Kemilau Revolusi

By romanceholic

101K 16.9K 5.6K

❤️ Cryptic Ops. Vol.1 Saat berusia tujuh tahun, Kemilau Gemintang Pertiwi pernah diculik oleh penjahat sadis... More

Prolog
Bagian 1 : -Lelaki Getir-
Bagian 2 : -Wanita Bermasalah-
Bagian 3 : -Aftershave-
Bagian 4 : -Undercover-
Bagian 5 : -Balah-
Bagian 6 : -Eidetik-
Bagian 8 : -Klandestin-
Bagian 9 : -Cryptic Ops-
Bagian 10 : -Terang Laras-
Bagian 11 : -Konsensual-
Bagian 12 : -Ganar-
Bagian 13 : -Jentaka-
Bagian 14 : -Liberosis-
Bagian 15 : -Dissosiatif-
Bagian 16 : -Kilau-
Bagian 17: -Belantara-
Bagian 18 : -Altschmerz-
Bagian 19 : -Stratagem-
Bagian 20.1 : -Radiks-
Bahkan 20.2 : -Radak-
Bagian 20.3 : -Radu-
Epilog
💛 CO Vol.2 Binar Sanubari

Bagian 7 : -Giris-

3.7K 644 175
By romanceholic


Hampir separuh hidupnya Mila mempelajari ilmu kejiwaan. Awalnya agar ia bisa mengetahui apa yang salah dengan dirinya. Ia pun mulai tertarik membaca buku-buku psikologi dari perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan kota. Ayahnya yang menyadari kegemarannya, akhirnya ikut membelikan buku-buku bertema psikologi terkini. Semakin banyak buku psikologi yang Mila baca, semakin ia memahami dirinya sendiri.

Saat Mila mengetahui semua jenis kepribadian yang dimiliki manusia, ia mulai tertarik mengobservasi. Mila sangat ingin tahu kenapa si A melakukan itu, atau mengapa si B berpikir begitu. Bagaimana si C bisa begitu baik dan apa penyebab si D begitu pendendam. Segala kompleksitas itu begitu indah di mata Mila. Semua itu tidak pernah gagal membuatnya takjub. Mila bahkan memiliki catatan observasi seluruh teman-teman sekolahnya sampai ia dijuluki seorang penguntit gila. Teman-temannya meyakini Mila menguntit mereka satu per satu sehingga bisa mengetahui sikap, perilaku, serta karakter berikut latar belakang masalah yang mereka hadapi secara akurat.

Suatu hari Mila memiliki kesempatan duduk bersama Gita di sebuah bangku taman sekolah. Gita satu-satunya orang yang tidak terganggu dengan julukan si penguntit gila yang Mila sandang. Gita malah berpendapat kalau Mila adalah orang paling jujur yang pernah dia temui. Sejak satu itu mereka bersahabat. Mila mengizinkan Gita membaca buku observasinya. Menurutnya Mila adalah penilai karakter terbaik.

Namun, suatu hari Gita mengatakan ada yang kurang dengan observasi Mila tentang dirinya. Sahabatnya itu mengatakan kalau dia terkadang memiliki keinginan aneh untuk mengakhiri hidup. Gita sering berpikir kalau ia lebih baik mati saja.

Saat itu Mila merasa marah, kecewa, dan tidak ingin berteman lagi dengan Gita karena menganggap wanita itu akan benar-benar meninggalkannya suatu hari nanti.

Akan tetapi, Gita tidak memedulikan pengabaian yang Mila lakukan dan malah menempel seperti lintah ke mana pun ia pergi. Saat itulah Gita mulai menceritakan seluruh kisah hidupnya tanpa terkecuali. Mulai dari ayahnya yang menghilang, ibunya yang meninggal setelah melahirkannya, kakak lelakinya yang berada di tempat jauh dan meninggalkannya berdua saja dengan bibi yang sudah tua.

Gita menganggap dirinya gila karena suasana hatinya gampang berubah-ubah. Tak jarang dia meminta pendapat Mila untuk menghadapi suasana hatinya yang tidak menentu. Gita tidak ingin orang-orang, apalagi orang dewasa, tahu tentang masalahnya. Gita takut dirinya bakal diseret ke rumah sakit jiwa, padahal yang diinginkannya hanya belajar hukum agar bisa menjadi pengacara seperti impiannya sejak lama.

Sebisa mungkin Mila menjaga Gita agar tetap waras, membantu sekuat tenaga, menjadi support system yang mendukung penuh upaya sahabatnya untuk meraih cita-cita.

Jadi, ketika tiba-tiba ada gangguan berupa Tegar Khatulistiwa, yang tidak lain adalah sepupunya sendiri, berpacaran dengan Gita, Mila sudah tentu marah besar.

Dalam sekejap Tegar telah menghancurkan segala upaya yang Mila lakukan untuk menjaga Gita. Sejak mereka berpacaran, suasana hati Gita sering kali berubah tergantung perlakuan Tegar.

