Dear Anonymous

By inibulan

91.4K 17.8K 10.3K

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melu... More

dear anonymous
01. Dialog hujan
02. Tentang sang Langit
03. Ada yang berakhir
04. Apa yang salah dari mengagumi diam-diam?
05. I have crush on you
06. Apa pernah ia dianggap ada?
07. Cheesecake
08. Ucapan selamat pagi
09. Bolehkah jika ia semakin jatuh cinta?
10. Hujan dan sosok entah siapa
11. Kentang McD
12. Malam ini ia tidak sendiri
13. Know your place
14. Jealous
15. Alasan untuk menyukai seseorang
16. Album foto dan kilas balik
17. Gosip spektakuler
18. Boneka & Piala pertamanya
19. Melempar Umpan
20. Keluar kandang buaya masuk kandang singa
21. Beauty Privilege
22. Hujan dan segelas kopi
23. Keajaiban Dunia
24. Sebenarnya, salahnya di mana?
25. Aku senang jika nyatanya kamu peduli
26. Angkasa, ayo pacaran!
27. Pacar?
28. Pesta ulang tahun
29. Goodnight, N
30. Hari ini aku ulang tahun
31. Cepat sembuh, Rainne
32. Usapan di kepala
33. Alasan gadis itu tersenyum
34. Promise
35. Feeling
36. Keajaiban Dunia 2
37. Bagaimanapun dia tetap cantik
38. Sebenarnya, sejak kapan?
39. Fanya harus apa?
40. Kamu suka Fanya?
41. Masih sulit dipercaya
42. Mohon ikhlaskan saja
43. Kamu jelek
44. Hari-hari penuh siksaan
45. Under the rain
46. Semuanya akan baik-baik saja
47. Harus dibuat berantakan
48. Lama-lama muak juga
49. Tolong jaga dia
50. Berbalik
51. Dia tahu jawabannya
52. Beban dan tidak berguna
54. Tidakah cukup?
55. Ia hanya iri
56. Pembohong
57. Tidak ada lagi yang tersisa
58. Hancur
59. Kembali, atau pergi dan mengakhiri?
60. Ia harus memulai hidup baru
61. Red Rain
Epilog

53. Dia benci kehilangan

1.1K 285 256
By inibulan

hai, ini bulan. mau ngucapin selamat pagi dulu buat kalian yang tetep setia baca cerita ini dan gaperna absen buat kasi komen sama vote, kalian orang-orang baik. bahagaia terus ya💞💞

🌧

Gaby tahu, Rainne sedang tidak baik-baik saja. Sahabatnya itu datang ke rumahnya malam-malam begini dengan keadaan mata sembab dan langsung bilang akan menginap selama berapa hari. Melihat dari keadaan Rainne saja, Gaby tahu ada yang tidak beres di rumah sahabatnya, tapi Rainne hanya mengatakan jika ia bertengkar kecil dengan mamanya dan ia tidak apa-apa.

Begitulah Rainne. Gadis itu memang selalu begitu, menyembunyikan banyak hal dan tidak terlalu terbuka padanya. Alasannya karena ia tidak ingin menambahkan beban pikiran untuk Gaby, padahal Gaby tidak pernah merasa terbebani dengan Rainne. Akan tetapi, Gaby sendiri tidak bisa mendesak Rainne untuk terbuka padanya. Jika gadis itu memang tidak mau menceritakan semua masalahnya, Gaby tidak apa-apa. Ia akan tetap mambantu Rainne sebisanya, dan terus berada di sisi gadis itu.

Kedua gadis itu berbaring di atas tempat tidur dengan posisi menatap pada langit-lagit kamar. Gaby maupun Rainne terus memandangi pergerakan bintang-bintang di langit-langit yang bersumber dari lampu proyektor. Keduanya sedari tadi sibuk dengan pikiran masing-masing. Rainne yang memikirkan semua masalahnya, dan Gaby yang terus memikirkan Rainne.

"Jangan terlalu dipikirin, senin kita udah mulai ujian sekolah," kata Gaby pelan.

Rainne mendesah pelan. Lelah, terlalu banyak hal yang berdesakan di benak Rainne. Matanya sudah terlalu sembab karena terus-terusan menangis.

