Kemilau Revolusi

بواسطة romanceholic

101K 16.9K 5.6K

❤️ Cryptic Ops. Vol.1 Saat berusia tujuh tahun, Kemilau Gemintang Pertiwi pernah diculik oleh penjahat sadis... المزيد

Prolog
Bagian 1 : -Lelaki Getir-
Bagian 2 : -Wanita Bermasalah-
Bagian 3 : -Aftershave-
Bagian 4 : -Undercover-
Bagian 5 : -Balah-
Bagian 7 : -Giris-
Bagian 8 : -Klandestin-
Bagian 9 : -Cryptic Ops-
Bagian 10 : -Terang Laras-
Bagian 11 : -Konsensual-
Bagian 12 : -Ganar-
Bagian 13 : -Jentaka-
Bagian 14 : -Liberosis-
Bagian 15 : -Dissosiatif-
Bagian 16 : -Kilau-
Bagian 17: -Belantara-
Bagian 18 : -Altschmerz-
Bagian 19 : -Stratagem-
Bagian 20.1 : -Radiks-
Bahkan 20.2 : -Radak-
Bagian 20.3 : -Radu-
Epilog
💛 CO Vol.2 Binar Sanubari

Bagian 6 : -Eidetik-

4K 676 191
بواسطة romanceholic


Salah satu kemewahan bagi Mila adalah ketika tertidur tanpa mimpi, lalu terbangun secara alami keesokan harinya tanpa gangguan panggilan dari klinik.

Karenanya Mila merasa aneh ketika melihat jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul enam lebih. Padahal biasanya ia akan mendapatkan telepon rutin dari Pedro atau staf klinik yang mengalirkan keadaan para pasien semalam. Bahkan alarm yang disetel pada pukul lima pun sepertinya tidak berbunyi.

Merasa ada yang salah, Mila terduduk dan memandangi bagian atas nakas dengan heran manakala benda pipih persegi itu tidak ada di sana.

Sekelebat bayangan kejadian beberapa jam lalu, ketika Gelar merebut dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, melintas di benak Mila.

"Ah." Mila tersenyum senang dan dengan semangat bangkit dari tempat tidur. Perlahan ia membuka pintu kamar tanpa menimbulkan suara, melirik kanan kiri untuk mengawasi keadaan, lalu berjinjit menuju kamar tamu.

Ini pasti hari keberuntunganku! pikir Mila spontan begitu melihat pintu kamar tamu yang sedikit terbuka. Tak terkunci.

Sayangnya Mila harus kecewa ketika tidak menemukan sosok Gelar terbaring pasrah tanpa pakaian di atas ranjang seperti bayangannya semula. Ranjang itu bahkan masih rapi seperti belum pernah ditiduri. Hanya ada selembar jaket windbreaker hitam yang tersampir di salah satu sisi ranjang.

Mila meraih jaket itu lalu memeriksa semua saku sampai menemukan ponselnya. Patung kristal beruang yang semalam ia berikan kepada Gelar tampak mengintip dari salah satu saku.

"Jadi papa kamu nggak tidur?" tanya Mila saat patung itu sudah berada dalam genggamannya. "Ke mana?" tanyanya lagi, lalu terdiam menunggu, seolah benda mati itu bisa menjawab pertanyaannya.

"Ahhh. Kamu benar. Mungkin dia sedang mandi!" Mila tersenyum penuh arti sebelum mengembalikan patung kecil itu ke dalam saku, lalu mengendap-endap menuju kamar mandi.

Sayangnya ruangan itu gelap dan kosong. "Baiklah. Mungkin ini bukan hari keberuntunganku," ujarnya acuh tak acuh lalu bergegas keluar kamar.

Saat tiba di depan pintu kamar, Mila sengaja berbalik untuk memeriksa keadaan ruang tengah. Ia berdecak takjub melihat keadaan ruangan yang sudah rapi seolah tidak pernah terjadi adegan perkelahian.

Mila tersenyum puas, lalu berjalan pelan sambil memeriksa perabotannya satu persatu.

