Fase dalam Lingkaran [Selesai]

By gemamembiru

42.6K 8.7K 3.6K

[Trigger / content warning: domestic violence, self injury, negative vibes] Sejak di-PHK, Ayah berubah 18... More

Awal
[1] Tingkat Kesadaran Sigmund Freud ⚠️
[2] CoA: Fase Satu ⚠️
[3] Simsalabim!
[4] Memori Manusia dan Stereotip
[5] Sebelum Beranjak Dewasa, Dunia Terlihat Menyenangkan
[6] Tempat Pelariannya Hilang
[7] CoA: Fase Dua ⚠️
[8] Rentetan Tanda Tanya
[9] Tempat Aneh dari Ajakan Orang Aneh
[10] Malam Ini Berisik, Pun Pikirannya
[11] Menghancurkan Bongkahan Batu ⚠️
[12] Kehidupan di Tanah Bumi ⚠️
[13] Harapan tanpa Nama
[14] Manusia di Posisi Tengah
[15] Pertikaian di Mendung Pagi ⚠️
[16] Berteman dengan Luka ⚠️
[17] Tidak Ada Cahaya di Ruang Gelap ⚠️
[18] Kedekatan; Penetrasi Sosial
[19] Manusia dan Peran Mendengar
[20] Film dari Dunia Tanpa Suara
[21] Pernikahan, Frekuensi, dan Komunikasi
[22] Berpendar, Buram, dan Runyam ⚠️
[23] Dunia sedang Tidak Baik ⚠️
[24] Pada Waktu Itu, Semua Lepas Kemudi ⚠️
[25] CoA: Fase Tiga ⚠️
[26] You Did Whale
[28] Dialog Ibu, Monolog Ayah
[29] Kapal Ini Berlayar ke Mana?
[30] Kaleidoskop

[27] Dimensi Religiusitas dan Kebersyukuran

796 213 65
By gemamembiru

Ladin Prawesti

Kak.

Tadi malam aku lihat Ayah nangis di ruang tamu.

Sendirian.

(09.15 WIB)

Kak?

(10.31 WIB)

Sibuk, ya?

(12.47 WIB)


Ladin mengecek ponselnya untuk ketujuh kalinya hari ini, dan dia masih tidak menemui apa pun di notifikasi ponselnya.

Pandangannya berpendar setelah menghela napas pelan. Kampus mulai sepi, lalu-lalang manusia di depannya bisa dihitung jari sejak tadi. Di lantai lima yang hanya diisi perpustakaan, mushola, dan lab psikologi ini, Ladin mengambil posisi duduk di kursi kayu depan lift.

Kenapa Kala kerap tidak ada saat Ladin butuh?

Pertanyaan itu melintas sejenak padanya. Dan serta-merta, Ladin membayangkan bagaimana Ayah yang dulu selalu hadir tanpa diminta. Apa Ladin terlalu berlebihan untuk meminta sedikit waktu Kala? Sebentar saja. Sekadar untuk memberinya tepukan kecil di kepala dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Apa itu berlebihan?

Tapi, Kala tetap tidak ada. Bahkan saat Asta sudah keluar dari perpustakaan dan duduk di samping Ladin, pesannya masih membisu dengan dua centang abu-abu.

"Thank you, Din." Asta mengembalikan kartu perpustakaan milik Ladin. "Maaf banget ngerepotin. Aku lupa bawa kartu perpus, padahal mau minjem buku Psikologi Konseling buat kuis besok. Untung tadi ketemu kamu."

"Nggak apa-apa. Sama-samaa!"

Asta tersenyum tipis. Setelah itu, dia membuka buku Psikologi Konseling di tangannya untuk dibaca sekilas.

Ladin tidak sadar kenapa ia mendadak memperhatikan bagaimana fisik Asta yang mendekati kata sempurna. Rambut yang tergerai lurus, tubuh ramping, dan paras cantik. Asta jelas sekali memenuhi standar kecantikan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Ladin, jelas dia tidak ada apa-apanya.

Praktis, Ladin mengulum bibir gugup. Ia melempar pandangan kilat. Apa karena fisik Ladin yang jauh dari standar kecantikan Indonesia sehingga Kala sebenarnya tidak sungguh-sungguh mendekatinya?

Apa Kala sebenarnya hanya main sebentar dengannya?

Apa Ladin tidak cukup baik untuk seseorang?

"Kamu ngambil kelas Psikologi Positif nggak, sih, Din?" Asta tiba-tiba bertanya, sehingga Ladin mau tak mau kembali melihat kesempurnaan yang ada pada perempuan itu.

"Iya, Psikologi Positif kelas satu. Kamu juga?"

"Oalaahh. Sayang banget kita nggak sekelas. Aku di Psikologi Positif kelas dua," jawab Asta. "Tadi aku baru selesai kelas Psikologi Positif. Tau nggak, sih? Kayaknya, salah satu hal yang nggak aku sesali di semester lima itu cuma ngambil mata kuliah Psikologi Positif."

