"Kau pasti baik-baik saja, Natasha," Sam menyelimuti Natasha dengan selimut super tebal. Sejak berhenti bekerja pada Xander, Sam mau tidak mau menggunakan pendapatannya untuk mengobati Natasha. Ia baru saja menyelesaikan kemoterapinya. Walaupun dokter bilang kemoterapi hanya memperpanjang umurnya, tapi tidak serta merta menyembuhkan Natasha secara cepat, setidaknya Sam sudah berusaha. Natasha adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan adik satu-satunya itu.
"Kak, kenapa aku tidak kembali ke rumah sakit?" tanya Natasha begitu polosnya. Ia hanya gadis cilik yang tidak mengerti akan kejamnya dunia.
"Kau lebih baik dirumah," kata Sam sambil mengelus rambut Natasha.
Natasha menatap ke sekeliling kamarnya. Ini adalah tempat yang asing baginya. Semenjak Xander mengusir mereka berdua, Sam terpaksa membawa Natasha ke rumah peternakan milik keluarga Sam yang sudah lama tidak digunakan. Jauh sebelum Natasha lahir, keluarganya sudah meninggalkan rumah peternakan ini.
"Ini rumahku waktu kecil dulu," ungkap Sam.
"Oya? Di tempat seperti ini?" Natasha berbinar mendengar cerita Sam.
Sam mengangguk. "Benar. Dulu, aku dan kedua orangtua kita tinggal disini bersama Nenek juga. Kami memelihara beberapa ekor babi, ayam, dan domba. Oh, aku juga memiliki seekor anjing bulldog!" ceritanya. "Setiap festival thanksgiving, kami akan berkumpul dengan keluarga lain membuat sebuah pesta kecil-kecilan di lumbung. Sungguh menyenangkan,"
"Lalu?"
Sam diam. Lalu? Tidak ada lagi yang bisa ia ceritakan soal dirinya. Ia terlibat dalam sebuah kejahatan sebelum Natasha lahir. Ia pun mendekam dibalik jeruji besi hingga Xander menemukannya dan memberinya sebuah pekerjaan. Kemudian ia mendengar bahwa mendiang orangtuanya meninggalkan seorang bayi di panti asuhan. Dialah Natasha, balita yang bertahun-tahun sudah berjuang melawan sakitnya.
"Lalu tidurlah," kata Sam sambil beranjak.
"Kumohon, Kak, ceritakan lagi!" rengek Natasha.
Sam menolak. "Sudah, tidurlah. Sampai jumpa besok pagi. Selamat malam," Sam mematikan lampu kamar Natasha lalu menutup pintu.
"Aku merindukan Violetta, Kak," celetuk Natasha sebelum pintu ditutup.
Sam diam. Ia kemudian menutup pintu kamar Natasha. Sam duduk di depan perapian. Di jemarinya tersisip sebatang rokok dan wine di tangan lainnya. Ia memandangi kilatan api yang menyambar permukaan perapian. Tidak hanya Natasha, Sam pun merindukan Violetta. Hatinya tidak tenang meninggalkan gadis itu sendirian tanpa pengawasannya bersama Xander. Pria gila itu tidak akan bisa ditebak apa yang mungkin dilakukannya terhadap Violetta. Semenit ia memanjakan Violetta, bukan tidak mungkin semenit kemudian ia menyiksa Violetta.
Sam ingat bagaimana pertama kali ia melihat Violetta datang ke mansionnya. Gadis itu menarik perhatiannya. Dia tampak berbeda dengan wanita yang kerap datang ke mansion untuk memuaskan hasrat nafsu birahi bosnya, Xander. Wanita itu jelas dijebak. Saat itu, ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan saat ia mendengar Violetta berteriak memohon ampun saat Xander memperkosanya membabi buta, ia hanya bisa menutup telinganya dengan ear phone, memasang musik dengan keras, dan mengalihkan pikiran pada hal lain. Begitupula saat ia menyaksikan Violetta terkapah lemah di lantai memohon untuk dibebaskan ia tetap tidak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.
Tangan Sam mengepal. Ia memandang tangan yang pernah ia gunakan untuk memukul Violetta saat ia kabur dari mansion. Jika bukan perintah Xander, Sam tidak akan tega memukul Violetta hingga pingsan demi membawa Violetta kembali ke mansion. Bukan itu saja, ia masih ingat saat Xander menyebar foto-foto naked Violetta yang dia ambil saat Violetta tak berdaya.
Kemudian ia menyesali sebuah hal. Ia menyesal membiarkan Violetta jauh masuk ke dalam kehidupan Xander. Andai ia mencegahnya, Violetta tidak mungkin jatuh cinta pada bosnya hingga memilih tetap bersama Xander ketimbang melarikan diri bersamanya. Menurutnya, Violetta hanya wanita tersesat dalam labirin hati Xander yang berujung semu.
***
"Kau tahu 'kan dimana wanitamu itu?" sambil menghirup cerutunya, Bill berkata.
