AORTA

By MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------💊💉------------------ 👶👶 Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... More

00 • Prolog
01 • Little Crazy
02 • More Than That
03 • Love is Love
04 • Jelajah Rindu
05 • Mimpi Masa Depan
06 • Battle Bro
07 • Cerita Cinta
08 • Strunggle Love
09A • Pengawal Hati
09B • Pengawal Hati
10A • Stupidity
10B • Stupidity
11 • Contemplation
12A • Sacrifice
12B • Sacrifice
13A • Merenda Mimpi
13B • Merenda Mimpi
14A • Try To be Strong
15 • Game Over
16 • Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara
18 • Menunggu Mukzizat
19 • Gegabah
tok tok tok
11 • Contemplation
12 • Sacrifice
13 • Merenda Mimpi
14A • Try To Be Strong
14B • Try To Be Strong
15 • Game Over
16 Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara

14B • Try To be Strong

3K 631 140
By MarentinNiagara

🍬🍬 ------------------------------
if the universe is making you wait, then prepare to receive more than you asking for
------------------------------ 🍬🍬

*nungguin ya? ☺️🤭*

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

TIDAK lagi memiliki banyak waktu, Hawwaiz memilih fokus dengan kegiatannya menjadi seorang dokter muda. Setidaknya ini adalah kesungguhan yang dari awal dia janjikan kepada dunia. Ormond Hospital menunggu tangannya berkarya dan di situlah nanti debutnya dipertaruhkan untuk bisa menandingi Daddy sekaligus kakak sulungnya yang terkenal dengan sebutan dokter bertangan dingin.

Seperti biasa, awal dari clerkship seorang dokter pasti akan dimulai dari seluk beluk emergency unit. Menjadi tenaga medis yang mengedepankan prinsip triase. Seperti yang dikatakan oleh kepala HRD Ormond Hospital, Hawwaiz tidak mengenal satu pun rekannya sesama dokter muda karena rumah sakit ini adalah rumah sakit percontohan yang hanya akan menerima mahasiswa kedokteran dengan lulusan terbaik setiap universitas di Inggris Raya.

Senyumnya tak pernah luntur ketika melihat hasil studi dan piagam yang dia terima saat wisuda dokternya beberapa minggu yang lalu. Hasil yang tidak pernah mengkhianati usaha. Penghargaan yang akhirnya menunaikan satu janji pada orang tuanya.

"Dad, Adik harap Daddy dan Bunda nggak ingkar dengan janji yang telah kita buat bersama," kata Hawwaiz setelah menunjukkan piagam yang diterima itu pada Ibnu.

"Apa selama ini kamu pernah melihat kami ingkar janji?" jawab Ibnu serius.

Hawwaiz tersenyum memberikan jempolnya lalu melambaikan tangannya karena harus mengakhiri panggilan video mereka. Dua bulan pertama ini nyaris seluruh tenaganya terforsir untuk fokus di pelajaran baru yang mengharuskannya berkonsentrasi tinggi. Tidak ingin menyiakan waktu istirahatnya, Hawwaiz melepas snelli lalu membuka kotak makanan yang sengaja dia pesan dari kafetaria rumah sakit.

Namun, baru dua suap makanan masuk ke mulutnya suara Clara, teman clerkship yang berjaga bersamanya, memanggilnya nyaring dan terlihat tergesa-gesa.

"Hawwaiz, hurry up. There are accident patients who need immediate treatment. The emergency unit is full, all the doctors on duty are treating patients."

Hawwaiz kembali menutup kotak makanannya lalu mengenakan kembali snelli yang dia sampirkan di kursi.

"Wait a minute, Claire." Hawwaiz menyusul langkah Clara menuju IGD.

Hectic emergency di rumah sakit besar seperti Ormond Hospital memang tidak pernah ada jedanya. Setiap hari selalu ada pasien datang atau rujukan yang harus ditangani segera.

