Merapi Membara, Sambungan dar...

By IgnDwiatmoko

3.5K 104 47

Ini adalah cerita sambungan dari Bara Asmara di Kaki Bukit Menoreh. Kisah cinta, berbalut sejarah dan beberap... More

Ontran Ontran Menoreh
Bab 2
BAB 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
BAB 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 19
Bab 20

Bab 18

82 2 0
By IgnDwiatmoko


Srintil tampak bersemangat berjalan dengan pendekar gagah. Meskipun sesekali tampak berlari – lari kecil mengikuti langkah kaki Joko Nunggal yang panjang, ia seperti tidak merasa lelah. Hatinya tengah berbunga, berharap ada sedikit perhatian dari pendekar dari Seberang Lereng Pegunungan Menoreh tersebut.

Srintil tahu untuk saat ini duka dan mendung wajah Joko Nunggal yang kehilangan seseorang yang dicintainya masih membekas. Ia tidak memaksa diri, namun ia sabar, bila jodoh tidak akan ke mana. Joko Nunggal terus berjalan cepat menyusur pematang sawah, menembus belukar dari hutan cukup lebat di sisir jurang yang berada di sekitar kaki Merapi. Sesekali ia melihat sisa asap Merapi yang mulai membumbung menuju arah Selatan. Suara gelegar yang samar – samar sesekali terdengar, tapi mungkin lebih oleh guguran batu dari Merapi yang terdengar beberapa kilometer di bawahnya.

Merapi sudah lebih tenang, Maka Joko Nunggal disusul Srintil mencoba menyisir Merapi, memastikan keadaan aman dan penduduk sudah bisa kembali ke rumahnya. Bagaimanapun Merapi adalah rumah yang nyaman dari penduduk yang sudah terbiasa mendengar guguran lava dan pijaran api dari pucuk Merapi.

Sepanjang perjalanan, desa - desa yang dilaluinya sepi sunyi, seperti tidak berpenghuni, rumput, pepohonan penuh dengan debu, Daun kelapa, merunduk, dan hasil pertanian banyak yang tertimbun abu. Bencana sungguh menyesakkan. Bayangkan para petani dengan telaten, mengolah sawah, menanami padi dan kebun, menyiangi rumput liar, memberi pupuk namun ketika bencana melanda semuanya luluh lantak, tidak tersisa. Mungkin hanya serpihan luka bathin dan kepedihan dan air mata yang mengalir di pipi. Sementara para petani laki- laki hanya terbengong dan dengan dalam mengisap rokok agar lepas segala sedih dan nestapanya. Terbayang kerja keras yang sia – sia, namun alam tengah marah, Merapi tengah memperingatkan manusia durjana yang bermain- main dengan kehidupan.

"Kang, bisakah istirahat sejenak, kamu terlalu bersemangat sehingga berkilo – kilometer jalan yang kita lalui tanpa dilewatkan dengan berhenti sama sekali."

"Oh, maaf Srintil. Pikiranmu yang menuntun untuk bisa cepat- cepat mendekat Merapi."

Joko Nunggal lalu duduk di sisi pereng menghadap alur air sungai Apu yang masih kelihatan keruh. Srintil pun mendekat, duduk di sisi kanan Joko Nunggal. Kesunyian kembali membekap.Srintil berusaha mengatur nafasnya yang tampak mulai tersengal- sengal sedangkan Joko Nunggal tampaknya mulai merasakan kembali kehilangan orang yang dicintainya yaitu Sawitri. Dan ia sedang memikirkan bagaimana nasib anaknya.

"Maaf, ketika sunyi begini tampaknya kakang masih ingat istri kakang ya..."

Joko Nunggal hanya mengangguk. Matanya menerawang jauh larut dalam ingatan ketika pertama kali berjumpa Sawitri. Ia merasa bersalah meninggalkan keduanya saat Sawitri tengah mengandung. Namun sebagai pendekar yang sedang diutus menegakkan kebenaran ia harus menanggung resiko. Ia harus mempertanggungjawabkan pengetahuan dan keahliannya bela diri untuk menumpas kejahatan.

