Fase dalam Lingkaran [Selesai]

By gemamembiru

42.6K 8.7K 3.6K

[Trigger / content warning: domestic violence, self injury, negative vibes] Sejak di-PHK, Ayah berubah 18... More

Awal
[1] Tingkat Kesadaran Sigmund Freud ⚠️
[2] CoA: Fase Satu ⚠️
[3] Simsalabim!
[4] Memori Manusia dan Stereotip
[5] Sebelum Beranjak Dewasa, Dunia Terlihat Menyenangkan
[6] Tempat Pelariannya Hilang
[7] CoA: Fase Dua ⚠️
[8] Rentetan Tanda Tanya
[9] Tempat Aneh dari Ajakan Orang Aneh
[10] Malam Ini Berisik, Pun Pikirannya
[11] Menghancurkan Bongkahan Batu ⚠️
[12] Kehidupan di Tanah Bumi ⚠️
[13] Harapan tanpa Nama
[14] Manusia di Posisi Tengah
[15] Pertikaian di Mendung Pagi ⚠️
[16] Berteman dengan Luka ⚠️
[17] Tidak Ada Cahaya di Ruang Gelap ⚠️
[18] Kedekatan; Penetrasi Sosial
[19] Manusia dan Peran Mendengar
[20] Film dari Dunia Tanpa Suara
[21] Pernikahan, Frekuensi, dan Komunikasi
[22] Berpendar, Buram, dan Runyam ⚠️
[24] Pada Waktu Itu, Semua Lepas Kemudi ⚠️
[25] CoA: Fase Tiga ⚠️
[26] You Did Whale
[27] Dimensi Religiusitas dan Kebersyukuran
[28] Dialog Ibu, Monolog Ayah
[29] Kapal Ini Berlayar ke Mana?
[30] Kaleidoskop

[23] Dunia sedang Tidak Baik ⚠️

844 221 81
By gemamembiru

[TW / CW: mention self injury / self harm & KDRT]

Ladin bangun di keesokan harinya dengan kekosongan yang membuat dia menatap tak gairah atap kamar, juga kekacauan di kepala yang masih bertenggaran. Butuh waktu 15 menit untuk Ladin berdiri, bersiap ke kampus, dan mengambil sisa-sisa jejak sunyi yang mendominasi rumah.

Tubuhnya lelah luar biasa. Pikiran Ladin rasanya tidak bisa diajak berkompromi untuk ikut kerja kelompok mata kuliah Psikologi Keluarga sepulang kuliah. Presentasi kelompoknya minggu depan, dan makalah seharusnya sudah selesai hari ini. Jika Ladin pernah dengar bahwa manusia bisa bergerak menyerupai robot; tidak bergairah dan tidak berperasaan. Maka, begitulah Ladin sekarang.

Sebenarnya, energi Ladin benar-benar sudah habis. Tapi malam harinya, dia masih harus menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit yang alamatnya sudah dikirim Bibi, salah satu saudara Ibu yang tinggal di Purwokerto. Bibi langsung datang setelah mendapat kabar bahwa Ibu dilarikan ke rumah sakit. Bahwa Ladin sempat pingsan untuk beberapa jam. Bahwa Ayah kembali dilarikan ke kantor polisi setelah kekacauan itu terjadi.

Singkatnya, orang-orang mulai berdatangan ketika kondisi keluarganya sudah berada di ujung tanduk.

Sejujurnya Ladin merasa malu. Dia bingung harus bagaimana untuk menemui Bibi, Om, dokter, atau siapa pun yang akan ditemuinya nanti di rumah sakit. Dan ketika raganya yang luar biasa lelah itu sampai di rumah sakit yang dipenuhi oleh warna putih, Ladin menemui sosok baru di samping kasur Ibu.

Ladin menghidu bau obat saat ia masuk ke dalam ruang rawat inap. Di sana hanya ada Ibu dan laki-laki asing. Ladin mungkin akan mengira laki-laki itu adalah omnya yang mungkin saja operasi plastik, kalau dia tidak menangkap bahwa tangan laki-laki itu dengan kurang ajarnya menggenggam erat jemari Ibu.

