanya berdua saja di sini."

"Ini penting dan harus dibisikkan." Aku mendesak meski merasa mulai gugup.

Mark menundukkan kepalanya ke arahku agar aku bisa menjangkaunya tanpa perlu berjinjit-jinjit.

Jantungku berdegup kencang.
Mark menunggu.

Aku mengecup pipi Mark.

Sebelum Mark sempat bereaksi, aku langsung berlari secepat kilat meninggalkan dapur. Dadaku bergemuruh. Perutku seperti disesaki kupu-kupu kecil yang sedang berpesta.

"Hey! Kau pikir kau bisa menciumku lalu melarikan diri begitu saja, Nyonya Evano?"

Aku melesat menaiki tangga. Kepanikan bercampur desakan ingin tertawa menyergapku saat menyadari Mark mengejarku. Matanya berkilat dan tampak gemas. Ia tampak seperti hanya menginginkan satu hal sekarang; mendapatkanku.

Kukira aku sudah aman saat mencapai lantai atas, namun tiba-tiba dua lengan kokoh menangkap pinggangku dan sontak saja tubuhku terangkat dari lantai. Punggungku menempel di dada Mark karena ia mendekapku erat dari belakang.

"Mau ke mana, Sayang?" tanya Mark dengan setengah berbisik di telingaku.

Kakiku menendang-nendang udara, berusaha melepaskan diri. "Mark! Lepaskan!"

"Kau tahu? Ini bagian terbaik dari memiliki istri mungil. Aku bisa mengangkat-angkatmu kapan saja, membawamu ke mana saja, dan kau tidak bisa memberontak."

"Turunkan aku!"

"Kita tidak usah jadi bersepeda pagi ini, ya."

"Kau sudah berjanji! Kemarin-kemarin hujan jadi kita akan bersepeda hari ini." Aku melemparkan nada menuntut.

"Aku berubah pikiran."

"Kau jahat sekali!" Aku berusaha melepaskan lengan Mark dari perut dan bagian bawah dadaku.

"Salahmu sendiri karena menciumku lalu berusaha melarikan diri. Memancing-mancingku saja."

"Aku sama sekali tidak punya niatan untuk memancing-mancingmu," jelasku.

Napas Mark menggelitikku dari belakang. "Oh ya?"

"Aku hanya iseng." Aku membela diri. "Maaf."

Mark menurunkanku dan membuatku berdiri menghadapnya. "Aku tidak ingin kau minta maaf."

"Jadi?" Aku dibuat bingung sekali.

Mark tersenyum samar. "Aku ingin kau sering-sering melakukannya."

Aku membeku dengan wajah bersemu-semu.

Mark tersenyum. "Ya sudah, ayo temani aku ke dapur."

"Uh, aku sibuk." Aku menolak. Mana mungkin aku bisa mengiyakan setelah apa yang terjadi.

Mark mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. "Sibuk apa?"

Aku berpikir.

Mark beringsut maju. Kedua tangannya meraih pinggangku. "Kenapa tiba-tiba menolak berduaan saja bersamaku di dapur?" tanyanya dengan nada rendah. Ia tersenyum miring. "Kau takut?"

"Untuk apa aku takut? Memangnya di dapur ada apa?" Aku berusaha berkilah.

"Ada aku."

"Kau kan tidak menggigit." Kulontarkan kalimat andalanku setiap kali Mark mulai aneh-aneh.

Senyuman miring itu semakin mendominasi raut wajah Mark."Well...terkadang. Kau tidak sadar?"

Kutendang pelan ujung sendal rumah Mark karena ia berbicara yang tidak-tidak begitu. Ia hanya terkekeh sementara pipiku merah padam.

Mark mencubit pipiku. "Menyenangkan sekali menggodamu."

Aku memberengut.

Mark memelukku. "Oke, aku akan lanjut membuat kue. Nanti aku akan membawakannya untukmu saat sudah selesai."

Aku mendongak. Mark masih memelukku. "Kutunggu, ya," kataku antusias untuk menyemangati Mark.

Mark mengangguk. Ia mengecup keningku lalu melepaskan pelukannya.

Saat Mark kembali berkutat dengan kuenya, aku memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan. Hatiku mencelus mendengar suara hujan mulai turun. Hari ini kami gagal bersepeda lagi.

