He's Dangerous

By wanodyakirana

9.9K 2.1K 7.1K

[Mature Content] "Jung, kau memang berbahaya." Nyatanya, Jeon Jungkook memang sinting. Lebih dari apa pun, Le... More

1. Comfort
2. Treason
3. Risk
4. The Plans That Failed
5. Circulation Of Money
6. Jungkook is Back
7. The Quandary
8. Who is He?
9. Hiraeth
10. Craftiness
11. Tacenda
12. Bamboozle
13. Strange
14. Peace Agreement
16. Bae Soora's Death
17. Hidden Facts
18. Leira Becomes A Suspect
19. He's Dangerous
20. Traitor's Neighbor
21. The Right Hand
22. Feeling Relieved
23. The Last Wedding Gift
24. Now It's All Over
25. Wherever I May Go

15. Decero: Start From Zero

287 46 317
By wanodyakirana

Kebanyakan orang mabuk itu pasti tidak bisa mengontrol emosi alias lepas kendali. Sama saja dengan empat pria yang berada tidak jauh dari meja bartender. Mereka menghabiskan lebih dari sepuluh alkohol, malah masih memesan lagi.

Sebuah bar kelas atas yang hanya bisa dimasuki para konglomerat ini terlihat begitu ramai, sampai-sampai tidak menyisakan tempat satu pun. Salah satu dari mereka menghampiri wanita yang sedang meracik alkohol untuk diberikan ke pelanggan.

"Bisa berikan aku pommery sampanye?" tanyanya dengan mengedipkan satu mata. Mungkin pria ini tertarik dengan wanita di depannya.

Disusul dengan satu temannya yang duduk di samping pria itu. "Whoa, keindahan ciptaan Tuhan memang terpahat sempurna," gumamnya berbisik. Dia tidak sepenuhnya mabuk, jadi, masih bisa mengontrol kewarasannya.

"Bagaimana menurutmu, Jeon? Pantas kujadikan teman tidurku hari ini atau mungkin esok?"

Pria yang kerap disapa Jeon Jungkook oleh teman-temannya itu menyunggingkan senyum remeh. "Belum tentu dia mau menjadi teman tidurmu, bro. Jika dilihat-lihat, dia bukan tipikal jalang yang mampu disewa sembarangan."

"Mau taruhan?"

"Boleh, kalau kalah harus membayar semua ini." Teman Jeon hanya mengacungkan ibu jari.

Kembalinya sang wanita dengan segalas sampanye, membuat teman Jeon merekahkan senyum menggoda. Menatap sang wanita dari atas sampai setengah badannya. Memang sempurna, sih—cantik, dan berbadan ramping bak model kelas atas. Sayangnya, profesinya tidak memadai—sebagai peracik segala jenis alkohol.

"Halo, Nona, bisa bicara sebentar?" Si wanita berhenti, sebagai salah satu tugasnya; melayani tamu dan mendengarkan keluh kesahnya.

Sambil tersenyum cantik, dia berkata, "Bisa, Tuan. Katakan, akan aku dengarkan."

"Kau cantik, Nona Leira. Bisakah aku meminta nomor ponselmu?" Mengetahui nama sang wanita, sebab pria itu melirik name tag yang berada di dada kiri Leira.

"Maaf, Tuan, nomorku tidak bisa disebar ke sembarang orang."

Lantas pergi ke sudut terdepan, nama Leira kembali diceletukkan oleh pria tadi. Dia berbalik sambil menarik ikat rambutnya, membiarkan rambut panjang itu tergerai bebas. Menyisipkan helaian rambut ke belakang, Leira kembali mengulas senyum cantiknya, hingga membuat kedua pria menatapnya terkesima.

"I want Decero, please," Kali ini yang meminta alkohol bukan John, melainkan Jeon. "Wait three minutes," balas Leira.

"Kurasa kau kalah taruhan, bro. Kan, sudah ku bilang, dia bukan wanita sembarangan." Jeon mengusap bahu John, temannya.

Agaknya John masih belum mau kalah atau tidak terima kalah. Kalau kalah, bisa bahaya, karena semua uangnya akan ludes malam ini untuk membayarkan ketiga temannya yang betah mabuk. "Tawaran tidurku belum kukatakan, lagi pula dia nanti kubayar sesuai keinginannya, berapapun itu."

