Cosa Nostra ||Sanwoo

By mob_teez

83.6K 10K 1.1K

[on going] / [slow update] -A SanWoo/Woosan Fanfiction - (Bahasa indonesia) ❗️bxb/18+/yaoi/Mpreg/mafia/crime... More

Chapter 0 ; Prologue
Chapter 1 ; Meet
Chapter 2; Shut
Chapter 3 ; Familia Ante Omnia
Chapter 4; own's
Chapter 5 ; robbed
Chapter 6 ; Everything's Got a Price
Chapter 7 ; Hurt
Chapter 8 ; Circle
Chapter 9 ; broken part
Chapter 10 ; Two of them
Chapter 11 ; nowhere.
Chapter 12; Attack of the Saints
Chapter 13 ; damnation (m)
Chapter 14; excommunicado (m)
Chapter 16 ; Trip
Chapter 17; time
Chapter 18 ; Guilty Pleasure
Chapter 19; Loyalty
Chapter 20 ; War
Chapter 21 : Irony of Destiny
Chapter 22 : M.D
Chapter 23 : The Price Of Tears
Chapter 24 : Estranged
Chapter 25 : Vendetta
Chapter 26 ; Amateur
Chapter 27 : Black Rose
Chapter 28 ; Deconsecrated
Chapter 29; an Honor

Chapter 15 ; C.A.S

2.6K 321 58
By mob_teez

-jika ada kesalahan penulisan (typo) mohon dimaklumi. Aku tidak sempat memeriksanya.-

Flashback On

"Ibu??"

Angin malam menerpa rambut coklat gelapnya, membuat dirinya bergidik kedinginan. Ia menyeret tas koper dibelakangnya dan mulai menaiki anak tangga perkarangan rumahnya.

"Ibu? Aku pulang!!" Teriaknya senang, karena sebentar lagi dia akan kembali bertemu dengan sosok yang ia rindukan selama berpisah selama 2 bulan lebih.

Senyumannya luntur saat dia tiba didepan pintu, berkali - kali dia berteriak tetapi tidak ada suara apapun yang menyahut dan menyambut dirinya kembali.

Rumah besar itu tampak lebih gelap dari sebelumnya, angin berhembus begitu kencang membuat dirinya berpikir yang tidak - tidak. Pasalnya, berkali - kali anak ini mengetuk pintu dan memanggil sosok 'ibu'nya tapi tetap tidak menunjukan tanda - tanda pintu akan dibuka.

Akhirnya anak ini memutuskan untuk membuka pintunya sendiri. Tapi, apa yang ada didepan matanya menghambat dirinya untuk masuk lebih dalam. Remaja itu menjatuhkan rahangnya, kedua matanya berkaca - kaca.

"Siapa kalian?!" Dia berteriak mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar hebat.

Ia menangis saat melihat sosok yang sedari tadi ia rindukan ditahan oleh beberapa orang asing dan menodongkan senjata tajam kearahnya.

"Berhenti ditempatmu atau kau juga akan mati ditanganku."

Kalimat itu membuat Wooyoung susah payah meneguk ludahnya sendiri. Dia mengikuti kata pria serba hitam itu dan tetap diam.

"Wooyoung! Lari! Selamatkan dirimu!!" Ibunya memekik sambil memberontak mencoba menarik perhatian orang - orang asing itu, memberikan kesempatan agar anaknya menyelamatkan diri meskipun dirinya akan terbunuh saat itu juga.

Merasa panik, Wooyoung berlari seperti apa yang ibunya katakan. Dia berlari keluar rumah untuk menyelamatkan dirinya, mencari seseorang yang mungkin bisa membantu keluarganya selamat dari teror atau perampokan itu.

"Tolong!! Kumohon siapapun!!"

Dia berteriak sekeras mungkin hingga tenggorokannya terasa kering saat dikejar oleh beberapa orang dibelakangnya. Jantungnya berdegup kencang karena tidak ada yang merespon teriakannya. Dia ketakutan.

"Tembak dia!" Matanya melebar mendengar ucapan itu, jadi dia mempercepat larinya tapi sesuatu yang berat sepertinya memukul dirinya.

Anak remaja itu terjatuh sambil meringis, "uhh.." dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk mengembalikan indra penglihatannya yang kabur.

Darah menetes keluar dari hidung mancungnya, dan itu membuatnya tidak kalah terkejut. "Tidak.. tidak .. tidak.." dia menyeka darah yang terus mengalir dari hidungnya dan mencoba bangkit tapi kepalanya terasa sangat pening, jadi dia merebahkan dirinya di aspal dan satu satunya yang terakhir kali ia lihat adalah seseorang yang tertawa bengis kearahnya lalu penglihatannya menghitam.


