Di tempatku lagi ujan gede+geledek 😖
di kalian ujan?
🌧
Sudah beberapa hari ini hujan terus-terusan turun, seolah itu terjadi karena Rainne tengah bersedih. Sejak bel istirahat berbunyi, Rainne sudah mengasingkan dirinya di dekat ruang kesenian. Gadis itu hanya berdiam diri sambil bengong memandangi hujan. Bahkan ia sampai melewatkan makan siangnya di kantin. Ia benar-benar sedang tidak berselera makan akhir-akhir ini.
Lamunan Rainne terputus kala melihat sosok Angkasa. Rainne langsung menegakan pungungnya. Sejujurnya ini melelahkan sekali, terus-terusan mengejar Angkasa untuk sekedar memberikan penjelasan tapi cowok itu tidak pernah sudi untuk mendengarkan.
Rainne cape sendiri, ditambah kekecewaanya terhadap Angkasa kemarin membuatnya benar-benar merasa tidak ada gunanya menjelaskan apapun pada cowok itu.
Pada dasarnya, Angkasa tidak mempercayainya. Meskipun ia menjelaskan yang sebenarnya pun, cowok itu tidak akan memercayainya dan mungkin hanya akan mengatainya beralasan dan mencari pembelaan.
Akan tetapi, ia tetap merasa perlu berbicara dengan Angkasa. Gadis itu pun beranjak dari tempatnya dan mengejar sosok Angkasa.
"Angkasa!" panggilnya.
Tidak ada reaksi, Angkasa terus berjalan tanpa menoleh padanya. Rainne memepercepat langkahnya hingga ia bisa menyusul Angkasa dan memblokir jalan cowok itu. Melihat ekspresi Angkasa yang seperti itu, hati Rainne dibuat sedih lagi.
"Segitu jijiknya kamu sama aku, Angkasa?"
"Iya, lo tahu jawabannya. Jadi, minggir."
Angkasa berusaha menyingkirkan Rainne dari hadapannya, tapi gadis itu tidak bergerak.
"Angkasa, bisa enggak kamu dengerin aku sekali aja? Terserah setelah itu kamu mau percaya sama aku atau enggak, aku cuma pengen kamu dengerin sebentar."
"Lo cuma bakal ngasih alesan dan pembelaan. Buat apa gue dengerin?"
Tangan Rainne terkepal menahan berbagaimacam emosi yang datang berdesakan.
"Kenapa sih, Ka? Kenapa kamu kayak gini? Kenapa kamu cuma percaya sama apa yang mau kamu percayain. Kenapa kamu enggak bisa dengerin dulu dari sudut pandang aku? Aku sama papa kamu enggak kayak yang digosipin. Papah aku sakit Angkasa, dan papah kamu bantuin aku buat kesembuhan papa."
"Bagian mana dari hal itu yang bener? Lo ngasih apa ke bokap gue sampe dia mau biayain kesembuhan bokap lo? Apa perlu lo sampe buang harga diri lo cuma buat itu? Otak lo di mana sebenernya?"
Sudah, cukup. Itu terlalu menyakitinya. Rainne tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang. Apapun yang ia katakan, semuanya tetap salah di pikiran Angkasa. Rainne hendak mendangis, tapi itu ia tahan karena ingat jika Angkasa muak melihatnya menangis.
"Udah seburuk itu ya? Sampe enggak bisa percaya sedikitpun?" tanya Rainne lirih.
Gadis itu tersenyum pada Angkasa, meskipun jelas sekali sorot matanya menujukan luka. Melihat sorot mata jijik Angkasa padanya, Rainne lalu tertawa kecil. Ia menertawakan dirinya sendiri.
"Gue ini ngapain sih sebenernya? Kayak orang bego ya? Ngemis-ngemis maaf sama lo padahal udah jelas banget itu percuma," katanya berusaha setenang mungkin.
Angkasa tetap diam, ekspresi Rainne berubah seratus delapan puluh derajat. Berbeda sekali dengan sebelumnya, cara gadis itu berbicara pun sudah beda, mungkin Angkasa sudah merusak terlalu banyak bagian di hatinya dan membuatnya seketika mati rasa.
"Dari awal gue emang bego sih, bikin kenyataan palsu buat diri gue sendiri kalau lo itu sayang dan peduli sama gue. Gue baru sadar sekarang. Sorry ya, Angkasa. Ternyata gue udah terlalu ngebebanin lo selama ini," katanya sambil senyum lagi.
Tidak ada reaksi dari Angkasa, Rainne mati-matian menahan sesak di hatinya dan terus tersenyum pada Angkasa. Berusaha mengendalikan ekspresinya sebaik mungkin.