Skenario terburuk sudah Ladin susun saat matanya mulai terasa panas, untuk kemudian memberi tanya, "siapa?"

Ruangan itu hening, kosong, dan sunyi. Bola mata Ladin jelas menuntut jawaban yang bisa menghilangkan kekalutannya. Bahwa ucapan Ayah kemarin hanya omong kosong karena temperamen Ayah yang meledak-ledak. Ladin menolak jelas untuk menerima, bahwa siapa pun laki-laki di depannya ini, adalah salah satu penyebab prahara keluarganya berguncang hebat.

Pertanyaannya itu masih tidak dihadiahi jawaban apa-apa. Sampai pintu kamar terbuka, dan Ladin menemukan Bibi masuk ke dalam ruangan. Menatapnya dengan seribu maksud, salah satunya rasa kasihan.

Demikian, Bibi mengajak Ladin keluar untuk menceritakan apa-apa yang perlu didengarnya.

***

"Ibu selingkuh."

Entah dari mana energi itu datang. Tiba-tiba saja, Ladin merasakan berbagai kekuatan untuk berlari menghunus angin. Dengan temaram lampu yang diam-diam membantunya agar ia tidak menjadi buta dalam kegelapan malam. Juga kaki Ladin yang berlari tiada henti seolah sedang dikejar sesuatu yang urgensinya tinggi sekali.

"Ternyata sudah beberapa tahun. Bibi juga baru tau tadi pagi pas laki-laki itu datang ke rumah sakit."

Ada kekecewaan yang sangat mengganggu Ladin. Membuat perempuan itu tidak lagi menahan tangisnya dan terus berlari tanpa ujung pemberhentian yang jelas. Isakan mulai samar terdengar, sampai kemudian mengisi kosong jalanan. Otaknya tidak bisa berhenti memutar penjelasan Bibi tadi, dan Ladin ingin sekali denial untuk menolak kebohongan paling aneh yang dilontarkan Bibi.

"Bukan, bukan salah Ibu."

Ladin geram sekali mendengar ucapan Bibi. "Ibu selingkuh, tapi itu bukan salah Ibu? Bibi bercanda, ya?"

"Dengar dulu, Ladin."

"Terus kalau bukan salah Ibu, salah siapa? Salah Ayah? Atau salah Ladin?"

Pipinya sudah basah, bersahut-sahutan dengan gemulai angin yang balas menerpa balik kulitnya. Dada Ladin naik turun, sesak karena tiba-tiba berlari jauh tanpa persiapan apa-apa, tapi dia masih juga tidak ingin berhenti. Ladin ingin menyakiti dirinya sendiri untuk kelelahan, kecapaian, dan tidak berdaya. Sampai Ladin puas bahwa rasa sakit yang bisa dia ciptakan itu bisa mengalihkan perasaannya dari rasa sakit yang baru diterimanya.

"Bukan, bukan salah Ayah juga."

Omongan Bibi semakin tidak masuk akal. Ladin berdiri, bersedekap. "Bi, ini bukan topik yang bisa kita bercandain."

"Dengar dulu, Ladin."

"Kalau bukan salah Ibu dan bukan salah Ayah, terus salah siapa?!"

"Nggak ada yang salah."

"BI!" Ladin berteriak keras. Cairan bening itu sudah memenuhi pelupuk matanya, untuk kemudian menatap nyalang pada saudara Ibu di depannya dengan kekacauan yang amat sangat. "Kalau kayak gini, nggak mungkin nggak ada yang salah, Bi!"

"Ladin, dunia itu bukan meja hijau. Nggak segala hal yang terjadi punya posisi benar atau salah. Dua-duanya impas, imbang."

Tahu-tahu, Ladin terjatuh karena tersandung batu kerikil. Dia mengerang kesakitan saat sandalnya terlepas sehingga kaki telanjangnya bergesekan pada aspal tajam. Dia kembali menangis. Dengan rambut acak-acakan, wajah memerah, juga baju yang dipenuhi keringat. Perempuan itu terduduk untuk melihat lukanya yang mulai mengeluarkan darah.

