KARA |Serendipity|

iliostsan_ द्वारा

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... अधिक

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 21
KS - 22
KS - 23
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 31
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 35
KS - 36
KS - 38
KS - 39
KS- 40

KS - 37

112 25 257
iliostsan_ द्वारा

Selamat membaca .. 🤗

••

"Arsa pulang," serunya menaruh sepasang sepatu di rak. Tak ada sahutan, namun aroma makanan yang enak membawanya menuju dapur dan duduk di salah satu kursi makan.

Berliana menoleh ke arah Arsa. "Hebat ya, baru pulang magrib gini. Kenapa kok pulangnya telat?"

"Maaf Bun. Tadi sebelum pulang, Arsa nganter teman dulu. Dia nebeng di Arsa soalnya," balas Arsa memberikan alasan. Berliana bergumam membelakangi Arsa, sibuk memasak dengan bi Tati, pembantunya.

Arsa berdiri membawa tas, ingin ke kamar. Sudah cukup hidungnya dimanjakan oleh aroma makanan yang dibuat Berliana dan bi Tati saat ini. "Arsa ke atas dulu ya, Bun!"

Berliana berbalik, sebelum itu menyuruh bi Tati melanjutkan memasak makan malam. Berliana menghampiri Arsa, duduk di kursi sebelah Arsa dengan tatapan tajam.

"Eits! Duduk lagi di sini, cepat!" suruh Berliana Arsa menghela napas. Namun, ia menuruti kemauan Berliana, menatap wajah Berliana dengan raut lelah.

"Kenapa lagi sih, Bun? Arsa mau ke kamar. Kalau di sini terus, Arsa jadi makin lapar, Bun," protes Arsa.

"Arsa, bunda denger kamu pergi gitu aja pas pelajaran pak Samsul terus gak balik lagi ke kelas. Kamu kenapa nyelonong gitu aja tadi? Mau bikin bunda malu?" tanya Berliana penuh tekanan. Arsa menelan air liur susah payah.

"Ah, itu, Bun. Arsa cuma ... males belajar aja tadi," ucap Arsa sedikit gugup. Berliana melotot.

"Ya ampun, Arsa. Kalau papa kamu tau kamu bolos seperti ini, apa kamu nggak takut dimarahi?" beber Berliana. Arsa hanya diam saja, mendengarnya. "katanya nggak suka dikasari papa, tapi kamu sendiri yang berulah. Arsa, Arsa. Kamu anak siapa sih?"

"Iya, Bun, Arsa salah," akunya. Berliana hanya bisa menghela napas, tatapannya melunak, memandang Arsa dari samping.

"Cukup kali ini aja kamu bolos satu harian penuh, jangan sampe terulang lagi. Bunda nggak mau kamu dimarahi papa kamu terus Arsa! Ngerti ya?" Arsa mengangguk mendengarnya.

Berliana berdiri. "Ya udah, gih ke kamar. Jangan lupa mandi. Kamu bau banget," suruh Berliana. Reflek Arsa mencium baju bagian ketiak. Bau keringat bercampur bau parfum yang ia pakai.

"Nggak papa bau, yang penting Arsa ganteng," ucapnya dengan percaya diri. Berliana menertawakan itu. Bi Tati yang tidak sengaja menguping, diam-diam tergelak mendengar perkataan anak majikannya yang begitu percaya diri sambil mengaduk makanan di wajan.

"Udah-udah sana. Bunda sama Bi Tati mau lanjut masak lagi." Berliana pergi mendekati bi Tati, memperhatikannya. Arsa berjalan menuju tangga.

Setelah beberes diri, Arsa sholat dan mengaji. Meletakkan Al-Qur'an di atas rak yang tersedia, melipat dan meletakkan sarung dan peci di tempatnya.

"ARSA! AYO KE BAWAH, KITA MAKAN MALAM!" teriak Berliana dari bawah. "OH IYA, SEBELUM TURUN, JANGAN LUPA BANGUNIN KAKAK KAMU."

"Iya, Bun!" serunya di kamar. Berjalan menuju pintu, menutup kembali. Dan melangkah ke arah kamar Chandra.

Mengetuk beberapa kali. "Bang, ayok turun. Makan malam." Tak ada sahutan, membuat Arsa penasaran, kenapa kakaknya diam saja.

"Bang?" Arsa memutar knop dan menjulurkan kepalanya. Memasuki tubuh ke dalam ruangan, melihat sekeliling.

