The Village : Secrets Of Past...

By DellaNopyta

9K 2K 9.8K

Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mi... More

Opening
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Epilog

Chapter 13

93 31 190
By DellaNopyta

Hari cukuplah terik, sang penguasa siang pun tergantung seakan duduk begitulah mantap di singgasana tertingginya. Semacam kejadian apa pun di bawah sana tidak akan membuat ia beranjak sedikit pun dan akan memilih menonton seraya tersenyum kian melebar. Menjadikan pula seruan jangkrik-jangkrik sebagai peramai suasana atas pertunjukan yang entah apa itu. Namun, sangatlah menyenangkan untuk berlama-lama disaksikan.

Bagaimana tidak, pasalnya sebagai seorang putri bangsawan yang sudah sepatutnya menjaga sikap agar tetap anggun malah kini terlihat sedang asyik memanjat pagar tembok area belakang kediaman rumahnya sendiri. Berusaha pula semampu mungkin hanya untuk kemudian kebingungan harus bagaimana turun ke bawah sana tanpa bantuan tangga atau apa pun, karena memang tembok pagar ini tidaklah begitu tinggi hingga membutuhkan bantuan. Namun, setelah berada di atasnya, kenapa justru terlihat cukuplah tinggi?

"Apa kau benar seorang wanita bangsawan?"

Serta merta, wanita bangsawan yang akan segera menjadi istri Tuan Muda Da Lin ini menoleh ke asal suara. Mendapati Ji Yu malah dengan mudahnya memanjat, bahkan melompat turun semacam pagar tembok ini bukanlah apa-apa.

"Ji Yu, cepat bantu aku turun."

Akan tetapi, pria ini malah terkekeh dan bukannya membantu. Sukses pula mengundang gelak tawa dari burung-burung kecil yang sedang bertengger santai pada sebatang pohon persik. Yang mana Hui Yan sendiri tidaklah terlalu memedulikan burung-burung tersebut karena kendala turunnya ini harus sesegera mungkin diselesaikan, atau jikalau tidak, malah akan ada pelayan rumah yang menangkap dan tak akan mengizinkan ia keluar berkat hari pernikahannya besok.

Bukankah sudah menjadi tradisi? Jikalau seseorang yang akan segera menikah akan dimintai untuk terus-terusan saja berdiam diri di dalam rumah. Bukannya keluyuran keluar, apalagi bersama dengan pria lain pula.

"Melompatlah," pinta Ji Yu kemudian, tepatnya setelah puas mentertawakan Hui Yan. "Percaya padaku, aku tidak mungkin membiarkanmu jatuh."

"Huff ... baiklah, pastikan kau menangkapku dengan baik. Pastikan," tekan Hui Yan, mendapati pria ini tersenyum seraya mengangguk yakin. Yang mana Hui Yan sendiri berakhir memejamkan sepasang mata sembari membawa tubuhnya benar-benar melompat turun seakan sedang terbang bersamaan dengan dedaunan kering yang lepas dari pohon persik.

Herannya, kenapa pula burung-burung kecil ataupun jangkrik-jangkrik begitulah diam? Apa sebegitu tegangnya mereka akan situasi saat ini? Ataukah barangkali terpesona akan kecantikan Hui Yan yang diterpa tiupan angin? Di mana rambut sebagian yang tergerai memanjang menutupi punggung itu tersibak nan indah, berkilau kehitaman menunjukkan betapa terawatnya rambut itu sendiri.

Jikalau bukan itu alasannya, lantas hewan-hewan itu justru iri, 'kah? Tepatnya iri pada Ji Yu yang menjadi sosok penangkap, menggendong mantap wanita memesona ini. "Ayo pergi, mari kita habiskan waktu bersama." Barulah wanita memesona ini membuka kembali sepasang matanya, mendapati Ji Yu masihlah tersenyum manis pun hangat. "Jika putri bangsawan lainnya melihat sikapmu barusan, kau sudah pasti dicoret dari kelompok mereka," godanya seraya menurunkan Hui Yan dengan hati-hatinya.

"Baguslah, aku memang menginginkan gelar bangsawan itu sendiri dihapuskan," timpal Hui Yan, bahkan menyunggingkan senyuman yang mampu memancarkan sebuah ketulusan di balik sepasang mata yang ikut pula tersenyum. "Ayo, pergi dan nikmati waktu ini," ucapnya lagi seraya menerima uluran tangan Ji Yu, dan berakhir sudah sepasang kekasih ini menelusuri jalanan yang barangkali akan menjadi jalanan terakhir bagi mereka untuk mampu bergerak sesantai ini.