Puncaknya sembilan tahun lalu, saat Tegar memutuskan hubungan dengan Gita. Suasana hati sahabatnya itu langsung terjun bebas menuju titik terendah sampai wanita itu meyakini kalau kegilaan yang dialaminya menyebabkan dirinya selalu ditinggalkan orang yang dia sayang.

Mila tidak akan pernah melupakan masa-masa itu. Masa di mana Gita berkubang dalam kegelapan depresi parah sampai hampir membuat Mila menyerah. Namun, seburuk apa pun keadaannya, Mila memegang teguh janjinya supaya tidak ada orang dewasa yang mengetahui tentang keadaan Gita. Berat badan Gita yang bertambah empat kilo selama masa depresi membuktikan betapa serius usaha Mila menjaga sahabatnya tetap hidup.

Lalu kini, ketika sepupunya yang brengsek itu muncul kembali dan menawarkan cinta kepada Gita seperti sembilan tahun lalu, Mila tidak akan tinggal diam. Kali ini Tegar harus tahu apa yang dihadapinya.

Untuk itu, hari ini Mila sengaja datang ke kantor Gita untuk melakukan sedikit provokasi dengan sesuatu yang tak pernah gagal membuat mood wanita itu anjlok.

Jika boleh memilih, Mila tidak suka melakukan sesuatu yang bisa membuat Gita depresi di saat ia sering mengajari sahabatnya cara menghadapi diri sendiri. Namun, di sisi lain semua itu tidak cukup, sesekali Gita harus dihadapkan dengan kenyataan pahit yang mengguncang jiwa.

Jadi ketika Mila membual kalau dirinya sempat memiliki hubungan tidak pantas dengan Tegar, ia bisa melihat dunia sahabatnya runtuh.

"Ya ampun, Git. Lo tau gue cuman bercanda." Mila mulai menyesal.

"Tapi itu sama sekali nggak lucu, Mila. Lo tahu itu nggak lucu!" bentak Gita sebal. Mata wanita itu mulai berkaca-kaca.

Sial! Mila benar-benar menyesal. Ia sudah memprediksi reaksi Gita, tetapi tidak mengira akan separah ini kecuali... "Git, lo nggak minum obat lagi?" tanya Mila cemas.

"Obat bikin gue stres. Jadi, gue berhenti minum." Gita mulai terisak.

"Ya tapi lo kan tahu nggak boleh berhenti minum obat yang itu. Astaga..." Mila berdiri seraya berjalan ke tempat Gita duduk dan berjongkok di depannya. "Lo inget kan kejadian terakhir saat lo lupa minum obat?"

Gita mengangguk pasrah. "Gue benar-benar kacau, Mil. Gue benar-benar nggak berguna. Gue udah hancur dan nggak bisa diselamatkan lagi."  Tangis Gita pecah. Tangan wanita itu sibuk menghapus air mata yang terus bercucuran.

"Nggak apa-apa. Lo nggak hancur, Git. Lo hebat sudah mau berusaha sejauh ini," ujar Mila sembari membelai puncak kepala Gita dengan sabar. "Tapi jangan pernah berhenti berusaha ya? Ada gue yang bakal terus nemenin lo selamanya. Inget, lo nggak sendirian."

"Ada apa ini?" Tegar yang sejak tadi mengamati interaksi Gita dan Mila mulai bertanya dengan nada menuntut. "Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi, Sayang? Kenapa kamu tiba-tiba menangis? Obat apa? Kamu sakit? Sakit apa?" cecar pria itu bingung bercampur cemas. Gita tidak menjawab. Hanya terisak pilu sambil menyembunyikan wajah di telapak tangan.

"Tidak. Dia tidak bisa menjelaskan apa-apa sekarang. Sebaiknya Anda keluar dari sini sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi."

"Kalau begitu tolong kamu saja yang jelaskan!" bentak Tegar tidak sabar. Sesuatu yang membuat Gita sontak terlonjak kaget, merunduk ketakutan dan memeluk erat tubuhnya sendiri sembari tersedu-sedu. "Ma-maaf, Sayang. Aku tidak bicara padamu," ujar Tegar gugup begitu menyadari reaksi Gita.

"Ini hadiah untuk Anda," ujar Mila sembari menyerahkan paper bag yang di bawanya kepada Tegar.

"Hadiah apa?" Tegar tampak semakin bingung.

"Segala hal yang perlu Anda tahu setelah Gita memutuskan untuk membuka hatinya kembali untuk Anda."

"Terima kasih, tapi saya tidak butuh hadiah." Tegar menyimpan benda itu di meja. "Saya butuh tahu apa yang terjadi padanya!" Pria itu mendekati Gita, tetapi Mila segera menghadangnya.

"Percayalah. Dengan hadiah itu, Anda akan mengetahui apa yang seharusnya anda lakukan sebelum memutuskan kembali dan merayunya. Anda lihat sendiri 'kan? Segala sesuatu tentang Anda membuatnya kacau."