Kasurnya rapi, banyak buku di rak di kamar kakaknya. Arsa berjalan menuju meja belajar yang terlihat berantakan. Buku terbuka dan lampu belajar masih menyala. Diikuti dengan suara air berjatuhan di kamar mandi. Sepertinya Chandra sedang beberes diri.

"Bang, jangan lupa turun. Makan malam," ucap Arsa sebelum benar-benar pergi.

Arsa turun ke dapur, duduk di salah satu kursi dan menyendok nasi ke piringnya. Berliana datang dengan semangkuk sop buntut ayam.

Arsa melirik kursi kosong yang sering diduduki Arkan, ayahnya. "Bun, papa mana? Lembur lagi?" tebak Arsa. Berliana yang baru saja menduduki kursi di hadapan Arsa hanya bisa mengangguk.

Arsa berdecih. "Bunda nggak sedih gitu papa yang jarang pulang akhir-akhir ini?" Arsa menyuapkan nasi ke arah mulutnya.

"Bunda udah terbiasa ditinggal papa kamu kerja. Lagian bunda senang kok kalau papa kamu lembur. Bunda jadi punya banyak waktu untuk belajar masak," balas Berliana, tersenyum. "bunda kasian sama papa kamu, tersiksa banget pas bunda suruh makan masakan yang bunda buat." Tak lama Berliana terkekeh mengingat suaminya merasa tertekan saat disuruh mencicipi masakan yang dibuatnya, beberapa waktu lalu.

"Tapi, kan, nanti bunda kesepian."

"Ngapain bunda kesepian? Kan ada kamu sama kakak kamu yang nemenin bunda di rumah," balas Berliana. "ada bi Tati juga yang ngajari bunda masak. Bunda nggak bakal kesepian kok." Arsa sedikit mengangguk. Kembali makan makanannya.

Arsa harus menahan ekspresinya agar tidak menyinggung perasaan ibunya yang lelah memasak. Meski dibantu Bi Tati, ibunya pasti akan memaksakan diri untuk memasak sesuai kemampuannya..

Berliana menatap Arsa. "Kenapa nih, nanya papa terus? Kamu kangen? Kamu aneh ya, Sa. Nggak ada aja suka nyari. Pas ada, suka berantem. Duh anak bunda," guraunya. Arsa melirik Berliana, menghela napas tanpa sadar.

Terdiam, memikirkan kata yang tepat dalam lamunan. "Ya ... bukan gitu bunda! Gini deh, walaupun sekarang bunda punya kesibukan belajar masak, nggak menutup kemungkinan kalau bunda merasa kesepian karena papa yang lembur bahkan suka nggak pulang," ungkap Arsa dengan lantang.

"Makanya, Arsa nggak suka kayak papa. Karena ujung-ujungnya suka ninggalin. Nggak selalu ada," lanjutnya dengan nada dingin.

Berliana tersenyum kecut pada Arsa. Tak mau menyangkal perkataan Arsa karena jauh di lubuk hati, ia benar-benar merasa kesepian. Jika dia memilih untuk egois memperjuangkan kebahagiaan bersama suaminya, bagaimana nasib anaknya saat Arkan benar-benar tidak bekerja lagi?

Air mata yang jatuh, segera diseka olehnya. Arsa yang tidak sengaja melihat, kaget. "Bunda nangis?" Berliana dengan cepat menggelengkan kepalanya. Arsa makan lagi dengan rasa ingin tahu. Arsa mengunyah, melirik Berliana yang menatapnya penuh harap. Arsa tahu apa maksud mata itu, dengan cepat menyendok nasi dalam porsi besar ke dalam mulutnya.

Melihat anaknya dengan lahap memakan makanannya, penasaran dengan komentar anaknya tentang makanan yang dia buat, Berliana mencondongkan tubuhnya ke depan. "Gimana? Enak nggak masakan bunda? Bunda sendiri lho yang masak sup buntutnya. Tanpa dibantu bi Tati kali ini!"  Arsa mengangguk canggung dengan mulut yang berisi makanan.

"Kalau enak, ditambah lagi dong supnya. Sini-sini biar bunda ambilkan!" Berliana mengambil piring Arsa. Arsa pasrah pada semua yang dilakukan ibunya.

Usai memindahkan beberapa sendok sop tersebut ke piring, Berliana memberikannya pada Arsa. Arsa yang ditatap hanya bisa mengunyah dengan canggung. Berliana tersenyum bangga. Akhirnya masakan yang dia buat pas di lidah Arsa.