Rencana kami untuk makan es krim beberapa hari lalu juga terpaksa harus pupus karena ternyata tokonya tutup. Untung saja waktu itu aku memang sudah kenyang setelah makan siang dengan pasta jadi aku tidak terlalu kecewa, tapi Mark sepertinya masih belum puas jika belum menunjukkan kepadaku betapa lezatnya es krim di kedai bernama Mountain Creamery.

"Pokoknya aku harus membawamu ke sana kapan-kapan," kata Mark waktu itu saat kami dalam perjalanan pulang.

Menyadari Mark selalu ingin berbagi hal-hal yang disukainya denganku membuat hatiku tersentuh.

Aku beruntung sekali memilikinya.

Aku mencoba memusatkan seluruh perhatianku pada buku yang tengah kubaca, namun tiba-tiba itu seperti terasa sulit sekali. Aku ingin menyusul Mark di dapur, tapi ia sedang ingin berkreasi dengan kue yang ingin dihadiahkannya kepadaku, jadi rasanya tidak tepat jika aku ikut nimbrung.

Mark baru menyusulku ke perpustakaan sekitar tiga puluh menit kemudian. Ia berdiri di ambang pintu dengan membawa sesuatu yang mirip seperti bongkahan-bongkahan berasap berwarna cokelat di atas piring.
"Ayo ke ruang perapian saja. Lebih nyaman di sana saat hujan begini."

Aku mengangguk setuju dan langsung berjalan mengikuti Mark menuju ruang perapian. "Apakah itu brownies?" tanyaku saat kami berjalan melintasi koridor.

Mark mengangguk sumringah. "Semacam itulah, aku mencoba resepnya dari internet. Aku tidak tahu ini berhasil atau tidak."

"Kelihatannya enak kok," kulirik lagi brownies di piring. Penampilannya memang jelek dan dipotong-potong tidak rapi. Tapi siapa tahu rasanya lezat.

Aku duduk di sofa sementara Mark mulai menyalakan perapian. Hujan turun semakin deras dan kini mulai disertai angin. Saat aku bangun tidur tadi, aku langsung memeriksa ponselku untuk mengetahui suhu pagi ini. Ternyata rendah sekali, hanya -2°C. Pantas saja kepalaku agak berdenyut karena tubuhku sedang berusaha menyesuaikan diri dengan cuaca bulan November. Tapi tetap saja, jika tidak hujan aku masih ingin bersepeda bersama Mark.

Mark menghampiriku setelah perapian mulai menyala hangat. Ia duduk di sisiku dan mengulurkan brownies buatannya. "Cobalah, sudah dingin."

Aku mencomot sepotong, meniupnya sebentar, lalu menggigit brownies di tanganku. Agak batat dan kurang manis, tapi tidak terlalu buruk karena yang kupentingkan adalah niat tulus Mark. "Lezat."

Mark menyipitkan matanya, menelisik kesungguhanku. "Aku mau coba juga." Ia membuka mulutnya, meminta untuk disuapi.

Kuulurkan browniesku kepada Mark dan membiarkannya menggigit. Ia terlihat berpikir saat mengunyahnya.

"Keras," ujar Mark dengan dahi berkerut lucu. "Dan tidak manis. Apanya yang lezat?"

Aku tersenyum geli. "Percayalah, ini enak karena kau yang membuatnya." Kugigit lagi brownies di tanganku. "Pas sekali dijadikan cemilan hujan-hujan begini," kataku setelah melahap suapan terakhir.

Mark mengacak rambutku. Ia lalu mengusap lembut remahan brownies yang menempel di bawah bibirku, membuatku seketika membeku karena salah tingkah. "Well, terlepas dari bagaimana pun rasanya, brownies ini kubuat spesial hanya untuk istriku yang cantik."

"Aku tidak cantik," selaku, masih dengan pipi bersemu.

Mark berjengit. "Tidak cantik bagaimana?"

"Pertama, aku tidak tinggi semampai." Aku mulai menyebutkan daftarnya.

Mark menyingkirkan sepiring brownies yang berada di antara kami dan beringsut mendekat. Ia meraih pinggangku. "Kalau aku lebih suka dengan yang mungil sepertimu kau bisa apa?"

Wajahku semakin memanas mendengar itu, terutama karena tubuh Mark kini menaungiku. "Kedua..." sambungku dengan gugup.

"Masih ingin melanjutkan?" Mark tersenyum miring.

Aku menarik napas. "aku-"

Kalimatku terhenti karena Mark tiba-tiba mengecupku hangat. Jantungku seperti akan meledak di tempatnya. Pikiranku langsung buyar, sama sekali tidak ingat dengan apa yang ingin kuucapkan tadi.