Rasanya sakit, itu sebabnya Ladin menangis. Darah itu bukan apa-apa selain pengalihan luka tak kasatmata dari dalam dadanya. Dengan begitu saja, Ladin memukul-mukul dadanya. Memohon agar rasa sakit yang menjelma di dalam sana bisa segera ingkah untuk memberinya ruang bernapas sejenak.

Sebab Ladin rindu bahagia. Ladin rindu diterima oleh seseorang.

"Ibu mulai selingkuh karena Ayah terlalu tertutup. Ayah nggak pernah cerita kalau ada masalah di kantor. Nggak pernah cerita kekurangan dalam hidup dan hal-hal lain yang lagi Ayah jalani. Puncaknya, saat Ayah di-PHK dan Ayah nggak cerita apa pun ke ibumu apa penyebabnya. Besoknya, Ayah lihat ibumu diantar orang lain ke rumah."

Apakah ada penjelasan paling konyol selain ucapan Bibi sekarang?

"Kamu paham kan, Din?"

Tidak. Ladin jelas menolak untuk paham.

"Berkeluarga itu seharusnya diisi oleh komunikasi, saling terbuka supaya sama-sama tau rencana ke depannya mengarah ke mana. Ladin paham kan kenapa ibumu merasa diabaikan saat Ayah menjalani hari-harinya seperti sendirian? Padahal, Ibu sudah berusaha keras untuk membuat Ayah terbuka."

"Tapi selingkuh nggak bisa dimaafkan, Bi."

"Ladin juga pahamkan, gimana rasa sakit ayahmu waktu tau Ibu selingkuh? Waktu tau ternyata Ayah bukan cuma satu-satunya dalam hidup ibumu. Ladin paham kan posisi Ayah?"

"Tapi KDRT juga nggak bisa dimaafkan, Bi."

Tangis Ladin semakin kencang. Kepala perempuan itu menunduk untuk menyembunyikan isakannya. Jika dahulu Ibu akan selalu memeluknya saat Ladin menangis, sekarang Ladin hanya bisa memeluk lutut seorang diri. Sebab, memercayai Ibu saya rasanya Ladin tidak mau lagi.

"Ladin harus apa Bi? Ayah sama Ibu nggak bisa dimaafin. Ladin benci ...."

Kesunyian itu menemani Ladin agar dia tidak duduk seorang diri. Imajinasinya mulai memberi karangan perihal kebahagiaan yang tak lagi dimilikinya. Alam bawah sadarnya mulai mencari-cari rasa percaya yang mulai berjejak pergi; lalu berbekas hilang. Suara kicauan jangkrik kemudian memberi sahutan, beriringan dengan isak tangis Ladin yang menapaki ricuh.

Sepertinya pernah di suatu hari semasa sekolah, Ladin memilih Ibu sebagai panutan dalam hidup. Juga dia pernah meng-aamiin-kan segala doa yang menyebut Ibu dituruti segala kebahagiaan dan keberkahan dalam hidup. Ladin pun pernah begitu setuju pada pernyataan bahwa Ibu adalah malaikat tanpa sayap di dunia, yang perlu dijaga sebab sayapnya bisa saja patah sewaktu-waktu.

Tapi, Ladin bisa apa sekarang? Ladin menggeleng keras, masih menangisi fakta bahwa ibunya bukan suatu panutan yang bisa Ladin taati.

Ladin pun pernah berujar bahwa Ayah adalah sebaik-baiknya pengemudi dalam hidup. Ayah adalah orang pertama yang membuat Ladin percaya bahwa di dunia ini masih ada orang baik; ketika Ladin menjadi subjek perundungan teman-temannya dan Ayah memberinya kalimat-kalimat teduh. Pada dunia dan seisi kelakarnya, selalu ada Ayah yang membawanya ke dalam tempat tenang.