Arsa yang menyantap makanan itu hanya bisa pasrah dan tak mau berkomentar terlalu jujur. Melihat ibunya senang, karena hasil masakannya bisa dimakan oleh anggota keluarga yang lain. Arsa mengaku masakan ibunya kali ini mengalami perubahan. Apa yang tadinya hambar sekarang keasinan. Tapi Arsa bangga, karena ibunya tahu dia tidak punya keahlian lebih di bidang memasak, namun dia sangat gigih mempelajarinya.

Berliana mengalihkan pandangannya ke arah meja di sebelah Arsa yang kosong dan tidak ada Chandra yang menempatinya. "Oh iya, Arsa udah bangunin Chandra, kan?" Arsa mengangguk.

"Kok belum turun-turun?"

"Udah Arsa panggil, kayaknya dia lagi mandi."

••

Arsa duduk di pinggir ranjang sambil meraba kasur, meraih ponselnya. Mau main hp tapi, suara Berliana yang menggelegar membuatnya cepat-cepat lari keluar kamar. Pintu Chandra terbuka, Arsa masuk.

"Chandra, bangun nak! Kamu kenapa bisa begini? Ya Allah!" Berliana mengguncang tubuh Chandra namun nampaknya pria tersebut enggan membuka matanya.

Arsa berdiri di samping tempat tidur. Berliana menatap Arsa dengan air mata berlinang.

"Arsa bantu bunda bopong kakak kamu ke mobil, cepat!" Dengan cepat Arsa menggendong Chandra sendirian menuju mobil.

Berliana berjalan menyusul tanpa ingin mengganti pakaian.

"Arsa ikut Bun." Berliana hanya bergumam.

"Bi Tati, jaga rumah ya!" suruh Berliana.

"Siap nyonya! Hati-hati di jalan." Berliana mengangguk dan masuk, duduk di samping Chandra yang tak sadarkan diri.

"Chandra kamu kenapa bisa begini nak?" rintih Berliana memeluk tubuh Chandra. Arsa yang ada di samping kemudi melirik spion mobil. Arsa meringis prihatin. Kenapa kakaknya jadi seperti ini?

Berliana menoleh ke arah pak Hadi, sopir pribadi keluarga Arsa. "Pak, cepetan pak!" suruh Berliana.

"Baik Bu'!"

Sesampainya di rumah sakit, Berliana segera meminta perawat yang lewat untuk membawakan brankar untuk Chandra. Bawa Chandra ke ruang igd untuk diperiksa. Berliana hanya bisa menangis di pintu dengan kecemasan yang jelas. Arsa yang cemas pun meraih pundak Berliana hanya untuk menenangkannya.

"Bun, tenang. Duduk dulu, pasti Chandra begitu karena kecapekan," suruh Arsa mendudukkan tubuh Berliana di tempat duduk yang tersedia. Berliana menatap Arsa. Arsa memeluk Berliana dari samping.

"Kak Chan pasti nggak papa Bun. Bunda mau minum? Biar bunda tenang," tanya Arsa. Berliana terdiam, sepertinya dia masih syok dengan kejadian ini.

Arsa memanggil Pak Hadi, menyuruhnya mengambil botol minum di mobil. Pak Hadi segera menjalankan tugasnya. Arsa kembali menatap Berliana, sesekali mengelus bahu Berliana untuk menenangkannya.

Pak Hadi datang membawa botol minum dan minyak kayu putih. Berikan ke Arsa. Arsa memberi minum Berliana dan mengusap bahu ibunya.

Tak lama kemudian, pintu IGD dibuka. Keluarlah seorang lelaki tua berjas putih. Berliana dengan tidak sabar menuduh dokter itu dengan beberapa pertanyaan.

"Anak saya kenapa dokter? Apa ada masalah serius?" tanya Berliana dengan kondisi tak terkontrol. Arsa yang di belakang Berliana hanya bisa memegang bahu ibunya agar lebih tenang lagi.

"Ibu tenang dulu. Anak ibu hanya kelelahan. Terlalu banyak aktivitas membuat tubuh dan pikirannya lelah. Syukurlah ibu datang tepat waktu," jawab dokter itu.

"Tapi dokter, apa anak saya ada penyakit lain yang serius setelah diperiksa tadi?"

"Kabar baiknya anak ibu tidak mengalami penyakit lain yang serius. Selain sering pusing dan tubuh melemah akibat waktu istirahat terpakai oleh kegiatan lainnya yang menguras tenaga."