Mark menarik wajahnya. Dua manik birunya menghujamku."Harus berapa kali kukatakan bahwa kau adalah segala yang kuinginkan, Clavina?"

Mataku mengerjap, paru-paruku seperti meronta meminta asupan oksigen.

Mark menyentuh pipiku, jemarinya menelusur lembut. "Aku selalu menyukai pipimu yang mudah sekali dibuat merona," gumamnya dengan nada rendah. Ia mengulum senyum. "Sifat mudah gugupmu setiap kali aku meniadakan jarak di antara kita, kepolosanmu, serta betapa seringnya kau berusaha 'melarikan diri' dariku... hal-hal itu justru membuatku semakin gila. Itu berbahaya untukmu di sini, Clavina. Karena itu semua adalah kelemahanku."

Clavina, bernapas. Kumohon, bernapaslah.

Mark kian menunduk. Ia menempatkanku di antara kedua lengannya. "Kau adalah kekuatan sekaligus kelemahan terbesarku, Clavina Evano."

Aku terbius di bawah tatapan mata biru Mark. Tanganku menyentuh dadanya, berusaha merasakan degup jantung di sana. Mataku memejam, menikmati setiap degup kehidupan yang Mark miliki; hal yang paling berarti bagiku.

Aku merasakan punggungku direngkuh dan sedetik kemudian aku tenggelam dalam pelukan Mark. "Jangan pernah tinggalkan aku, Clavina." Mark mengucapkan itu dengan nada putus asa yang pekat.

Kucengkeram erat kemeja bagian belakang Mark. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia terlihat sangat rapuh. "Mark... aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu di sisimu meski jika kau tidak pernah meminta."

"Aku terlalu gelap untukmu, Clavina." Mark seperti memperingatkan. "Kau punya sejuta alasan untuk meninggalkanku."

"Aku tidak peduli," tegasku. "Kau adalah dirimu yang sekarang. Aku tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di belakangmu."

"Tapi beberapa orang peduli." Gumam Mark rendah.

Hatiku teremas. Jadi benar, Mark bukannya tidak tahu bahwa beberapa orang menyimpan kebencian terhadapnya karena citranya di masa lalu. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengisyaratkan bahwa tentunya bukan hanya Kate dan Reese yang berada dalam daftar.

"Sudah pernah kukatakan, kadang bayangan gelap itu masih mengikutiku kemana pun aku pergi." Mark melanjutkan. "Aku tidak mencemaskan apa yang kuterima, namun aku mencemaskanmu, Clavina. Beberapa orang akan memandangmu dengan cara berbeda karena kau berdiri di sisiku."

"Sudah kukatakan aku tidak peduli, Mark!" Kueratkan pelukanku pada Mark. "Apa pun yang mereka katakan tidak akan kubiarkan mempengaruhiku. Aku bahagia menjadi istrimu. Aku mencintaimu dan pernikahan ini berarti segalanya bagiku. Mereka tidak tahu apa-apa tentangmu, tidak tahu apa-apa tentang kita. Seandainya pun seisi dunia berkata buruk tentang dirimu, aku akan bertahan karena aku lebih mempercayai suamiku."

"Clavina..."

"Aku memang tidak tahu sepenuhnya bagaimana dirimu di masa lalu, dan aku memang tidak ingin tahu. Hari ini adalah hari ini, aku tidak peduli dengan apa yang sudah berlalu, kita semua pernah berbuat salah. Kita memang bahkan belum genap dua bulan bersama, tapi aku tahu bahwa Mark Evano yang sesungguhnya adalah dirimu yang sekarang. Semua hal yang telah kau lakukan untukku membuatku membuka mata dan menyadari bahwa masih ada kebaikan dan ketulusan di dunia ini. Dua bulan lalu aku bukanlah siapa-siapa bagimu, Mark. Tapi kau melakukan semua ini. Kau tidak tahu betapa berartinya itu bagiku. Kau bilang kau terlalu gelap bagiku? Kau salah. Kau justru terlalu terang hingga terkadang aku merasa tidak pantas berada di sisimu."

"Clavina! Tolong jangan katakan itu." Mark membenci kalimat terakhirku. "Kau segalanya."