Dia membuka matanya perlahan meskipun rasa pening dikepalanya masih menyerang dirinya.

"Ibu..." lirihnya kecil.

"Bos, dia sudah bangun." Wooyoung tersentak saat dirinya dipaksa bangkit dari lantai beton dingin, dia meringis saat rambutnya ditarik paksa untuk menatap kearah seseorang diatasnya.

"Lihatlah siapa yang dia sembunyikan?" Katanya kemudian tertawa bersama pria lainnya.

Wooyoung mengerutkan dahinya, penglihatannya sudah kembali normal sekarang dan dia bisa dengan jelas melihat siapa pria asing didepannya ini. "Siapa kau?! Dimana ibuku?! Ibu!!!"

Wooyoung mengeluh saat merasakan tamparan keras pada pipinya membuat anak itu kembali tersungkur. "Dengar." Kepalanya ditarik untuk yang ke sekian kalinya. "Ibumu dan kau adalah sebuah beban yang menyulitkan jalanku." Kalimatnya kasar menusuk ke tepat ke jantung.

"Yoojin tidak seharusnya menyembunyikanmu dan ibumu itu."

Wooyoung memperhatikan bagaimana pria asing itu berjalan mondar - mandir didepan wajahnya. "Sial. Seharusnya Yoojin lebih pandai lagi menyembunyikan sesuatu. Jadi dia tidak akan kehilangan barang berharganya bukan?" Katanya lagi tertawa keras.

"Apa maksudmu?! Lepaskan aku, kau bajingan!" Wooyoung berteriak dan memberanikan dirinya mengutuk pria didepannya.

Marah dengan apa yang Wooyoung katakan, pria itu menggeram dan mencengkram rahang Wooyoung kasar. "Jaga bicaramu, bocah." Katanya.

Wooyoung memejamkan matanya menahan rasa sakit yang mulai menyerang bagian rahangnya, dia menahan keras tangisannya. Dia bernapas lega saat pria asing didepannya melepaskan cengkraman itu.

"Bos, Joe sudah berhasil membunuh Yoojin, dia sedikit meleset karena ada pengacau."

Wooyoung melebarkan matanya mendengar nama ayahnya disebut, "Ayah! Kau membunuh ayahku?!" Pria itu hanya tertawa.

"Siapa yang berani mengacaukan pestaku?"

DORR!!

Wooyoung memekik saat dia menyaksikan pria yang berdiri diambang pintu terhempas kedepan bersamaan dengan suara peluru yang dilepaskan.

Dia menganga kecil saat beberapa orang asing masuk dan itu membuat dirinya semakin ketakutan karena mereka menodongkan senjata kearah pria yang menahan Wooyoung. Woo tidak tahu apakah kumpulan pria yang baru tiba itu berada di pihaknya atau justru juga ingin membunuh dirinya?

"Choi San?"

Pria yang disebut namanya hanya diam ditempat sambil menodongkan senjatanya, dia tersenyum menyeramkan.

"Untuk apa kau bera—"

DORR!

Wooyoung kembali memekik karena suara tembakan itu, dia mundur ketakutan saat melihat tubuh tak bernyawa itu terjatuh keras ke lantai beton dan darah mulai merembes keluar dari dahinya yang bolong karena peluru.

"Dia terlalu banyak bicara." San menyimpan pistolnya dan menatap Wooyoung datar dan memerintahkan anak buahnya dengan sebuah anggukan kepala, berbeda dengan Wooyoung yang berteriak memberontak saat orang - orang San membawanya pergi.

"Lepaskan aku!! Dimana ibuku?! Ayah!! Ibu!!!"


Wooyoung mengerutkan dahinya saat dia melihat sebuah gedung besar yang familiar. Pria misterius ini tidak membawanya ke suatu tempat mengerikan dan menyekapnya, dia justru membawa Wooyoung ke sebuah rumah sakit besar.

'Mengapa dia membawaku kesini?' Batinnya bertanya sambil menatap pria tinggi bersetelan hitam yang memimpin barisan.

Wooyoung tersentak saat pria itu berhenti ditempat dan berbalik, "Bersikaplah dewasa. Jika kau gegabah melarikan diri, aku tidak akan ragu menembakmu." Kata - kata nya menekan membuat Wooyoung ketakutan.

Setelah pria itu kembali berjalan didepan bersama seorang pria berambut biru tua disampingnya, Wooyoung mengekorinya diawasi oleh anak buah pria itu.

Beberapa saat setelah dirinya dipaksa masuk untuk mengikuti sebuah tes kecil, Wooyoung sekarang merasa khawatir.

