EPIPHANY

De Fyraswd

1.2K 426 342

Matanya telah menenggelamkanmu, senyumnya menjadi hal paling indah dalam hidupmu, juga tanpa sadar kau menjad... Mais

1. Panas Pagi
2. Kali Kedua
3. Spontanitas
4. Rintisan Fragmen
5. Serangan
6. Hai!
7. Surat Pertama
8. Perdana
9. Perlindungan
10. Tutor Ganteng
11. Perkara
12. Surat Kedua
13. Lensa
14. Surat Ketiga
15. Debat
16. Kerkom
17. Semesta
18. Dia Lagi

19. Kejutan Semesta

18 8 30
De Fyraswd

“Kupastikan hanya kamu. Tidak ada yang lain lagi.”

***

 
Hari Rabu, hari yang paling menyebalkan baginya. Entah bagaimana, hari itu selalu menjadi jadwal Arcelia untuk kelas olahraga. Bukan hanya setahun-dua tahun, tapi dua belas tahun. Terdengar aneh? Memang benar-benar aneh. Arcelia saja tidak tahu mengapa bisa begitu.

Oh ya, kemarin kebetulan Arcelia pergi berbelanja kebutuhan rumah. Langit sudah gelap sejak dia masuk ke dalam bus untuk pulang. Benar saja, beberapa langkah setelah kakinya beranjak dari halte, hujan turun begitu derasnya. Saking gelapnya sore itu, Arcelia tidak yakin untuk menunggunya reda. Jadilah ia trabas hujan itu, berjalan ke rumah hingga basah kuyup.

Tentu tidak akan menjadi masalah kalau badannya baik-baik saja. Masalahnya, dua hari sebelum itu, keningnya sudah panas. Termometer juga tidak menunjukkan ambang temperatur normal.

Nah, seperti sekarang. Kaus olahraganya sudah lembab akibat keringat, cacing di perutnya juga menari-nari minta diberi makan. Meski hari ini kesiangan, baginya tidak ada alasan untuk meliburkan diri.

“HALLO EPRIBADEH! Gimana kabarnyaa? Harus selalu ceria ya, kayak guee! Eh btw! Udah pada ngelike tiktok gue kan? Lah iya lah video yang terbaru! Ah ga seru sih lo dasar!”

Bisa kalian tebak siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan kucing garong. Felis.

“GUD MOWNING ACELL!! Jangan jutek-jutek, nanti lo tambah gemesin!” Sapa gadis itu sambil menoel-noel pipi Arcelia yang sedang terbaring pada lipatan jaketnya.

Arcelia tidak berdecak seperti biasanya, hari ini tangannya hanya menghentikan gerakan Felis tanpa minat.

Felis meletakkan tasnya pada sampiran kursi, menunduk untuk mengintip Arcelia lekat, “Kenapa lo, Bebb?”

Diperhatikan seperti itu, Arcelia menutup mukanya, tenggelam sedalam-dalamnya pada lekukan kain jaket miliknya. Hal itu justru membuat Felis makin penasaran, diusahakan tangannya supaya menyentuh kening Arcelia. Belum sampai pada keningnya, Felis sudah dibuat kaget dengan panas yang merambat di tangannya. Entah sudah berapa derajat suhu cewek itu saat ini.

“Ar! Kenapa sih nggak bilang! Lo mau mati di sini?!”

Sungguh, Arcelia malu sekali. Benar-benar malu. Bukan malu oleh sebab apa, tentu saja satu penjuru kelas bakal mendengar seruan Felis itu. Dan dia tak mau- takut jika orang lain akan memperhatikannya.

“Feeelll-“ lirihnya memohon. Dari nadanya, Felis seharusnya sudah tau jika, beban dari seruannya itu jauh lebih menakutkan daripada sakit fisiknya saat ini.

“Sorry-“ Felis merendahkan suara, “Kita ke UKS aja, ya?”

Membayangkan akan berada di ruangan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan petugasnya saja sudah membuat Arcelia menghela napas. “Nggak.”

“Udah sarapan belum lo?”

“Belum.” Katanya singkat. Mungkin jika di dunia nyata bisa ngomong pake bahasa singkatan, perkataannya itu bisa disingkat sebagai blm.

“Udah ah ke UKS aja cepet!”