Sebelumnya ia tidak pernah bertemu dengan orang yang repot-repot mengingat bagaimana cara seseorang menyimpan barang-barang, tetapi melihat bagaimana Gelar menata ulang ruang tengahnya membuat Mila yakin kalau lelaki itu adalah tipe orang yang peduli pada hal-hal kecil.

Bahkan untuk hal sesepele seperti susunan majalah dalam rak. Gelar meletakkannya sama persis seperti yang Mila lakukan. Bukan berdasarkan edisi maupun ukuran, tetapi berdasarkan majalah yang paling sering Mila baca.

"Sempurna," seru Mila puas melihat koleksi patung beruang kristal di dalam pajangan kaca yang menempel ke dinding, berada dalam posisi yang benar. Sepertinya Gelar memiliki ingatan eidetik atau ingatan fotografis, yaitu kemampuan untuk mengingat suatu peristiwa atau objek secara akurat dalam waktu beberapa menit saja. Jika benar begitu, maka tidak heran mengapa lelaki itu terpilih menjadi anggota Cryptic.

Terdapat dua puluh kotak untuk menyimpan patung kristal, tapi yang terisi hanya separuhnya saja. Mila tidak asal membeli patung kristal sekadar untuk memenuhi lemari pajangannya, ia hanya membeli patung yang bisa membuatnya merasakan sesuatu begitu melihatnya.

"Apa kabar, Anak-anak? Sepertinya papa tidak kesulitan menemukan tempat kalian masing-masing."

Entah berapa lama Mila berdiri di depan koleksi kristalnya dan mengagumi pendaran cahayanya yang indah, ketika tiba-tiba geraman rendah seseorang terdengar dari arah sofa.

Tanpa suara, Mila melangkah mendekati sofa. "Rupanya ini memang hari keberuntunganku," gumamnya sembari tersenyum senang. Tatapan liarnya seketika melahap tubuh Gelar yang tertidur hanya mengenakan celana kargo yang dikenakan semalam. Sebelah lengan lelaki itu menutupi separuh wajah, sementara tangan lainnya menggenggam gumpalan kaus hitam di sisi tubuh.

Lengan Gelar yang menutupi wajah perlahan bergerak ke atas kepala dan memperlihatkan sesuatu yang jauh dari bayangan Mila.

Mila berjongkok di dekat kepala Gelar, lantas mencondongkan tubuh agar bisa mengamati lelaki itu dari dekat.

Bulu mata panjang Gelar tampak bergetar. Butiran keringat menghiasi dahinya yang mengernyit dalam. Bekas luka putih samar tampak memanjang di batas antara rambut dan dahi. Begitu juga dengan bekas luka pucat melintang akibat sabetan benda tajam di bawah dagu yang tidak akan terlihat jika lelaki itu tidak mendongak.

Wajah dengan susunan tulang kuat yang selalu terlihat angkuh, kasar, dan murka itu kini tampak menderita dan rapuh. Gelar menggeram lagi. Lambat laun suaranya berubah menjadi erangan memilukan. Seolah-olah lelaki itu tengah merasakan sesuatu yang teramat menyakitkan.

Tatapan Mila perlahan turun ke leher, bahu, perut dan dada. Kulit putih lelaki itu rupanya berhasil menyamarkan serangkaian bekas luka memutih yang membuktikan kalau dia benar-benar seorang pejuang sejati.

Pejuang yang terlalu sering berhadapan dengan bahaya. Bahkan kematian.

Mila termangu. Saat pertama kali melihat Gelar tanpa pakaian di kamar tamunya, Mila tidak menyadari keberadaan luka-luka itu karena terlalu sibuk terpesona.

Namun, saat ini dada Mila tiba-tiba terasa nyeri seperti dicengkeram sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Perutnya bergolak mual memikirkan hal berbahaya apa saja yang pernah lelaki ini hadapi.

Mengikuti insting, Mila mengulurkan tangan pada sebuah luka yang paling mencolok di bagian dada. Luka itu pendek, tetapi tampak sangat dalam dan menyakitkan. Bukan berarti Mila terganggu. Bagaimana mungkin ia terganggu melihat luka yang malah membuat lelaki itu tampak semakin jantan layaknya seorang ksatria?