Seorang pria tengah berbaring dan bersimbah darah. Namun, dia masih sadar untuk bisa mendengar dan menjawab beberapa pertanyaan ringan yang ditanyakan oleh perawat sebelum Hawwaiz dan Clara tiba.

"Altezar Heffry, 28 years old. There was a shoulder injury but the wound on his forehead had to be stitched up immediately because the blood wouldn't stop flowing." Hawwaiz memeriksa kondisi pasien yang kini sedang merintih kesakitan.

Tidak ada yang keliru dengan tindakan pertama yang dia lakukan, tapi setelah kedua matanya melihat dan otaknya secepat kilat mengingat siapa yang kini ada di hadapannya. Gerakan tangannya tiba-tiba terhenti di udara.

"Anything wrong, Hawwaiz?" tanya Clara.

Hawwaiz menatap kembali pasien di depannya. Memastikan dia tidak salah mengenali orang lalu menggelengkan kepala ketika menatap Clara. Dia memilih melanjutkan lagi kegiatannya setelah beberapa kali menghela napas untuk menetralkan lagi hati yang mulai bergemuruh.

Otaknya mulai mengingat setiap kata yang sempat dia dengarkan dalam percakapannya dengan Arfan pagi itu. Tiba-tiba dia teringat seminggu lagi Vira berulang tahun, itu artinya jika benar pria bernama Heffry serius dengan ucapannya maka taka akan lama lagi dia akan mewujudkannya.

Untuk apa kamu membantunya, bukankah dia yang mengambil kesempatanmu. Harusnya biarkan saja dia terluka—

Suara hati Hawwaiz yang kotor mulai mendominasi otaknya. Namun, logikanya masih cukup waras mengemban tanggung jawab yang harus diselesaikan segera. Hawwaiz segera membersihkan muka Heffry lalu menjahit luka yang ada di kening Heffry setelah mendapatkan persetujuan dari dokter jaga senior.

Kelihaian Hawwaiz tentang pekerjaan jahit menjahit ini sudah mendapatkan legitimasi dari seluruh dokter jaga emergency hingga mereka berani memercayakan pekerjaan itu kepadanya meski statusnya di rumah sakit ini hanyalah seorang dokter clerkship.

"Prepare the patient for the radiology room, we have to know what is happening to his hand and shoulder. Because he felt pain even though I only touched him slowly," Hawwaiz memberikan rekam medis pada perawat yang mendampinginya menangani luka Heffry bersama Clara.

"OK, I'll tell his family," kata Clara.

"Sorry, Doctor, but the family hasn't arrived yet. Because there is no information that tells us who we should contact," jawab perawat.

"Isn't he the son of an Indonesian diplomat? Why not just contact his father at his office?" kata Hawwaiz yang langsung mendapatkan perhatian dari semuanya hingga dia tersadar dengan apa yang baru saja diucapkan.

"Kamu orang Indonesia?" tanya Heffry dengan terbata karena menahan sakitnya. "Darimana kamu tahu papiku seorang diplomat?"

"Tidak penting darimana saya tahu, yang terpenting sekarang kami harus segera mendapatkan tanda tangan wali Anda untuk tindakan medis selanjutnya," jawab Hawwaiz tegas.

Tentu saja Heffry tidak mengenali wajah tampan Hawwaiz, selain karena mereka belum pernah bertemu, Hawwaiz juga mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya.

"Tolong jangan beritahu dulu kondisi saya pada Papi, kalau memang harus ada pihak yang menandatangani—" Heffry menghela napasnya sesaat. "Ambilkan handphone saya ada di saku celana."

Hawwaiz, satu-satunya pria di ruangan itu, mau tidak mau mengambilkan gawai yang dimaksud Heffry di saku celananya. Dia lalu memberikannya pada Heffry, tapi suara Heffry lebih dulu menggetarkan membran timpaninya.

"Cari nama Elvira Aldebaran dan tolong hubungi dia untuk datang kemari," kata Heffry.

"Elvira Aldebaran?" tegas Hawwaiz. Dia seolah berpikir sejenak kemudian bertanya kembali pada Heffry. "Keluarga?"

