MAHESA

By dinasauruzs

797 86 27

Soal Mahesa dan bagaimana dia memandang dunia. More

Prolog
Bertemu: Cast
Mahesa: Lepas
Mahesa: Waktu
Mahesa: Pergi
Mahesa: Halte
Mahesa: Radio
Mahesa: Tana
Ditulis Oleh Mahesa
Ditulis Oleh Mahesa

Mahesa: Rubanah

30 5 6
By dinasauruzs

Mahesa, hari ini aku menemui Bunda. Aku menanyakan keberadaanmu setelah berhari-hari kamu tak kunjung menampakkan dirimu di hadapanku. Aku khawatir. Tapi aku menyembunyikannya di hadapan Bunda sebab aku jelas tahu bahwa Bunda jauh lebih khawatir dengan keadaanmu. Bunda menyambutku dengan seutas senyum dan getar di ujungnya. Aku memeluk Bunda erat. Niatku ingin menguatkannya tapi apa daya aku hanya manusia biasa yang bisa merasakan luka hanya dari berbagi pelukan saja.

"Mahesa ada di Tana," ucap Bunda sebelum aku menanyakan di mana keberadaanmu. 

Bunda bahkan tak tahu apakah Mahesa datang ke Tana hanya untuk sekedar berkunjung atau untuk pulang. 

Begitu pula aku.

"Tana itu Panti Asuhan. Tempatku tumbuh sebelum bertemu Bunda."

"Temui dia ya... temui Mahesa." Bunda menggenggam kedua tanganku erat seolah memohon memintaku untuk lekas menemui Mahesa dan mengetahui keadaannya. Lagi, aku memeluk Bunda erat. Pelukanku bahkan bisa diibaratkan sebagai janjiku pada Bunda bahwa aku akan menemui Mahesa dan memastikan bahwa dia baik-baik saja walau nyatanya tidak.

Sore itu, aku berangkat ke Tana dengan kereta dan menempuh perjalanan kurang lebih delapan jam.

Aku pernah bilang pada Mahesa bahwa dia adalah penakut yang berani. Mahesa bingung ketika aku mengatakan itu padanya. Katanya, dia tak akan menanyakan jawabannya padaku sebab dia akan menemukan jawabannya sendiri.

Maka, Mahesa, jika kamu membaca tulisan ini, aku dengan penuh harap berdoa agar kamu menemukannyajawaban yang kamu cari.

Setibanya di Tana, aku mendapati Mahesa duduk di dekat ayunan yang menghadap ke arah taman dengan kolam ikan berukuran sedang yang letaknya tak jauh dari tempat yang dia duduki saat ini.

Bahkan, setelah ratusan hari yang aku lalui bersama Mahesa, di mataku dia masih sama. Dia adalah Mahesa yang isi kepalanya tak pernah bisa aku tebak. Dia adalah Mahesa laki-laki yang tumbuh baik dengan balutan luka. Dia adalah Mahesa yang luka-lukanya tak akan pernah bisa aku obati. Dia adalah Mahesa yang hidup dalam dunia yang tak pernah bisa aku bayangkan.

"Kamu pernah kecewa?" tanya Mahesa tanpa sekalipun menoleh terlebih dahulu ke arahku.

Mahesa bahkan tahu benar bahwa aku akan menemukannya kemanapun dia pergi. Bahwa aku akan menghampirinya sejauh apapun dia lari.

"Apakah kecewa hanya dirasakan oleh manusia?"

"Kalau tidak?"

"Kalau tidak... aku ingin jadi angin."

"Tapi angin juga pernah kecewa."

"Pada siapa?"

"Pada dirinya sendiri, Mahesa. Kadang-kadang aku berpikir bahwa angin nggak pernah ingin jadi angin. Sekalipun daun yang jatuh nggak pernah membenci angin, akan tetapi, angin seringkali kecewa pada dirinya sendiri sebab dia adalah karena dari mengapa daun-daun itu jatuh."