Ketika ujung jari Mila akhirnya menyentuh kulit rapuh itu, tiba-tiba saja Gelar tersentak bangun dan kedua matanya terbuka lebar.

Detik berikutnya Mila sudah terbaring di atas sofa dengan sepasang tangan kuat mencekik leher. Mila menggeliat liar demi mengais oksigen. Beberapa kancing piamanya berterbangan dalam usaha melepaskan diri dari cekikan yang  memutus jalan napasnya.

Sampai kemudian cekikan itu benar-benar terlepas, lalu berganti dengan sesuatu yang keras dan dingin. Benda metal itu mendorong bagian bawah dagu Mila, memaksa wajahnya untuk mendongak.

"Rev?" Mila menekan rasa takutnya. Mencoba mengendalikan tubuhnya agar tidak gemetar ketika mendengar lelaki itu menarik pemicu pistolnya. "Kamu tidak benar-benar akan menembakku hanya karena memanggilmu Revolusi 'kan?"

Tidak ada jawaban. Tatapan Gelar tampak liar dan waspada saat memandang Mila, tetapi jelas sekali pikiran lelaki itu sedang berada di tempat lain. Mungkin sebuah medan pertempuran.

"Rev? Apa pistol ini asli atau mainan?" Mila kembali bicara. Kedua tangannya perlahan terulur dan menyentuh moncong pistol dengan hati-hati, kemudian terus naik hingga menyentuh tangan lelaki itu.

"Apa kamu akan menembakku di hari pertama kita jadian?" Kini tangan Mila sudah merambah dan membelai otot-otot tangan Gelar yang menegang. Membujuk secara halus agar lelaki itu menjauhkan senjatanya.

Namun, Gelar malah semakin mendorong pistolnya hingga kepala Mila tak bisa mendongak lebih jauh lagi.

"Ayolah." Mila nyaris putus asa. Meski begitu ia terus bicara. Mencoba menarik Gelar dari neraka pikirannya sendiri. "Kamu tidak boleh menggunakan cara instan untuk menyingkirkanku, Papa Bear." Saat itulah Mila melihat kesadaran lelaki itu kembali, lalu terbelalak penuh amarah.

"Sialan! Apa yang―" Sayangnya Gelar tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena tiba-tiba saja pintu kamar Gita yang hanya berjarak beberapa meter dari mereka bergerak terbuka.

"Sial!" Dalam waktu sepersekian detik pistol itu sudah menghilang ke bagian belakang ban pinggang celana Gelar.  Namun, belum sempat Mila mengembuskan napas lega, Gita sudah berdiri hanya berjarak satu meter di hadapan mereka.

"Ya ampun, kalian masih belum selesai?" tanya Gita dengan tampang tanpa dosa sekaligus terhibur.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan posisi mereka. Mila memang masih terbaring lemas di sofa setelah ditodong pistol, sementara Gelar sudah bangkit berdiri dan mengenakan kaus dengan tergesa. Sesaat Mila curiga kalau lelaki itu berupaya menyembunyikan bekas lukanya dari sang adik.

Gita menatap mereka seperti satpol PP yang berhasil menggerebek pasangan mesum. Apalagi kedua mata wanita itu memandang penuh arti pada bagian depan piama Mila yang terbuka sampai perut. Gita tidak tahu kalau ini adalah bukti nyata perjuangannya untuk tetap bernapas.

"Selamat pagi, Ra," ujar Gelar tanpa intonasi, sebelum meninggalkan ruangan dengan sikap acuh tak acuh.

"Beib?" Gita menyipitkan matanya pada Mila menuntut penjelasan.

Meski belum sepenuhnya pulih dari kejadian mengejutkan beberapa saat lalu, Mila mencoba memasang senyum genit. "Review-nya nanti aja, Beib. Gue telat."

***

"Gue penasaran..." Mila mencondongkan tubuhnya ke depan hingga menyentuh meja, lalu menatap Meridian penasaran.