"Seorang Xander tentu tidak mungkin tidak bisa menemukan peliharaannya, 'kan?" sambung Rachel sambil tertawa renyah.
"Xander, if you want to, you can find her right now. Tapi kau tidak terburu mencarinya. I wonder, why?" sambung Joe.
Ketiga kolega Xander saling bertatapan setuju dengan kalimat Joe. Dengan kekuasaan Xander yang begitu besar, menemukan Violetta adalah perkara yang sangat mudah. Tidak mungkin Violetta melewati batas negara bagian. Sebab, Xander akan mengetahuinya. Kesimpulannya, Violetta masih di dalam. Lebih lanjut, sangat mudah bagi Xander untuk menemukannya. Yang mengherankan bagi mereka, Xander tidak terburu dalam mencarinya. Tidak seperti tempo lalu, saat gadis malang itu kabur dari istananya.
Xander memandang gelas wine nya. Ia memutar-putar gelasnya. Ia kemudian menghela nafas tanpa merespon pertanyaan Joe. Mereka pun diam tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Mereka memilih untuk kembali membicarakan pekerjaan mereka.
Tanpa terasa waktu berlalu cepat. Jam berdentang dua belas kali. Ketiga tamu kehormatan Xander menyudahi rapat mereka dan pulang kerumah masing-masing kecuali Joe, pria bertato berusia tidak jauh dari Xander. Mereka berdua berdiri di depan jendela ruang kerjanya.
"Aku mengenalmu sejak kecil, ya? Jika tidak salah ingat, sejak kau menjadi tetangga baruku," ucap Joe pelan.
Xander tersenyum. Ia mengingat kenangan saat ia dan Ibunya pertama kali pindah. Usianya masih delapan tahun. Tubuh Xander yang kecil, kurus, dan kering menjadikannya sasaran empuk bagi pembully yang bertubuh lebih besar. "Ya, ya. Dan kau salah satu pembully itu," balasnya.
"Dan sekarang kau membuat mereka bertekuk lutut padamu, termasuk aku," Joe tertawa keras.
"Haha, lalu?" Xander penasaran.
"Tidak ada. Aku hanya penasaran. Mungkin kau tidak ingin Bill dan Rachel mendengar jadi kau memilih diam tadi. Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Xander? Menemukan wanitamu itu, cukup mudah, 'kan?"
Xander melirik Joe. Ia kemudian duduk di sofa. "Joe, yang bisa aku jelaskan hanya, rumit," jawab Xander.
"Dan juga, kau melepaskan Sam begitu saja. Kau tidak seperti Xander bertangan dingin yang kutahu. Apa wanita itu telah merubahmu? Aku hanya penasaran, apa kau benar-benar jatuh cinta padanya?"
Xander memandang Joe. Ia menuangkan wine ke dalam gelas untuk Joe. "Bagaimana menurutmu?" Xander balik bertanya.
"Tentu saja, kau jatuh cinta padanya. Fantastic. Finally, kau menemukan Rebecca-mu yang lain," Joe mengangkat gelas winenya, bersulang dengan Xander.
"Dia bukan Rebecca, Joe. Dia Violetta," ucap Xander dengan menyunggingkan sebuah senyum. "Yeah, you're right. I fell in love with her. She's so adorable, Joe. She's amazing. Dia membuat hidupku lebih berwarna, haha, so funny. Tapi itulah kenyataannya. Egoku terlalu tinggi untuk mengakui perasaanku dihadapan orang lain," ungkap Xander.
"Yeah, aku melihat bagaimana kau memandang wanita itu. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku soal Sam," kata Joe.
Xander menyandarkan punggungnya. "Because her of course," jawab Xander.
Joe mengangguk. Ia sudah menduganya. Semarah apapun Xander pada Sam, Xander tidak akan membunuhnya karena Sam-lah yang menjaga Violetta selama tidak ada dirinya. Terlepas Sam begitu lancang padanya, jika ia membunuh Sam, sudah dipastikan Violetta akan murka dan mungkin ia tidak akan memaafkannya.
"I knew it," jawab Joe pelan.
"Aku tahu dimana dia berada. Informanku mengatakan ia berada di sebuah kota kecil tiga jam dari sini. Dia ditolong oleh seorang wanita tua," ungkap Xander.
Joe tertawa. "How fool i am meragukan kemampuanmu, Xander. Sudah pasti kau tahu dimana dia berada. Lalu, kenapa kau tidak menjemputnya?" tanya Joe lagi.
"I made mistakes, Joe. Menjemputnya sekarang hanya akan memperkeruh hubungan kami. Kubiarkan dia disana untuk beberapa lama hingga situasi membaik," jelas Xander.
Joe mengerutkan dahinya. "Kau yakin?" Joe meyakinkan.
Xander mengangguk. "Aku pasti menjemputnya pulang. Tapi tidak sekarang," pungkasnya.
**