Jeon hanya menanggapi dengan kekehan kecil yang terkesan masih mengejek. Kalau John, tetap percaya diri bahwa kali ini dia akan menang taruhan. Baginya, merasa tidak sulit untuk menaklukkan Leira, wanita kelas bawah. Mungkin perbandingannya; satu banding seratus.

Leira menyodorkan Decero kepada Jeon, namun berhenti memberikan ketika tangan Jeon memegang tangkai gelas. "Apa ini wine favoritmu?" Jeon mengangguk. "Kalau begitu selera kita sama." Jeon melirik John sambil mengedipkan sebelah mata. John tahu bahwa Jeon sedang mengejeknya.

"Malam ini bisa melayaniku? Bayarannya sepuluh kali lipat dari gajimu, Nona," sahut John.

"Maaf, Tuan. Seleraku bukan anda." Leira memanggil temannya. "Ah, Hwa! Ada yang butuh pelayananmu malam ini, bayarannya sepuluh kali lipat dari gaji yang kita dapat." Lantas wanita yang dipanggil Hwa berjalan menuju tempat Leira.

John mendengkus kesal. Tetapi tak apa, Hwa juga tidak kalah cantik dari Leira. "Okay, Jeon, kau menang. Nanti aku akan bayar semuanya. Sekarang aku tinggal dulu untuk mengeksekusi wanita ini, bye." Detik itu juga John dan Hwa pergi ke salah satu kamar yang ada di bar.

Giliran Jeon untuk menarik perhatian Leira. Segala rayuan akan ia keluarkan, harap-harap Leira memberi respons yang ia harapkan. Untung sudah tidak ada seseorang yang memesan minuman kepada Leira, ya, memang sih—bar sudah padat dan tidak menyisakan tempat.

"Kalau aku seleramu, bukan?"

"Bisa dibilang iya. Kau tampan, dan juga kaya. Yang paling penting menghargai wanita."

"Temanku juga tampan, lebih kaya dariku lagi," timpal Jeon, lalu meneguk sisa wine.

"Eoh, memang. Tapi apa gunanya jika tidak bisa menghargai wanita? Yang kubutuhkan pria sepertimu, bukan dia," jelas Leira terang-terangan.

Jeon menyodorkan gelas yang sudah kosong, bermaksud meminta tambahan Decero yang telah habis. Leira menerimanya, lalu mengisi dua gelas dengan Decero. Leira mengajak Jeon bersulang, dan mengulurkan tangan.

"Ah, kita belum berkenalan. Park Leira. Kalau kau?"

Jeon membalas uluran tangan Leira. "Jeon Jungkook."

"Sudah punya istri, Jeon?" tanya Leira gugup.

Jeon menggeleng. "Belum. Masih proses mencari calon istri untuk kunikahi secepatnya."

Leira menopang dagunya sambil memutar kecil gelas yang berisi seperempat wine. "Sama, aku juga belum. Masih proses mencari suami untuk kunikahi secepatnya. Bagaimana kalau kau menikah denganku saja?

Jeon tersedak, membuat dirinya batuk berulang kali. Jujur saja—tawaran yang ia dengar agaknya membuat kaget setengah mati. Pasalnya, mereka baru berkenalan dan belum mengetahui seluk beluk tentang lawan masing-masing.

Menetralkan air muka yang kentara kaget, Jeon mengambil napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Pikirnya, Leira hanya bercanda agar bisa menghibur dirinya. Nyatanya, suasana malah menjadi canggung.

"Sebenarnya boleh saja. Tapi kau yakin mau menikahi pria yang baru kau kenal sejak beberapa menit lalu? Aku tidak sekaya yang kau bayangkan," jawab Jeon seadanya.

"Yakin dan tidak akan menyesal. Kalau kau tidak sekaya pada bayanganku, kau tidak akan sanggup memasuki bar ini lantaran harga alkohol yang fantastis. Kalau begitu aku akan menyiapkan semuanya, termasuk dokumen untuk kita menikah. Kau tinggal duduk tenang dan hanya perlu mengeluarkan biaya saja. Bagaimana?"