Ia sudah berjanji pada gurunya untuk mengabdi pada sesama, memberantas angkara murka, membantu mereka yang kesulitan. Segala resiko menyangkut kehidupan pribadi harus ditanggungnya.

"Srintil apakah kau tidak kepikiran untuk pulang ke daerah asalmu."

Yang diberi pertanyaan tampak kaget dan tidak siap menjawab.

"Ehm, apa pertanyaan kakang, a, a, aku tadi gak mendengar."

"Kamu lagi melamun ya..."

Kerling mata Srintil sempat mencuri pandang mata Joko Nunggal. Desiran jantung Srintil berdegup kencang tampaknya sehingga ia tampak grogi menjawab pertanyaan Joko Nunggal.

"Kamu tampak gugup, ada yang sedang kamu pikirkan."

Terus terang Srintil tidak malu menjawab, sebab ia memang sedang memikirkan dan membayangkan bagaimana jika ia menjadi kekasih Joko Nunggal.

Joko Nunggal mendekat, bau keringat pendekar disampingnya itu membuat Srintil semakin bergairah. Oh, betapa nyamannya bisa rebahan di dadanya ( begitu kira – kira yang terpikirkan Srintil).Srintil malah tampak menutup mata ketika sosok gagah itu semakin dekat.

Tangan Joko Nunggal menyentuh punggung Srintil dan Srintil semakin blingsatan dan berkeringat dingin.

"Ada, rerumputan menempel di bajumu, maaf aku buang ya..."

Oh dikiranya Joko Nunggal akan merangkul dan merengkuhnya. Srirntil tampak pasrah, namun ternyata Joko Nunggal hanya mencoba membuat rumput yang menempel di baju Srintil.

Angin semilir yang ada di sekitar pegunungan membuat Srintil mengantuk, tiba- tiba saja ia tertidur dan kepala Srintil menempel di bahu Joko Nunggal. Joko Nunggal membiarkan kepala Srintil ada di bahunya.

Semerbak bau rambut Srintil sebetulnya membangkitkan gairah Lelaki Joko Nunggal. Sudah beberapa lama ia tidak lagi menyatupadukan cinta dalam sebuah kebersamaan antara laki – laki dan perempuan.

Ia kangen dan kebetulan ada Srintil disampingnya. Kalau dilihat ia tidak kalah cantik dengan Sawitri, bahkan tubuhnya tampak mempesona karena dulunya adalah penari yang biasa mengolah tubuh. Namun Joko Nunggal saat ini tengah menahan diri, tidak terbawa hasrat purba yang membuat ia gampang jatuh cinta, mungkin jika berjodoh bisa saja Srintil menjadi pendampingnya namun, misi utama saat ini adalah memperdalam ilmu, ia harus bisa menahan godaan.

Srintil terbangun. Saat kepalanya berada di pundak Joko Nunggal ia seperti mimpi tengah memadu asmara dengan lelaki gagah tersebut, ketika bangun ia tersipu sendiri karena dalam tidurnya mata dan mulutnya bergerak - gerak, seperti tengah melakukan sesuatu.

"Kamu tertidur dan aku tidak tega ketika kepalamu ada dibahuku. Kubiarkan saja biar kamu bisa tidur nyenyak, Srintil"

"Oh, maaf Kakang membuatmu repot."

"Tidak apa – apa, kalau sudah istirahat mari kita jalan lagi."

"Baik, Kakang."

Srintil mencoba berdiri namun sempat sempoyongan karena pijakannya kurang kuat, Ia hampir saja jatuh di jurang yang cukup dalam, untung saja Joko Nunggal sigap dan menangkap lengannya. Secara sepontan Srintil merangkul Joko Nunggal. Beberapa saat tubuhnya rekat di dada Joko Nunggal. Tentu saja gelagapan Srintil setelah sadar ia cukup lama merangkul Joko Nunggal.

"Maaf, aku tak sengaja merangkulmu."

"Tidak apa - apa . "

Sebetulnya gundah juga Joko Nunggal dirangkul oleh Srintil. Jantungnya sempat berdegup kencang, namun ia sadar ia harus bisa menahan diri. Joko Nunggal yang berjalan duluan disusul Srintil yang masih terbayang dengan adegan barusan.