"Apa maksudmu? Kamu yang seharusnya tidak sembarangan membual!" bentak Tegar murka. "Sebenarnya apa hakmu di sini? Hubungan kami bukan urusanmu!" geram pria itu muak.

"Mil. Antar gue pulang!" Gita yang kalut, melemparkan tatapan memohon kepada Mila.

"Aku yang antar," kata Tegar.

"Tidak. Jangan!" Gita menggelengkan kepala. "Saat ini saya hanya butuh Mila."

"Bisakah kalian memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" tukas Tegar tak sabar. Tatapannya nyalang saat bergantian menatap Gita dan Mila.

"Beri dia waktu," ujar Mila tenang. "Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Salah besar kalau Anda berpikir dia masih sama seperti gadis remaja yang Anda tinggalkan dulu."

"Mila!" teriak Gita histeris. "Antar. Gue. Pulang. Sekarang!" pinta wanita itu putus asa, sebelum dengan panik berlari keluar ruangan.

"Sial! Bisakah kamu memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tegar mencekal lengannya saat Mila hendak mengejar Gita.

"Lepaskan!" Mila berontak. "Buka saja hadiah yang aku berikan!"

"Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku kalau kalian bersahabat?"

"Karena aku tidak ingin persahabatan kami putus hanya karena kakak sepupu playboy sialan! Kamu pikir kamu pantas mendapatkannya hah? Setelah semua yang kamu lakukan untuk menyakitinya."

Mila berhasil melepaskan cekalan tangan Tegar saat pria itu terpaku. "Ini peringatan. Aku orang pertama yang akan membunuhmu saat kamu menyakiti Gita lagi."

"Aku mencintainya! Kenapa kamu meragukan perasaanku?"

"Jangan sesumbar. Aku ragu kamu masih mencintainya setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya."

Setelah mengatakannya, Mila bergegas mengejar Gita. Dalam keadaan kalut seperti itu biasanya dia akan berlari sampai kedua kakinya tidak mampu berlari lagi. Selama itu juga Mila harus siaga di samping Gita, sampai wanita itu ambruk

Namun, begitu Mila tiba di halaman depan kantor, ia bingung harus sedih atau bersyukur melihat tubuh sahabatnya sudah terbaring di tanah.

***

"Sebaiknya yang mau kamu sampaikan itu penting. Aku tidak punya banyak waktu."

Mila menyangga dagu saat memandang Gelar yang hari ini mengenakan seragam dinas harian TNI berwarna hijau polos, lengkap dengan sepatu pantofel yang mengkilat.

Bahkan blus sutra seharga puluhan juta yang dikenakan Mila tampak seperti lap jika dibandingkan kemeja slimfit hijau yang memeluk erat otot-otot Gelar.

"Halo, Calon imam."

"Cukup basa-basinya." Gelar bersedekap dengan gaya angkuh yang alami. "Kenapa kamu memanggilku ke sini? Aku sibuk."

"Ternyata kamu juga cocok pakai seragam yang ini," ujar Mila setengah melamun. "Astaga, tiba-tiba aku langsung kepikiran nama yang cocok untuk anak kita nanti. Ayahnya Gelar Revolusi Mangkubumi, anaknya Gelora Reformasi Mangkubumi. Bagaimana menurutmu?"

"Ck! Berhenti main-main? Kalau tidak ada yang penting aku harus segera kembali melayani Ibu Pertiwi."

"Benarkah?" Mila memandang Gelar antusias. "Kebetulan sekali," ujarnya seraya bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati lelaki itu.

"Setelah dipikir-pikir, sepertinya kita belum pernah berkenalan secara resmi." Mila mengulurkan tangan ke hadapan Gelar. "Perkenalkan. Namaku Kemilau Gemintang Pertiwi," ucap Mila lantang. "Calon ibu Pertiwimu yang baru. Aku tidak sabar menunggumu melayaniku," imbuhnya setengah berbisik.

Gelar mengabaikan uluran tangannya. "Jangan bercanda."

"Aku tidak bercanda. Lihat saja sendiri." Mila menarik tanda pengenal yang dijepit di bagian depan blusnya, hingga talinya yang bisa ditarik, memanjang ke arah lelaki itu.

Gelar mengambil alih benda tersebut, lalu membacanya dengan ekspresi sangsi. "Jadi kamu beneran psikolog?" Lelaki itu tiba-tiba melepas tanda pengenal itu hingga menyentak Mila.

"Kenapa?" Mila merutuk dalam hati. Meski begitu, ia tetap memasang senyuman manis. "Terkejut?"

"Ya. Aku tidak yakin jika mengingat betapa sintingnya kamu."

"Mungkin karena rata-rata pasienku gila, aku jadi ikutan gila." Mila terkekeh geli.

"Apa kamu menyesal dan ingin membatalkan kesepakatan kita?"

"Tidak." Mila berhenti tertawa. "Untuk apa menyesal? Bukankah kamu sudah mendapatkan kompensasinya? Katakan saja kamu menikmati saat-saat menyiksaku. Kamu senang sekali memarahiku, membentak, mengataiku sialan, mencekik, mengancamku dengan pist―"

"Sudah cukup. Aku pergi sekarang!" Gelar berderap menuju pintu keluar.

