He's Dangerous

By wanodyakirana

9.9K 2.1K 7.1K

[Mature Content] "Jung, kau memang berbahaya." Nyatanya, Jeon Jungkook memang sinting. Lebih dari apa pun, Le... More

1. Comfort
2. Treason
3. Risk
4. The Plans That Failed
5. Circulation Of Money
6. Jungkook is Back
8. Who is He?
9. Hiraeth
10. Craftiness
11. Tacenda
12. Bamboozle
13. Strange
14. Peace Agreement
15. Decero: Start From Zero
16. Bae Soora's Death
17. Hidden Facts
18. Leira Becomes A Suspect
19. He's Dangerous
20. Traitor's Neighbor
21. The Right Hand
22. Feeling Relieved
23. The Last Wedding Gift
24. Now It's All Over
25. Wherever I May Go

7. The Quandary

390 115 352
By wanodyakirana

Jung bangun lebih dulu, ia menundukkan kepalanya untuk menatap Leira yang masih tertidur pulas dengan posisi masih memeluknya. Perlahan, ia menyingkirkan helaian rambut sang istri ke belakang daun telinganya, lalu diakhiri dengan mengecup pucuk kepala Leira meski terhalang oleh ventilator pernapasan.

Lega dan bahagia, itu yang dirasakan Jung sekarang—di mana drama gila yang ia mainkan telah usai. Menuai hasil yang sangat ia harapkan, selain nyawa dan uang selamat, istrinya berubah dalam sekejap—lebih perhatian karena takut kehilangan. Jung yakin, dalam waktu dekat, hubungan Leira dengan Jimin akan merenggang. Buktinya, tadi malam ia mendengar Leira malas menanggapi telepon dari Jimin.

Jung aslinya sadar, tetapi masih pura-pura pingsan.

Leira terbangun akibat pergerakan kecil yang dilakukan Jung. "Maaf membuatmu terbangun," katanya lirih.

Leira hanya mengangguk, hendak menenggelamkan kepalanya lagi di dada lebar suaminya. Namun, saat tanpa sengaja melihat jam dinding, ia langsung duduk dan beranjak dari ranjang.

"Aku harus memanggil dokter dulu untuk memeriksa keadaanmu. Tunggu sebentar, ya." Sebelum pergi, Leira menyempatkan cuci muka dan memakai perona bibir agar terlihat lebih fresh.

Sesampainya dokter di ruang rawat Jung, dia memeriksa keadaan tubuh Jung dengan mendengarkan detak jantungnya di balik stetoskop. Lalu, memeriksa mata Jung satu per satu menggunakan senter, dan terakhir, melihat kondisi jari kelingking kaki Jung yang terpotong.

"Saya rasa tubuh anda sudah mulai membaik, tapi diusahakan jangan terlalu banyak bergerak agar cepat pulih. ventilatornya akan saya lepaskan."

Leira mengembangkan senyumnya. "Kira-kira, suami saya kapan diperbolehkan pulang?"

"Jika dalam dua hari ke depan kondisi suami anda sudah benar-benar pulih, saya akan mengizinkannya pulang. Kalau begitu, saya permisi dulu." Setelah mendapat anggukan dari Leira, dokter pun lenyap dari ruangan rawat Jung.

Tidak berselang lama, Jay dan Han datang. Mereka membungkuk sopan, lalu duduk setelah dipersilahkan Leira. Jay menarik napas dan berkata, "Maaf, karena menganggu waktu anda. Maksud kedatangan kami kemari, ingin menggali informarsi lebih mengenai penculikan anda. Bisakah anda memberikan keterangan secara lengkap?"

Jung hanya tersenyum kecil, hendak menjawab pertanyaan Jay. "Saya tidak tahu pasti, siapa yang menculik saya. Penculiknya selalu berpakaian hitam, wajah dan tubuhnya selalu tertutup dan tidak pernah ditampakkan kepada saya. Selama saya diculik, saya disekap di dalam gudang dan selalu diberi obat tidur. Namun, samar-samar saya mendengar suaranya seperti suara wanita."

Pikiran Leira langsung tertuju kepada sosok Bae Soora, sonbaenim Jung saat kuliah. Leira ragu dengan pikirannya. Namun, ia segera menepis asumsi buruk tentang Bae Soora karena jika wanita itu ada hubungannya dengan penculikan Jung, dia tidak mungkin berkeluyuran ke mana pun.