Setelah jam tugas di klinik berakhir, Mila mengajak rekannya itu mampir makan malam di sebuah restoran Padang yang berada di sebuah mal perbelanjaan mewah.

Mila sengaja memilih tempat ini karena tempatnya nyaman dan masakannya merupakan hasil karya seorang chef ternama yang memiliki misi membawa citarasa masakan Padang ke mata dunia.

Meskipun cukup ramai, tapi beberapa area makan privat memungkinkan untuk melakukan pembicaraan pribadi. Lagipula, lebih mudah mengajak Meridian bekerjasama bila makanan Padang yang lezat dan gratis selalu tersedia di sekeliling mereka.

"Gue penasaran." Mila mengulang ucapannya. "Tipe cowok yang lo suka sebenernya kayak gimana sih?"

Berbeda dengan Mila yang nyaman dengan tampilan kasual berupa blus dan straight pants, Meridian hampir selalu tampil formal dengan setelan yang membuatnya tampak seperti seorang wanita sukses yang menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, Mila yakin kalau itu hanya akal-akalan Meridian untuk membuat orang-orang di sekelilingnya, terutama pria, merasa terintimidasi.

"Kaya dan dewasa. Makin dewasa makin bagus," jawab Meridian tanpa intonasi.

"Tua maksudnya?" Mila mengangkat alis. "Jadi itu alasan lo sempat jadi sugar baby? Lo suka yang tua-tua?"

"Yang tua-tua biasanya banyak duitnya."

"Gimana kalau ketahuan sama pasangan sahnya?"

Meridian mengangkat bahu acuh tak acuh seraya bersedekap. "Gue cuman morotin," sahutnya jujur tanpa rasa bersalah.

Mila menatap kagum pada mata milik Meridian yang besar, lembut, dan berwarna cokelat muda. Tampak seperti mata rusa betina yang memiliki kesan lugu dan rentan. Jenis mata yang mampu memikat semua orang hanya dengan menatapnya.

Sayangnya mata itu terhalang kacamata berbingkai yang modelnya membosankan. Belum lagi aura tak tersentuh yang Meridian pancarkan, serta wajah yang tidak memiliki ekspresi karena alexithymia. Secara keseluruhan wanita itu terkesan sangat dingin.

"Lagian yang tua-tua itu aman." Meridian melanjutkan ucapannya. "Nggak gampang nafsuan dan gampang diperdaya. Cuman perlu membual buat naikin ego mereka. Terus kalau mulai aneh-aneh, tinggal ajakin belanja muter-muter minimal dua jam. Dijamin mereka bakal kecapekan."

Mila mencebik. "Pernah nggak sih lo beneran suka sama cowok tanpa embel-embel duit? Yang bisa bikin lo merasa kalau dia lebih berharga dari duit?"

"Nggak."

Mila mengabaikan jawaban Meridian dan terus bicara. "Cowok yang bikin lo merasa aman, tapi di sisi lain bisa bikin jantung lo bekerja ekstra, lutut lo lemes, perut lo bergejolak, napas lo tersengal, darah lo memanas, tubuh lo sensitif, pikiran lo melayang..."

"Lo lagi jelasin gejala horni? Emang ada cowok yang bisa bikin kayak gitu?" tanya Meridian tanpa mengalihkan pandangannya dari pramusaji yang baru datang dan tengah menghidangkan beragam makanan ke atas meja.

"Astaga. Jangan bilang lo belum pernah puber?"

"Pernah elah. Maksudnya gue belum pernah ketemu cowok yang bisa bikin gue merasakan gejala horni sampai lupa duit."

"Gue nemu satu," sambar Mila antusias. "Tapi ya gitu. Dia agresif dalam artian suka marah-marah. Kasar. Sepertinya pernah mengalami hal-hal mengerikan karena punya banyak bekas luka. Selain itu tidurnya gelisah, seperti punya mimpi buruk."

"Kerjaan dia apa?"

"Tentara."

"Mungkin PTSD atau TBI."