Ladin tertawa kecil mendengarnya. "Kenapa?"

"Semester 5 is suck. Kerasa nggak, sih, semester ini tuh rasanya pengen nyerah aja? Hahaha."

"Banget." Kalau bukan tidak ingat bagaimana perjuangan UKT semester lima ini tuntas, mungkin Ladin juga akan memilih opsi menyerah di semester ini. "Tapi, iya. Mata kuliah Psikologi Positif jadi kayak healing buat ngelihat sesuatu dari arah positif."

"Iya, kan! Tadi materinya tentang religiusitas dan kebersyukuran. Jujur, ini agak nyentil, sih," terang Asta. "Beberapa setuju kalau religiusitas sedikit banyaknya bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorangㅡdengan berbagai catatan, ya. Tapi beberapa lainnya punya pandangan kalau religiusitas nggak punya peran di kesehatan mental. Menurut kamu gimana, Din?"

"Mungkin ... setuju?"

"Aku juga setuju."

"Tapi nggak bener-bener plek punya pengaruh yang pasti kali, ya?" tambah Ladin buru-buru. "Maksudnya, kesehatan mental kan punya pengaruh x, y, z. Nggak cuma faktor x sebagai religiusitas. Kalau diasesmen buat nentuin diagnosis tertentu juga, kan, perlu berkali-kali. Nggak dilihat dari satu sisi aja."

"Totally, yes! Ada hubungan, tapi bukan cuma satu hubungan pasti. Sesederhana ... tiap kita ibadah aja rasanya kayak lebih tenang gitu nggak, sih? Atau kalau lagi nggak punya siapa-siapa buat dijadiin tempat cerita, ngobrol sama Tuhan aja udah bikin tenang gitu."

Ibadah, ya ....

Ladin mencoba mengingat kapan terakhir kali dia sholat dan memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Kapan, ya? Rasanya sudah lama waktu memakani tahun hingga tiba-tiba, dia berdiri sendirian dengan intensitas yang cenderung jarang untuk meminta apa-apa kepada Tuhan.

Di tengah pikirannya itu, atensi Ladin menangkap beberapa orang yang keluar dari mushola. Pemandangan itu cukup mendistraksinya. Dia melihat bagaimana air keran yang dibuka untuk digunakan berwudhu. Dia juga mendengar sayup-sayup suara imam yang memimpin sholat di mushola. Dan pemandangan itu seolah-olah disinari cahaya yang membuat Ladin ingin menangis seketika.

Ladin sudah sejauh apa, ya, dengan Tuhan?

Mungkin itu terakhir kalinya sejak Ladin kecil. Memegang Al-Qur'an dan membaca huruf demi huruf yang tertulis di kitab suci. Berdiri di samping Ibu dengan Ayah sebagai imam yang memimpin sholat Maghrib. Juga menyalami Ayah dan Ibu selepas selesai sholat. Potret itu rasanya sudah jauh sekali dari tempat berdiri Ladin saat ini.

Menyadari sejauh mana titik Ladin berdiri, dia diam-diam mendesah pelan. Tuhan marah tidak, ya, kepadanya?

"Gratitude juga punya pengaruh besar, ya, di kehidupan?" ujar Ladin setelah larut dalam pikirannya. Pertanyaan retorik itu jelas dilemparnya hanya untuk semakin menampar dirinya sendiri.

"Bener. Banyak penelitian yang bilang kalau gratitude punya korelasi dalam hidup seseorang. Orang yang punya kebersyukuran yang tinggi cenderung bisa ngontrol emosinya pas punya konflik atau masalah di hidupnya," balas Asta. "Bahkan, banyak agama yang juga bilang kalau gratitude itu penting. Iya, kan?"

Pandangannya keruh ketika menatap jari-jari utuhnya, juga bekas luka yang masih menghiasi lengannya yang kemerahan. Dan kembali, Ladin bertanya pada dirinya sendiri. Kapan terakhir kalinya Ladin bersyukur untuk hal-hal kecil? Seperti bersyukur karena masih dapat menghirup oksigen, misalnya?

Tapi, dulu Ladin tidak benar-benar ingin hidup.

"Walaupun gitu, nyalahin seseorang yang down atau punya gangguan mental dengan 'kurang bersyukur' atau 'jarang ibadah' itu jahat ya, Ta?" ujar Ladin lagi. "Religiusitas dan kebersyukuran bukan jadi patokan utuh buat nilai kondisi seseorang, kan?"

Dia tahu jawaban itu. Namun, Ladin perlu validasi agar perasaan gusarnya bisa ditenangi.