Lantas, ke mana sekiranya mereka akan menghabiskan waktu bersama? Atau barangkali inilah yang disebut kencan? Tepatnya kencan ala-ala zaman dulu seperti yang dipahami Xue Jing dan He Ting yang diam-diam pula akan menanti seperti apa jadinya kencan di kala zaman ini.

Maka dari itu, di sinilah kini sepasang kekasih ini berada. Bergabung dalam keramaian akan lalu-lalang orang-orang seraya pandangan terus diarahkan pada barang-barang dagangan di sisi kiri dan kanan yang terpampang ini. Tak mengherankan pula jikalau pedagang akan menawarkan barang dagangan mereka dengan mulut begitulah manis, apalagi jikalau melihat penampilan Hui Yan dalam balutan hanfu sutra, semakin gencar pula pada pedagang-pedagang ini akan merayu, bukan?

Namun, Hui Yan bagaikan tidak sama sekali termakan rayuan, terus saja menolak dengan ramahnya hanya untuk kemudian menonton suatu atraksi jalanan, menikmati santapan siang pada salah satu kedai kecil, mencicipi beragam jenis camilan serta manisan yang ada tanpa sekali pun terlihat mereka melepaskan tautan tangan. Bahkan wajah di masing-masing mereka begitulah dipenuhi sukacita semacam dunia saat ini tidak sama sekali menyulitkan kehidupan atas perbedaan kasta mereka itu.

"Kemarilah," ajak Hui Yan, menarik lengan Ji Yu dengan antusiasnya hanya untuk mendekati salah satu pedagang pinggiran. "Lihatlah, bukankah semua benda ini bagus?" tanyanya, dan Ji Yu hanya tersenyum menanggapi. Bahkan Hui Yan sendiri tak bisa melepaskan pandangan barang sejenak saja dari benda bagus yang dimaksudkan ini. Tepatnya beragam aksesoris yang terbuat dari batuan giok.

Akan tetapi, kenapa pula Ji Yu kini bertindak seakan begitulah serius? Terus saja memandangi suatu benda yang tak lain berupa sepasang cincin giok abu-abu. Yang mana pria pedagang serta merta mendekat, mengambil sepasang cincin giok yang menjadi incaran untuk kemudian diberikan secara diam-diam pada Ji Yu. "Ambillah, kau cukup membayar setengah harga saja padaku," ucapnya.

Namun, bagaimana bisa Ji Yu mengambilnya? Tidakkah pedagang ini akan rugi di kala giok bukanlah benda murah? Terlebih, kenapa pedagang ini bisalah begitu bermurah hati? Apa karena rasa kasihan ataukah justru sedang beramal dikarenakan hasil dagangannya untuk hari ini laku keras?

Apa pun itu alasannya, Ji Yu sangatlah berterima kasih dan tidak akan menolak berkah ini. Lagian kapan lagi akan mendapat berkah seperti ini, bukan?

Oleh karena itu, terbelilah sudah sepasang cincin tersebut. Yang mana kemudian mengajak Hui Yan pergi ke suatu tempat, menerobos keramaian hanya untuk berlarian. Pun Hui Yan yang menanyakan akan ke mana tak dijawabnya sama sekali, sungguh tidak bersikap sebagaimana Ji Yu biasanya.

Tak mengherankan, bukan? Jikalau Hui Yan mulai memasang kecurigaan penuh. Belum lagi tusuk konde yang dipilih-pilihnya tadi dengan antusias belumlah terbeli. Ingin kesal pun, tidak mungkin, bukan? Hal itu jelas masalah kecil dan mereka bisa kembali lagi nanti tepat setelah Ji Yu selesai dengan urusannya.

Hanya saja, benarkah di sini tempat yang ingin pria ini datangi? Tapi kenapa? Tidak ... bukannya merendahkan Ji Yu atau apa, melainkan tempat ini adalah sebuah toko pakaian yang khusus menjualkan kain-kain atau jenis pakaian jadi berbahan sutra. Lantas, apa mungkin Ji Yu ingin mencoba pakaian sutra?

"Inilah hal yang sangat ingin kulakukan untukmu, membeli pakaian. Pilihlah, pakaian yang kau sukai."