Tapi, lagi-lagi Ladin bisa apa? Ladin tidak bisa memberi rasa percayanya pada seseorang yang membuat malaikatnya terluka. Pun, Ladin tidak bisa memberi rasa maafnya pada seseorang yang membuat pengemudi dalam hidupnya kehilangan peta dalam sebuah perjalanan pulang.

Itu adalah titik yang meyakini Ladin bahwa dunianya benar-benar hancur. Yang kemudian, membuatnya merutuki segala hal yang terjadi di dunia ini. Tentang Ladin yang kerap kali ditolak dalam lingkungannya. Tentang dia yang kini kehilangan figur orang tua yang dapat dipercaya. Tentang Ladin tidak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Maka, setelah luka di kakinya bisa sedikit membuat rasa sakit di dadanya teralihkan, Ladin berdiri.

Di dunia ini, kita nggak punya siapa-siapa selain diri sendiri.

Dengan begitu saja, langkahnya kembali dipaksa jalan. Menggeret kakinya yang terasa berat, juga sisa-sisa kekecewaan yang berceceran di jalanan.

Sekali lagi, Ladin mendekap dirinya sendiri. Membisikkan beberapa kalimat untuk kemudian diterimanya seorang diri.

"Ladin, dunia memang serupa bajingan. Semuanya berjalan jauh di luar ekspektasi kita dan itu menyebalkan. Ladin, ayo buktikan kalau kamu jauh lebih hebat dari dunia dan seisinya. Bahwa kamu adalah sebaik-baiknya orang yang kembali bangkit meski seluruh manusia sepakat untuk menyerang."

"Ladin, satu kali lagi. Mari tetap bertahan."

***

Kalau tidak salah ingat, Bu Ami, dosen mata kuliah Psikologi Positif, pernah bilang seperti ini. "Emosi positif dan negatif pada sebuah memori itu bergantung pada kedalaman emosinya. Jika emosi negatif lebih besar perannya dalam sebuah memori, tentu, memori sedih akan membuat kita lebih sering teringat.

"Kalau kita merasa kecewa dengan seseorang dan emosi itu mengalahkan segala emosi positif yang sudah orang itu bagikan, tidak heran jika setiap kita ingat orang itu, akan selalu ada emosi negatif yang muncul."

Kondisi itu persis seperti yang dialaminya sekarang. Perempuan itu tidak lagi mampu mengingat apa-apa saja yang dahulunya membuat Ladin begitu bersyukur atas kehadiran Ibu, sebab segala emosi negatifnya sudah berebutan mengambil peran dalam memori itu.

Tarikan napasnya berat. Dia berjalan ke luar rumah, mengunci pintu sebab rumah itu kini kosong tanpa Ayah dan Ibu. Langkah gontainya menapaki jalanan yang basah. Baru saja hujan rehat pergi, menyisakan sedikit dingin dan keteduhan dalam atmosfer di sekitarnya.

Tahu-tahu, kakinya berhenti di stadion kampus. Matanya memandangi hilir mudik manusia yang berlari di lapangan. Ladin tidak berniat ikut berlari di lapangan itu. Dia hanya ingin mengasingkan diri di tribun penonton yang sepi. Setelah mengambil posisi duduk di bawah pohon rindang, Ladin menidurkan badannya.

Kelopak mata itu bengkak. Sudah berapa kali Ladin menangis dalam seminggu terakhir? Enam? Tujuh?

Beberapa detik setelah itu, ia menutup mata. Menikmati embusan angin yang diam-diam ikut menggerogoti kebingungannya mengenai posisi berdirinya. Ladin ingin sekali menyalahkan Ibu, tapi Ladin harus memaksakan dirinya agar memahami posisi Ibu. Mungkin jika Ladin menjadi Ibu pun, ia akan marah pada Ayah yang tidak pernah terbuka dengan masalah-masalah yang dihadapinya.

Ladin juga ingin marah pada Ayah, kenapa Ayah tega melakukan tindakan kekerasan pada Ibu? Sedalam apa emosi marah Ayah yang teredam sehingga satu-satunya yang Ayah bisa lakukan adalah menyakiti Ibu?