PTSD yang dimaksud Meridian adalah Post-Traumatic Stress Disorder atau gangguan stres pascatrauma, yaitu gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan. Sedangkan TBI (Traumatic Brain Injury) adalah kelainan saraf yang disebabkan trauma pada otak. Bisa disebut sebagai cedera otak traumatik yang disebabkan faktor eksternal, seperti pukulan atau benturan keras ke kepala yang menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak hingga jaringan otak.

"Atau mungkin dua-duanya, itu lebih ngeri lagi. Tapi butuh observasi yang lebih mendalam sampai kita bisa memutuskan diagnosanya," lanjut Meridian sambil mulai memotong-motong ikan Barramundi panggang. Kedua matanya melebar saat menatap potongan ikan di garpu, menghidu aromanya dalam-dalam, sebelum menyuapkannya ke mulut.

"Tapi bukannya PTSD dan TBI hanya diderita tentara yang berperang. Sementara di sini tidak ada perang," ujar Mila sembari mutar-mutar sedotan es jeruknya, sebelum menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Kejadian traumatis itu bukan hanya karena perang. Kita tahu tentara adalah tim yang selalu siaga setiap terjadi bencana alam besar. Setidaknya mereka pasti berhadapan dengan mayat-mayat yang harus mereka tolong. Itu saja sudah termasuk salah satu contoh faktor yang bisa mengembangkan PTSD.

Contoh lain, bisa jadi karena dia terpaksa membunuh seseorang, atau pernah melihat orang terdekatnya mati di depan mata, atau mungkin pernah mengalami kecelakaan parah di mana hanya dia sendiri yang selamat. Intinya dia terpapar kekerasan atau trauma yang mengancam nyawa. Tentara ini paling rawan terkena PTSD karena intensitas paparan kekerasan mereka terbilang tinggi. Terkadang mereka harus menghentikan perasaannya, menekan ketakutannya, untuk melakukan pekerjaan."

Meridian berhenti mengunyah dan memandangnya seolah telah mendapat pencerahan. "Mungkin, tentara bisa jadi salah satu tipe cowok idaman gue. Zaman sekarang cowok yang mau mengabdikan diri untuk tanah air semakin langka. Lihat deh di klinik lo. Banyak banget pasien cowok muda yang stress karena gagal jadi idol, ada juga yang stres karena subscribers video-nya nggak naik-naik padahal udah keluar modal habis-habisan buat bikin konten. Beda banget sama tentara. Sejak awal mereka orang-orang terpilih yang tidak takut atau khawatir pada apa pun. Mereka bahkan bersedia mengorbankan nyawa mereka demi negara."

Pernyataan terakhir Meridian menyuarakan isi pikiran Mila. Inilah alasan utamanya berada di sini sekarang. Mila butuh pengetahuan Meridian yang mencakup segala hal, serta analisisnya yang tajam. Meski terkadang kegeniusan Meridian berada di tahap mengerikan.

"Jadi, lo dapat pasien baru yang menderita PTSD?"
Mila meringis sembari membolak-balik potongan ikan di piringnya.

"Bukan pasien sih." Mila akhirnya menggigit potongan ikan sambil menimbang-nimbang rasanya. "Gita minta tolong gue buat cari tahu masalah kakaknya yang tentara itu."

"Oh, jadi semua ini tentang si manusia getir?"

Mila mengangguk antusias. "Jangan lupa kalau dia adalah orang yang gue cari selama ini. Orang yang dulu menyelamatkan gue waktu di kelab."

"Iya," sahut Meridian tak tertarik, lalu menusuk potong rendang itam kayu bakar dengan garpunya.

Mila sengaja menunggu beberapa menit sambil menatap Meridian hingga wanita berkacamata itu mendesah pasrah. "Lo bisa ajak dia ke klinik. Nanti gue periksa otaknya ada cedera atau nggak."

"Gue nggak yakin bisa ajak dia. Lo tau sendiri stigma orang-orang sama penyakit mental. Mereka malu duluan."

"Iya sih, tapi di sini lo paling pinter bujukin pasien buat berobat."