Ditariknya lagi napas yang berat, “Ntar aja, gue masih bisa idup kok sekarang.”

Belum sempat Felis mendebat perkataannya, bel jam pertama sudah berdentang melalui speaker sekolah. Cowok-cowok sibuk berebut ke lapangan. Sedang yang cewek tetap berjalan ogah-ogahan.

Namun lunglai dan lesu kaum hawa itu tiba-tiba berganti, kala melihat satu kelas dari seberang juga ikut mengenakan pakaian yang sama. Bukan, bukan itu tepatnya. Tapi, cowok-cowok jangkung yang sudah nampak seperti model-model itu.

“Cel! Woi gila anjir! Itu- itu anak IPS 3 kan! Mampus lo bangsat! Anjir!”

“Anjirr oii gila gilaa!

“Meleleh gue anjirr yatuhan!”

Kiranya seperti itulah celotehan teman-temannya yang terdengar di telinga Arcelia. Dengar-dengar, kelas IPS 3 adalah kelasnya anak-anak basket yang jadi most wanted sekolah. Tapi Arcelia tidak peduli juga sih, yang dia tau Gita adalah anggota kelas itu. Yang artinya ada orang yang mennyebalkan ada di sana.

Tapi sudahlah, terserah. Itu sama sekali tidak penting baginya.

Saat sedang hening-heningnya mendengarkan Pak Damar, seluruh manusia di lapangan itu tertoleh fokusnya pada sosok yang datang setengah berlari, berkeringat, dengan tas kecil yang sudah barang tidak ada isinya kecuali buku satu lembar.

“Pak! Maaf –“ cowok itu mengatur napas, “Saya terlambat.”

Pak Damar langsung menyahut dengan suara beratnya, “JUNA!” Arcelia spontan mengarahkan kepala dan menemukan Juna di sana. “KAMU INI! BISA TIDAK SEHARI SAJA DATANG AWAL!”

“Bisa Pak! Kemarin saya datang awal, mau nyontek PR soal- EH!” Pinggang cowok itu kebagian jatah sebatan rotan Pak Damar, “PUSH UP DUA-TIGA PULUH!”

“Yang bener dong, Pak. Dua puluh apa tiga puluh?”

“TIGA PULUH!”

“Yah pak banyak banget! dua puluh aja lah ya!”

“YAUDAH DUA LIMA!”

“Dua puluh lah, Pak!”

Bapak itu akhirnya sadar sedang dikerjai siswanya, dia menghardik galak, “Kok kamu nawar! Mau saya tambah lagi?!”

“IYA IYA PAK!”

Arcelia terkekeh kecil menonton aksi laki-laki itu.

“Heran gue sama Juna, nggak kapok-kapok tiap hari dihukum. Adaa aja ulahnya. Bener banget emang gue julukin titisan jenglot.”

Masuk ke sesi lari, Arcelia tetap saja bersikeras untuk ikut. Dilihatnya muka merah Juna yang sekarang sedang diceramahi Pak Damar. Tentu saja Juna tidak akan serius mendengarkan kultu itu. Tadi saat Arcelia melintas, lelaki itu memberikan senyuman jenakanya. Membuat Pak Damar perlu menyabetkan gulungan koroannya ke pinggang lelaki itu. Dasar memang tengil.

Arcelia mengatur nafas, dua putaran lagi selesai. Setidaknya dia cukup yakin untuk tidak pingsan sampai sesi lari selesai. Diusapnya keringat yang semakin membanjir, sesaat kemudian terkaget dengan wangi maskulin didekatnya, ditambah sinar matahari yang sontak meredup terhalang menyentuh kulitnya.

Arcelia pelan-pelan menoleh ke sisi kirinya, menghentikan nafas ketika pandangnya segaris pada lengan atletis seseorang. Ia mendongakkan kepala, menemukan seorang manusia yang membuatnya menelan saliva.

“Biasa aja latinnya. Nanti lo jatoh lagi.”

Arcelia lantas membuang muka. Enak saja! Geer! “Ngapain lo di sini?”

Rama mengembuskan nafas tipis yang mampu membuat bulu kuduk Arcelia terangkat. “Ngapain? Ya lari lah. Nggak boleh?”

“Nggak!”