"Sebenarnya apa yang kalian inginkan?" Dia akhirnya memberanikan dirinya bertanya hati - hati kepada pria berambut biru didepannya. Dia belum atau bahkan tidak berani bertanya kepada seseorang yang disebut San, jadi dia memilih bertanya kepada pria yang selalu berada disamping San.

Pria berambut biru itu tidak menjawab dan hanya tersenyum membuat Wooyoung sedikit jengkel. "Kalian ingin membunuhku?" Dia melemparkan pertanyaan lagi.

"Aku rasa itu akan terjadi jika kau membantah semua perkataan San." Jawaban si rambut biru membuat Wooyoung diam seribu bahasa. Bagaimana tidak? Dia digertak berkali - kali.

Saat dokter yang menuntun jalannya tes keluar dari ruangannya, pria bernama San reflek berdiri dan mendekat untuk mendengarkan beberapa penjelasan.

Satu lagi yang membuat Wooyoung penasaran, setelah dokter itu pergi Pria bernama San dan si Biru menjauh beberapa meter dan berbicara dengan suara pelan sambil membuka kertas yang baru saja diberikan dokter.

Flashback OFF

Pagi ini mentari tidak terlalu terik, hembusan angin pagi menerpa pepohonan sekitar rumah dan menghasilkan oksigen segar untuk penghuni rumah.

"Ah.. ini segar sekali benar kan Dokter?" Mingi melebarkan tangannya yang masih disematkan jarum infus. Pria itu tidak terlihat terganggu dengan selang infus yang menggantung acak disampingnya.

"Bukankah kau selalu menikmati udara luar?" Yunho melipat tangannya bertanya mengintimidasi. Mingi menatap dokter muda itu, "Yeah, tetapi aku selalu berjaga, jadi aku tidak memiliki waktu menikmati udara segar seperti ini."

"Jadi kau merasa senang dengan tertembaknya dirimu, kau bisa menikmati udara segar di pagi hari?"

Mingi mengerutkan alisnya mendengar ucapan Yunho, dia menurunkan tangannya dan menarik tiang infusnya berjalan mendekat kearah Yunho, "Aku tidak segila itu. Ini sakit karena tertembak, tapi disatu sisi aku menikmatinya." Yunho diam mendengar kalimat sentimentil itu.

"Jangan tertembak lagi."

"Kau mengkhawatirkanku?" Mingi menarik bibirnya tersenyum lebar. Dia tidak bisa menahan rasa senangnya karena mengetahui fakta bahwa pria cantik didepannya ini mengkhawatirkan dirinya.

Yunho diam, sudah cukup dia merasa malu karena apa yang baru saja dia lakukan. Dia memilih menatap lurus ke depan karena melihat sesuatu yang asing. Dia memicingkan matanya menelisik diantara pohon - pohon yang tinggi.

Mingi menyadari bahwa orang disampingnya ini mengabaikannya, itu membuatnya mendengus kesal tapi setelah itu dia mengikuti arah mata Yunho yang menatap lurus ke depan.

Bulu kuduknya berdiri dan jantungnya berdetak dengan cepat. Dia memasang ekspresi serius tapi lebih mengarah kepada kewaspadaan. Mingi maju selangkah didepan Yunho, melindungi sosok yang dicintainya meskipun dirinya saat ini juga sedang sekarat.

"Apa yang kau lakukan?" Yunho protes, dia tidak ingin Mingi kembali merepotkan dirinya dengan luka - luka yang belum pulih total.

"Masuklah ke dalam dan panggil yang lain. Ternyata disini juga tidak aman." Dia berbicara tanpa menoleh ke belakang sambil menyembunyikan soaok Yunho dari beberapa orang yang baru muncul.

Yunho diam sebentar untuk berpikir sejenak, dia kebingungan. Dia ingin memanggil San, Hongjoong dan juga Jongho untuk menemui pria yang baru saja tiba dengan lusinan anak buahnya, tapi disatu sisi dia ketakutan Mingi akan tewas saat ini juga karena berusaha menghambat jalan-nya musuh.

"Bagaimana denganmu?"

Mingi berbalik, "Jangan khawatirkan aku. Aku masih hidup." Katanya melepas jarum infus dan mendorong tiang infus nya hingga terjatuh ke tanah.

Dokter muda itu dengan berat hati pergi masuk ke dalam rumah untuk memanggil San dan yang lain. Sesekali kepalanya ia balikan untuk memastikan keadaan Mingi akan baik - baik saja.

Mingi memang tidak membawa senjata apapun dibalik sakunya, itu dikarenakan dia masih mengenakan pakaian medis khusus untuk pasien, mengingat lukanya masih belum pulih. Dia berdiri sendirian diluar hanya ditemani dengan angin yang membuat pakaian tipis itu berterbangan.