Joko Nunggal dan Sawitri terus melangkahkan kaki, sampai kemudian sampai di desa yang berada paling dekat dengan Merapi. Suara berdeburan dari gururan batu semakin keras terdengar. Joko diam , lalu duduk dan bersila. Ia kerahkan konsentrasi mencoba berdialog lewat bahasa bathin dengan Kyai Guntur Geni.

"Srintil, jaga – jagalah agak jauh dari saya, aku tengah mencoba berdialog bathin dengan Kyai Guntur Geni."

"Baiklah Kakang."

Joko Nunggal memejamkan mata, ia tengah berusaha memanggil Kyai lewat telepati. Secara samar – samar dari penglihatan mata bathinnya kyai tengah tersenyum di sebuah tempat. Dalam bayangan Joko Nunggal Kyai seperti menunjukkan sebuah tempat, secara sekilas ia melihat benda berwarna abu – abu dan lintasan tulisan dan gambar sesaat. Ada petunjuk yang mesti ia cermati dengan melihat gambaran batu besar runcing yang seperti berada di bibir pucuk gunung.

Namun untuk bisa sampai ke sana ada tanda untuk menunggu beberapa saat setelah Merapi tenang kembali. Ia membayangkan sebuah lembah, lebar, sunyi dengan angin kencang, kalau malam dingin menggigit namun tampak ramai mirip dengan aktivitas orang – orang dengan dengan wajah – wajah cukup aneh.

Untuk melewati tempat tersebut ia mesti punya kesadaran untuk bisa bersahabat dengan alam sekitar, mempunyai pikiran lurus dan tidak berusaha mengganggu kehidupan para penghuni gunung Merapi.

Setelah melakukan meditasi dan mendapat petunjuk. Joko Nunggal segera bangkit untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah yang bisa disinggahi untuk istirahat. Dari jauh Srintil mendekat.

"Sudah ada petunjuk Kakang?"

" Ada, namun saya mesti sabar menunggu dan memastikan Merapi sudah tidak bergolak lagi."

"Harus berapa lama menunggunya?"

"Kurang tahu, namun semoga dalam dua hari ini ada petunjuk jelas."

Sawitri jadi ingat mimpinya saat berada di tempat di mana ada kerajaan Merapi. Ia seperti melihat sosok seperti Nyai Gadung Melati dan para perajurit yang menjaga Merapi. Ia akan memaksa ikut menemani Joko Nunggal naik ke pucuk Merapi.

"Kamu sebaiknya menunggu di sini ketika saya nanti naik ke pucuk Merapi."

"Aku harus ikut Kakang, aku ingin menemanimu mendaki Merapi. Aku pernah mendapat petunjuk untuk suatu saat bisa bertemu dengan sosok yang tampaknya mereka yang menjadi penjaga Merapi."

"Aku sebenarnya tidak keberatan, namun apakah kamu cukup kuat mendaki gunung yang terjal."

"Tentunya aku kuat dan siap berjalan menemani Kakang."

"Baiklah aku setuju kamu ikut, namun satu syaratnya, jangan melamun."

Tidak menunggu jawaban Srintil Joko Nunggal berjalan lagi mencari rumah - rumah yang masih layak huni untuk bisa sekedar merebahkan tubuh dan tidur.

Joko Nunggal akhirnya bisa menemukan rumah yang tampak masih kokoh meskipun di atapnya penuh dengan debu yang berasal dari Merapi.

Continue Reading

You'll Also Like

123K 6.9K 28
Kumpulan cerita dari luar negri sampai dalam negeri (jugatentangpengetahuan) Hanya orang pemberani yg bisa membaca nya Apakah kamu termasuk pemberan...
KASHMIR By B.O.S🚀

Historical Fiction

379K 24.8K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
11.1K 567 21
Ketika tangan tak mampu meraih halus rambutmu maka ketika itu pulalah sepasang tangan akan berubah menjadi sepasang mata, dalam diam , mengamati dan...
LDR By trise nanda

Teen Fiction

91.3K 2.2K 43
Ketika sebuah kisah cinta dilalui lewat perantara dan tak lagi mampu untuk berbicara. Ketika itu sebuah rasa yang tak mungkin lagi dapat terbendung...