"Ji Yu ... ini ...."

"Jangan khawatir, aku punya tabungan lebih bahkan setelah membelikanmu pakaian. Pilihlah tanpa merasa beban, ini hal yang harus dan ingin sekali kulakukan padamu, setidaknya sekali dalam hidupku."

Hui Yan masih saja bergeming, merasa sangat keberatan akan hal ini. Bukankah lebih baik jikalau pria ini membeli untuk dikenakan olehnya saja? Belum lagi uang tabungan itu tidaklah didapatkan dengan mudah, jelas saja Hui Yan sendiri paham akan kesulitan itu dan dibutuhkan bertahun-tahun pula untuk mengumpulkan uang-uang tersebut. Akan tetapi, jika menolak. akankah Ji Yu marah atau bahkan merasa kecewa? Dan bagaimana jikalau harga dirinya sebagai seorang pria malah justru terusik pula?

Tidak, tidak ... aku baru saja berbaikan dengannya semalam, tentu tidak boleh bertengkar lagi, bukan?

Alhasil, di saat Hui Yan telah memutuskan akan menerima saja tawaran tersebut, di saat itu pula Ji Yu malah sudah menariknya masuk. Pun pria ini pula yang mengedarkan pandangan, mencari-cari modelan pakaian seperti yang akan cocok dan serasi dengan wanitanya ini. Biar kata sebenarnya tidak perlu mencari, karena Hui Yan sendiri akan sangat cocok dalam segala jenis modelan dan warna pakaian yang ada.

Namun tetap saja, ia hanya bisa membelikan satu jenis pakaian saja. Oleh karenanya, harus yang terbaik dan terindah. Karena ini yang pertama dan mungkin pula akan menjadi yang terakhir di mana ia bisa membelikan pakaian mahal.

"Ketemu," ucapnya, menunjuk pada salah satu pakaian yang terpajang di sudut dari ruangan. "Cobalah, dan biarkan aku yang melihat," lanjutnya, mendorong Hui Yan untuk mendekat lebih lagi pada pakaian yang dipilihnya itu. "Cepatlah, ini perintah," candanya dan itu sukses mengembangkan senyuman Hui Yan, atau lebih tepatnya ia ingin meringankan rasa tak enak hati dari wanitanya ini.

Alhasil, berhasil sudah. Hui Yan sungguh mengambil dan mencoba pakaian tersebut untuk kemudian segera masuk ke ruangan ganti yang telah disediakan. Sedangkan Ji Yu sendiri, sudah menjadi tugasnya untuk menanti seraya sibuk memerhatikan cincin yang dibelinya tadi. Masih belum bisa sepenuhnya percaya akan tiba momen seperti ini dalam hidupnya. Begitulah membahagiakan, tapi juga mengkhawatirkan di saat bersamaan.

Khawatir jikalau semua kebahagiaan ini akan berakhir, khawatir jikalau ini semua adalah mimpi dari tidur siangnya, khawatir jikalau ia malah mengacaukan kehidupan dari seorang wanita yang harusnya hidup tanpa kenal susah, dan khawatir pula ... jikalau semua ini tidak akan berakhir seindah yang dipikirkan. Dan semua rasa khawatir nan menggelisahkan itu, mau tidak mau harus dihentikan sekarang juga. Tepat ketika ruang ganti terbuka sudah pintunya. Menampilkan Hui Yan dalam balutan hanfu pilihan Ji Yu.

"Bagaimana? Apakah cocok untukku?"

"Ini ...! Adegan mimpi yang sering kulihat."

Senyum manis berbinar mata jernih, Hui Yan mengenakan pakaian hanfu sutra berwarna dasar putih dengan corak biru kehijauan, bagian lengan memanjang dan lebar dilengkapi pula akan selendang berwarna peach menggantung di kedua sisi lengannya, sementara bagian bawah memanjang hingga ke mata kaki dengan ukiran bunga keemasan mengelilingi. Rambut panjang hitam terkuncir setengah bagian lengkap dengan aksesoris menghiasi pula, sedangkan sebagian rambut yang tergerai dibiarkan menutupi punggungnya hingga ke pinggang seakan menambah sempurna kecantikan yang dimiliki.

"Hmmm ... sangat cocok denganmu."

"Tidak salah lagi, ini sungguh adegan dalam mimpiku dan juga mimpi Xue Jing."