"Nah! Itu dia masalahnya. Gue nggak mau dia jadi pasien gue." Kali ini Mila menatap Meridian penuh harap. "Gue butuh bantuan lo buat jadi psikiater sekaligus psikolog buat dia."

"Nggak bisa!" tolak Meridian cepat. "Kerjaan gue udah banyak! Lo pilih aja psikolog di klinik."

"Tapi mereka cewek semua! Mana pada masih muda."

"Terus kenapa kalau cewek? Gue juga cewek."

"Lo beda. Lo nggak mungkin baper. Lagian gue butuh orang yang benar-benar fokus ke masalahnya. Itu yang nggak bisa gue lakukan kalau sudah menyangkut dia."

"Ck!" Meridian melempar sendoknya ke atas piring. "Seharusnya gue tahu alasan lo nraktir gue nasi Padang."

***

Lift pribadi Mila bergerak naik hingga puncak apartemen, di mana terdapat  sebuah taman yang hanya bisa diakses olehnya seorang.

Lahan seluas dua puluh meter persegi itu memiliki lantai kayu yang tahan cuaca. Beberapa tanaman hijau di letakkan di dalam pot yang tersebar di berbagai sudut. Sebuah hammock atau tempat tidur gantung dengan dudukan baja di letakkan di tengah-tengah rooftop.

Tak ada yang mengetahui tempat ini kecuali Mila. Tempat ini adalah ruang yang ia butuhkan untuk dirinya sendiri.

Mila berdiri di dekat pagar beton setinggi dadanya, meneguk air mineral pada botol kaca sembari mengamati cahaya-cahaya lampu mobil yang berseliweran beberapa ratus meter di bawah sana.

Ibu kota tidak pernah sepi meskipun malam sudah larut. Udara malam terasa dingin bagi Mila yang hanya mengenakan piama berbahan satin tipis. Meski begitu, ia tidak berniat untuk beranjak dari tempat favoritnya.

Sebuah amplop merah berada dalam genggaman tangannya yang tak memegang botol. Sama seperti keberadaan rooftop ini, tidak ada yang tahu kalau sudah lama ia rutin menerima surat-surat anonim.

Layaknya surat cinta, surat itu berbau menyengat yang berasal dari parfum murahan. Seolah-olah si pengirim menenggelamkan kertasnya pada seember parfum, menunggunya kering, sebelum mengirimkannya pada Mila dengan menyelipkan surat itu di wiper mobil.

Para pengawal yang selama ini menjaga Mila tidak pernah menyebut-nyebut tentang orang mencurigakan yang berkeliaran di sekitar mobilnya.

Sudah cukup masa kecil dan remajanya ia habiskan untuk membuat kedua orangtuanya khawatir. Mila tidak ingin membuat masalah lagi.  Kali ini ia harus menghadapinya sendiri. Terlebih karena sekarang ia tahu betul siapa pelakunya. Bukan penculik yang menginginkan tebusan uang dari ayahnya, bukan pula lawan bisnis dan politik ayahnya yang ingin menjatuhkannya dengan cara licik. Ini murni dari orang yang ingin menuntaskan apa yang sudah dimulai oleh Mila sembilan tahun lalu.

Mila memejamkan matanya saat angin malam berembus ke wajah dan mengirimkan wangi menjijikkan yang berasal dari surat. Dengan enggan ia menyimpan botolnya di pagar beton untuk merobek ujung surat, mengeluarkan selembar kartu di dalamnya, lalu membacanya.

Mila menahan rasa mualnya sampai ia selesai membaca beberapa patah kata yang tertera di sana. Jelas sekali yang membuat suratnya adalah orang sakit jiwa. Seorang pengecut yang tidak berani menulis dengan tangannya sendiri.

Sejauh ini kata-kata dalam tulisan komputer yang tercetak di kartu itu belum menunjukkan ancaman nyata. Hanya bualan menjijikkan tentang menuntaskan hasrat bejat yang telah tertunda sekian lama. Menyiratkan sebuah kegilaan yang tidak terkendali. Sebuah obsesi.