"Lo kalau mau bilang sesuatu sama gue bilang aja kali, enggak usah lo tahan-tahan."

"Gue mau bilang makasih karena lo masih ada di sisi gue sekarang," kata Rainne tulus.

"Hadeh lebay lo ah pake makasih-makasih segala," celetuk Gaby sambil memukul Rainne dengan boneka. Mencoba mencairkan suasana dan tidak Rainne mau terus-terusan mengurung diri dalam kabut kesedihannya.

Rainne malah tertawa kecil karena Gaby yang tidak bisa diajak serius. Namun, ia benar-benar lega karena saat ini Gaby ada dan menjadi temannya.

"Serius, Gab. Kalau lo udah ngerasa cape gue repotin mulu karena gue yang selalu bermasalah, lo bilang ya."

"Gue lebih suka temenan sama orang yang bermasalah, lo tenang aja. Gue enggak akan pernah cape kok sama lo," katanya santai dan lagi-lagi membuat Rainne mendengus geli.

Gadis itu kembali menerawang pada langit-langit kamar Gaby, senyum di wajahnya dengan cepat pergi. Sesak di dalam dadanya dan rasa sakit lainnya belum juga pergi, pikirannya masih kusut dan dipenuhi berbagai macam hal.

Akan tetapi, kehadiran Gaby di sampingnya kali ini sedikit membuat Rainne sadar. Jika Semesta masih menyisakan orang-orang baik untuknya. Harusnya ia syukuri itu dan berhenti bertingkah seolah ia adalah orang paling menyedihkan di bumi ini.

"Naomi," panggil Gaby.

"Kenapa?"

"Lo sama Angkasa sekarang gimana?"

Rainne terdiam sesaat, tidak langsung menjawab. Remasan di hatinya terasa semakin kuat dan menyakitkan kala teringat semua yang Angkasa ucapkan. Rainne masih tidak menyangka jika menyukai Angkasa akan berakhir semenyakitkan ini.

"Udahan, Gab. Gue jelasin apa pun dia enggak percaya, tiap ketemu masalahnya malah makin gede. Enggak ada titik temunya."

"Lo nyerah?"

"Gue ... udah cape, Gab."

Ia sudah terlalu dibuat hancur oleh Angkasa. Cinta pertamanya itu benar-benar telah menghancurkan perasaanya. Kali ini, Angkasa menjatuhkannya terlalu kuat hingga ia hancur berantakan. Rainne bahkan tidak tahu luka yang ia terima dari Angkasa akan sembuh kapan. Atau mungkin memang tidak akan bisa disembuhkan.

"Lo benci Angkasa?"

Rainne menggeleng. Meskipun lelaki itu dengan sangat hebatnya menghancurkan Rainne, gadis itu merasa tidak bisa membencinya.

"Rasanya emang nyakitin banget, tapi gue enggak benci dia kok. Semisal dia minta maaf sama gue juga bakal gue maafin, tapi ... cuma sebatas itu. Karena hal lainnya, mungkin udah enggak bisa diperbaiki lagi."

Mendengar kalimat itu, Gaby mengertakan giginya menahan marah. Sungguh, ia membenci Angkasa. Rainne sama sekali tidak pantas untuk seorang bajingan seperti itu. Lihat saja, lelaki itu, dan Fanya akan mendapatkan karmanya sendiri suatu hari nanti.

🌧

Keheningan itu melingkupi ruangan tempat Riga di rawat. Dhirendra duduk di sofa sambil mengamati eskpresi Riga yang terlihat datar-datar saja di tempat tidurnya. Namun, meskipun hanya diam begitu, Dhirendra tahu jika Riga tengah memikirkan sesuatu.

"Angkasa enggak pernah cerita dari sudut pandang dia. Lo tahu sendiri dia susah diajak ngomong," keluh Dhirendra dan itu tentu saja diabaikan oleh Riga.