“Yaudah bilang sama Pak Damar kalo gitu.”

Arcelia menarik napasnya dalam-dalam, memilih mengalah untuk beradu mulut dengan cowok itu lagi.

Tikungan terakhir, cowok itu masih saja berlari di sampingnya. Jangan ditanya betapa risih rasanya. Arcelia mengambil langkah lebar, cukup percaya akan ‘lepas’ dari cowok itu.

Tapi langkahnya masih kalah dengan jenjangnya kaki Rama. Malah yang terjadi adalah, tubuh Arcelia oleng dan hampir saja menabrak cowok itu.

“Apa gue bilang, jatoh kan.”

Belum sempat Arcelia mengumpat, sebuah penggilan menghentikan  niatnya, “Arcelia!” Arcelia memperlambat tempo untuk menoleh ke belakang, memberi cukup waktu agar Juna berlari di sebalahnya, “Ar, you okay?”

Rama spontan menoleh pada Arcelia yang membelakanginya. Menemukan Juna yang juga sedang melihat ke arahnya. “Manja.”

Arcelia menahan gejolak di dadanya, “Bisa diem nggak lo?!” katanya penuh penekanan. Dengan enteng cowok itu menjawab, “Nggak.”

Juna ikut kepanasan mendengar itu, “Lo siapa sih?”

Rama memberikan tatapan datar untuk Juna, “Penting buat lo?"

Juna mengambil waktu untuk terkekeh dengan sebelah bibir menukik, “Penting bagi gue.”

Bodyguard nya lo?”

“Pacarnya. Pa-car.”

Arcelia membulatkan matanya terkejut. Menoleh kepada Juna yang nampak biasa-biasa saja dengan perkataannya barusan.

Juna jelas memercikkan kembang api pada Rama. Namun, bukan Rama namanya jika langsung terpancing begitu saja, “Oh really? But, sorry I don't care.” balasnya dingin. Jawaban yang sekaligus mengakhiri putaran terakhir sesi lari jam pelajaran olahraga ini.

Bola basket telah berjajar di pinggir lapangan, bisa ditebak apa yang akan dilakukan berikutnya. Pak Damar membuat dua kubu. Satu kelasnya Arcelia, dan satu lagi kelas IPS 3.

Juna baru saja ingin menepi, menghampiri Arcelia yang nampak pucat hari ini. Namun panggilan Pak Damar menghentikannya.

“Juna masuk! Kamu gantiin Tio.”

“Lah kenapa, Pak?”

“Dia lagi mencret katanya.”

Juna mendengus lesu, “Mencret kan dari anus pak, yang main bola kan tangan. Lagian saya jagonya di futsal, Pak.”

Pak Damar sudah menggulung korannya sedemikian rupa sehingga Juna meringis ngeri, “Nghhogey Pak.”

“JUNA!” Pak Damar lagi-lagi menghentikan langkahnya, “Apa lagi pak?”

“Kamu bilang apa tadi?”

“Bilang apa, Pak?”

“Yang tadi barusan kamu bilang.”

“Apa lagi Pak?”

Kumis lelaki itu menukik naik, “SEBELUMNYA JUNA!”

“Oh. Nghhogey Pak?”

Alis lelaki itu menaik, “Apa itu ngho-ngho-nghongey?”

Juna ingin tertawa, tetapi melihat wajah Pak Damar, dia jadi menggaruk tengkuk, bingung ingin menjelaskan dari mana. “Itu-itu plesetan okey, Pak. Ah bapak mah nggak seru! Download tiktok makanya, Pak!”

 “Kamu nyuruh saya main tiktok?”

Pak Damar tidak dalam mode bercanda, Nggak pernah juga sih sebenernya. Jadi, ketimbang salah lagi, dia memutuskan untuk segera masuk ke lapangan. Bermain –ralat. Bertanding basket, dengan lawan yang 3/5 nya adalah anak basket inti sekolah. Sungguh tidaklah setara, Juna tahu betul sebagai striker, dia lebih jago dalam olahraga apa.

Ah sial. Ditambah lagi, kapten basket sekolah, sekaligus lelaki yang didapatinya bersisian dengan Arcelia tadi, berada di seberang daerahnya. Double shit.