"Jelas bukan. Kayak yang kamu bilang tadi, kesehatan mental itu punya pengaruh x, y, dan z. Bukan cuma dipengaruhi oleh dimensi religiusitas dan kebersyukuran aja."

Mungkin ada dua detik keheningan, lalu Asta tertawa kecil setelahnya.

"Lagian, kita siapa, sih? Punya hak apa kita buat nilai orang lain kurang bersyukur atau kurang ibadah? We never know what they're going through. Ngecap orang yang punya gangguan mental dengan 'kurang bersyukur' dan 'jarang ibadah' itu nggak adil banget."

Begitu katanya. Seandainya saja manusia-manusia lain di luar sana punya pemikiran yang sama seperti itu.

***

Ada sosok Ayah yang tampak rapuh ketika Ladin membuka pintu rumah yang sunyi. Dia melihat Ayah tengah terpekur pada kursi kayu usang, menatap langit-langit rumah yang berwarna pekat. Awalnya, Ladin sudah berniat untuk kembali pergi dari rumah. Namun urung sebab dilihatnya, wajah ayah basah karena air mata.

Lucu, ya, bagaimana Ayah yang dulu berlagak punya kendali untuk mengatur dunia dan seisinya, sekarang justru Ladin temui tengah runyam dan tak berbentuk kuat malam ini?

Ada selang waktu satu menit untuk Ladin memaksa dirinya agar tetap masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Selepasnya, Ayah menoleh karena mendengar suara decitan pintu. Baik Ladin dan Ayah tidak ada yang bersuara untuk memecahkan kesunyian ganjil yang tidak menyenangkan.

"Adin sudah makan?" tanya Ayah dengan gerak kasar menghapus wajahnya.

Ladin menggeleng tanpa berniat bersuara. Tanpa pamit, dia berjalan pelan masuk ke kamar, meninggalkan Ayah juga kesunyian mencekam yang kembali dipeluk Ayah di ruang tamu.

Ada sedikit rasa kecewa dan setitik kemarahan ketika Ladin masih tidak menemui balasan Kala di ponselnya. Tangannya melempar asal ponselnya ke arah kasur, lalu memejamkan mata untuk menenangkan gemuruh hatinya yang menggebu-gebu.

Ladin sedih ketika menemui Ayah digerogoti kesepian dan tidak ditemani siapa-siapa. Ladin benci ketika menemui Ibu yang semakin jarang berada di rumah. Pula, Ladin kecewa saat menyadari Kala tidak benar-benar ada untuknya.

Mungkin pikirannya terlalu jauh untuk mengira bahwa Kala adalah manusia yang paling mengerti dirinya sehingga Ladin memberi banyak harapan pada laki-laki itu.

Padahal, menaruh harapan pada manusia adalah kekecewaan yang paling disengaja.

Ikan cupang pemberian Kala berenang bebas di akuarium kaca yang terletak di atas meja belajar. Dipandanginya sebentar gerak bebas ikan berwarna biru itu. Kemudian, Ladin tersenyum pahit.

"Waktu itu dia bilang buat jadiin kamu temen cerita," katanya setelah duduk di depan akuarium. "Dia aneh. Masa nyuruh ngobrol sama ikan?"

Meski begitu, Ladin tetap bersuara untuk menyampaikan keluh kesahnya. Tentang rasa gusarnya, kekecewaannya, kebingungannya, segala hal emosi yang perlu Ladin validasi untuk dapat dipilah dan diterimanya. Ikan itu tidak memberi banyak respons. Hanya berenang ke arah tak beraturan. Terkadang diam ketika Ladin mulai kehilangan napas. Seolah-olah, ikan itu sedang berusaha paham pemiliknya sedang bercerita apa dan bagaimana.

Sepuluh menit setelahnya, Ladin tertawa keras. "Aneh, ya? Ngobrol sama kamu justru bikin agak lega. Padahal, tadinya aku mau ngobrol sama orang yang ngasih kamu."

Ladin menyentil sedikit jarinya di akuarium. Cukup membuat ikan itu terkejut dan berenang ke belakang.

Sesudahnya, sepasang kaki itu berjalan untuk membuka pintu kamar perlahan. Dia masuk ke kamar mandi, mengambil wudhu, dan menggelar sajadah.

Ladin sudah terlalu jauh dengan Tuhan. Dan dia tidak ingin punya jarak yang semakin jauh dengan Tuhan.

Maka, ia mencoba untuk kembali sholat. Belajar seperti anak kecil yang pertama kali diperkenalkan gerak sholat dengan terbata-bata. Ayat-ayat Al-Qur'an yang mulai luntur dalam ingatannya juga berusaha keras diucapkannya dalam hati.

Ladin tetap berusaha. Sampai dia mengucapkan salam dan menyelesaikan sholat Magrhib-nya, Ladin sedikit banyaknya menangis lega.