Sebenarnya, ia agak ragu menceritakan hal-hal mengenai Rainne kepada Riga, takutnya itu semakin menambah beban pikirannya padahal kondisinya semakin hari semakin buruk saja. Namun, Riga terus memaksanya menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang Rainne dan apa saja yang terjadi pada gadis itu tanpa terkecuali. Dhirendra tidak bisa menolak, meskipun sebenarnya ia ingin memilih diam saja.

"Lo mau gimana sekarang?"

"Gue bahkan udah enggak punya tenaga buat hajar Angkasa, Ndra."

Dhirendra mendesah dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia hanya menceritakan apa yang ia ketahui, tapi sebenernya hal itu juga ia tidak tahu pasti. Siapa korbannya. Siapa yang benar dan siapa yang salah dalam hubungan Rainne dan Angkasa. Namun, Riga tetap konsisten berada di pihak Rainne. Semisalpun memang gadis itu yang salah dan Angkasa korbannya. Kemarahannya pada Angkasa karena sahabatnya itu telah melukai seseorang yang selama ini ia jaga, tidak peduli alasan Angkasa berbuat begitu karena apa, Dhirendra tahu dan mengerti itu.

Dhirendra melirik jam dinding dan segera bangkit berdiri. Ia harus pergi sekarang.

"Gue balik dulu, Ga. Bae-bae lu," ujar Dhirendra.

"Sana lu balik," sahut Riga malas.

Keluar dari kamar rawat Riga, Dhirendra tersentak kaget karena melihat Rainne yang kebetulan lewat. Kekagetan Dhirendra itu membuat Rainne menoleh heran padanya.

"Ngapain lo di sini? Mau jenguk Riga?" tanya Dhirendra kepo.

"Dih? Orang gue cuma lewat," katanya jujur. Karena memang faktanya ia baru saja melihat kondisi papanya. Lagi pula, ia tidak tahu Riga masih di rumah sakit, juga ... ia tidak seakrab itu dengan Riga sampai menjenguknya segala.

"Kok lu gitu sih sama temen gue yang ini," keluh Dhirendra kecewa. Membuat Rainne heran atas dasar apa kekecewaan lelaki itu.

"Kenapa sih?" tanyanya bingung.

Dhirendra lantas menyungingkan senyum setan, ia membuk pintu kamar rawat Riga dan menarik Rainne.

"Kasian temen gue umurnya enggak lama lagi, jengukin kek lo sekali-kali," katanya sambil mendorong Rainne masuk.

"Apaan sih lo, Ndra!"

"Jengukin bentar aja, elah. Dah sana lu, bye Naomi. Jadi anak baik ya."

Dhirendra langsung menutup pintu kamar rawat Riga dan kabur begitu saja. Rainne dibuat kesal pada tingkah Dhirendra yang mendadak aneh seperti itu.

Saat melihat ke ranjang pasein, Riga telah menatapnya dengan alis terangkat satu. Mungkin cowok itu juga sama herannya dengan kehadiran Rainne di sini.

"Serius, lo lagi jenguk gue nih ceritanya?" tanya Riga tidak percaya.

Sudah kepalang masuk ke sini, Rainne melangkah menghampiri Riga dan beridir di samping ranjang cowok itu.

"Temen lo tuh, maen dorong gue aja masuk ke sini," keluh Rainne sebal. "Lo sakit apa sih emangnya? Kok masih di rumah sakit? Parah banget emang, ya?" tanya gadis itu penasaran lalu menarik kursi untuk duduk di samping tempat tidur Riga.

"Enggak sih, gue cuma anemia," katanya santai.

"Oh," gumamnya pelan. Jika dilihat-lihat, sepertinya cowok ini jauh lebih pucat dan lemas. Tidak sebugar waktu itu di taman. Agak aneh juga sebenarnya melihat sososk Riga Mahatir seperti ini, rasanya agak sulit dipercaya Riga bisa terlihat tidak berdaya seperti ini.

"Gimana keadaan lo?" tanya Riga.

"Gue?" ulang Rainne memastikan.

"Iya ... lo."

"Gue baik-baik aja kok," ujar Rainne sambil senyum kecil.

"Bohong."

"Beneran!"

"Keliatan jelas kali kalau lo enggak lagi baik-baik aja."