Jay mengangguk paham. "Apakah anda bisa mengenali tempat penyekapan anda di mana? Mungkin anda bisa menjelaskan ciri-cirinya."

"Saya benar-benar tidak bisa memberikan ciri-cirinya dengan rinci. Saat saya keluar dari gudang, rumahnya terlihat seperti rumah kosong yang hanya dilengkapi dua sofa dan satu televisi saja. Tetapi, saya pernah sekali mengintip ketika berada di luar gudang, suasananya asri sekali, seperti di pedesaan."

Jay dan Han saling menatap, mencatat informasi dari Jung di otak mereka masing-masing. "Lalu, mengenai jari kelingking kaki anda, kenapa bisa terpotong?" Han mengimbuhi.

"Entahlah. Saya tidak tahu apa pun. Saat baru bangun saya sudah menemukan jari kelingking kaki saya hilang satu. Mungkin dipotong saat saya pingsan," jawab Jung santai dan tenang.

Mereka hanya mengangguk, lalu berdiri. "Baiklah, terima kasih atas penjelasan anda. Kami akan menyelidikinya lebih lanjut." Jay menoleh pada Leira. "Bisa bicara sebentar, Bu?"

Pada akhirnya Leira mengikuti ke mana perginya Jay dan Han. Mereka berada tidak jauh dari ruang rawat Jung. Jay mengembuskan napas pelan. Kali ini Leira yang menang. "Hasilnya dinyatakan negatif."

Sejujurnya, ketika Leira mendengar ucapan Jay, hatinya bersorak gembira. Ekspresi bingung nan polos yang saat ini ia tunjukkan hanya sebagai formalitas seseorang yang tidak tahu apa-apa. "Sejak awal seharusnya anda tidak mencurigai saya. Alkoholnya benar-benar bersih."

Percayalah, Han ingin melepaskan emosinya sekarang juga. Tapi Jay memberi isyarat agar tetap tenang. "Kami tidak mencurigai, hanya memastikan saja supaya memudahkan penyelidikan," jawab Jay.

"Ya, saya tahu. Bukankah tatapan mengintimidasi itu seharusnya tidak ditujukan kepada saya? Itu membuat saya tidak nyaman, contohnya rekan anda ini." Merasa menang, Leira berani mendebat mereka.

"Kami permisi dulu. Maaf atas ketidaknyamanannya, Bu." Pembicaraan mengenai botol kaca yang sempat dibawa ke laboratorium berakhir di sini. Jay dan Han pergi meninggalkan rumah sakit, sementara Leira kembali masuk ke dalam ruang rawat suaminya.

***

"Aaa ... buka mulutmu."

Suapan pertama masuk ke dalam mulut Jung. Tentu saja Leira yang menawarkan diri untuk menyuapi suaminya. Leira terkekeh gemas saat Jung sengaja menggembungkan pipinya.

Suapan kedua meluncur dengan sedikit hambatan, Leira menggerakkan sendok berlika-liku, seperti pesawat terbang di langit. "Astaga, jail sekali istriku ini," protes Jung diimbuhi kekehan kecil.

"Kapan lagi aku mau menjailimu seperti ini, huh?"

"Sini, deh." Leira mendekatkan wajahnya ke wajah Jung—pria itu menempelkan ujung hidungnya ke ujung hidung Leira, dan mengambil kesempatan mengecup sekilas bibir mungil istrinya.

Detik itu juga pipi Leira merona. Malu dan kaget.

"Jangan tersipu seperti itu, kau semakin cantik jadinya. Tidak baik untuk jantungku, bisa-bisa terkena serangan jantung mendadak nantinya." Ternyata, rayuan maut ala Jeon Jungkook sudah saatnya untuk dikeluarkan sekarang. Pria itu memegangi dadanya seolah-olah tengah kesakitan.

"Sayang ... kau itu—"

"Apa? Selalu bisa membuat hatimu berdebar, kan? Jangan kaget. Aku tahu, suamimu ini memang pintar ketika mengeluarkan rayuan maut demi membuat istrinya tersipu malu, hm. Sudahlah, sini, cium dulu."

Tidak. Leira tidak boleh terkena diabetes sekarang.

Sudah kepalang gemas, Leira mencium pipi kiri Jung sekilas. "Hey, apakah kau tidak mau menciumku lebih lama lagi? Pipi kanannya juga belum," protes Jung sembari mengerucutkan bibirnya.