"Calon istri saya."

Kalimat singkat itu jelas memekakkan gendang telinga hingga membuat mimik muka Hawwaiz berubah tanpa perlu jeda. Clara yang mengetahui perubahan itu langsung mengambil alih percakapan yang semula tidak dimengerti olehnya. "Sorry, Sir. I don't understand what you mean. Please speak in English."

"Sorry, please contact Vira for me." Heffry berusaha tersenyum pada Clara yang terlihat bingung dengan percakapan sebelumnya dalam bahasa Indonesia.

Gadis itu segera menatap Hawwaiz dan meminta gawai yang ada di tangannya. "Give it to me, let me contact her."

Hawwaiz memilih meninggalkan Heffry bersama dengan perawat dan Clara yang juga tampak asyik memainkan jemarinya di atas layar gawai milik pria itu.

Tidak lama berselang, Clara tampak mendatangi Hawwaiz di meja jaga karena temannya itu tampak enggan untuk merawat pasien. Yang Clara tahu selama dua bulan hampir setiap hari bersama, itu bukanlah kebiasaan Hawwaiz.

"What's wrong with you?" tanya Clara tanpa basa-basi.

Hawwaiz masih bergeming. Dia memilih mengerjakan beberapa laporan yang harus dikumpulkan sore ini kepada konsulen mereka.

"Hawwaiz, I know you're listening but pretend not to hear it. Do you know the patient?"

Hawwaiz menatap Clara sekilas lalu menggelengkan kepalanya. Bibirnya masih bungkam. Dia tidak ingin mengeluarkan sepatah pun kata yang mungkin semakin menyulut amarah karena rasa kecewanya.

Jadi apa yang dia dengar waktu itu bukan hanya sekadar isapan jempol belaka. Padahal Hawwaiz berusaha berpikir positif. Itu hanyalah cara Arfan untuk menguji keseriusannya dengan Vira. Tapi sekarang apa kenyataannya? Seorang pria datang padanya dan memberitahukan bahwa wanita yang selama ini berusaha dia perjuangkan dan dia cintai mati-matian diakuinya sebagai calon istri. Meski terjadi tanpa sengaja karena sebuah kecelakaan tapi tetap saja rasanya sama, sakit di dalam hati tak bisa terelakkan lagi.

"Hawwaiz, you know as a doctors, we should not be arrogant towards patients."

Jemari tangan Hawwaiz terkepal. Dia tidak butuh nasihat untuk saat ini. yang dia butuhkan adalah cara untuk menyelamatkan hatinya dan menahannya tidak bertindak seperti orang gila yang sudah gelap mata karena rasa cemburu yang mendera.

Karena tidak mendapatkan respons sama sekali dari bibir Hawwaiz, Clara semakin banyak memberikan argumen. Dan perasaannya mengatakan terjadi sesuatu antara Hawwaiz dan pasien yang mereka tangani tadi.

"Hawwaiz, You cannot bring your personal problems to work, it will undermine our integrity as doctors."

"Shut up, Claire. You don't know anything. I don't need your advice, get out of my way!"

Kalimat kasar yang terucap dari bibir Hawwaiz membuat Clara tersentak dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri di depan Hawwaiz. Selama ini Hawwaiz tidak pernah banyak bicara, dia selalu bisa membuat suasana kerja kondusif dan membuat teman satu tim mereka nyaman. Itu sebabnya Clara pun sangat senang bisa berteman dan bertukar pengalaman tentang ilmu kedokteran dengan Hawwaiz. Sikap ringan tangan dan peduli yang membuat semuanya sepakat bahwa Hawwaiz adalah calon dokter yang akan mendapat simpati dari banyak rekan kerja, pasien atau keluarga pasien.

Saat kembali tersadar dengan ucapannya, Hawwaiz mengusap mukanya dengan kasar. Terlebih ketika titik-titik bening mulai menetes dari ujung mata Clara.