Aku beringsut mundur supaya bisa menatap wajah Mark sementara kedua lengannya masih memautku. Air mukanya terlihat penuh kesedihan. Mataku berkaca-kaca. "Begitu juga kau bagiku. Aku menyayangimu dan aku mempercayaimu, Mark. Bagaimana kau akan bersikap terhadap kepercayaanku, itu sepenuhnya pilihanmu. Tapi aku ingin kau tahu satu hal; aku tidak akan pernah meningalkanmu hanya karena apa yang berada di belakangmu dan apa yang dikatakan orang-orang akan hal itu. Meski jika seisi dunia membenciku karena keputusanku, aku akan tetap memilih suamiku."

Mark kembali menarikku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat sekali, seolah ia akan kehilangan segalanya jika mengendurkan pelukannya sedikit saja. "Terima kasih, Clavina. Terima kasih." Mark berucap dengan suara agak bergetar. "Kau tidak tahu kebahagiaan dan keutuhan sebesar apa yang kau bawa sejak kau hadir. Aku tidak bisa membayangkan jika aku kehilanganmu. Aku tidak ingin separuh diriku harus dibawa pergi lagi."


****


Kuputuskan untuk menghampiri studio karena Mark masih belum beranjak dari sana padahal ini sudah hampir tengah malam. Saat aku hendak mengetuk pintu, suara di baliknya membuatku membeku.

"Bukannya begitu, tentu saja aku tertarik. Aku sudah lama memimpikan ini, tapi aku tidak ingin meninggalkan istriku sendirian di rumah."

Mark sepertinya sedang bertelepon.

"Ya. Aku sudah menikah. Dua bulan lalu." Mark berhenti, seperti tengah mendengarkan lawan bicaranya. Ia lalu tertawa kecil. "Makanya kau juga menikah agar kau tidak perlu bertanya-tanya."

Mereka ini sedang membicarakan apa?

Kupandangi sendal buluku. Tiba-tiba aku merasa bersalah karena menguping pembicaraan Mark.
Aku baru saja berniat beranjak namun Mark kembali bersuara dan ucapannya membuatku mengurungkan niat.

"Ngomong-ngomong, kenapa New Orleans?"

Jantungku seperti berhenti berdegup.
New Orleans.

"Sampaikan salamku pada Mr.Howard kalau begitu. Tapi untuk menerima tawaran pameran foto ini, entahlah. Saatnya seperti tidak tepat meski hanya dua hari. Hm? Aku tahu, ini kesempatan yang sayang untuk kulewatkan. Tapi aku punya prioritas lain untuk sekarang."

Mark terdiam lagi.

"Membawa istriku ke New Orleans? Entahlah, John. Aku tidak yakin. Ceritanya panjang."

Pameran foto. New Orleans. Mimpi Mark. Posisiku di tengah-tengah situasi ini.

Ya ampun.

Rasa bersalah semakin menelusup ke dalam dadaku.

Mark berbincang lagi di telepon selama beberapa saat. Sosok di seberang panggilan yang dipanggil John itu sepertinya masih berusaha membujuk Mark namun sepertinya Mark masih belum ingin berubah pikiran.

Telepon berakhir kurang dari semenit kemudian.

Aku berdiri kaku di tempatku. Untuk sesaat, aku seperti bingung dengan apa yang akan kulakukan selanjutnya.

Tapi aku tetap harus mengajak Mark tidur. Ia butuh istirahat.

Kuketuk pelan pintu studio dan menarik napas panjang.

"Masuk saja, Clavina. Tidak dikunci." Mark menyahut dari balik pintu.

Aku melangkah masuk. Mark masih duduk di meja kerjanya dengan laptop yang masih menyala.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Mark saat aku menghampirinya.

"Kupikir aku yang seharusnya bertanya," gumamku sembari memasang senyum. "Sedang sibuk sekali, ya?"

"Sebentar lagi selesai. Kau sebaiknya kembali ke kamar, di sini dingin. Nanti aku menyusul."

Alih-alih kembali ke kamar, aku malah mengambil tempat duduk di ujung sofa. Kuperhatikan dengan seksama apa yang membuat Mark larut dengan dunianya sendiri.

Mark memberiku tatapan menegur. "Clavina, tidur."

"Aku tidak bisa tidur." Aku semakin bersandar ke belakang, kedua tanganku bersilang di depan dada untuk menjaga tubuhku tetap hangat.

Mark tersenyum jahil. "Karena tidak ada aku?"

"Tidak juga." Aku berkilah.

Mark menggeser posisi duduknya dan memandangiku lama dari meja kerjanya dengan wajah menuduh yang menyebalkan. Senyuman miring andalannya itu membuatku ingin menyikutnya.