Leira kembali merona, ia pun mencium pipi kanan suaminya. "Kurang komplit kalau bibirnya belum dicium juga." Jung mengedipkan sebelah mata.

"Astaga, kau itu selalu meminta lebih." Jung tertawa gemas saat melihat ekspresi wajah Leira mengeluh. Tanpa pikir panjang, Leira mengecup bibir Jung. Niatnya hanya ingin mengecup sekilas, namun tangan Jung menahan tengkuk Leira. Berakhirlah, mereka saling melumat bibir satu sama lain.

"Berhentilah menggodaku! Kau itu tahu, kalau aku mudah terbuai oleh rayuan licikmu itu." Leira berkata apa adanya.

"Setidaknya aku bisa membuatmu bahagia saat bersamaku," tukasnya pelan.

Leira tertegun mendengar ucapan Jung. Rasa bersalah kembali muncul di benaknya. Hatinya bimbang. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang—tetap bertahan dengan Jung atau pergi dengan Jimin. "Aku selalu bahagia bersamamu, Jung. Ayo lanjutkan makan saja."

Di tengah kehangatan yang baru mereka rasakan beberapa saat, seketika lenyap begitu kehadiran dari sosok yang sangat tidak diharapkan menampakkan dirinya dengan membawa keranjang buah dan tersenyum manis, membuat matanya melengkung seperti bulan sabit.

"Bagaimana kabarmu, kawan?" sapanya ramah.

"Baik, Jim. Kita sudah lama tidak bertemu, ternyata." Jung sangat tenang sekali, berbeda dengan suasana hatinya yang muak melihat wajah Jimin di ruangannya.

Jimin menaruh keranjang buahnya di atas nakas meja sebelah ranjang Jung. "Kabarku juga baik. Aku senang, kau kembali dengan selamat."

Jung tersenyum ambigu. "Apa tujuanmu datang kemari, Jim? Tidak ada yang mengundangmu untuk datang."

"Entahlah, hanya inisiatif ... mungkin? atau hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Mungkinkah, aku memilki tujuan selain itu?"

Sepanjang percakapan Jung dan Jimin, Leira hanya diam.

"Ah, terima kasih atas jasamu yang sudah bersedia menjaga istriku selama aku tidak ada."

"Tentu. Aku sama sekali tidak keberatan jika harus menjaga istrimu lagi." Tangan kiri Jimin mulai merangkul pundak Leira. "Iya, kan, Leira?"

Leira menepis tangan Jimin tanpa menjawab apa pun.

Jung yang melihat tingkah tidak senonoh Jimin hanya menghela napas kasar, ia harus bisa mengontrol emosinya. "Mulai sekarang tidak lagi, Jim. Cukup sampai di sini saja jasamu diperlukan."

"Oh, ya? Baiklah, tak apa. Mungkin di lain waktu aku bisa memiliki kesempatan untuk menjaga istrimu lagi," balas Jimin. Sedikit ada unsur menyindir, sih.

"Jim, jaga bicaramu!" Kali ini Leira yang angkat bicara. Sebab, sudah muak dengan suasana di dalam sini.

"Ah, kau tahu tidak, Jung?" tanya Jimin kepada Jung, tidak menghiraukan ucapan Leira.

"Tidak ingin tahu dan tidak perlu kau beritahu."

"Yah, kau tidak asyik lagi seperti dulu. Padahal, kalau aku membawa sebuah informasi, pasti kau selalu penasaran." Jimin mengulum senyum, nada bicaranya meremehkan.

"Sekarang dan dulu itu berbeda, Jim." Gila. Jung masih bisa tenang di saat Jimin mencoba menyulut emosinya.

Jimin melirik Leira yang masih bisu. "Kau tahu, istrimu ini sangat pandai sekali dalam bermain, bahkan sangat lincah. Begini maksudku, pandai bermain bumbu dapur dan sangat lincah dalam memotong bahan masakan." Jemari Jimin kini melingkar pada ujung rambut Leira, memainkannya dengan santai. Walaupun dia tahu saat ini tatapan Jung sangat mengintimidasinya.

"Memang, sih—Leira sangat pandai dalam melakukan itu. Tapi omong-omong, ada dua pilihan yang harus kau pilih salah satu. Kau bisa meninggalkan ruang rawatku dengan baik-baik atau perlu dipanggilkan satpam? Sejujurnya, aku risi melihatmu berada di sini sebagai teman sekaligus selingkuhan istriku." Percaya atau tidak, Jung masih tenang.