"Apa perlu rawat inap, Dok?"

Dokter itu menggeleng. "Tidak perlu, Bu. Hanya saja, saya menyarankan untuk tidak memaksakan diri dan perbanyak lah istirahat. Karena bukan hanya tubuh yang kelelahan tapi mental anak ibu akan terganggu karena terlalu memaksakan diri dan melewati batas kemampuannya."

"Apa saya bisa menjenguk anak saya sekarang, dokter?" Dokter itu mengangguk.

Dokter itu merogoh kocek dan memberikan selembar kertas. "Saya sudah membuat beberapa resep obat untuk dikonsumsi anak ibu di sini, jangan lupa dibeli di apotek RS." Berliana mengangguk, meraih kertas itu. "untuk pembayaran bisa langsung ke administrasi ya, Bu."

"Baik, dokter. Terimakasih banyak, Dok!" seru Berliana. Dokter itu mengangguk.

"Saya permisi dulu," pamit dokter itu berjalan menjauh. Berliana langsung masuk dan menatap iba anaknya yang terbaring lemah di atas ranjang. Mendekatinya. Arsa hanya bisa mengekori, duduk di sofa yang tersedia.

Berliana mengelus kepala Chandra sayang. Bersamaan mata Chandra terbuka perlahan. "Bun ...." panggil Chandra, mencoba duduk ditahan oleh Berliana. "maafin Chandra, Bun."

Mata Berliana berkaca-kaca sembari menggeleng. "Kenapa nggak ngomong kalau abang sakit ke bunda, hm?" tanya Berliana menitikkan air mata, tangan Chandra mengusap pipinya. "kenapa Abang bisa begini?"

Chandra terdiam, mengalihkan pandang ke arah lain. "Abang, jawab bunda. Kenapa kamu bisa begini, hm?"

"Chandra kecapekan aja Bun. Istirahat sebentar Ichan sembuh kok," ucap Chandra, meraih kedua tangan Berliana. "maafin Chandra Bun. Chandra ngerepotin bunda. Seharusnya Ichan bisa jaga diri, tapi sekarang ... Ichan bikin bunda nangis. Ichan merasa gagal jadi anak berbakti kepada bunda. Maafin Ichan Bun." Berliana menggeleng.

"Nak, Ichan boleh bilang sama bunda apa yang Ichan rasakan. Tapi, Ichan nggak boleh sampai nggak ngomong bahkan berbohong karena nggak mau bunda merasa kerepotan. Ichan anak bunda, Ichan berhak ngomong ke bunda apa yang Ichan rasakan," ucap Berliana, mengusap pipi Chandra.

"Tapi, Bun. Kata papa, kita sebagai lelaki nggak boleh nangis dan harus tahan banting. Apalagi Ichan anak tertua yang nggak boleh gampang ngeluh dan harus mandiri menghadapi masalah yang Ichan lewati," jawab Chandra. "Ichan bakal merasa gagal jadi anak tertua kalau sampai Ichan cerita dan menambah beban pikiran bunda."

"Bunda lebih merasa nggak berguna jika anaknya nggak pernah cerita apa yang dia rasakan ke bunda. Jadi, tolong, untuk ke depannya Ichan ngomong. Jangan diam aja. Ada bunda di sini, nak," pinta Berliana memandang Chandra sedih.

"Tapi, Bun, kata papa Ichan nggak boleh—"

"Nggak! Nggak harus kata papa. Papa biar jadi urusan bunda. Sekarang bunda ada di depan kamu. Jika kamu bahas kata papa lagi karena ingin berusaha nutupi rasa sakit kamu, bunda nggak mau. Atau, Ichan mau bunda kecewa sama Ichan? Iya?" Chandra menggeleng.

"Nggak, Ichan nggak mau bunda kecewa sama aku!" serunya sembari memaksa duduk sembari meringis.

"Maka dari itu, berhenti bikin bunda khawatir dengan Ichan yang jarang terbuka sama bunda. Ngomong kalau ada yang sakit, ekspresikan diri kalau Ichan merasa bahagia atau sedih. Karena Ichan berhak cerita ke bunda dan papa."

"Kalau Ichan bilang tentang kegagalan Ichan, bunda nggak bakal kecewa, kan? Karena kata papa, aku harus belajar giat jangan sampai mengecewakan papa, apalagi setelah Ichan tamat, Ichan harus memegang salah satu aset papa. Kalau sampai Ichan gagal, papa bakal marah. Ichan nggak mau!" Berliana terduduk dan memeluk Chandra dengan air mata yang mengalir.