Jangan bertanya kemana perginya para anak buah San. Sejak insiden penyerangan dari pusat, San kehilangan banyak anak buahnya dari kejadian itu. Mengumpulkan anak buah baru tidak semudah mengumpulkan koleksi figur yang bisa didapatkan di toko mainan dimana saja.

"Oh, kau masih hidup?"

"Yeah, seperti yang kau lihat." Mingi berdecih, dia siap mati. Beberapa anak buah dibelakang pria didepannya itu mulai menodongkan senjata kearahnya.

"Jangan gunakan pistolmu..." pria didepannya menurunkan salah satu pistol anak buahnya. "Habisi dia dengan tanganmu sendiri."

Mingi mengepalkan tangannya, dia memejamkan matanya, 'ini tugasmu. Apapun resikonya, ini tugasmu. Kau bisa menahannya.' Batinnya tidak berdoa kepada Tuhan, tetapi memotivasi dirinya.

"Berdoa kepada Tuhan? Kau mempercayainya?" Mingi membuka matanya saat suara angkuh itu menembus indra pendengarannya.

Sedetik sebelum Mingi bisa mengambil napas permulaan, dirinya sudah tersungkur kebelakang karena pukulan tiba - tiba yang menyerang tepat diwajahnya.

"Mingi!!!"

Itu suara Yunho yang berlari dari kejauhan, bagian belakang jubah putihnya terbang diterpa angin. Dia berlari kearah Mingi yang tergeletak setelah mendapatkan pukulan keras, dan itu melukai wajahnya yang tampan.

"Mingi! Bangun!" Yunho menguncang tubuh Mingi ditanah beberapa kali, dia khawatir, sangat khawatir karena pria itu tidak kunjung membuka matanya. Apa Mingi benar - benar tewas?

Yunho menatap pria yang meninju Mingi sambil berdesis, "kau keparat sialan." Kutuknya berdiri dan mendekat, tidak lama kemudian terdengar suara antara kulit dengan kulit yang keras.

Yunho menampar anak buah Seojun keras dan cepat.

"Kau brengsek, sialan, keparat!" Katanya penuh penekanan sambil menunjuk - nunjuk emosi dan kembali ke tubuh Mingi yang mulai menunjukan pergerakan.

"Uh.." Yunho bernapas lega saat Mingi bergerak dan matanya terbuka terkejut melihat wajah Yunho. "Hei! Apa yang kau lakukan disini?!" Dia bangun dan melindungi Yunho sampai beberapa detik kemudian San dan Hongjoong datang.

"Yunho, bawa dia masuk." Kata Hongjoong, setelah itu Yunho memaksa Mingi untuk ikut dengannya masuk kedalam karena pria orange ini keras kepala ingin menghabisi terlebih dahulu orang yang barusan memukul wajahnya.

"Kau keras kepala! Ayo masuk!" Yunho berteriak marah dan membuat nyali Mingi menciut.
"Tapi setidaknya berikan aku kesempatan untuk menendang kejantanannya." Dia bernegosiasi membuat kerutan di dahi Yunho terbentuk, "Aku sudah menampar wajahnya, itu cukup untuknya." Katanya.

"Tidak itu belum cukup." Mingi masih bersikeras.

"Sialan. Jika kalian ingin menamparnya lagi cepat lakukan." San memotong argumen diantara Yunho dan Mingi.

"Tidak, kita akan kembali." Yunho menarik Mingi masuk ke dalam rumah meskipun pria itu meronta - ronta bersikeras ingin menghabisi pria tadi. Tubuhnya memang terjatuh sekali pukul, tapi jangan menganggap remeh tubuh yang belum pulih itu. Jika saja Mingi membawa pistol dibalik bajunya, dia bisa saja melubangi kepala pria itu tanpa diskusi. Tapi keadaannya berbeda dan Mingi harus mengalah demi tidak menimbulkan keributan dengan Yunho.

Ketika didalam rumah, Seonghwa muncul dengan kotak medis milik Yunho, tahu akan ada yang terluka. "Kau baik - baik saja, Mingi-ssi?" Dia bertanya sambil membuka kotak itu.

"Yeah, wajahku sedikit sakit." Pria berambut orange itu meringis sambil memegang wajahnya yang terluka.

Yunho mengambil kapas olesan alkohol dari tangan Seonghwa dan menyeka darah yang ada diwajah Mingi, "Kau bilang kau bisa menerima pukulan." Dia mendengus kesal.

"Dia memukulku seperti Tyson*." Mingi menatap Yunho dengan tatapan merajuk, meringis keras saat Yunho menekan lukanya. "Itu sakit."

