MAHESA

By dinasauruzs

799 86 27

Soal Mahesa dan bagaimana dia memandang dunia. More

Prolog
Bertemu: Cast
Mahesa: Lepas
Mahesa: Waktu
Mahesa: Pergi
Mahesa: Halte
Mahesa: Radio
Mahesa: Rubanah
Ditulis Oleh Mahesa
Ditulis Oleh Mahesa

Mahesa: Tana

32 4 4
By dinasauruzs

Sejak pertama kali menapaki kaki di Tana, aku tidak bisa melepas kekagumanku begitu saja meskipun aku tiba di tempat ini larut malam sekali. Pagi ini, Mahesa mengajakku menjelajahi seisi Tana dengan dia sebagai tour guide nya. Selepas memasuki gerbang putih yang cukup tua, mataku disambut dengan rupa-rupa bunga yang tidak aku ketahui persis namanya. Bunga-bunga dengan warna beragam itu mengisi di sepanjang kurang lebih seratus meter jalan yang tak seberapa besar yang hanya cukup untuk dilalui oleh satu kendaraan beroda empat saja. Di antara bunga-bunga itu ada kolam kecil dengan semacam bambu yang dibentuk seperti tempat untuk aliran air serta ikan-ikan di dalamnya yang tentunya mampu memperokokoh keasrian di Tana.

Bangunan utama dengan tembok yang seluruhnya berwarna putih tulang dengan pintu dan jendela yang aku tebak terbuat dari kayu jati serta satu buah meja bundar yang tidak terlalu besar dengan empat kursi yang melingkarinya jadi pemandangan pertama saat aku tiba di depan bangunan utama Tana. 

"Bangunan ini disebut Pandu." 

Begitu kata Mahesa kepadaku. Singkat dan padat. Aku tidak menanyakan filosofi dari nama bangunan ini kepadanya. Tidak ada alasan spesifik kenapa aku tidak menanyakan hal tersebut pada Mahesa, jelasnya, aku hanya sedang menunggu laki-laki ini menceritakan filosofi tersebut kepadaku.

Udara beraroma pinus dan laut perlahan-lahan jadi tamu dalam penciumanku. Mahesa bilang tepat di belakang bangunan yang aku lihat ini, beberapa ratus meter di belakang sana, ada pantai dengan warna biru lautnya yang menghangatkan serta deburan ombaknya yang mampu menciptakan irama lembut. 

Berikutnya, di sisi kiri dan kanan bangunan utama di Tana ada dua bangunan dengan bentuk yang sama persis dengan masing-masingnya memiliki jalan penghubung beratap yang menghubungkan bangunan utama atau disebut Pandu dengan bangunan di sisi kiri dan kanannya. Jalan penghubung ini tentunya memudahkan penghuni Tana untuk mengunjungi bangunan satu ke bangunan lainnya.

"Dua bangunan ini namanya Si Kembar."

"Nakula dan Sadewa?"

"Benar. Kenapa pacarku ini selalu pinter, ya?"

"Haha harus dikasih hadiah."

"Kamu mau apa?"

"Tiga permintaan!"

"Hanya tiga? Kenapa sedikit?"

"Nanti kalau banyak kamu malah pusing."

"Aku juga sehari-harinya musingin kamu, Nay."

"BOKIS!!!"

Setelah apa yang terjadi pada Mahesa malam itu, pada keeseokan harinya, sosok ini kembali menjadi Mahesa yang sama seperti di hari-hari sebelumnya. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa senang sekaligus khawatir berkepanjangan dalam diriku. 

Aku tidak pernah percaya pada senyum yang Mahesa bagi. Mahesa, kamu lagi-lagi membohongi seisi dunia!

Aku mendapat panggilan dari Ningsih; adik Mahesa. Bahwa katanya dia tengah di perjalanan menyusulku dan Mahesa ke Tana. Aku bertanya pada Ningsih dengan siapa dia akan kemari karena jelas saja dia tidak akan mengantongi izin dengan mudah dari Bunda untuk jauh-jauh datang kemari seorang diri sekalipun kedatangannya kemari untuk mengetahui keadaan kakak laki-lakinya ini.

"Aku sama seseorang!"

"Siapa orangnya?" tanya Mahesa.

"Pokoknya seseorang, Mas Esa. Nanti juga akan aku kenalin ke Mas Esa dan Mba Naya kok!"

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya! Kalau seseorang itu laki-laki bilang ke dia Mas Esa minta tolong untuk membawa kamu ke sini dengan selamat dan hati-hati. Tapi kalau seseorang itu perempuan ya sudah sampaikan minta tolong Mas Esa sama Pak Satpam saja, ya!"

"Ih Mas Esa nyebelin!!!"

Panggilan itu dimatikan secara sepihak oleh Ningsih. Mahesa dan aku tertawa mendengar gerutu kesal remaja perempuan itu dari seberang sana.

"Aku harus ke dapur karna harus menyiapkan makanan untuk Ningsih dan seseorang yang entah siapa tadi."

"Aku bantuin kamu, ya."

Mahesa menggeleng.

"Sekarang aku belum butuh bantuan kamu. Jadi kamu bisa bersantai di luar sambil berbincang dengan Andan. Aku yakin kamu ingin mendengar banyak hal soal aku dari Andan."

"Siapa bilang?"

"Aku."

"Kamu kepedean!"