"Apa yang sudah kamu lakukan ke anak kamu, mas?" batin Berliana menangis.

"Nggak nak, nggak. Ichan nggak papa gagal. Nggak papa sesekali membuat bunda dan papa kecewa. Jangan memaksakan diri cuma karena disuruh orang lain. Nak, kamu berhak menentukan pilihan kamu jadi apa aja. Biar papa jadi urusan bunda nantinya," balas Berliana berusaha menahan tangis namun sia-sia. "ada bunda nak. Ichan boleh ngomong apapun itu ke bunda. Jangan takut, lagi, ya?" Chandra terdiam. Tak mengangguk tak menggeleng.

Berliana melepaskan pelukan, menatap wajah sedih yang terpampang jelas di depannya. "Berhenti bikin bunda khawatir lagi, hm?" Chandra menatap Berliana, Berliana tersenyum getir. Tak lama Chandra mengangguk membuat Berliana tersenyum dan memeluk Chandra lagi.

Berliana melepas pelukan itu, tersenyum melihat tatapan sayu Chandra ke arahnya. "Sebentar lagi kita pulang, tapi sebelum itu Chandra di sini dulu ditemani Arsa. Bunda mau nebus obat ke apotik. Ichan bisa istirahat sebentar di sini." Chandra hanya mengangguk, Berliana berbalik menatap Arsa yang sedang duduk di sofa.

"Arsa, jagain abang kamu. Bunda mau keluar sebentar." Arsa hanya mengangguk. Berliana berjalan menuju pintu ke luar setelah mengelus bahu Chandra sesaat.

Arsa mendekati Chandra. Menepuk bahu Chandra beberapa kali sembari tersenyum simpul. "Lo tidur aja dulu, bang. Sebelum bunda balik ke sini," suruh Arsa dan ingin balik kembali ke sofa. Menunggu Berliana kembali.

"Sa," panggil Chandra, Arsa menoleh. "makasih." Arsa menaikkan sebelah alisnya, tak mengerti.

"Untuk apa?"

"Karena kamu, kakak merasa lega ketika cerita ke bunda tadi. Makasih ya," ucap Chandra dengan tulus. Bibir yang tampak pucat tersenyum tipis. Arsa ingat saat membentak Chandra saat ditemui di rumah sakit yang sama saat itu. Arsa merasa bersalah karena memberikan kata-kata kasar kepada Chandra, mengenang tidak bisa berpikir jernih saat merasa gelisah atau khawatir.

Arsa mengangguk. "Udah tugas gue sebagai adik mengingatkan kakak penurutnya untuk cepat cerita daripada diam," balas Arsa. "gue tau berat buat lo terbuka ke bunda. Tapi, gue nggak mau bunda khawatir sama keadaan lo."

Bersamaan dengan itu, Berliana datang menatap kedua anaknya sedang bercengkrama. Membuat hatinya menghangat. Ia tersenyum menatap keduanya. Arsa dan Chandra pun tersenyum.

"Yuk, kita pulang sekarang! Chandra, istirahatnya nanti dilanjut lagi di rumah."

••

Arsa ada di ruang tamu menonton televisi sambil mencomot keripik pisang dari toples kaca. Arsa mengubah saluran. Cerita lama yang terus diputar di televisi membuatnya bosan.

Dia menghela napas, melirik ponsel di sampingnya. menjilat dan membersihkan jari yang terkena bumbu dan meraih benda datar tersebut. Ia baru menyadari bahwa Kara, kekasihnya beberapa jam yang lalu, hingga kini belum memberi kabar.

Arsa membuka ruang obrolan dengan Kara, mengetik beberapa kata dan mengirimkannya.

Titi markuti 😍
Terakhir dilihat hari ini pukul 21.30

Ti, masih melek gk?|
21.35 ✔️✔️

Arsa senang gadis itu cepat membaca dan sedang mengetik. Menunggu dengan jantung berdebar menambah kegugupannya.

| Ti? Siapa tuh? Gadis baru lo ya
21.35

Balasan tak terduga yang diberikan Kara padanya, membuat Arsa ternganga. Benar sekali, Arsa tidak pernah menyebut nama tengah gadis itu. Kara Vristhi Dennalie. Arsa hanya ingin tampil beda dari yang lain.