"Tunggu, Rev!"

"Apalagi?"

"Kamu orang pertama yang aku tahu punya eight-pack."

"Apa?" Gelar melongo.

"Bahkan Arnold Schwarzenegger pun perutnya cuman punya enam kotak, tapi kamu punya delapan kotak. Setahuku hanya Shahrukh Khan yang perut kotaknya ada delapan, bahkan lebih."

"Kamu benar-benar gila! Aku harus perg―"

"Ini tentang adikmu."

"Ada apa dengannya? Kamu apakan lagi dia?"

"Gita terserempet mobil."

"Apa? Dia terserempet mobil dan kamu masih sempat-sempatnya menggodaku? Di mana dia sekarang?"

"Adikmu baik-baik saja. Hanya lecet sedikit. Dia masih dalam pengaruh obat penenang."

"Dari dulu aku tidak setuju dia berteman denganmu. Kamu selalu bawa pengaruh buruk."

"Iya, iya, iya. Kamu sudah pernah mengatakannya ketika kita pertama kali bertemu di rumah sakit. Kalau bukan karena eight-pack di perutmu, aku tidak akan sudi menolerir mulut cabemu lagi. Bisa tidak sih mulutnya dipakai sesuatu yang berguna? Cium aku misalnya."

Gelar menatap Mila galak.

"Astaga, bercanda, Rev. Balik lagi ke Gita. Aku yakin kamu sadar apa yang dia alami. Jadi, meskipun di satu sisi kamu tidak setuju adikmu bersahabat denganku, tapi di sisi lain kamu membiarkannya karena memercayaiku."

"Gita bilang kalian soulmate."

"Benar, dan kamu jodohku." Gelar spontan mendengkus jijik.

"Jadi, kapan kamu mau jujur padaku, Rev?" tanya Mila hati-hati. "Tentang kondisimu."

"Kondisi apa? Aku di sini karena kamu bilang ada sesuatu yang darurat, tapi karena kamu barusan bilang adikku baik-baik saja, aku anggap tidak ada hal yang darurat lagi."

"Benar. Adikmu baik-baik saja, tapi maksudku, sesuatu yang darurat itu kamu. Dari apa yang aku lihat, aku yakin kamu juga memiliki masalah yang butuh penanganan khusus."

"Aku tidak―"

"Jangan menyangkal, Rev. Kamu agresif, mudah marah. Tidurmu gelisah dan sepertinya penuh mimpi buruk. Saat terbangun, kamu langsung mencari senjata. Kamu juga tampaknya mengalami psikosomatis, sesuatu yang membuatmu merasa kesakitan secara emosional."

"Hanya karena pernah sekali melihatku tidur bukan berarti kamu tahu segalanya tentangku."

"Benarkah? Sayang sekali, padahal kamu lebih bersahabat saat sedang tertidur. Mungkin karena mulutmu tidak akan banyak ngomel seperti ibu-ibu kurang uang belanja." Mila mengangkat bahu, lantas membuang muka. "Kecuali bagian kamu menodongkan senjata."

Gelar tidak bereaksi.

“Astaga. Kamu benar-benar tidak akan meminta maaf karena berhasil menakutiku?”

Gelar lagi-lagi tidak bereaksi. Lelaki itu membiarkan keheningan meraja sampai Mila menggigit bibir, menahan diri agar tidak bicara sebelum lawan bicaranya bicara.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang panjang, Gelar mengisi kekosongan dengan suaranya yang dalam.

"Apa yang Gita derita sangat buruk?"

Mila menghela napas lega meskipun sebenarnya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan penjelasan rinci tentang bagian ditodong pistol.

"Seperti penderita bipolar pada umumnya. Dia mengalami perubahan mood atau suasana hati yang ekstrem. Dia bisa merasa sangat senang, kemudian tiba-tiba jadi sedih dan depresi."

Gelar menghela napas kasar, lalu kembali membisu. Meski tak tahan untuk kembali bicara, Mila memaksakan diri untuk tutup mulut dan menunggu tanggapan lelaki dengan sabar.

"Apa sangat berbahaya?"

Mila bernapas lega saat Gelar kembali bersuara. "Dalam episode depresi, pikiran untuk bunuh dirinya semakin kuat. Jadi risiko ke arah sana sangat besar," jelasnya.

"Apa? Brengsek!" Kepalan tangan Gelar menghantam meja kopi.

Mila menatap simpati pada meja kerjanya yang untungnya cukup kokoh untuk menerima pukulan tak terduga. "Lalu apa yang terjadi padamu, Rev?" tanyanya seraya menatap Gelar dalam-dalam.

"Tidak terjadi apa-apa padaku." Gelar berdiri dengan gaya mengintimidasi. Kedua alisnya bertaut tak senang manakala membalas tatapan Mila yang tengah asyik menikmati keindahan struktur wajah maskulin di hadapannya. "Berhenti menatapku seperti itu."