Kepalanya pusing memikirkan hal-hal abstrak ini. Saat Ladin membuka mata, tahu-tahu ada orang lain yang ikut tidur di kursi tribun satu tingkat dari tempatnya.

"Eh?" Ladin praktis duduk, lalu terkejut saat tahu bahwa orang itu adalah Kala. "Ngapain?"

"Abis olahraga, nggak sengaja lihat kamu di tribun penonton," jawab Kala santai. Setelah Ladin tak lagi bersuara, Kala berujar, "La, aku baru aja melihara semut hahaha. Totalnya ada tiga, tau siapa aja namanya?"

Ladin diam sebentar. Bingung dengan pertanyaan terbuka oleh Kala yang terlalu tiba-tiba, tapi dia tetap menggeleng.

"Namanya Freud, Pavlov, dan Maslow."

"... itu tokoh Psikologi, kan?"

"Iya!" Kala langsung duduk dengan semangat. "Freud dari aliran Psikoanalisis, Pavlov aliran Behavioristik, dan Maslow dari aliran Humanistik. Ini ceritanya agak panjang, sih, kenapa aku namain pakai tokoh dari tiga aliran ini. Tapi intinya, biar semut-semut yang aku pelihara bisa pinter kayak tokoh-tokoh Psikologi."

Mau tidak mau Ladin akhirnya tersenyum geli. Ternyata Kala tetap aneh, seperti biasanya.

"Dari tiga semut itu, aku paling suka sama Pavlov," cerita Kala lagi.

"Kenapa?"

"Karena dia dari aliran Behavioristik."

"Emang kenapa kalau dari aliran Behavioristik?"

"Nggak kenapa-kenapa. Emang kalau suka perlu alasan?" Kedua sudut bibir Kala terangkat saat mengatakan itu. Ia tertawa pelan setelahnya.

Mendengarnya, Ladin tidak bisa untuk tidak mengingat kembali pengakuan yang Kala bilang dua minggu yang lalu. Perempuan itu lantas berdiri, lalu membersihkan sedikit bajunya yang ditempeli debu.

"Mau pulang?"

"Iya."

"Bawa motor?"

Ladin menggeleng.

"Ayo, aku antar!" Kala ikut berdiri. Kemudian, laki-laki itu mengomando jalan tanpa menunggu jawaban dari Ladin.

"Kamu nggak bawa motor?" tanya Ladin setelah kakinya berjalan seiringan dengan Kala.

"Bawa."

Ladin mengerutkan alis heran, tapi dia tidak kembali bertanya. Kakinya mengikuti langkah panjang Kala, menyusuri jalanan yang menyimpan embun hujan dan kelabu langit.

"Gimana beberapa hari terakhir, La?"

Ladin bergumam sebentar. "Kayak hewan percobaan Pavlov."

Kala kontan tertawa. "Kayak anjing, maksudnya?" Mendapati anggukan Ladin, Kala semakin tertawa.

Beberapa menit ke depannya tidak lagi diisi oleh perbincangan mereka. Hanya terdengar suara sepatu olahraga Kala yang bergesekan dengan aspal. Atau suara motor yang melaju dengan suara knalpot berisik. Demikian itu yang menyerupai isi kepala Ladin; bising.

"Ibu ternyata selingkuh." Tiba-tiba Ladin bercerita pelan. Dia menunduk, untuk berpikir sebentar apakah ia akan menyesali keputusannya untuk bercerita pada Kala sore ini. "Ibu selingkuh karena Ayah nggak pernah terbuka mengenai apa pun ke Ibu. Dan Ayah ngelakuin KDRT karena Ibu selingkuh. Lucu, ya?" Tapi Ladin sama sekali tidak tertawa saat mengatakannya.

"Kamu tau itu sejak kapan?" Kala sedikit menunduk supaya bisa melihat perempuan itu. Tangannya menggantung serba salah, untuk berusaha menggenggam jemari perempuan itu atau menyimpannya saja di saku. Dan Kala berakhir dengan memilih opsi kedua.