Nama lo pe'a|
21.36 ✔️✔️

Lagian, selain lo sp lgi pacar gue?|
21.36 ✔️✔️

|Mana tau aj lo punya selingkuhan stlh pcaran sm gue
21.36

|Atau yg lebih parahnya, gue yg jdi selingkuhannya, hii
21.36

"Astagfirullah, bisa-bisanya mikir gitu," gumamnya sembari menggelengkan kepala.

Ngapain harus selingkuh klo udh punya pacar yg cantiknya gk manusiawi kyk kmu|
21.36 ✔️✔️

|Alah gembel lo!
21.37

Gk ada manis-manisnya ya kmu, kar|
21.37 ✔️✔️

|Gk suka? Balik gih sm mantan lo sn
21.37

Astagfirullah ukhti jgn begitu dong|
21.37 ✔️✔️

Aku blm selesai ngetik pdhl|
21.37 ✔️✔️

|Emg lo mau ngetik ap?
21.38

|Awas aja smpe ngegembel lgi
21.38

Arsa membacanya hanya bisa beristighfar saja. Dia paham gadis-nya itu masih merasa asing dengan perhatian khusus darinya.

Ketikan kmu emg pedes|
21.38 ✔️✔️

|Gk pake cabe jg
21.38

Kmu ceweknya gk kalem|
21.38 ✔️✔️

|Emg, masalah buat lau?
21.39

Tpi ntah knp aku bisa terpikat pesona kmu|
21.39 ✔️✔️

Yg jdi pertanyaan aku|
21.39 ✔️✔️

Kmu pake pelet ya?|
21.39 ✔️✔️

|Enak aja!
21.40

|Tpi emg sih pesona aku gk bisa ditolak
21.40

|Kamu termasuk beruntung miliki aku, Sa
21.40

|Jadi, jgn smpe kmu selingkuh, klo gk mau masa depan kmu aku pangkas abis 😁🔪
21.40

Tanpa sadar Arsa meringis menutupi aset berharganya dengan tangan. Gadis itu sangatlah berbeda.

Arsa iseng memencet tombol panggil di aplikasi chat. Tiba-tiba dia merindukan suara gadis itu.

"Eh! Kalau mau nelpon intro dulu dong. Aku kan jadi kaget!" Arsa terkekeh mendengarnya.

"Maaf sayang. Aku cuma kangen suara kamu aja."

"Alah kentut!" seru gadis dari seberang sana, membuat Arsa terkekeh lagi. Gadis itu benar-benar tahu bagaimana memecahkan keheningan. Mendengar suaranya yang kesal membuat Arsa senang.

Namun, Arsa mendengar bunyi klakson sepeda motor dan keributan lainnya di seberang. Merengut, di mana gadis itu sekarang? di jam 21.57 ini?

"Kamu di mana sekarang? Kok berisik banget?"

"Oh ini, aku lagi di lapangan dekat komplek."

"Ngapain di sana?"

"Ngemis."

"Hm?"

"Main lah, aneh-aneh aja ih pertanyaannya."

"Malam-malam begini?"

"Iya."

"Sama siapa?"

"Aku sih sendiri ke sini. Tapi rame kok."

"Pulang. Masuk angin nanti."

"Nggak ah, males."

"Kok gitu?"

"Nggak papa."

"Pulang atau aku samperin ke sana?"

"Samperin aku dong, Sa. Di sini sepi, aku takut pulang ke rumah. Takut digodain preman," rengekan Kara yang dibuat-buat membuat Arsa kesal.

"Aku ke sana. Jangan ke mana-mana!" Arsa mematikan dan meletakkan ponselnya di sakunya, berjalan menuju kamar. Ambil kunci dan menuju garasi.

Akhirnya bisa update hari ini!

Serius bagian ini lama banget buat lengkapnya. Ada aja yang dirasa kurang buat bagian ini.

Semoga suka ya, walaupun sedikit membosankan~ ☺️💔

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Wednesday, 07-04-21

Jangan lupa vote-nya dong. 감사합니다!
🌟👇

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

ZAYRA | PERJODOHAN uraaa द्वारा

किशोर उपन्यास

796K 42.3K 75
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
ALZELVIN Diazepam द्वारा

किशोर उपन्यास

4.4M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
My Sexy Neighbor F.R द्वारा

किशोर उपन्यास

395K 4.7K 21
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
IGNITES Murti Mutolaah द्वारा

किशोर उपन्यास

1M 50.7K 67
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...