Jemari Mila bergetar kala meremas kartu itu kuat-kuat hingga menjadi bola. Mila kira, dengan bungkam dan tidak melaporkan kejadian di kelab malam itu pada polisi, ia bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang seolah peristiwa tersebut tidak pernah terjadi.

Namun, ternyata masalah tidak berhenti di sana. Laki-laki yang mengaku pemilik kelab mulai menerornya dengan mengirimkan surat kaleng. Tidak sering memang, tapi surat-surat itu selalu muncul di saat Mila hampir melupakan kejadian malam itu. Seolah-olah memang sengaja dikirim agar ia tidak melupakannya.

Awalnya surat itu berisi pujian pada bagian tubuh tertentu Mila yang jauh lebih matang dan sempurna ketimbang dulu. Kemudian berlanjut pada fantasi-fantasi kejam yang teramat detail tentang adegan rudapaksa, sampai-sampai membuat perut Mila melilit jijik.

Namun, kalimat terakhir tak pernah gagal membuat Mila merinding.

Aku selalu berada di dekatmu untuk mengawasi.

Mila menggeram marah, kemudian melemparkan bola kertas tersebut ke sudut lain rooftop.

Bertepatan dengan itu, suara deru mesin yang bising membuat Mila mendongak. Sebuah helikopter berwarna hitam terbang sekitar dua puluh meter di atasnya. Putaran angin yang dibuat baling-balingnya cukup keras hingga membawa tubuh Mila terempas mundur beberapa langkah.

Mila terdiam di tempat, memperhatikan dengan bingung manakala helikopter mulai terbang rendah tepat di atas rooftop pribadinya.

Tepat saat helikopter berada sekitar sepuluh meter di atasnya, tiba-tiba sesosok tubuh meloncat turun dari ketinggian, lalu mendarat dengan mulus hanya beberapa meter di depan Mila.

Mila menganga saat mengenali sosok familiar itu memberi kode pada pilot helikopter, sebelum akhirnya benda berbaling-baling besar itu menghilang ditelan kegelapan malam.

Saat sosok itu berpakaian serba hitam itu berbalik, Mila spontan menyunggingkan senyuman lebar.

"Hello, Stranger!"

Gelar berdecak kesal seperti yang selalu lelaki itu lakukan setiap kali melihat Mila.

"Sepertinya aku terlalu menganggap keberadaanmu di apartemenku hanya kebetulan."

"Terserah, tapi memang hanya kebetulan."

"Kebetulan yang di sengaja? Ngomong-ngomong ini rooftop deck pribadiku. Selain aku, tidak ada seorang pun yang tahu tempat ini, bahkan adikmu. Di samping itu, kamu juga membutuhkan kode akses untuk bisa mencapai tempat ini." Mila mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Jadi, sejak kapan kamu menjadikan tempat ini sebagai tempat pendaratan pribadimu? Apa kamu tidak sadar semua yang kamu lakukan sama saja dengan menelanjan―"

"Ck. Cepat turun!" sela Gelar ketus. Langkah lebarnya berderap menuju lift pribadi di salah satu sudut rooftop.

"Aku masih mau di sini." Mila melompat ke atas hammock dan berbaring santai menghadap Gelar, dengan kedua tangan di belakang kepala. Mengabaikan angin malam yang menembus serat kain piamanya yang tipis dan membuat tubuh di baliknya menggigil kedinginan.

"Turun!" perintah Gelar memaksa. Lelaki itu bahkan menahan pintu lift agar tetap terbuka lebar sembari memberi isyarat tegas dengan kepalanya supaya Mila bergegas masuk.

"Kenapa?" tanya Mila tertarik, lantas melirik kanan dan kirinya. "Apa kamu mau berkelahi di sini?" bisiknya.

"Tidak. Tugas hari ini sudah selesai."

"Kalau begitu kenapa aku harus menuruti perintahmu?"

"Karena kamu tidak tahan dingin, Sialan!!!" bentak Gelar kesal.

"Ah, mulai perhatian rupanya." Mila terkikik geli sebelum kedua alisnya bertaut bingung. "Tapi dari mana kamu tahu aku tidak tahan dingin?"