Sementara Rama, di daerahnya sana, menatap fokus pada ring lawan. Memintanya berdamai seperti apa yang selalu ia lakukan sebelum setiap pertandingan di mulai. Latihan atau pertandingan, bagi Rama tidak ada alasan untuk asal-asalan. Basket adalah serpihan jiwanya, dan dia tidak akan main-main dengan itu.

Peluit dibunyikan, Rama maju paling depan. Tubuh tingginya meliuk-liuk, merebut bola dan melemparnya dari jarak sekian.

Peluit dibunyikan lagi. Belum genap satu menit pertandingan, Rama berhasil mencetak tiga angka. Membuat barisan cewek-cewek meleleh dengan gerakannya.

Jalan beberapa menit, poin demi poin terus bertambah untuk kelas IPS 3, sementara kelas IPA 1 saat itu mulai gerah. Man, ini bukan sekadar permainan yang main-main. Cowok-cowok itu hanya memikirkan bagaimana harga diri mereka akan jatuh telak di hadapan para pebasket itu. Bukan hanya itu sebenarnya, mulut-mulut anak cewek kelas mereka juga nanti bakal nyinyir, buat kuping mereka panas.

Saling memberi kode, IPA 1 tau siapa pencetak poin terbanyak. Karena itulah, diputuskan bahwa mereka akan menjaga ruang gerak Rama.

Benar saja, saat cowok berambut legam itu memasuki derah lawan, tiba-tiba saja beberapa dari mereka menghalangi jalannya, saat Rama melakukan pivot, Juna tiba-tiba memblokade dengan berdiri tepat di hadapannya, membentur tangannya yang menjaga bola. Menijak kakinya yang sedang bertumpu.

Wasit meniup peluit. Blocking Foul.

Permainan kembali dilanjutkan, Kenan kembali memberinya umpan. Tangan cekatan lelaki itu menerima bola, mendribble nya, melakukan passing, menerima bola lagi, lalu melakukan shooting.

Sudah tidak usah diragukan lagi insting Rama dalam bermain basket, lincah sekali lelaki itu bergerak. Auranya menguar bersama dengan aroma pagi. Kharismanya semakin menjadi-jadi kala kulit berkeringatnya disinari matahari.

“Rama!”

Hap!

Rama terus mendribble bola, berhenti pada jarak beberapa meter dari ring, lalu menangkap bolanya. Sekejap lagi melempar, tubuhnya dihantam dari belakang, nyaris terjatuh kalau saja kuda-kudanya tak sempurna. Mata elangnya memincing, terarah pada seseorang di belakangnya.

Buru-buru Kenan menghampirinya. Sebagai teman satu frekuensi dari zaman jahiliyah, ia sudah tahu betul apa yang harus dilakukan. ”Sans lah ngab. Cuma main-main aje ini.” Katanya mencoba mengalihkan Rama, menepuk bahunya sekali. Rama menarik nafas kasar, melepaskan jemarinya yang sudah terkepal.

Permainan tiba-tiba menjadi pertarungan panas. Setidaknya dua kubu itu ketir kalau-kalau pelanggaran yang terjadi di dalamnya dibarengi unsur kesengajaan ketimbang ketidaktahuan. Felis dan Gita yang bersama Arcelia mulai saling toleh dan mengobrol dengan bahasa isyarat. Sebelumnya, mereka melihat dua laki-laki utama itu tadi. Ketika sama-sama berada di sisi Arcelia. Yang mereka duga bisa saja menjadi penyebab berkobarnya api pada permainan ini.

Arcelia menghela nafasnya berat. Keringat dinginnya makin mengalir deras. Punggungnya terasa lemas. Sekejap cewek itu menyeimbangkan tubuh dengan memegang lengan Gita. Sontak saja, Gita meresponnya dengan menjaga punggung Arcelia.

“Ar! Lo ah! Udah dibilang ke UKS aja!”

Kali ini Arcelia tidak bisa menolak. Dituntunlah tubuhnya itu dengan lunglai.

Sementara Rama, kini bermain dengan separuh emosi menguasai pergerakannya. Lawannya seperti memang menyengaja pelanggaran, terbukti dengan semakin intens penjagaan terhadapnya, juga telah berapa kali saja rekan timnya terjungkal di lapangan.