"Jangan menatapku seperti itu," protesku.

"Kenapa tidak?" Mark tetap mempertahankan raut isengnya. "Aku bisa menatapmu dengan cara seperti apa pun, selama apa pun."

"Terserah." Aku tahu mendebat hanya akan membuat Mark semakin ingin menggodaku.

"Baik. Ayo kita tidur." Mark menyimpan file pekerjaannya, mematikan laptop, lalu berjalan menghampiri tempatku duduk. Ia meraih tanganku agar aku bangun beranjak dari sofa.

"Aku sudah terlanjur malas bergerak," erangku. "Kau lanjut bekerja saja. Aku mau tidur di sini."

"Jangan aneh-aneh." Mark membopongku tanpa permisi, sama sekali tidak memberiku waktu untuk memberontak. Ia juga mengabaikan rentetan protesku.

Mark membawaku masuk ke kamar dan menidurkanku dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia menyelimutiku hingga aku merasa sehangat mungkin. "Tidurlah, aku harus menggosok gigi terlebih dahulu."

"Mmhm." Aku mengiyakan dengan sekadarnya. Mataku tidak lantas terpejam meski sebenarnya aku sudah cukup lelah dan mengantuk. Telingaku mendengar sayup-sayup Mark menggosok gigi yang disusul dengan suara air yang mengucur dari keran. Detak jarum dari jam tangan Mark di atas nakas juga tidak mau kalah bergantian menyambangi gendang telingaku. Dengungan statis samar penghangat ruangan, seekor serangga kecil yang menggerakkan sayap transparannya di atas lampu tidur, hingga degup jantungku sendiri membaur menjadi sesuatu yang menemaniku di sini.

"Belum tidur juga?" Mark kembali dengan aroma mint samar.

"Aku menunggumu," akuku dengan suara pelan.

Mark membaringkan tubuhnya di sisiku, membuat posisi kami saling berhadapan. Ia memainkan rambut di belakang telingaku setelah menarik selimut. Kedua matanya menatapku lekat, hal yang tiba-tiba membuatku merasa kesulitan bernapas. Aku memohon supaya degupan jantungku tak terjangkau pendengarannya.

"Sekarang aku di sini," kata Mark lirih. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di dahiku.

Gerakan lembut jemari Mark pada rambutku mengirimkan sensasi rileks. Perlahan mataku mulai terasa berat.

Aku ingin bertanya perihal telepon tadi, tapi sepertinya saatnya belum tepat. Sudah malam dan Mark juga harus beristirahat.

Kesadaranku perlahan menguap sedikit demi sedikit. Mataku yang sudah sayu sekali masih berusaha memandangi Mark.

"Kemari, mendekatlah. Aku lelah dan ingin menghilangkannya dengan tidur sambil memelukmu." Mark menarik pelan pinggangku agar jarak di antara kami tidak ada lagi. Ia mengecup keningku lama. Seiring dengan itu, rasa kantuk sudah sepenuhnya menguasaiku. Aku terlelap damai dalam dekapannya.





[Bersambung]





Hello? Check.. check.

Masih ada orang di sini?

Hiks. Sedih, beberapa hari ngga bisa nulis soalnya sejak dapet vaksin kedua badan bawaannya pengen dibawa tidur mulu.

Semoga masih ada yang nungguin Mark & Clavina. 🤗🤗

See you again on the next chapter btw. Ikatan di antara Mark dan Clavina makin strong kok. Kalian ngga perlu khawatir kalo untuk urusan itu.

Anyway, kalian pengen Mark ngejar mimpinya dengan balik ke New Orleans atau lepasin itu demi jagain Clavina?

You'll find the answer pretty soon. 🤗🤗

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

PAIN Door 민윤기

Tienerfictie

122K 6.6K 34
Ketika kegelapan mata menguasai,Pilih kasih pada anak sendiri hingga pemfitnahan pembunuhan terhadap anak-anaknya. Kesalah pahaman yang membuat keh...
57.1K 7K 50
Amplop cokelat tanpa nama pengirim dan penerima, hanya ada seutas tali rami mengikatnya. Entah apa yang tersimpan di dalam, bisa narkoba, bisa juga s...
493K 26.4K 33
WARNING : Aturan pertama dalam jatuh cinta adalah cintai dirimu sendiri terlebih dahulu. Sudahkah kamu melakukannya? 💃Ingat Ya, Ini cerita FIKSI yg...
4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...