"Seperti apa?" Mila mengangkat alis.

"Seolah aku patut dikasihani."

"Ya ampun." Mila terkekeh geli. "Kamu belum pernah dekat dengan wanita apa bagaimana?"

"Aku tidak punya waktu untuk wanita. Memangnya kenapa?"

"Lihat mataku." Mila menunjuk matanya sendiri. "Aku menatapmu penuh nafsu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa kasihan."

"Apa kamu tidak punya harga diri?"

"Punya. Sayang harganya jatuh begitu berhadapan denganmu."

"Berhentilah menggodaku."

"Ck. Perjaka memang beda. Tidak suka digoda."

Gelar melotot. Mila segera mengunci mulutnya hingga keheningan kembali merebak.

"Apa kamu bisa membantu Gita selama yang kamu bisa?" ucap Gelar dengan nada pasrah.

"Tentu saja," jawab Mila tanpa ragu.

"Terima kasih."

"Aku juga bisa membantumu, Rev."

"Oh ya?" Gelar tertawa miris. "Kenapa aku tidak yakin?"

"Kamu tidak perlu meyakininya sekarang." Mila tersenyum lebar. "Sejak kapan kamu sudah tahu ada yang salah dengan adikmu?" tanyanya, sengaja beralih topik setelah melihat gelagat Gelar yang terus menatap pintu keluar.

"Dalam beberapa kesempatan, dia mirip mendiang ibu kami," jawab Gelar. "Alkohol membuatnya euforia tak terkendali, kopi membuatnya tidak bisa tidur berhari-hari. Pada periode tertentu kreativitasnya bisa jadi luar biasa. Bahkan bisa dibilang berlebihan. Ibuku bahkan bisa meniru lukisan populer, persis seperti aslinya."

"Tunggu. Aku perlu mencerna ini." Mila berjalan mondar-mandir. Kebiasaannya saat sedang berpikir serius. "Penyebab bipolar adalah ketidakseimbangan neurotransmitter atau zat pengontrol fungsi otak. Namun, bukan hanya itu, gangguan bipolar juga dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya genetik. Artinya orang yang anggota keluarganya mengalami bipolar, berisiko lebih tinggi mengalami hal yang sama."

"Sebenarnya ibu tidak langsung meninggal setelah melahirkan Rara. Dia mengalami depresi parah, tidak pernah mau makan sampai tubuhnya menyerah untuk tetap hidup. Ayah tidak tahu apa-apa karena dia sedang tugas di pulau terpencil. Sebelum pergi Ayah hanya memintaku untuk menjaga ibu tetap bahagia karena kehamilan bisa membuat ibu semakin kacau. Padahal dalam kondisi biasa saja suasana hatinya sering berubah-ubah dengan sangat cepat."

"Apa maksudmu mendiang calon ibu mertuaku tidak pernah mendapatkan penanganan terkait kondisinya?"

"Astaga." Gelar membuang muka. "Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya."

"Jawab saja."

"Apa semua ini hanya lelucon bagimu?" sergah Gelar sengit. "Mengapa kamu selalu bisa menyelipkan guyonan aneh pada setiap kenyataan pahit?" Tatapan tajam lelaki itu menusuknya hingga membuat Mila tidak nyaman.

"Bisakah kamu menganggap aku tidak tahu apa-apa tentang Cryptic? Setidaknya cobalah berusaha untuk tidak tampak terpaksa setiap kali berurusan denganku." Setelah mengatakannya, Mila tersenyum cengengesan. "Kita pacaran 'kan?"

"Kamu beneran psikolog? Atau cuma orang gila yang ngaku-ngaku psikolog?" tanya Gelar skeptis.

"Calon istrimu."

"Jangan menikah, jangan punya anak. Itu pesan ibuku sebelum meninggal. Aku berniat menurutinya. Jadi, aku tidak punya alasan bagus untuk menjalin hubungan."

"Kalau begitu ayo menikah, ayo punya anak. Itu yang Ibu Pertiwi barumu perintahkan. Dengan begitu kita bisa membuat gerakan pembaharu Indonesia. Revolusi Pertiwi. Apakah alasan itu sudah cukup bagus?"

"Sayangnya, aku tidak tertarik."

"Jangan bilang tidak, tapi belum. Kamu tidak mau 'kan nantinya malah menjilat ludah sendiri?"

"Ck! Terserah."

"Oh ya? Boleh tanya sesuatu?"

"Aku tidak akan menjawab kalau pertanyaan kamu aneh-aneh."

"Tidak aneh. Ini murni untuk observasi." Mila berdeham sebelum melanjutkan. "Kamu bilang kamu tidak punya waktu untuk menjalin hubungan."

"Tepat sekali. Ini juga berlaku untukmu."

"Lalu bagaimana lelaki dewasa sepertimu meredakan hasrat seksual? Tentunya itu kebutuhan dasar manusia 'kan? Apa kamu pernah sangat menginginkan seorang wanita sampai kamu tidak bisa menahannya dan bermimpi melakukan aktivitas intim bers―"

"Astaga!" potong Gelar tak sabar. "Aku pergi sekarang. Tolong jaga adikku."