Ikan tidak akan memakan umpan jika tidak ada yang memancing.

Satu operan diterimanya, tubuh atletisnya dengan lincah menari pada lapangan. Diarahkannya bola pada kotak putih di atas sana, melompat untuk tembakan yang dipastikannya akan masuk. Namun ketika bola masih berada di tangan, perutnya tiba-tiba nyeri diserang tajamnya tulang siku seseorang.

Posisi yang sedang melayang di udara membuat Rama tidak mendapat tumpuan. Dia jatuh tersungkur bersama bola di dalam dekapannya.

Seisi lapangan yang semula duduk manis menonton langsung berdiri tanpa suara. Anak IPS tahu betul, bagaimana jika singa kutub utara itu diganggu. Dan rasanya, satu sekolah ini tahu bagaimana jika seorang dingin macamnya mengeluarkan sisi yang berbeda.

Rama memandang nanar lapangan hijau itu dengan tatapan penuh gejolak. Alisnya bertaut tajam bersamaan dengan emosi yang hampir mencapai puncaknya. Cowok itu bangkit dengan tangan terkepal. Memincingkan mata kepada pelaku utama.

Gita dan Felis sedang menuntun Arcelia lewat pinggir lapangan, tidak tahu apa yang terjadi di sisi lapangan lainnya. “Sanggup nggak lo jalan? Mau digendong apa?”

Heh! Boro-boro mau digendong! Mau ke UKS saja malunya sekarang minta ampun!

Dia menjawab pelan, “Apaan sih Fel.”

“Felis beneran woi. Ini kalo lo pingsan gue tarik aja kaki lo ke UKS.”

Tarikan nafas begitu dingin dengan gigi bergemeletuk cukup menggambarkan berangnya Rama sekarang. Dilemparkannya bola dengan kekuatan penuh ke sembarang arah, “LO MANCING GUE?!”

Rama maju selangkah ke hadapan Juna. Teman satu kelas lelaki itu cepat-cepat menahannya. Bogeman mentah sudah hampir mendarat pada rahang Juna ketika teriakan Felis dari seberang sana memecah ketegangan pada kerumunan di sisi lapangan.

“Acel!”

Arcelia? Ada apa dengan cewek itu?

Sontak seisi lapangan beralih pandang, melihat Arcelia terjatuh. Diisi backsound berupa suara bola basket yang masih santai memantul.

Juna spontan berlari menjangkau gadis itu, meninggalkan Rama yang sudah pada titik didihnya. Melihat itu, Rama semakin geram. Disentakkannya semua cekalan yang menahan badannya, berlari secepat mungkin yang ia bisa.

Sepersekian detik setelah sadar Rama lepas dari mereka, sungguh yakin bahwa tidak ada yang bisa lagi menahan Rama, jika saja perkelahian terjadi, entah akan bagaimana nasib dan permusuhan antara basket dan futsal nantinya.

Namun di luar dugaan, Rama melewati Juna yang satu langkah lagi mencapai Arcelia. Berjongkok lalu dengan cepat menyelipkan tangannya di tengkuk dan lutut gadis yang terkulai pucat itu.

Dengan jantung berdegup tak berirama, digendongnya cewek itu dalam rengkuhannya. Kakinya melangkah tegap, berharap secepat mungkin menjangkau UKS dan memastikan gadis itu baik-baik saja.

Segala yang tiba-tiba itu membuat semua tercengang, membulatkan mata tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Termasuk juga sahabat Arcelia, Felis dan Gita.

***

Author Note :
Haii!
Semoga puasanya masih lancar ya!
Jangan lupa support Epiphany dengan pencet starnya.

Enjoy the story!

Fyra,
[08.05.21]



Continue lendo

Você também vai gostar

2.3M 124K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
D'ARCY De imlovata

Ficção Adolescente

641K 60.1K 45
𝐖𝐀𝐑𝐍𝐈𝐍𝐆 𝟏𝟖+ [ 𝗞𝘆𝗹𝗲𝗿 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗲𝘀 𝟯 ] D'arcy, nama Tengahnya yang berarti kegelapan melambangkan kehidupannya. Tidak ada siapapun yang...
KANAYA (REVISI) De liaa0415

Ficção Adolescente

1.7M 104K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
3.6M 287K 48
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...