Malam itu, tak ada yang lebih berani daripada dinginnya hembusan angin juga cahaya rembulan setengah utuh serta bintang-bintang yang memilih malu untuk menampakkan cahayanya. Tak ada yang lebih berani daripada kedua kakiku yang melangkah jauh hingga ke Tana untuk menemui Mahesa. Tak ada yang lebih berani dari diriku yang dengan penuh keyakinan membawa Mahesa ke dalam pelukanku kala aku mendapati luka dalam sorot matanya. Juga, tak ada yang lebih berani daripada Mahesa; manusia nyaris sempurna yang tumbuh dengan balutan luka namun menyembunyikan kecewa bak jelaga yang menutupi buku-buku lamanya.

"Aku bertemu Anna."

Anna. Perempuan yang membawa Mahesa hadir ke dalam dunia ini. Perempuan yang menunjukkan pada Mahesa bahwa dalam dunia ini, manusia bisa jadi lebih kejam daripada apa-apa yang mereka pikirkan di dalam kepala. Perempuan yang mengatakan pada Mahesa bahwa di dunia ini, manusia tak seharusnya berjanji sebab mereka tak akan pernah bisa menepati.

"Aku pernah berpikir bahwa Anna punya alasan terbaik ketika dia menitipkanku di Tana. Ah, aku bahkan enggan menyebutkan kata 'meninggalkan' karena dalam kepalaku, Anna hanya menitipkan aku untuk sebentar di sana. Aku bertemu Anna kembali saat usiaku tujuh tahun. Anna masih sangat cantik, Naya. Bahkan cantiknya masih sama hingga aku dan dia bertemu kemarin. Wajahku yang tampan ini, kemungkinan besar aku dapati dari dia," tuturnya.

Aku tersenyum menunggu Mahesa melanjutkan kalimatnya.

"Naya, apa kamu pernah berharap bahwa tahun-tahun yang sudah kamu lalui ini hanya mimpi? Apa kamu pernah berdoa semoga ketika kamu bangun dari tidur panjang ini, semuanya... semuanya kembali baik-baik saja?"

Aku menganggukkan kepalaku sekalipun Mahesa tak menoleh ke arahku.

"Tapi, kalau ini semua mimpi, maka bagian bertemu kamu dan Bunda adalah favoritku."

Kali ini, aku bisa melihat sinar bintang menyoroti senyum Mahesa. Sudah lama sejak terakhir kali aku melihat Mahesa membagi senyumnya tanpa terpaksa. Karena, selama ini, aku seringkali merasa bahwa senyum yang Mahesa bagi adalah atas dasar harus bukan ingin.

"Aku harap bagian bertemu Anna hanya mimpi." ucapnya pelan.

"Anna muncul di hadapanku tepat setelah dia menemui Bunda pagi itu. Mataku tanpa sengaja mendapati amplop kecoklatan itu ada di genggamannya lagi untuk yang kedua kali— atau mungkin lebih. Anna bahkan nggak mengajakku duduk barang sebentar. Dia membuka suaranya dengan sorot mata yang amat sulit aku artikan."

Mahesa membuka kembali suaranya. Dia menceritakan soal hari itu. Dia berbagi kepadaku tentang percakapan pahit-manisnya dengan Anna. Mahesa bukan penakut juga bukan seorang pemberani. Dia hanya penakut yang berani, persis seperti apa yang aku katakan padanya dulu. 

"Ini uang. Persis seperti apa yang kamu pikirkan."

"Untuk apa?"

"Untuk masa depan dan mimpi-mimpi saya yang sudah kamu rusak. Ini adalah ganti ruginya."

"Bunda membayarnya?"

"Bunda kamu membayar apa-apa yang seharusnya dibayar oleh kamu."

"Sampai kapan Bunda harus membayar masa depan dan mimpi-mimpi yang sudah aku rusak?"

"Sampai semuanya kembali seperti sebelumnya. Sampai saya kembali seperti dulu sebelum kamu ada."

"Tapi itu nggak bisa terjadi."

"Itu bisa terjadi kalau kamu berhenti berharap untuk tinggal bersama saya. Jangan berharap pada saya. Jangan menaruh harap pada manusia sebab kamu hanya akan berteman dengan kecewa. Manusia nggak seharusnya berjanji sebab mereka nggak akan pernah bisa menepati maka dari itu, saya ngga pernah menjanjikan apapun sama kamu. Jadi berhenti mengharapkan sesuatu yang baik atau alasan terbaik mengapa saya meninggalkan kamu di Tana.