"Kamu tidak akan menemuinya sebelum pergi?"

"Aku yakin dia lebih membutuhkanmu daripada kakak yang hanya muncul sesekali dalam hidupnya." Kali ini Gelar benar-benar membuka pintu dan meninggalkan ruangan.

Mila bergegas mengejar lelaki itu. "Dan kapan giliranmu, Rev? Kapan kamu membutuhkanku seperti adikmu?" ujarnya setengah berteriak.

"Mau tahu apa pendapatku, Rev?" Mila berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Gelar di koridor klinik yang panjang dan sepi.

"Menurutku, kamu sengaja muncul sesekali dalam hidup Gita. Kamu sengaja menjaga jarak dengan adikmu."

"Jangan konyol. Kenapa aku harus menjaga jarak dengan adikku sendiri?" tanya Gelar tanpa memelankan kecepatan berjalannya. Meski begitu, Mila berhasil menyejajarkan langkah walaupun itu artinya ia harus setengah berlari dengan stiletto.

"Karena pekerjaanmu berbahaya. Sehingga nanti ketika kamu gugur dalam tugas, dia tidak akan terlalu berduka," ujar Mila terengah-engah. "Apa yang kulihat dengan jelas adalah kamu berusaha keras agar kepergianmu tidak begitu berarti bagi siapa pun."

Langkah Gelar tiba-tiba berhenti di koridor terbuka di mana sisi kanan dan kirinya dipenuhi tumbuhan hijau setinggi dua meter. "Kalau sudah tahu..." ujarnya seraya memutar tubuh menghadap Mila. "Kenapa masih mau terlibat denganku?"

"Apa salahnya?"

"Banyak. Pekerjaanku berbahaya, aku bisa mati kapan saja, dan nyawamu bisa terancam."

Mila mengangkat bahu acuh tak acuh. "Siapa pun bisa mati kapan saja, tapi tidak semua orang bisa menikmati hidup. Aku terbiasa hidup seolah ini adalah hari terakhirku. Dengan begitu, tidak ada penyesalan meskipun aku harus mati besok."

"Jangan libatkan aku dengan prinsip konyolmu."

"Berhentilah membuat dirimu tidak bahagia, Rev. Demi Tuhan, ibumu bipolar! Sama seperti adikmu, Gita, semua keputusannya berubah-ubah tergantung suasana hati. Aku yakin dalam keadaan stabil dia ingin melihatmu menikah dan memiliki banyak anak."

"Kamu menghina ibuku? Dan adikku?"

"Astaga!" Mila memutar mata. "Aku hanya bersikap jujur."

"Mau apa kamu?" Gelar mundur selangkah ketika Mila mendekat. Air mukanya tampak panik, tetapi lelaki itu segera menyembunyikannya dengan apik.

"Apa kamu takut kepadaku, Prajurit?" Mila tersenyum lebar dan terhibur.

Gelar membuang muka. "Yang benar saja."

"Menarik." Mila bersedekap. "Kamu tidak takut mati, tapi takut padaku? Wanita yang tertarik padamu?"

"Tidak mungkin. Aku sudah sering menghadapi wanita-wanita tidak diinginkan."

"Kalau begitu, mungkin kamu takut khilaf karena aku satu-satunya wanita yang pernah melekat di tubuhmu tanpa penghalang."

"Apa?" Gelar menatapnya berang. Meski begitu Mila sangat yakin lelaki dengan ingatan eidetik itu tahu betul apa yang ia maksud. "Aku tidak takut apa pun!" ujarnya kembali membuang muka.

"Buktikan. Berikan aku satu jam waktumu."

"Aku tidak punya waktu."

"Ya, kamu punya!" Mila mengulurkan tangan, lantas meraih tangan kanan Gelar dan menautkan jemarinya di sela jemari lelaki itu. Untuk sesaat ia terpaku melihat jari-jari mereka saling menyilang. Pembuluh darah di tangannya mendadak sensitif. Mila bersumpah ia bisa merasakan darahnya bergejolak di tempat jemari mereka saling bersentuhan. Gelar sendiri tampak tidak nyaman. Lelaki itu sibuk mengibas-ngibaskan tangannya, seolah dia telah menyentuh sesuatu yang kotor.

Namun, sebelum jalinan jemari mereka benar-benar terlepas, Mila mengeratkan genggamannya. "Kamu benar-benar takut padaku?" tanyanya dengan nada menantang.

Gelar mendengkus jijik, "Aku hanya benci sesuatu yang tidak bisa diprediksi."

"Dan kamu pikir aku tidak bisa diprediksi?" Mila memaksa Gelar itu supaya berjalan bersama-sama. Sayangnya lelaki itu bersikukuh bertahan di tempatnya berdiri.