"Beberapa hari yang lalu, setelah Ibu dibawa ke rumah sakit." Tarikan napas Ladin terdengar berat. "Orang-orang bilang, selingkuh dan kekerasan itu dua hal yang paling nggak bisa dimaafin dari seseorang. Aku harus gimana, Kak? Dua hal itu dilakuin sama orang tuaku sendiri."

"Kalau kamu nggak mau maafin keduanya, ya udah. Nggak perlu dipaksa," jawab Kala tenang. "Tapi hidup dengan rasa benci dan permintaan maaf yang menggantung itu nggak enak, La. Rasanya setiap hari bakal jadi tanda tanya yang berakhir dengan kekosongan."

"Tapi aku nggak bisa maafin mereka ...." Suara Ladin terdengar putus asa.

"Belum bisa," koreksi Kala. Dia kemudian berhenti berjalan saat Ladin berhenti di depan rumah kecil bercat putih. "Luka kamu masih baru, bahkan masih basah. Nggak bisa langsung diobati, apalagi langsung dikasih plester untuk nutup lukanya. Perlu waktu, karena nggak segala hal harus diselesaikan sekarang."

Kelopak mata Ladin terpejam sebentar. Dia merasakan rasa sesak di dadanya saat menghirup napas dalam-dalam.

"Tapi, La." Kala menatap Ladin dengan pandangan teduh. Senyum di bibirnya terukir halus, seperti berujar bahwa merasa terluka itu sebenarnya tidak apa-apa. "Yang pertama, kamu perlu maafin diri kamu sendiri. Kamu udah terluka, dan jangan sampai luka itu bergerak semakin membesar."

Ladin tidak menjawab apa-apa. Dia takut untuk bersuara dan kembali menangis. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang semakin mudah menangis sekarang.

"Masuk ke rumah dan istirahat. Telepon aku kalau ada apa-apa."

Selepas Ladin masuk ke dalam rumah dan mengintip kepergian Kala lewat kaca jendela, dia menunduk untuk melihat bekas sayatan luka di tangannya. Benar kata Kala, orang pertama yang perlu dimaafkannya memang dirinya sendiri.

Kalau Kala tadi bilang menyukai sesuatu itu tidak perlu alasan, agaknya Ladin tidak setuju. Sebab, Ladin merasa dia menyukai Kala karena laki-laki itu mirip sekali dengan Ayah yang dahulu. Ayah yang selalu bersedia untuk memberinya penguat sebagai peran manusia yang mendengarkan, juga ucapannya yang jauh sekali dari kata menghakimi.

"Ayah udah ketemu banyak sekali orang di dunia ini, jauh lebih banyak dari Adin. Nggak semua manusia baik. Tapi adilnya, nggak semua manusia juga jahat. Ayah ndak pengen Adin selalu ketemu sama orang-orang baik, karena itu mustahil. Ayah lebih pengen Adin ketemu orang yang bisa buat Adin merasa menjadi manusia dan mau menerima segala kekurangan yang ada. Manusia yang bikin Adin paham kalau perisai luka itu nyata. Oke, Boru Ayah?"

Itu ucapan Ayah, dahulu sekali. []

Apa masih ada yang kurang jelas dari cerita ini?

Ohiyaaa, ada cerita baruuu!! Ayo mampir, bisa cek profilku hihihi. Update-nya bakal selang-seling sama FdL karena cerita ini sebentar lagi ✨selesai✨ ;)

Kali ini ceritanya agak beda vibes-nya(?) dari cerita-ceritaku sebelumnya. But, still .... : D

Instagram: kepada.biru

19/03/2021

Continue Reading

You'll Also Like

204K 31.4K 25
Kalau di pelajaran biologi anak SMP, adaptasi adalah cara bagaimana makhluk hidup mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Namun...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 209K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
52.7K 10.1K 25
Kalau jin pengabul permintaan itu benar-benar ada, Kikan cuma punya satu keinginan, yakni jadi cewek mungil yang lucu nan imut. Tapi sayang, lampu aj...
1.8M 88.4K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...