Kamu hanya bagian yang paling saya sesali dalam hidup ini. Kamu merusak mimpi dan masa depan saya. Saya seharusnya tidak pernah membawa kamu hadir dalam dunia ini. Saya selamanya akan dan terus menuntut ganti rugi atas masa depan dan cita-cita saya yang sudah kamu rusak. Saya bukan orang baik, saya layak untuk kamu benci atau kamu caci. Saya meninggalkan kamu di Tana, bukan menitipkan kamu di Tana. Saya meninggalkan kamu."

Mahesa menautkan jemarinya satu sama lain usai menceritakan padaku bagaimana Anna menegaskan bahwa selama ini dia meninggalkan Mahesa di Tana.

Anna meninggalkannya.

Aku bangkit dari tempatku. Langkah kakiku menuntunku pada Mahesa yang tertunduk di tempatnya. Aku membawa Mahesa ke dalam pelukanku. Mahesa bahkan lebih rapuh dari yang aku pikirkan, namun dia lebih kuat dari yang aku bayangkan.

"Naya, di hari aku menemui kamu dengan sorot mata penuh luka dan sembunyi di balik kata baik-baik saja, aku rasanya seperti ditikam ribuan kali."

Mahesa, dengan segala kebaikan yang telah kamu perbuat lantas mengapa dunia ini membalasnya dengan jutaan sakit yang memenuhi sekujur tubuh kamu?

"Kalau ini hanya tidur panjang, kalau ini hanya mimpi, maka aku harap aku bisa bangun secepat mungkin. Aku harap Anna bukan seseorang yang membawaku ke dunia ini. Dengan begitu, aku nggak akan jadi bagian yang paling dia sesali dalam hidupnya. Aku nggak akan merusak masa depan juga mimpi-mimpinya."

"Tapi, kalau ini bukan mimpi dan tidur panjang, maka kamu harus pulang pada Bunda. Kamu harus pulang pada tempat yang seharusnya kamu jadikan tujuan untuk pulang."

Aku melepaskan pelukanku. Tanganku menggenggam erat kedua tangan milik Mahesa. Bisa aku rasakan dingin dari tubuhnya berpindah ke tubuhku. Aku melihat luka itu tersirat jelas di matanya. Mahesa, dunia yang kamu tinggali ini bahkan bukan dunia yang bisa aku bayangkan.

"Bunda pernah bilang bahwa manusia selalu punya alasan terbaik untuk setiap hal yang mereka lakukan. Tapi, alasan terbaik itu nggak semestinya diketahui oleh semua orang, bukan? Ada manusia yang selalu ingin menyimpan alasan terbaik itu untuk dirinya sendiri, jadi jangan dibenci. Anna juga begitu. Dia punya alasan terbaik yang dia simpan di dalam rubanahnya. Aku nggak pernah tahu alasan terbaik yang dia punya seperti apa, maka untuk itu aku nggak bisa membencinya. Aku nggak bisa membenci Anna sekalipun dia meminta padaku."

"Mahesa, apa yang kamu simpan di dalam rubanahmu?"

"Laut. Aku menyimpan laut paling dalam di dalam rubanahku."

Jika Mahesa diibaratkan sebagai daun jatuh yang tak pernah membenci angin, maka Anna adalah angin yang membenci dan kecewa pada dirinya sendiri. Anna punya alasan yang dia simpan dengan baik di dalam rubanahnya. Persis seperti kata Mahesa—bahwa dia tak bisa membenci Anna sekalipun Anna memintanya—sebab Anna telah berhasil membawanya ke dunia ini.

Sebab Anna memberinya kesempatan untuk tahu bagaimana dunia ini bekerja. Anna membiarkan kedua mata Mahesa memotret tiap hal indah yang dia lihat setiap harinya. Anna membiarkan kedua telinga Mahesa mendengar doa-doa yang dipanjatkan oleh manusia kepada Tuhannya.

Sebab Anna adalah orang pertama yang mendengar tangisnya.

Continue Reading

You'll Also Like

40.7M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...