Yunho memutar bola matanya malas, "Kau yang membuat lukanya menjadi semakin parah! Kau kira kau orang imortal yang tahan dengan segala serangan? Mengapa gegabah menghadapi orang dengan lusinan senjata seperti itu." Dia membalut luka Mingi sambil bergumam kalimat kesalnya.

"Sepertinya kau memiliki banyak tempat persembunyian, Choi San." Pria didepannya tersenyum remeh. Sambil menjentikan jarinya dia maju selangkah, menggertak San dan yang lainnya.

"Apa yang kau inginkan disini?" San bertanya dengan tenang, meskipun anak buah Seojun sudah membidik dirinya. Hongjoong sudah siap dengan pistol dibalik ikat pinggangnya, dia belum mengeluarkan senjatanya, tapi berjaga - jaga.

"Aku belum merasa puas jika kau belum mati, adikku." Seojun tertawa renyah dan tersenyum mematikan.

"Bagaimana denganmu? Apakah neraka terasa buruk bagimu?" San bertanya dengan tenang, kedua tangannya ia letakan dibalik tubuhnya, mengamati Seojun.

"Tuhan belum ingin melihatku mati." Sambung San menambahkan, dia memberikan Seojun sebuah senyuman singkat.

"Lalu kau akan terus berdiri disitu seperti orang bodoh?" Seojun tertawa kecil, mengangkat senjata yang ada ditangannya. Pria itu mencoba menggertak San, agar dia ketakutan atau setidaknya San mundur selangkah itu sudah membuatnya merasa cukup senang.

Tapi ekspetasi tidak selalu bersanding baik dengan realita. San hanya diam ditempat dengan masih memasang wajah tenangnya. Dia tidak terlihat takut sama sekali. "Yeah, aku akan tetap berdiri disini seperti orang bodoh." Jawab San. Mafioso itu memang menjawab pertanyaan Seojun, tapi tidak membuat yang bertanya merasa senang.

"Tentunya itu akan terjadi setelah aku membunuhmu." Sambung San cepat.

"Kau ingin membunuhku?"

"Jika kau menginginkannya. Aku memiliki pistol di saku kanan dan pisau lipat di saku kiri. Kau mungkin ingin memilih bagaimana cara kematian menjemputmu. Pikirkan baik - baik, aku tidak akan memaksamu." San menatap Seojun dingin, irisnya berapi - api dan menarik salah satu sudut bibirnya saat melihat Seojun menggeram kesal.

"Jika kau bertanya yang mana yang paling baik, dengan pisau adalah yang terbaik."

Seojun tertawa lepas sampai dia membungkuk karena perutnya terasa sakit. "Lihat si gila ini. Dia baru saja mengancamku." Katanya di sela tawanya yang keras. Pria itu berdiri tegap dan menatap San seolah dia ketakutan, "Aku sangat takut dengan ancamanmu, Choi bodoh." Dia menggelengkan kepalanya.

Apa yang San lakukan hanyalam ancaman kecil dan dia tidak akan takut dengan ancaman ecek - ecek itu. Seojun tidak pernah perduli apakah dirinya akan benar - benar mati hari ini ditangan San atau tidak. Sama halnya dengan San yang tidak perduli dengan kematian. Mereka berdua akan selalu selamat pada waktunya, dan mati pada waktunya.

"Omong - omong, dimana jalang kecil itu?" Seojun mengangkat alisnya menatap dingin Hongjoong dan Jongho.

"Dia tidak memiliki urusan apapun denganmu." San membalas.

"Yeah, kau benar. Dia pasti sibuk membuka pahanya pada anak buahmu kan?"

"Jaga ucapanmu, Choi Seojun." San mengepalkan tangannya. Dia tidak suka salah satu dari bagiannya di cela. Jika seseorang ingin mencela atau menyakiti seseorang dipihak San, lebih baik menyakiti dirinya daripada orang lain yang tidak memiliki urusan apapun.

"Cukup dengan basa - basinya. Bagaimana menurutmu anak panti? Siapa yang akan mati lebih dulu kali ini?" Seojun menatap Jongho meremehkan.

"Mulutmu benar - benar seperti Sampah, Seojun-ah." Jongho membalasnya sambil mengisi ulang pelurunya. Dia memicingkan matanya menatap Seojun sengit.

Tidak terima dengan gelar 'anak panti' yang Seojun berikan. Jongho menatap Hongjoong yang masih mengamati situasi, "Hyung, bisakah aku menembak mati binatang itu lebih dulu?" Kedua matanya berapi - api dan tangannya bergerak gusar ingin segera melepaskan satu peluru.