"Sorry, Claire. I didn't mean to hurt you. I'm really sorry." Hawwaiz memberikan sapu tangan miliknya pada Clara untuk menghapus air mata gadis itu yang telah menetes sempurna di kedua belah pipinya.

Di saat yang bersamaan seorang perawat memanggil mereka bersama wali pasien yang ingin mengetahui detail keadaan keluarganya pada dokter yang menanganinya di emergency unit.

"Sorry, Doctor. Altezar Heffry's family would like to talk with you."

Seketika pandangan Hawwaiz beralih pada orang yang berdiri di belakang perawat yang datang menghampiri mereka. Wanita yang tentu tidak asing lagi bagi Hawwaiz. Namun, rasanya saat ini Hawwaiz enggan untuk menatapnya. Hatinya tercabik-cabik atas sebuah pengkhianatan janji yang selalu dia jaga dengan baik.

"Bi—"

Mata Vira tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya. Dia pikir dia salah mengenali orang karena rasanya tidak mungkin Hawwaiz melakukan itu pada wanita. Memberikan sapu tangan untuk mengusap air mata seorang wanita? Vira tahu, Hawwaiz adalah pria yang tidak suka berbagi atas barang pribadinya pada orang lain. Kalau dia sudah melakukan itu, pasti orang itu memiliki tempat yang istimewa di hatinya.

"Altezar Heffry suffered injuries to his forehead, arms and shoulders. We have carried out the first treatment, then we are waiting for the MRI results to determine the next action." Clara mencoba menjelaskan karena dia melihat Hawwaiz hanya memandang Vira tanpa berniat untuk membuka mulutnya.

Selanjutnya Clara mengajak Vira bertemu dengan dokter jaga untuk menandatangani informed consent pasien juga untuk mendapatkan penjelasan tentang kondisi Heffry lebih detail.

Vira mencoba mencari Clara setelah dia menemui Heffry. Dia tidak ingin salah dengan prasangkanya sendiri. Lebih baik menuntut kejelasan daripada dia mengambil kesimpulan yang salah.

"Doctor Clara, wait. I'm sorry before, I just wanted to ask, Doctor Hawwaiz here—?" Vira bingung harus memulai percakapan seperti apa dengan Clara.

"Oh, you know him? Yes, Doctor Hawwaiz is here for clerkship with us." Senyum Clara terlihat sangat menawan. Berbeda dengan yang dilihat Vira di awal pertemuan mereka.

"Doctor—?" Vira mencari name tag yang Clara kenakan tapi tidak menemukannya karena Clara meninggalkannya di meja jaga.

"Clara, and you can call me Claire." Masih dengan senyuman yang sama Clara mengulurkan tangannya pada Vira.

Vira menyambut uluran tangan Clara dengan hangat. "Yes, Doctor Clara. Sorry but I want know, you and Doctor Hawwaiz, do you have a relationship?"

Kening Clara sampai berkerut mengartikan kalimat Vira yang terkesan sangat tidak pantas ditanyakan. Namun, dia berusaha menghormati kedinasannya dengan memberikan jawaban yang cukup sopan. Dalam benak Clara, tidak ada yang keliru atas hubungannya dengan Hawwaiz atau dengan rekan clerkship yang lainnya. Jadi dia juga tidak begitu paham hubungan seperti apa yang dimaksudkan Vira tentang mereka?

Senyuman yang tidak hilang dari bibir Clara membuat Vira semakin bertanya-tanya. Sungguh wanita cantik di depannya ini membuat hatinya semakin memanas.

"Yes, we are a closed friend," jawab Clara lalu meninggalkan Vira yang berdiri mematung di tempatnya.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Continue Reading

You'll Also Like

7.8K 1.2K 20
Dalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang ke...
762K 40.9K 23
Tersedia di toko buku terdekat. Atau pesan langsung ke admin 08886813286, shopee : Ibiz Store, Tokopedia : IbizStore DUKUNG KARYA AUTHOR DENGAN MEM...
1.4K 197 11
Kumpulan cerita pendek, romance, religi, horor action.
86.9K 5K 38
[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun r...