"Apanya?" Serasa ada yang menyita memori Jeon yang mendadak membuat pikirannya kosong.

"Tanggal untuk pernikahan kita."

"Kau serius?" tanya Jeon terheran.

"Sangat, sangat, sangat serius. Tenang saja, aku akan menjadi istri yang baik bagimu, dan tidak akan menguras habis harta milikmu. Aku tertarik padamu, Jeon."

Kalau boleh jujur, Jeon juga tertarik pada Leira. Bukan hanya wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang ramping, melainkan pesona wanita itu tidak bisa ditolak oleh dirinya. Menurutnya boleh dicoba. Karena sudah ada rasa saling tertarik, pasti rasa cinta akan tumbuh sendiri seiring berjalannya waktu. Kalaupun nanti ada ketidakcocokan antara mereka, bisa bercerai dan menjalani hidup masing-masing.

"Aku juga tertarik padamu. Jadi, kapan kita akan menikah?"

"Secepatnya. Besok juga boleh," sahut Leira.

Lagi-lagi Jeon tersedak saat meneguk Decero. Ternyata wanita itu tidak main-main dengan ucapannya.

"Besok kau kembali ke sini sambil membawa cincin pernikahan. Jangan yang emas, aku maunya yang emas putih dan ada berliannya."

Jeon terkekeh kecil, belum jadi istri sudah banyak permintaan. Lagi pula bagi Jeon itu permintaan mudah. Tinggal pergi ke toko perhiasan dan membeli dua cincin yang Leira inginkan.

Selama hidup Jeon hanya terkesan pada malam ini, pasalnya sudah dipertemukan wanita se-spontan seperti Leira. Baru kali ini ia mendapat jodoh kelewat mendadak, apalagi yang melamar adalah si wanita, bukan dirinya.

Okay, Jeon yakin kalau Leira adalah wanita baik-baik yang menurutnya pantas bersanding dengannya di atas pelaminan. Meskipun Jeon tahu bahwa Leira bukan berasal dari keluarga berada. Namun, Jeon akan menerima Leira dengan lapang dada. Baginya—tidak perlu mencari wanita yang sepadan atas materi, melainkan ia mencari sifat baik dari wanita itu.

Dan menurutnya—Leira termasuk ke dalam daftar seleranya. Karena wanita itu terlihat ramah dan sopan, walaupun suka bicara secara spontan. Yang paling penting; Leira wanita pemilih—mana yang baik dan mana yang buruk, sebab terlihat dari cara bicaranya.

Esoknya, pada malam hari di jam yang sama, Jeon datang dengan membawa sepasang cincin yang direquest oleh calon istrinya itu.

Mereka berbicara secara empat mata di salah satu ruangan privat. Jeon membuka kotak cincin dan memberikan kepada Leira. Wanita itu tersenyum lebar, pun mendudukkan bokongnya di atas meja. Jeon menghampirinya lalu memeluk pinggang Leira.

"Cantik sekali calon istriku ini," godanya.

Leira membelai pipi mulus Jeon. Sesekali memainkan rambut pria itu. "Jangan menatapku seperti itu," katanya. Leira malu sekali saat wajahnya dan wajah Jeon berjarak cukup dekat. Ia baru pertama kali ditatap seperti ini oleh seorang pria.

"Bertambah cantik kalau melihatmu tersipu seperti ini."

Ia mengalungkan tangannya ke leher Jeon. Menatap lekat netra pria itu. "Aku memang cantik, Jeon. Sudahlah, ambil Decero yang ada di meja itu sekaligus tuangkan ke wadah ini."

Jeon hanya menurut saja, membalik badan untuk mengambil Decero yang sudah ada di atas meja, lalu menuangkan ke wadah kecil di samping Leira.

"Karena hidung kita sama-sama mancung, maka dari itu celupkan ke dalam wine ini, dan tempelkan ke cincin sebagai tanda janji kita berdua."

Wah, unik juga—membuat perjanjian dengan wine yang akan ditempel ke cincin. Dengan mengangkat satu alisnya, Jeon mencelupkan ujung hidung ke dalam wadah, dan menempelkannya ke salah satu cincin. Begitupun dengan Leira.