"Hahaha"


Aku duduk di kursi jati yang letaknya ada di teras Pandu menyusul Andan yang sudah lebih dulu ada di situ entah sejak kapan. Di meja bundar itu Andan menyediakan bakpia dan teh hangat sambil mempersilahkan aku untuk mencicipinya.

Di tempat Mahesa tumbuh ini, Andan jadi orang yang sepenuhnya menjaga dan menyayangi Mahesa. Andan merawat Mahesa sejak hari pertama dia tinggal di sini hingga detik ini ketik dia memutuskan untuk kembali ke sini.

"Andan senang Esa tidak datang ke Tana sendirian."

"Naya juga senang bisa menemani Esa di Tana. Tempat ini, tempat Esa dibesarkan ini, benar-benar membawa ketenangan."

Andan mengulas senyum. Sorot matanya yang memancarkan kehangatan serta lembut kasih seorang Ibu rupanya bisa aku rasakan saat kali pertama aku menjumpainya. Andan pun persis seperti yang Mahesa ceritakan padaku. Tuturnya yang lembut serta senyumnya yang hangat mampu membawa ketenangan dan kenyamanan kepada siapa saja yang melihat dan ada di dekatnya. Andan benar-benar menjaga dan membesarkan Mahesa kecil dengan baik. Berkat segala ajarannya Mahesa tumbuh menjadi sosok laki-laki yang penuh kasih dan peduli. 

"Andan, Naya boleh bertanya?"

"Tentu saja, Naya."

"Bagaimana Esa kecil di mata Andan?"

"Esa kecil?"

Aku mengangguk.

"Esa kecil dan Esa yang sekarang itu tidak punya banyak perbedaan, Naya. Esa kecil persis seperti Esa yang kita lihat saat ini; hangat, menenangkan dan menyenangkan. Saat Esa pertama kali ke Tana, matanya memancarkan kilau yang amat berbeda dari anak yang pernah Andan temui sebelumnya. Esa selalu mengatakan sesuatu yang kadang sulit dimengerti oleh teman-teman seusianya karna cara berpikirnya yang amat dewasa. Esa dan caranya memandang dunia ini selalu meninggalkan kesan baik untuk semua orang yang pernah dia temui."

Apa yang Andan katakan adalah seribu persen benar. Aku yakin kalian semua juga berpikiran yang sama persis seperti apa yang Andan katakan, bukan? Mahesa dan caranya memandang dunia ini selalu jadi sesuatu yang meninggalkan kesan baik terlepas dari sepahit apapun kenyataan yang dia terima. 

"Semua orang yang mengenal Mahesa itu adalah orang yang beruntung. Andan tahu persis bagaimana Esa di antara lingkup pertemanannya. Kehadirannya menciptakan keharmonisan dan mampu membawa secercah kebahagiaan. Tidak hanya orang-orang tersebut yang beruntung bisa mengenal Esa tapi Esa juga sama beruntungnya karna bisa mengenal dan dipertemukan oleh orang-orang baik."

Kalimat yang Andan ucapkan persis seperti bagaimana Mahesa berbicara. Tuturnya, pemilihan katanya, teduh matanya saat berbicara juga senyum yang tanpa sadar tidak pernah lepas dari sudut bibirnya benar-benar menggambarkan Mahesa dalam wujud keibuan.

Ketika pertama kali mendengar Mahesa berbicara, menurutku, dia sedikit berbeda. Tidak seperti kalangan seusianya termasuk aku, Mahesa cenderung berbicara dengan bahasa yang semi baku dan daya pikirnya yang jauh lebih dewasa dibanding umurnya. Rupanya hal tersebut turun dari Andan; sosok ibu yang sangat disayangi dan dihormati oleh Mahesa.

Obrolanku dengan Andan terhenti ketika sosok remaja perempuan dengan kedua tangannya yang penuh oleh koper dan tampilannya yang sedikit nyentrik melambaikan tangannya ke arahku sambil berteriak kencang.

"MBA NAYA!!!!!!"

Aku dan Andan lantas mengalihkan perhatian ke sumber suara tersebut berasal. Aku menggelengkan kepalaku sambil menahan tawa.

"Itu Ningsih, Andan. Adik perempuan Esa."

Andan tersenyum melihat hadirnya sosok remaja perempuan dengan raut wajah cerita tersebut. 

Di belakang tubuh mungil Ningsih hadir sosok laki-laki yang tingginya terpaut belasan centi darinya. Laki-laki itu menampakkan wajah yang tegas namun dalam sekejap tegas di wajahnya itu hilang ketika dia menabur senyum malunya dengan kedua matanya yang menyipit. Laki-laki dengan satu tas besar di pundak kanannya yang aku yakini tas tersebut adalah milik Ningsih lantas menyusul Ningsih sekaligus membawakan dua koper yang sudah Ningsih tinggal begitu saja di tempatnya kala dia melihat sosok-ku dan Andan di teras Pandu.

Ningsih seketika menghambur ke dalam pelukan Mahesa dan memeluknya erat-erat sekali. Mahesa membalas pelukan adik perempuannya itu sambil mengelus puncak kepalanya pelan.

"Ningsih?"

"Iya, Mas Esa?"

"Kamu belum keramas?"

"MAS ESA IH NYEBELIN!!!"

Continue Reading

You'll Also Like

40.7M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...