"Jongho, tahan emosimu. Kita harus bernegosiasi sebisa mungkin agar tidak ada lagi yang terluka." Hongjoong menggengam pistol ditangan Jongho, memperingati pria itu dengan hati - hati agar menggunakan akal daripada emosi.

"Mati kau, Choi San." Itu adalah kalimat ejekan berikutnya yang Seojun keluarkan dari mulut sampahnya. "Kau akan dibakar hidup - hidup setelah semua ini. Ini adalah sebuah keuntungan untukku karena aku tidak perlu repot - repot mengotori tanganku." Seojun menatap jemarinya yang besar, dan tertawa keras.

"Tunggu apa lagi? Cepat serahkan dirimu atau akan ada penyerangan berikutnya. Aku hanya memperingatkanmu sebagai 'kakak' yang baik." Dia tersenyum dan berbalik pergi diikuti oleh lusinan anak buahnya.

"Semoga beruntung." Teriaknya sebelum dia benar - benar pergi dengan mobil sedan hitamnya.


Mata Wooyoung terus menatap ke depan, tepatnya pada San yang tak mengatakan sepatah kata semenjak kunjungan singkat Seojun. Ya, bertepatan setelah kepergian Seojun, San memutuskan untuk menetap diluar rumah sementara yang lain masuk karena tanpa peringatan, sekarang sudah hampir menjelang malam dan sepertinya hujan akan kembali mengguyur bumi lagi untuk yang ke sekian kalinya.

Wooyoung berdiri dibalik jendela kaca besar dengan gulungan selimut ditangannya. Tadinya, dia berniat untuk membawakan Hangyum selimut tebal karena sepertinya suhu udara akan berubah menjadi dingin karena hujan akan turun. Tapi langkahnya dihentikan oleh sosok San yang kembali menghukum dirinya.

Wooyoung berasumsi itu adalah efek dari kejadian di luar satu jam yang lalu. Ia masih mengingat bagaimana San mengepalkan tangannya, menahan emosi dengan apa yang Seojun katakan di depan wajahnya. Untung saja San bisa menahan amarahnya untuk tidak melayangkan bogem mentah kepada kakak kurang ajarnya itu.

Namun semenjak saat itu pula, San benar - benar tidak kunjung masuk ke dalam rumah. Ini adalah kunjungan Wooyoung yang ke sekian kalinya untuk mengintip apakah baron mafia itu sudah selesai dengan urusan dirinya atau belum.

Dengan sisa keberanian dalam dirinya, Wooyoung menyusul pria itu dengan berbekal payung hitam ditangannya. Dia berjalan dan memayungi sosok yang lebih tinggi darinya itu, Woo harus bersusah payah mengangkat tangannya agar payung hitam itu juga melindungi tubuh kuyup San dari hujan.

"S-san... a-ayo kembali..." Wooyoung berbicara diantara suara bising hujan, tapi selalu tidak mendapat respon. Wajah pria tinggi itu masih ditekuk, tanpa satu kata keluar dari mulutnya, dan terus menatap lurus ke depan. Wooyoung sebenarnya tidak mengerti kenapa San seperti ini.

Wooyoung menundukan kepalanya, dia ragu untuk mencairkan suasana lagi.

"Tidak seharusnya aku setuju untuk pergi dari panti dan mengikuti langkah ayahku." Wooyoung mengangkat wajahnya saat mendengar kalimat itu. Dia bisa melihat wajah San semakin gelap dan ekspresinya tetap dingin.

"Aku akan mengembalikan semuanya seperti semula. Aku akan mengantarkamu ke makam ayahmu dan ibumu, setelah itu—"

"Kau akan membuangku?" Wooyoung memotong kalimat San cepat, membuat pria tinggi itu menoleh dan menatap anak itu tidak percaya. "Apa yang kau—" , "Kau akan membuangku, aku benar kan?" Lagi, Wooyoung tidak memberikan kesempatan untuk San menyelesaikan kalimatnya.

"Dengar, aku melakukan ini karena aku pedu—" San diam, dia tidak melanjutkan kalimatnya. Dia mengusap wajahnya yang basah dengan air hujan tadi dan menghela napas kasar.

Wooyoung menggigit bibir bawahnya, tangannya yang lain ia gunakan untuk memilin ujung kemeja pastel yang ia gunakan. Dia menatap San dengan mata yang berkaca - kaca, "Aku sudah dibuang oleh keluargaku, sekarang kau ingin me—"

Wooyoung melebarkan matanya saat San mendorong jauh payung yang menutupi tubuh mereka dan pria itu menarik tengkuk Wooyoung dengan gerakan tiba - tiba.