"Lo sayangnya sama Fanya, 'kan?"
"Berarti ... kita udah putus, ya?" tanya Rainne lagi, meminta kepastian.
Selang beberapa detik ia melontarkan kalimat iu, gadis itu mendengus geli. Rainne kini mengibaskan-ngibaskan tangannya. Ia ingat lagi mengenai hari di mana ia meminta Angkasa menjadi pacarnya. Bodohnya Rainne, malam itu bahkan Angkasa tidak menjawabnya. Hanya Rainne sendiri yang mengkalim cowok itu sebagai pacarnya. Benar-benar bodoh dan tidak sadar diri.
"Duh bego banget sih, dari awal 'kan lo emang enggak pernah jadi pacar gue. Guenya aja yang terlalu percaya diri. Iyakan?"
Angkasa tidak menjawab, entah apa yang dipikirkan lelaki itu. Rainne bahkan terlalu takut untuk sekedar menebak dan menerka-nerka.
Dialog satu arah ini benar-benar menyesakan untuk Rainne. Cowok itu sepertinya sudah tidak sudi untuk sekedar menyahuti ucapannya. Dengan nada menyesal, ia lalu berkata, "Maaf ya, Angkasa. Buat semuanya."
Setelah mengucapkan itu, bahkan tanpa mendapat sahutan apapun dari Angkasa, gadis itu langsung beranjak dari tempatnya dari pergi.
Rasanya sudah terlalu menyesakan berdiri di hadapan Angkasa. Ketidakpeduliannya, juga diamnya, benar-benar membuat Rainne terluka. Mungkin memang harus diakhiri sampai di sini saja. Rainne menyerah.
🌧
Gaby membanting pintu ruang eskul cheers dan membuat beberapa orang yang ada di dalam sana kaget. Saat menemukan sosok yang ia cari, gadis itu tanpa basa-basi langsung menariknya keluar dari ruang eskul itu.
"Ikut gue lo!"
"Tunggu! Tunggu! Aduh! Gaby lo kenapa sih?!" tanya Sasha marah saat Gaby menariknya tiba-tiba.
Gaby baru melepaskan tarikanya di lorong sepi deretan laboratorium. Gadis itu terlihat marah, ia menyudutkan Sasha dan membuatnya panik sendiri karena tahu Gaby orangnya seperti apa.
"Lo kenapa sih?"
"Hapus postingan soal Naomi, anjing!" bentaknya di depan wajah Sasha dan berhasil membuat gadis itu mengkeret takut.
"Hah ... apasih maksud lo."
Gaby mendengus sinis mendengar Sasha yang sok pura-pura tidak tahu itu. Padahal, Gaby tahu jika gadis inilah yang memegang akun gosip sekolahnya.
"Gue tahu lo adminnya, hapus sekarang atau gue hajar lo!" gertaknya sambil menarik kerah seragam Sasha.
"Iya ... iya ... ok," katanya gelagapan dan segera mengeluarkan ponselnya dari saku rok seragam.
Dengan cepat Sasha mengotak-atik ponselnya dan segera menuruti permintaan Gaby. Ia masih sayang nyawanya, dan enggan memperpanjang masalah dengan Gaby.
"Udah, udah gue hapus."
Gaby langsung melepaskan cengkramannya pada kerah Sasha. Namun, belum cukup sampai di situ, ia masih belum selesai dengan Sasha.
Dengan sikap mengintimidasi, gadis itu kembali bertanya, "Siapa sumbernya?"
"Hah?"
"Hah heh hoh mulu lo kayak orang goblok. Gue tanya siapa yang ngasih lo video Naomi," desak Gaby kesal.
"Eh ... itu ..."
Sasha terlihat ragu untuk mengatakannya pada Gaby. Namun, karena Gaby mengeluarkan aura intimidasi yang sangat kuat, Sasha jadi takut. Ia merasa akan mendapat masalah lebih besar jika ia tidak mengatakannya.
"Adik kelas, anu itu ... Fanya yang ngasih gue itu dan suruh upload ...."
Gaby mendengus kesal, bukan pada Sasha, tapi pada informasi yang diberikan gadis itu. Kekesalanya naik berkali-kali lipat sekarang, ia mendadak berhasrat untuk menghajar Fanya. Anak itu, benar-benar siluman betina. Gaby benci sekali padanya.
"Lo, awas lo ya bikin gosip yang enggak-enggak lagi soal temen gue! Abis lo sama gue," ancam Gaby sambil memberikan gerakan menggorok leher lalu kemudian pergi meninggalkan Sasha yang terlihat pucat karena ulahnya.
🌧