Dengan wajah penuh kekaguman serta kebahagiaan, Ji Yu mengikis jarak pun mengulurkan sebelah tangan yang serta merta diterima baik oleh Hui Yan sendiri. Namun, apalagi sekiranya yang hendak pria ini lakukan? Tidak mungkin akan mengecup tangannya di kala penjaga toko sedang melihat, bukan? Akan tetapi, tampak tidaklah demikian.

Lantas, kenapa pria ini begitulah lekat memandang? Sungguh pandangan yang membuat gugup saja, dan barangkali pipi saja sudah bersemu dibuatnya. Tidak bisa, jika dibiarkan terus seperti ini yang ada aku sungguhan akan menjadi bahan ledekannya nanti. Mencoba melepaskan diri dari genggaman Ji Yu, tapi tidaklah segampang itu karena pria ini semacam tidak mengizinkan. Hanya saja, kenapa? Apa ada yang ingin disampaikan?

"Ji Yu ... kau ...." Terhenti, mendapati pria ini mengeluarkan sesuatu yang sukses mengeluhkan lidah Hui Yan. Bahkan ketika Ji Yu menyematkan benda melingkar tersebut di jari manis tangan kanannya, Hui Yan masihlah bergeming dengan sepasang mata justru meluruhkan sebulir cairan bening seraya mulut menyunggingkan senyuman.

"Mulai sekarang, kau adalah wanitaku. Apa pun yang terjadi padamu, itu akan menjadi urusanku dan akan pula menjadi orang yang selalu bersamamu ... layaknya jantung yang kau miliki, selalu bersamamu." Dan Hui Yan hanya mengangguk-angguk, mengambil cincin satunya lagi dari tangan Ji Yu hanya untuk kemudian tanpa keraguan sedikit pun menyematkannya pada jari manis tangan kiri pria pilihannya ini. Pun berakhir pula keduanya saling mengecup bibir, masa bodoh dengan penjaga toko yang ada.

"Mari kita pulang," ajak Ji Yu setelahnya, tanpa lupa mengambil pakaian yang dikenakan Hui Yan sebelumnya dari ruang ganti, melipat rapi kemudian.

"Aku tidak tahu ...." Menggantungkan kalimat, tampak sulit mengungkapkan seraya kesedihan ikut hadir pun tertera di keseluruhan wajah beriaskan tipis bedaknya ini. "Sekiranya kapan bisa kembali ke toko ini lagi," lanjutnya, ada semacam perasaan kehilangan pula dirasakan saat matanya melihat sekitar toko yang dipenuhi kain pakaian berwarna-warni ini.

"Jika keberatan ...."

"Tidak, tentu aku tidak keberatan," potongnya cepat, yakin. "Selama denganmu, aku tidak akan pernah keberatan," ucapnya lagi, pun kemudian tersenyum lebar menampilkan deretan gigi rapinya dari balik bibir ranum alami yang dimiliki.

"Terima kasih, sungguh." Meskipun sebenarnya tidak perlu mengucapkan kata ini, tapi tetap saja Ji Yu tidak bisa jikalau tidak mengatakannya. Yang mana genggaman erat tangan mereka terlihat semakin mengerat, sepasang tungkai pun berakhir digerakkan melangkah keluar seolah siap menghadapi kenyataan yang ada di depan sana.

Namun, kenyataan seperti apa itu akan berada jauh dari imajinasi mereka sendiri. Mungkinkah itu hukuman? Hukuman karena telah melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan, terlebih pada ayahnya Hui Yan. Sosok orang tua yang sudah semestinya dihormati bukannya diakali. Tidak mengherankan pula apabila Hui Yan yang kini memalingkan wajah ke belakang, berakhir menjatuhkan kembali sebulir air mata.

Continue Reading

You'll Also Like

488K 105K 83
[Fantasy & Minor Romance] Setelah mati, Stella malah terbangun sebagai karakter di cerita terakhir yang dibacanya. "The F...
679 117 5
(Yuk, follow dulu sebelum baca) Rosie dikejar-kejar oleh seorang nenek aneh tidak dikenal saat pulang dari gereja. Siapa sangka bahwa sang nenek memi...
1M 99.8K 31
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
839 354 27
"Kuharap hanya kisah ini yang abadi" Gumam seorang gadis pembawa buku diatas tebing dengan gaun berwarna merah hitam. Di sana, ia melompat, ditemani...