Air mata Wooyoung menetes bertepatan ketika dua benda kenyal itu menyentuh bibirnya. San kembali menciumnya. Tapi kali ini bukan sekedar kecupan biasa, melainkan ada beberapa lumatan kecil yang San berikan pada sesi ciuman kali ini.

Hujan deras masih mengguyur bumi dan ikut membasahi Wooyoung. Anak lelaki itu memejamkan matanya saat San menarik tubuhnya lebih dekat, memperdalam ciuman dan tanpa sadar ia telah jatuh kedalam ciuman itu. Wooyoung mulai mengikuti arah permainan San.

Gerakan tangan yang mengalungi leher San termasuk ke dalam gerakan reflek. Begitu juga dengan San yang memeluk pinggang Wooyoung gentle.

Namun, ciuman terpaksa harus dihentikan karena Wooyoung mulai kehabisan nafas. Ia menepuk dada bidang berbalut tuxedo hitam milik San, mengisyaratkan agar San segera memberinya ruang untuk bernafas.

San yang sepertinya sangat menikmati momen itu, dengan berat hati melepaskan ciumannya. Mafioso itu menatap Wooyoung dengan ekspresi yang berbeda dari sebelumnya.

Tidak ada obrolan apapun diantara keduanya karena Wooyoung sibuk mengembalikan pasokan udara ke paru - parunya. Tapi jelas dia sadar, San menunggu dirinya untuk juga menatap dirinya.

Wooyoung akhirnya menatap San dengan tatapan meminta kejelasan dengan apa yang baru saja San lakukan. Tapi sepertinya San tidak terlalu memperdulikan maksud dari ekspresi wajah Anak lelaki di depannya ini. Dia hanya tersenyum dan kembali mengecup singkat bibir yang sudah merah itu lalu memeluk sosok yang sudah sama - sama kuyup itu.

Wooyoung tidak mengerti maksud San melakukan ini, tapi dia menikmati pelukan itu. Meskipun udara luar dingin dan hujan masih setia membasahi keduanya, Wooyoung membalas pelukan itu dengan melingkarkan tangannya ke pinggang San.

Memeluk sosok mafia itu, tidak seburuk yang Wooyoung pikirkan.


"Mereka baik - baik saja?"

Yeosang melirik Jongho sebentar. "Mereka sudah seperti itu selama kurang lebih setengah jam." Sambungnya.

Jongho menarik kedua sudut bibirnya, "Mereka baik - baik saja." Dia mengusak surai milik istrinya lembut.

Jika kalian menebak apa yang mereka maksud adalah melihat adegan ciuman San dan Wooyoung, kalian tidak salah. Mereka memang sejak tadi mengamati kedua manusia yang sedari tadi tidak kunjung masuk ke dalam rumah itu.

Yeosang mengangguk. Detik selanjutnya mereka terkejut dan berlari sekencang yang mereka bisa menuju pintu ruang dapur dan makan. San dan Wooyoung sudah kembali dari kisah hujan nya.

Pria cantik itu belum merasa puas dengan apa yang ia lihat tadi, jadi dia mencembulkan kepalanya dari dinding pintu dan ingin mencari tahu kelanjutan dari kisah dua orang di depan sana.

"Apa yang kau lakukan, ayo kembali ke kamar.." Jongho menarik - narik piyama Yeosang, membuat pemuda cantik yang sedang mengintip itu berdecak, "Ck. Hentikan, aku ingin tahu apa yang mereka lakukan." Dia berbicar tanpa menoleh ke arah suaminya yang berdiri dibalik tubuhnya.

"Yeosang, ini sudah malam. San juga akan marah jika kita mengintip dirinya." Jongho bernegosiasi dengan istrinya, masih menarik - narik piyama Yeosang lembut.

Sebenarnya Yeosang masih ingin mengetahui apa yang San dan Wooyoung bicarakan, tapi akhirnya dia mengikuti perintah Suaminya itu.

Begitu mereka keluar dari ruang makan, Jongho dan Yeosang berhenti karena sebuah panggilan.

"Yeosang, Jongho." Itu adalah suara San. Bos mafia itu berjalan ke koridor rumah dengan setelan basahnya di ekori Wooyoung. Yeosang membeku ketika namanya disebut, "Sial.." umpatnya kecil.

Tapi tentu saja bukan Yeosang jika dia tidak pandai menutupi sesuatu, pria cantik itu berbalik dan terkekeh cangung, "Oh, San. Hai Wooyoung, Kau ... belum tidur?" Jarinya menunjuk kearah Wooyoung kaku. Dia sedikit kesal karena Jongho bisa bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa - apa.