Jimin menarik sudut bibirnya, berbeda dengan Leira yang matanya sudah melebar. Leira tidak menyangka jika Jung akan berkata seperti itu.

***

Rasanya sekujur tubuh Leira mulai melemas ketika pintu ruang rawat Jung terbuka dan memperlihatkan kedua orangtuanya datang bersama Seokjin sekaligus istrinya. Sementara situasinya saat ini tidak tepat. Ada Jimin.

"Kenapa appa tidak menelepon dulu?"

"Lupa. Siapa dia?" tanya Jikyo kepada putrinya.

"Jimin, sahabat dekat Jungkook—"

"Dan rumornya itu selingkuhanmu?" sela Seokjin. dia melipat tangan di depan dada. "Bukankah kau bekerja sebagai manajer di restoran Leira?"

"Itu hanya rumor, bukan kejadian sebenarnya. Kami tidak selingkuh, jangan khawatir." Jimin menjelaskan dengan lembut.

"Jadi, apa tujuanmu datang ke sini?" Lagi-lagi, Jimin ditanya tentang tujuannya kemari. Tadi Jung, sekarang ayahnya Leira.

"Untuk menjenguk temanku. Setelah ini saya akan pulang."

Jikyo mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menatap Jung khawatir. Maklum, menantu kesayangan. "Bagaimana kabarmu, Nak? Appa sangat mengkhawatirkanmu, astaga."

"Untung saja, Leira merawatku dengan telaten. Jadi, aku sembuh lebih cepat, appa." Jung tersenyum lebar. Karena orangtua mereka termasuk Jimin tengah fokus pada Jung, Seokjin tiba-tiba menyeret Leira ke pojok ruangan.

"Waeyo?" tanya Leira berbisik.

"Apa rencana kita berhasil? Uangnya mana? Kau tidak lupa perjanjian kita, kan?"

Leira memutar bola mata jengah. "Apa perlu itu dibahas sekarang, huh?" Seokjin mengangguk. Leira menghela napas. "Kalau berhasil dari kemarin aku sudah membagi uang itu kepadamu, Seokjin oppa."

"Jangan bilang kalau rencana kita gagal? Sial. Aku jadi tidak bisa berfoya-foya." Seokjin mengeluh tipis.

"Kita bernasib sama. Jangan mengeluh, sudahlah aku saja mencoba merelakan uang sebanyak itu," jawab Leira sambil menarik tangan Seokjin untuk kembali ke tempat semula. Namun, Seokjin menahan tangan Leira. "Ceritakan bagaimana bisa rencana kita gagal?"

"Nanti. Kalau waktunya sudah pas."

Leira pergi meninggalkan Seokjin yang masih bergelut dengan pikirannya tentang rencana yang gagal. Jangan kaget, kakak tiri dan adik tiri sama saja. Sama-sama penggila uang. Sebelum Leira benar-benar kembali ke tempat semula, Jimin lebih dulu menarik tangannya ke luar ruangan Jung.

"Ada apa lagi, Jim? Pulanglah, aku tidak mau ada keributan."

Jimin menangkup pipi Leira. "Sayang, jangan marah-marah seperti itu. Aku tidak suka melihatmu marah. Maaf, karena tadi aku sangat ceroboh, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

Leira pasrah, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sementara otak kecilnya tetap harus berpikir untuk mengambil langkah selanjutnya. Entahlah, keputusan yang ia ambil ini sudah tepat atau tidak, Leira harus yakin. Ia tidak boleh goyah agar semuanya aman terkendali.

"Jim, aku mau hubungan kita berakhir."

Continue Reading

You'll Also Like

24.1K 2.1K 10
[AFFAIR SERIES #2] [Slow Update] Jung Hwayoung menikahi Jeon Jungkook bukan tanpa sebab. Yang ia sesali, bahwa pernikahannya yang kedua kali ini just...
390K 19.8K 15
[DIBUKUKAN] [SEBAGIAN PART DI HAPUS!] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Menentang aturan, hukum alam. Bertolak belakang, melawan arus, mengabaikan kons...
288 54 7
Sepenggal kisah rumit dan pelik antara Jean dengan laki-laki bernama Taehyung. 100% murni tulisan tangan author
563K 85.4K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...