Mila menghela napas panjang. "Bukankah sejak awal rencanaku sudah jelas? Aku berniat menjalin hubungan denganmu, semenjijikan apa pun caranya," ujarnya setengah menyindir.

"Jadi..." Mila kembali menarik tangan Gelar agar mengikutinya. "Jangan memprediksi bagaimana hubungan ini berjalan atau bagaimana nanti akhirnya. Bukankah seorang prajurit tidak akan mengingkari janjinya?"

Gelar menggeram protes, tetapi Mila yakin ia sudah menang karena lelaki itu akhirnya menurut.

"Mau ke mana?" tanya Gelar sesaat kemudian. Kembali memaku langkahnya ke lantai. Mila mengerling jahil ke arah lelaki itu dan berkata, "Ke hatimu."

"Jangan mimpi," sahut Gelar tampak risi.

"Sembilan tahun ini aku tidak pernah bermimpi selain memimpikan saat kamu menggendongku di dalam hoodie."

Saat Gelar tercengang mendengar celetukannya, Mila memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membawa paksa lelaki itu memasuki sebuah ruangan luas bercat putih, di mana terdapat sebuah sofa besar berwarna beige mendominasi. Satu bagian dindingnya yang terbuat dari kaca, memberi akses pada pemandangan taman hijau meneduhkan di luar sana.

"Mer..."

Wanita yang Mila panggil mendongak dari berkas pasien di atas meja seraya mendorong kacamata di hidungnya dengan telunjuk. "Ya?" sahutnya datar .

"Giliranmu." Mila mengerahkan kekuatannya untuk mendorong tubuh kukuh Gelar hingga lelaki itu berdiri tepat di hadapan meja Meridian.

"Giliran?" Untuk sesaat Gelar tampak kehilangan kata-kata saat memandang Mila dan Meridian bergantian. "Apa sebenarnya rencanamu, wanita sialan?" teriak lelaki itu saat melihat Mila bergegas meninggalkan ruangan.

"Nikmati saja, Rev," ucap Mila tenang sebelum menutup pintu dengan ekspresi puas.

Sejauh ini tak ada seorang pun yang bisa keluar dari ruangan Meridian dalam keadaan sama seperti saat dia masuk. Hanya Mila yang tahu kalau rekan kerjanya itu memiliki berbagai macam cara untuk menghimpun informasi pribadi. Baik itu dengan cara legal, maupun ilegal. Mila hanya bisa memastikan semua informasi itu tidak akan disalahgunakan.

***

Dalam sehari, Mila cukup banyak menerima telepon di ponselnya. Meski begitu, ia selalu mengingat siapa saja yang meneleponnya. Termasuk penelepon tidak di dikenal yang nomornya tidak tertera di layar.

Awalnya telepon itu mirip telepon iseng yang langsung terputus begitu Mila mengangkatnya. Karenanya, Mila tidak terlalu memikirkan telepon-telepon itu. Namun, akhir-akhir ini telepon itu meningkat menjadi serentetan napas berat disertai desahan menjijikkan yang mengingatkan Mila pada kejadian di kelab malam yang nyaris merenggut kehormatannya sembilan tahun silam.

Mila baru saja keluar dari mobilnya yang diparkir di basemen apartemen ketika ponselnya berbunyi. Ia langsung tahu siapa yang meneleponnya begitu melihat layar yang tidak menampakkan nomor si penelepon.

"Bicaralah, Jalang," bisik si penelepon dengan suara rendah yang serak. "Aku butuh suaramu." Mila tidak ingin memikirkan lebih jauh hal menjijikkan apa yang si penelepon itu perbuat di seberang sana. Untuk itu, ia memilih diam.

"Kenapa? Tidak mau bicara denganku?"

"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Bajingan! Tunjukkan dirimu, dasar pengecut!"

Tawa puas seketika terdengar di seberang. "Belum waktunya," ujar si penelepon dengan nada angkuh.

"Belum waktunya? Kau sudah menguntitku bertahun-tahun!"

"Lucu. Bukankah itu yang selalu kau lakukan dulu? Menguntit temanmu satu per satu."

"Aku tidak menguntit mereka."

"Tetap saja kau dijuluki si penguntit gila."

"Dari mana kau tahu?"

"Aku selalu mengamatimu."

Perasaan Mila mulai tidak enak. Siapa yang mau repot-repot mengamati kehidupannya sejak masa sekolah? Mungkinkah selama ini ia telah salah menduga.

"Aku tidak menyangka kau ternyata pengecut! Kenapa hanya mengamati kalau kau bisa menemuiku?"

"Aku menikmati ketakutanmu. Aku ingin melihatmu ketakutan setengah mati."

"Kau tidak bisa membuatku takut lagi!"

"Oh ya? Pengawal barumu itu sepertinya berpikir kamu sangat aman sehingga tidak perlu dijaga ketat. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihatmu langsung tanpa khawatir ketahuan."

"Apa?" Mila mengedarkan tatapannya ke segala penjuru tempat parkir yang gelap dengan kewaspadaan penuh, lalu mulai meneriakkan nama Badai berkali-kali hingga suaranya menggema.