"Gitu ya?" tanyanya dengan senyum ganjil.

Riga tahu, bahkan sangat tahu. Rainne bukan tipikal orang yang akan menceritakan semua masalah dan isi hatinya. Gadis itu selalu membentengi dirinya sendiri dan mengatakan kenyataan palsu pada semua orang jika ia baik-baik saja.

"Lo udah cape banget nangis, ya?" tanya Riga pelan. Melihat jelas mata gadis itu yang terlihat lelah sekali.

"Keliatan banget ya .... Entah udah berapa kali gue nangis sampe mata gue bengkak gini. Emang dasanya cengeng aja sih gue, segala di tangisin," katanya dengan santai.

"Selama dengan nangis bikin perasaan lo lebih baik, enggak apa-apa mau lo nangis seratus kali juga. Lagian lo enggak usah selalu maksain senyum kalau emang lo lagi enggak baik-baik aja."

Entah ini hanya perasaannya saja, tapi Rainne mendadak merasa tidak asing dengan cara cowok ini berbicara. Seperti seseorang yang selama ini selalu ada untuknya. Seseorang yang kini justru menghilang entah ke mana.

"Enggak apa-apa gitu kalau gue nangis?" tanya Rainne pelan. "Soalnya ... ada yang pernah bilang kalau dia muak liat gue nangis terus. Jadi, gue pikir orang-orang juga mungkin bakal muak kalau liat gue nangis terus."

"Serius ada yang ngomong kayak gitu? Wah, harus gue hajar nih."

Rainne malah mendengus geli. "Sok berani lo, dengan keadaan lo kayak gini sekali dorong juga lo K.O," guraunya.

"Nanti kalau gue sembuh gue hajar orang yang udah ngomong kayak gitu sama lo," janji Riga.

"Dih, ngapain coba lo repot-repot kayak gitu buat gue."

"Kasian aja gue sama lo, masa enggak ada yang belain."

Mendengar itu, wajah Rainne terlihat heran. Ia menatap Riga dengan eskpresi ganjil.

"Kenapa lo mau belain gue?"

"Soalnya ... lo temen gue juga. Atau lo mau lebih dari temen sama gue? Ayo aja sih. Biar alasan gue hajar orang itu lebih jelas."

"Gila lo ya," sahut Rainne dengan ekspresi ngeri.

Akan tetapi, Rainne tidak bisa menyembunyikan senyum gelinya. Agak aneh dan tidak bisa dipercaya juga jika ia dianggap teman oleh seorang Riga Mahatir. Namun, rasanya ia senang karena memiliki teman lain yang berada di pihaknya. Setidaknya, ia tidak benar-benar sendiri. Masih ada Gaby di pihaknya, dan mungkin teman barunya juga, Riga.

"Tapi serius, lo sama Angkasa sekarang gimana?"

"Udahan, mungkin. Enggak tahu sih, soalnya ... dari awal juga gue sama dia enggak pernah pacaran."

"Lo sedihnya karena putus sama Angkasa apa sedih karena dia enggak percaya sama lo?"

"Yang ke dua. Sebenernya ... gue ngerasa ini emang salah gue sendiri. Dari awal, emang guenya yang terlalu ngejar-ngejar dia, maksa dia jadi cowok gue. Terus pas sekarang dia kayak gitu, awalnya gue ngerasa jadi korban, padahal emang gue yang nyakitin diri sendiri dengan bikin kenyataan palsu kalau cowok itu punya perasaan buat gue."

"Enggak. Mau gimana pun, Angkasa tetep salah di sini. Salah karena dia enggak percaya sama lo."

"Susah, Ga. Apa pun yang gue bilang, mau jelasin apa pun, dia cuma bakal nganggep itu alesan pembelaan. Dia enggak bakal percaya apa pun yang gue bilang dan gue juga udah cape buat jelasin itu. Kayak ... enggak guna. Dia malah makin marah sama gue."

Aura di ruangan ini mendadak tidak enak. Membahas Angkasa membuat ekspresi wajah Rainne berubah sedih. Luka-luka yang gadis itu tutupi kini terliht lagi di permukaan. Riga tidak tahu apa yang sudah Angkasa lakukan hingga membuat Rainne seperti ini, tapi ia yakin jika cowok itu telah menyakiti Rainne terlalu banyak.