***

Suara telepon masuk mengganggu sejenak perhatian Ladin dari buku kuliahnya. Tangannya mengambil ponsel, mengecek siapa yang meneleponnya. Ternyata Kala.

"Halo," sapa suara dari ujung telepon itu. Ada suara embusan napas lelah yang terdengar samar setelah itu. "Lagi apa, La? Ganggu nggak?"

Ladin masih merapatkan bibirnya, tidak menjawab pertanyaan Kala.

"Maaf, aku seharian sibuk," ujar Kala. "Tadi aku baru selesai sidang magang, terus konsultasiin sempro buat sidang akhir semester nanti. Nggak sempat pegang HP."

"Iya."

Kala berdeham kecil. "Udah di rumah?"

"Udah."

"Ayah ... gimana?"

"Baik, kok."

"Kalau kamu?"

Ladin menggigit bibir bawahnya. Dia menggeleng samar untuk menahan mati-matian egonya yang membeludak agar tidak memperkeruh suasana. "Kalau sibuk, matiin aja teleponnya." Tapi ternyata, ego Ladin masih menang.

"La ...."

"Emang sesibuk apa, Kak, sampai nggak bisa balas pesanku sebentar?" tanya Ladin dengan gigi terkatup rapat. "Aku bukan prioritas, ya? Apa di sini cuma aku yang terlalu berharap?"

"Enggak gitu, La"

"Padahal, dulu Ayah selalu ada kalau aku butuh. Kamu paling tau gimana Ayah yang dulu berbanding terbalik dengan Ayah yang sekarang. Kenapa kamu nggak bisa kayak Ayah?" tanya Ladin cepat. Terlampau buru-buru sampai ia kehabisan napas.

Suara helaan napas terdengar dari sambungan telepon. Beberapa detik setelahnya diisi keheningan sampai Kala bersuara dengan pelan, "Ladin?"

Tapi Ladin tidak menjawab panggilan itu.

"La, kita ini apa, sih?"

Pertanyaan itu serta-merta menghajar pikiran Ladin hingga babak belur. Rahangnya terbuka, tidak menyangka bahwa Kala akan melemparkan pertanyaan retorik yang seharusnya, kedua belah pihak tahu jawabannya.

Bukannya mereka sudah berjalan sejauh ini? Kenapa pertanyaan seperti itu perlu Kala lemparkan untuk dibubuhi jawaban?

"Setelah bilang kalau kamu jatuh dan ngasih banyak hal manis, kamu masih nanya kita itu apa?"

"Iya, cuma aku yang bilang. Kamu enggak. Kamu cuma mau aku ada, nggak peduli gimana pun kondisi dan apa alasannya. Bahkan, mantanku yang dulu jauh lebih paham gimana kesibukan yang aku pilih, La."

Apa Kala sedang berada di kondisi yang tepat untuk membandingkan Ladin dengan mantannya?

"Kamu lihat aku sebagai apa, sih, La? Sebagai orang yang kamu sayang atau sebagai orang yang kamu pengen hadir supaya bisa gantiin peran ayah kamu yang dulu? Karena kamu kehilangan figur ayah sejak lama, makanya kamu pengen aku ada buat gantiin peran itu. Gitukan, La?"

Deru napas Ladin beradu kencang. Dia menggigit bibir bawahnya, sementara tangan kirinya mencengkram erat pensil yang mungkin akan patah dalam hitungan menit.

Keduanya sama-sama tidak bersuara. Mungkin mulai sadar bahwa pertengkaran ini seharusnya tidak perlu terjadi karena landasan kecil pertanyaan itu masih semu. Dan Ladin masih tetap mencoba untuk tidak meluapkan amarahnya sebab rasanya, dia tengah dipojokkan dengan pertanyaan yang 'jelas iya' jawabannya.

Tapi, Ladin memilih untuk denial dan tidak mau menerima kenyataan itu. Sehingga ia mematikan sambungan telepon dan kembali melempar ponselnya.

Iya.

Ladin kehilangan figur Ayah.

Iya.

Ladin ingin agar seseorang dapat menggantikan peran itu untuknya. []

Catatan:

Gratitude: bentuk emosi positif dalam mengekspresikan kebahagiaan dan rasa terima kasih terhadap segala kebaikan yang diterima. - Seligman.

***

waduuwww

20/04/2021

Continue Reading

You'll Also Like

61.3K 5.1K 6
Bara ingin sekali bilang, malam itu Biru cantik sekali. Tapi kata-kata itu hanya berani Bara ucapkan di dalam hati. Entah kenapa, Bara selalu merasa...
168K 15.9K 42
|COMPLETED| Alvero Ragandra Ghiffari. Cowok yang dikenal sebagai biang onar SMA Garuda. Balapan, mengusili teman-teman sekolahnya, sudah menjadi hob...
2M 257K 64
(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa...
1.8M 88.4K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...