Wooyoung tersenyum kecil, dan menggeleng. Surai basahnya bergerak menutupi matanya, dan itu mengganggu mata San, jadi pria itu menggeser rambut hitam basah itu, berinisiatif agar bocah lelaki itu bisa melihat dengan benar.

"Kembali ke kamarmu." San memerintah ke arah Yeosang dan Wooyoung. "Yeosang, aku titik Wooyoung." Lalu matanya menatap Jongho, "Kita perlu bicara."

Jongho memiringkan kepalanya, "Hongjoong hyung?" San mengangguk, "Panggil dia untuk ikut serta." Dia berjalan melewati Adiknya menuju kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya.

"Ada apa?" Hongjoong tiba dengan piyama hitamnya, dia terlihat sangat berat hati meninggalkan kasurnya. Bisa dilihat dari surai birunya yang kaku menandakan dia benar - benar menikmati tidurnya.

"Bisakah aku pergi ke Jepang setelah aku mengantar anak itu ke makam orang tuanya?"

Hongjoong membeku, dia menatap San datar, "Apa maksudmu?" Nada bicaranya sudah kembali seperti semula, ekspresi wajahnya berubah serius.

San tidak menjawab apa yang Hongjoong pertanyakan, pria itu bangkit dari sofa merah tua nya dan menghampiri meja kerjanya. Meraih sebungkus sigaret dan pemantik api berukuran dari balik nakas meja kerjanya.

Hongjoong dan Jongho bisa dengan sabar menunggu bos mafia itu memantik rokok diantara bibirnya. San bukanlah seorang perokok, namun bukan berarti dia tidak merokok. Dia akan merokok disaat dia menginginkannya. Semua orang juga seperti itu 'kan?

"Aku akan menyerahkan diriku setelah ini." Kalimat itu sukses membuat Hongjoong kembali bungkam sebelum dia bisa berhasil melayangkan pertanyaan.

Ada keheningan yang terjadi beberapa saat.

"Tidak. Kau tidak akan pernah bisa melakukan itu." Hongjoong akhirnya menanggapi kalimat putus asa itu. Dia menggelengkan kepalanya sambil tertawa tidak percaya, "Sejak kapan kau menjadi seorang pengecut, Choi San?"

Jongho yang sedari tadi diam mengamati suasana tegang ini mulai merasa gusar, dia tidak ingin hanya karena kalimat Seojun yang provokator siang tadi mempengaruhi hubungan keluarga kecil ini.

"Hyung..." pria bersurai sedikit merah itu menahan lengan Hongjoong saat pria yang paling tua melangkah maju ingin meraih kerah kemeja San.

"Kau tidak bisa melakukan ini. Itu sama saja kau membuang kami semua." Napas Hongjoong memburu.

San membuang wajahnya tidak ingin menatap Hongjoong, menatap pria itu sama saja membuat dirinya semakin terbebani dengan rasa bersalah.

"Kau murni di jebak!"

San diam. Dia tidak ingin menyulut amarah Hongjoong, sungguh. Dia hanya ingin hidup damai, dan ini murni semata - mata karena ia tidak ingin orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga-nya sendiri harus mati lagi, dengan kata lain;dia mengorbankan dirinya.

"Pikirkan kalimatmu lagi. Aku jelas tidak setuju dengan apa yang kau katakan." Hongjoong berjalan mendekat kearah San, berhenti tepat didepan bos nya.

Tangannya terulur untuk meraih sigaret diantara bibir San, menyudutkan ujungnya yang menyala dan membuangnya ke tempat sampah tepat disamping meja kerja San, "Kau juga bisa terbakar karena rokok." Lalu pergi dari ruangan itu.

Jongho yang tidak ingin membuat situasi semakin buruk juga pamit untuk kembali ke kamarnya.

"Beristirahatlah, hyung..." katanya sebelum benar - benar keluar dan menutup pintu.





tbc

Halo,

Kita bertemu lagi. Mungkin aku selalu membuat kalian menunggu kelanjutan cerita dari buku ini. Oke, maafkan aku karena membuat kalian menunggu.

Aku baru bisa menyempatkan diri melanjutkan ketikan cerita ini. Jadi, aku harap kalian tidak bosan membaca cerita ini.

Terima kasih kepada para pembaca yang menyempatkan diri membaca cerita ini. Terutama kepada para pembaca yang memberikan dukungan (vote) dan komentar.

Chapter kali ini cukup panjang. Itu adalah sebuah kesengajaan. Aku pikir ini akan membayar kesabaran kalian menunggu.

Semoga kalian selalu diberkahi, dan sehat selalu.

Sampai bertemu lagi.

M.

Continue Reading

You'll Also Like

53.7K 4.9K 45
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
90.2K 17.3K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
436K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
433K 34.6K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"