Melihat Rainne yang menundukan wajahnya seperti itu, Riga menatapinya dengan sendu. Tangannya lalu terangkat dan menyentuh kepala Rainne, mengusapnya pelan. Gadis itu sempat terkesiap karena tindakannya yang tiba-tiba seperti itu.

"Jangan nyerah, ya. Karena kebahagian udah nunggu lo di akhir dari semua ini," katanya menenangkan.

Rainne dibuat terpaku untuk sesaat. Ini benar-benar perasaan yang sangat tidak asing untuknya. Gadis itu lalu mengangkat wajahnya dan menatap Riga dengan sorot mata nanar.

"Lo Messier, 'kan?" tanyanya pelan serupa gumaman.

Alis Riga terangkat satu saat mendengar pertanyaan Rainne itu.

"Hah? Apa tuh? Sejenis nama orang ganteng?"

Rainne mendengus, merasa salah telah bertanya seperti itu. Mungkin karena terlalu merindukan sosok itu, Rainne sampai merasa jika Riga adalah sosok itu. Padahal, sepertinya memang tidak mungkin jika itu adalah Riga.

"Lupain."

"Udah terlanjur pengen tahu, gimana dong?"

Sungguh, ekspresi Riga saat ini benar-benar terlihat menyebalkan. Ternyata meskipun sedang sakit dan terlihat tidak berdaya, cowok ini tetap bisa bersikap menyebalkan.

"Itu orang, gue juga enggak tahu siapa. Tapi selama ini dia selalu ada buat gue sih, meskipun kayak temen virtual. Cuma ... dia udah lama ngilang, enggak tahu sekarang ke mana."

Riga tidak bersuara, entah apa yang dipikirkan cowok itu, Rainne tidak bisa menebaknya. Keduanya terlibat dalam keheningan yang cukup lama. Riga menoleh pada Rainne yang tengah memandang kosong ke sembarang arah. Riga seperti ingin mengungkapkan sesuatu tapi ia menahannya. Lalu, sebersit pertanyaan kembali terlintas di benaknya.

"Naomi, gue mau tanya deh."

"Tanya aja ...."

"Apa hal yang paling lo benci?"

Riga terdengar serius saat menanyakan itu. Rainne pun merasakan aura yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tidak langsung menjawab, gadis itu berpikir sebentar lalu mengembuskan napas dengan berat.

"Gue benci kehilangan, Ga."

Jawaban yang tetap sama, Riga pernah mendengar itu. Sebenarnya ia tahu, hanya saja ia ingin memastikan lagi barang kali dulu Rainne hanya asal berbicara.

"Gue ... cuma takut ditinggal sendirian, makanya gue benci tiap ada orang yang pergi dari hidup gue. Sedih banget sih rasanya kalau ditinggalin sama orang-orang yang ada di hidup gue," tambah gadis itu dengan suara pelan.

"Gitu ya ...."

"Kalau lo, apa hal yang paling lo benci?" Gadis itu bertanya balik.

"Kenyataan ... tentang diri gue."

🌧

Part ini lebih adem ya, gatega aku ngasih kalian bawang mulu.

sadar g si kalian tuh sama sifatnya Rainne yang gapernah bisa nyalahin orang lain meskipun dia yang terluka?

next part mau kapan?

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 206K 48
(SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA | PART MASIH LENGKAP) Gwen tidak pernah menyangka bahwa kecintaannya pada hewan bisa membuatnya terjerumus unt...
181K 23.3K 47
"Pernah gak lo kepikiran persahabatan kita bisa berubah ke arah lain?" Itulah yang ada dalam pikiran Annabeth selama beberapa hari ini. "Arah mana? U...
1.3M 122K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
3.4M 291K 60
[TERSEDIA DI TOKO BUKU] 📛WARNING!! BACA CERITA INI BISA MENIMBULKAN KEGESERAN OTAK. SEGALA KETIDAKWARASAN YANG TERJADI DI LUAR TANGGUNG JAWAB AUTHOR...