"Tidak khawatir tandanya akan hilang?" tanya Jeon bingung.

Leira menggeleng. "Tenang saja, Decero susah sekali hilangnya. Ini akan bertahan lama." Jeon kembali mengangguk sekaligus mengeratkan pelukannya.

Leira menarik napas dalam-dalam, pun berkata, "Mari kita mulai semuanya dari nol, Jeon Jungkook."

***

Menadahkan tangan untuk menerima butiran salju di taman belakang, lantas sedari tadi Jung tidak ingin melepas back hug dari pinggang Leira. Sudah nyaman, katanya.

Berselang tujuh menit, Leira membalik badan. Menangkup pipi Jung dengan tangannya yang bersuhu dingin. Jung menggigil samar.

"Tumben kuat."

"Cuman berlagak kuat agar bisa menatapmu seperti ini."

Leira terkekeh kecil, pun mengalungkan tangan ke leher suaminya. "Dasar pembual!"

"Baru sadar atau sudah lama sadarnya, kalau aku memang pembual?"

"Bisa dibilang; dua-duanya," jawab Leira.

"Serakah sekali kau ini, sayang. Bisa pilih satu saja, tidak?" tukas Jung.

"Bisa."

"Jadi, Jeon Jungkook atau Park Jimin?" Jadi, sebenarnya Jung niat tidak sih untuk berdamai dengan Leira? Padahal Leira sudah menuruti untuk berdamai selama 48 jam. Kalau caranya begini, bisa-bisa mereka perang lagi—dingin plus apatis.

Leira hanya bisa diam, termenung untuk mengambil keputusan. Jung tahu kalau istrinya ini sedang memikirkan sesuatu, terlebih lagi ucapannya yang sedang menyindir Leira secara halus. Daripada kedinginan di belakang rumah, pada akhirnya Jung menggendong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah.

Menempatkan bokong mulus itu di atas meja pantry, sedangkan ia mengambil Decero di kabinet dapur atas. Lalu menuangkan ke white glass setengah dari seluruhnya. Jung mendekatkan tubuhnya sambil memeluk pinggang Leira.

Mereka bersulang, meneguk wine sampai habis dengan sekali tegukan. Sesuka itu memang. Decero adalah favorit mereka. Terlalu enak jika tidak dihabiskan. Terlalu sayang jika dibuang-buang.

Jung menatap seksama wajah cantik Leira, menyingkirkan anak rambut yang menganggu pandangannya ke belakang telinga istrinya. Bertambah erat pelukan itu, hingga membuat seluruh tubuh Leira seutuhnya menempel di dada bidang Jung.

"Berhenti menatapku seperti itu, Koo."

"Kenapa?" Jung menjeda sejenak. "Aku suka melihatmu tersipu seperti ini, hm."

Leira mengembuskan napas. "Iya, aku memang tersipu. Tapi, kau yang keenakan bisa menempel ke tubuhku seenaknya, huh."

Tawa Jung mengudara, "Masih lunak, kok."

"Heh, jangan bercanda ya, Koo. Kau ini kalau bicara tidak dipilah-pilah dulu," ketus Leira sambil memukul lengan Jung.

"Kenikmatan ini tidak boleh disia-siakan, sayang. Terlalu enak untuk tidak kurasakan sepuas mungkin."

Leira hanya mampu mengeluarkan dengkusan kesal untuk menanggapi ucapan Jung yang kelewat ngawur.

Entah sejak menit keberapa, posisi mereka sekarang saling menindih. Merebahkan tubuh di sofa dengan Jung di bawah Leira. Jemari pria itu tak henti-hentinya memainkan anak rambut si wanita sambil memutarnya ke berbagai arah.

Saling menatap sang lawan—mengagumi pahatan ciptaan Tuhan yang menawan. Perlakuan manis Jung akan berakhir pada beberapa menit ke depan, setelah Leira memutuskan semuanya. Jikalau Leira tetap berada dipihak Jung, perlakuan manis ini tidak akan berakhir sampai kapan pun juga.