Namun, seperti yang si penelepon katakan barusan, pengawal pribadi Mila tampaknya tidak berada di tempatnya berjaga. Bahkan tidak ada siapa pun di basemen seluas ini. Padahal ini belum terlalu malam, tetapi suasananya nyaris sesunyi dan semencekam kuburan di tengah malam.

"Jangan sia-siakan suaramu. Sudah kubilang tidak ada yang menjagamu malam ini. Aku lebih suka kau berteriak untukku."

Mila terlonjak saat tiba-tiba terdengar suara pintu mobil yang dibanting menutup. Tubuhnya sontak berputar mencari-cari asal suara.

Sesaat kemudian suara tawa puas terdengar di ujung sambungan telepon. "Takut?" ejek si penelepon.

"Tidak! Kenapa aku harus takut denganmu? Aku hanya kaget!"

"Sudah kuduga kamu belum setakut yang kuharapkan." Si penelepon terkekeh-kekeh. "Bagaimana kalau aku memberitahumu sesuatu? Aku tidak bernafsu pada gadis kurus berumur tujuh tahun, tetapi sekarang usiamu dua puluh tujuh tahun, bukan? Artinya tubuh kurusmu dua puluh kali lipat lebih menggoda ketimbang dulu?"

Mila merasakan darahnya mulai terkuras dari wajah. Kepanikan menerjangnya begitu menyadari kalau ia salah besar. Teror yang selama ini diterimanya bukan berasal dari si pemilik kelab yang hampir memerkosanya sembilan tahun lalu, tetapi orang yang pernah menculiknya saat usianya tujuh tahun.

Bertahun-tahun Mila mempelajari karakter para penculiknya mengandalkan ingatan-ingatan tergelapnya saat disekap. Mila akhirnya sampai pada satu kesimpulan kalau ada satu di antara para penculik itu yang sampai mati pun tidak akan pernah melepaskannya.

Di saat para penculik lainnya benar-benar mengharapkan uang tebusan sehingga memastikan Mila terluka sedikit pun, ada satu penculik diam-diam menikmati tangisan ketakutan Mila. Dia adalah penculik yang menorehkan tanda silang di pinggul Mila setiap malam, ketika teman-temannya tertidur. Tanda silang mengerikan yang akhirnya membekas dan tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun.

"Apa kamu masih ingat tanda yang aku buat dulu?"

"T-t-t-anda apa?" Mila mengepalkan tangan kanannya yang tidak memegang ponsel kuat-kuat. Berusaha mengendalikan ketakutannya sambil terus mengawasi basemen dan memikirkan cara untuk kabur.

"Tanda bahwa nyawamu adalah milikku. Tentu saja termasuk mencicipi tubuh yang dibesarkan dengan uang dan kemewahan. Aku penasaran, sewangi apa keringatmu sekarang."

"Tidak mungkin." Mila menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Ini tidak mungkin terjadi. Para penculik itu sudah dipastikan tidak akan pernah bebas selamanya. Kecuali kalau ayahnya berbohong. Mungkinkah ayahnya berbohong?

"Tidak ada yang tidak mungkin. Mari kita mengenang masa lalu. Aku bersedia bernegosiasi kembali dengan Jayadiningrat mengenai jumlah uang yang harus dia bayar untuk menebus nyawamu. Tentu saja itu tidak termasuk kehormatanmu. Aku senang karena kali ini tidak ada saudara yang akan menggantikanmu."

"Bajingan terkutuk! Kenapa kau melakukan ini padaku, hah? Kenapa???"

Sebelum sempat berpikir panjang, Mila membanting ponselnya ke lantai beton, lalu berlari kencang di antara lorong-lorong  mobil menuju tangga darurat. Ia harus melarikan diri dan membuat rencana untuk menangkap penculik itu dan menghukumnya sampai mati.

Sialan! Kenapa Mila baru menyadarinya sekarang? Tidak mungkin selama ini ayahnya repot-repot menyewa banyak pengawal untuk menjaganya kalau bukan karena masih ada satu penculik yang berhasil lolos.

Sayangnya, saat Mila berlari melewati lift, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang.

____________________

Happy reading, Readers!

Gimana? Panjang 'kan hasil bertapanya?

Semoga kalian tidak bosan menunggu kelanjutan cerita ini karena ternyata berat juga menulis romance-action. Benar-benar menguras pikiran. Padahal rencananya masih ada dua cerita romance-action lagi yang mau ditulis.

Semangat! Jangan lupa vote dan komen.

BONUS


Mas Ge dicekok miras sama Mila.

Yang nyekok main gila sama kuda.

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 30.2K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
608K 70K 39
Solyn White tidak sanggup memaafkan tunangannya, Krisna Dananjaya, karena terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Usai memutusk...
4.6K 1.2K 23
"Is human value based on the money they can earn?"-NF- Adalah keluarga Darmana, keluarga sederhana, bukan keluarga cemara. Para saksi betapa dunia me...
2.7M 195K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...