Namun, Gelar malah menatapnya seolah Mila benar-benar bodoh. Sampai tiba-tiba sebuah ingatan tak terduga menghantam benak Mila dengan cukup keras.

"Astaga, tubuhmu dingin sekali. Kamu bisa mati sebelum saya bisa mengeluarkanmu dari sini."

"Terus aku harus apa? Aku hampir saja diperkosa. Tidak mungkin aku baik-baik saja!"

"Sentuh saya."

"Apa?"

"Kamu hipotermia. Sentuh saya dari balik kaus. Kontak dari kulit ke kulit bisa membantu meningkatkan suhu tubuhmu."

"Tapi..."

"Saya hanya ingin menolongmu. Percayalah."

"Kamu masih ingat?" tanya Mila terkejut. Rasa tak percaya dan haru bercampur menjadi satu saat memandang kedalaman mata gelap Gelar yang misterius. "Semua yang terjadi padaku malam itu... kamu masih mengingatnya?"

Gelar tidak menjawab. Hanya mendengkus jijik sebelum melangkah memasuki lift.

Tidak terima dengan respons kejam lelaki itu, Mila bergerak secepat kilat dan menjegal pintu lift yang hampir tertutup hingga kembali terbuka.

"Jawab pertanyaanku?" cecar Mila hilang kesabaran. Entahlah, ia hanya butuh Gelar mengingat kejadian hari itu agar ia tidak merasa sendirian. Apalagi setelah membaca surat menjijikan lain yang diterimanya hari ini. "Apa kamu masih ingat?"

Lagi-lagi Gelar tidak menjawab. Lelaki itu malah mendorong kaki bersandal Mila yang menginjak garis pintu lift dengan ujung sepatu boots-nya agar menyingkir.

Namun, Mila tidak menyerah. Ia bergeming di tempat dengan keras kepala.

"Kenapa kamu bilang pada Gita kalau aku punya tato? Apa kamu tahu itu bukan tato? Yang kamu lihat di pinggulku itu―aw"

Mila memekik karena Gelar berhasil menangkis kakinya hingga jatuh terduduk ke atas lantai. Mila dengan cepat bangkit dan berdiri dengan kedua lututnya. Bersikeras menyelesaikan ucapannya. "Itu bukan tato. Itu―"

Saat itulah pintu lift bergerak menutup. Namun, sesaat sebelum pintu metal itu benar-benar tertutup, Gelar menatapnya seraya berkata dengan nada datar, "Aku tahu dan aku ingat."

Mila terpana saat sosok lelaki itu menghilang dari pandangan. Meninggalkannya sendirian dengan perasaan hangat yang mampu menghalau segala rasa dingin di sekujur tubuhnya.

Ya Tuhan. Bagaimana mungkin Mila sampai lupa kalau Gelar memiliki ingatan eidetik?

_____________________

Happy reading, Readers!

Panjang kan hasil bertapanya. Hehehe... Cus sekarang tinggal dukung. Jangan pelit vote dan komen, karena terkadang ide muncul dari komentar ajaib kalian.

Terima kasih sudah menunggu. Jangan bosan ya!

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

8.4K 1.9K 9
Namanya Sarah Lee. Dia mampu membuka pintu ke sisi lain. Dunia baru, dunia lama, dunia yang tidak dikenal manusia, semua sudah Sarah masuki secara s...
15.6K 3.5K 17
Titus Meridius terpaksa menjadi seorang gladiator dengan alasan klise. Dijual sebagai budak demi melunasi hutang judi ayahnya yang menumpuk. Penolaka...
971K 95.9K 26
Sendratari Ayuning Widya, 27 tahun, seorang financyal analyst di sebuah hotel bintang lima di Solo. Selain itu ia juga berprofesi sebagai penari trad...
Hole بواسطة Utami

العاطفية

2.9M 15.7K 2
[18+] Ketika Randina Masayu Balbeit di terima bekerja di hotel Whindama, ia tanpa sengaja bertemu dengan masa lalunya. Rahasia harus ia simpan demi...