"Cantik. Tapi sayang, sebentar lagi bukan milikku," diimbuhi kekehan kecil di akhir kalimat, lantas Jung memainkan pipi Leira yang mulai berisi.

"Kalau aku tetap menjadi milikmu, bagaimana?"

"Tentu aku sangat bahagia sekali." Menjeda sejenak untuk memperhatikan cincin pernikahan di jari manis sebelah kiri, Jung kembali menatap wajah cantik istrinya. "Lagi pula aku masih tidak rela untuk melepas cincin ini. Terlalu sayang untuk melupakan kenangannya."

"Bahkan bekas wine nya masih ada," sambung Leira.

"Jadi teringat pertama kali kita bertemu—tentang John dan ketertarikanmu yang kau ungkapkan secara terang-terangan," kenang Jung sedikit mengingat memori penting dalam hidupnya.

"Jangan dibahas sayang, kan aku jadi malu. Ah, teman brengsekmu itu apa kabar?"

Jung berpikir sejenak. "Tiga hari lalu kita bertemu karena dia kembali ke Korea setelah menyelesaikan masalahnya di Amerika. Ingat tidak, dulu dia tidak percaya kalau kita menikah?"

Leira terkekeh kecil, "Bahkan dia mendoakan kita cepat berpisah."

Jung terdiam selama lima detik, lalu membalas ucapan Leira. "Nyatanya kita akan berpisah, 'kan?"

Sekarang keadaannya terbalik, Leira saat ini yang terdiam. Mencerna sejenak ucapan Jung. Mengambil map coklat di bawah meja, lalu memberikannya pada Leira agar sang istri lekas membaca isi dari dalam map tersebut. Menarik napas panjang, Jung berkata, "Ini surat perceraian kita, aku sudah menandatanganinya."

Leira meneguk susah payah salivanya. Mendadak napasnya tercekat kala Jung menyodorkan surat perceraian kepadanya. Sungguh, dari lubuk hati terdalam—Leira masih ingin menjalani hari dengan Jung. Ia masih ingin disayang, ia masih ingin diperhatikan, ia masih ingin dimanjakan.

Plin-plan memang. Leira juga tidak bisa membohongi diri sendiri, lantaran masih ada secuil perasaan cinta kepada suaminya itu.

Merobek map hingga menjadi potongan-potongan kecil, lantas Leira merengkuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Jung. Memeluknya erat sekali, tanpa mau mengurai sedikit pun. Leira terisak, membuat tangan Jung tergerak untuk mengusap punggung Leira.

"Maafkan aku, Koo ..."

"Tidak perlu meminta maaf, sayang. Katakan keputusanmu dari hati yang paling dalam. Apapun itu, aku akan menerimanya."

Stagnan pada posisinya sambil terus terisak, Leira sudah memutuskan mana yang ia ingin pertahankan. "Aku akan tetap menjadi istrimu, Koo."

Continue Reading

You'll Also Like

390K 19.8K 15
[DIBUKUKAN] [SEBAGIAN PART DI HAPUS!] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Menentang aturan, hukum alam. Bertolak belakang, melawan arus, mengabaikan kons...
Menik (Completed) By Dee_ane

Historical Fiction

82.6K 15K 53
19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction D...
1.5K 199 4
[Mature] Seolhwa cukup sembrono dalam menggunakan masa remajanya. Jika ia tak mengikuti saran temannya untuk mengunduh aplikasi dating itu, mungkin s...
4K 589 4
[ᴅᴇᴡᴀsᴀ 21+] ʜᴀɴ sᴏᴏᴊᴀᴇ ʙᴇsᴀʀ ᴅᴀɴ ᴛᴜᴍʙᴜʜ ᴅɪ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴘᴇʀᴀᴛᴜʀᴀɴ ᴋᴇʟᴜᴀʀɢᴀ ʏᴀɴɢ ᴋᴏʟᴏᴛ. ʜɪᴅᴜᴘɴʏᴀ ᴛᴇʟᴀʜ ᴅɪᴛᴀᴛᴀ sᴇᴅᴇᴍɪᴋɪᴀɴ ʀᴜᴘᴀ, ʙᴇɢɪᴛᴜ sᴇᴍᴘᴜʀɴᴀ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴄɪᴛʀ...