MAHAJANA (Spin Off MADA)

By gigrey

902K 74.4K 6.3K

(Dalam Revisi) ma·ha·ja·na ark n orang yang amat ternama; orang besar. Terbangun dan melanjutkan hidup sebaga... More

Prakata
PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22

Chapter 9

14K 2.6K 102
By gigrey

Happy reading!

Jangan lupa vote dan komennya yaaaaaa


*

Sachi membaca resume orang di depannya. Sachi memang membutuhkan pekerja paruh waktu untuk jam makan siang dan akhir pekan. Rasanya untuk menjadi pelayan tidak perlu repot sampai memberikan CV. Dilihat dari tahun lahirnya mereka berdua seusia, lebih tua Sachi beberapa bulan lebih tepatnya. 

"Kamu ... masih kuliah ya? Apa nggak ganggu kuliah nanti?"

"Oh untuk itu saya tidak memiliki jadwal di siang hari atau jam makan siang dan saya juga tidak aktif berorganisasi jadi saya selalu bisa untuk hadir di akhir pekan."

Sachi mengangguk paham. Seumur hidup dia belum pernah memperkerjakan seseorang. Ia terlalu antusias untuk mencari pekerja tapi belum siap akan tanggung jawab baru. Sachi memikirkan langkah selanjutnya. "Karena toko roti ini masih dalam skala kecil, kemungkinan untuk gaji tidak-"

"Ah, saya terima berapa pun gaji yang diberikan selama saya masih bisa makan minimal sehari sekali." 

Sachi sedikit terkejut atas jawaban tersebut. Sepertinya tidak ada yang perlu Sachi khawatirkan lagi. Ia mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh Arga. "Kamu bisa mulai berkerja besok ya, datang sebelum jam sebelas kalau bisa."

"Terima kasih banyak, Mbak."

"Tolong panggil saja dengan Sachi, kita seumuran, kok."

Sachi mengembalikan resume milik Arga. Ia juga memberikan sebungkus croissant untuk Arga bawa pulang. Sachi pun kembali ke aktifitas sehari-harinya. Seperti biasa, kakinya bergerak kian kemari mengelilingi meja-meja yang terisi penuh saat jam makan siang. Sachi harus mondar-mandir antara dapur-meja kasir atau sesekali ia membuatkan minuman untuk konsumen yang sudah menunggu. Lonceng pintu tak berhenti berbunyi, setelah satu konsumen keluar satu lagi hadir untuk membeli beberapa bungkus roti.

Saat pengunjung mulai kembali ke kantor masing-masing, tersisa beberapa mahasiswa yang mengerjakan sesuatu di laptop masing-masing. Suasana tidak lagi terlalu ramai. Sachi pun menggunakan kesempatan tersebut untuk ke belakang. 

Ia membuka pintu gudang kemudian mengganjalnya dengan sebuah bata agar tidak tertutup sempurna. Pintu gudangnya memang sudah rusak beberapa bulan terakhir, jika sampai tertutup ia tidak akan bisa keluar karena gagang pintu bagian dalam sudah terlepas.

Sachi mencari kardus yang berisikan celemek berwarna merah marun khas Mahajana yang seperti dikenakannya sekarang. Ia menarik sebuah celemek besar, masih ada pin yang bertuliskan manager yang artinya itu adalah peninggalan ayahnya. Sachi mengeluarkan pin tersebut lalu dikenakannya sendiri. Ia mengusap pin tersebut dengan kerinduan. Kini ia menampati posisi ayahnya terdahulu. Tanggung jawab yang akan Sachi jalankan dengan ikhlas. Ia berjanji untuk mempertahankan Mahajana sampai kapan pun.

Ia mengambil sebuah celemek peninggalan ayahnya dan memasukannya pada mesin cuci. Agar Arga bisa mengenakannya dalam kondisi bersih esok hari. Setelahnya Sachi kembali ke toko depan bertepatan dengan seorang pria berjas rapi melihat-lihat rak roti. 

"Ada yang bisa dibantu?" tawar Sachi melihat wajah bingung pria tersebut.

"Ah, anda pemilik toko roti ini?" Sachi mengangguk. "Saya dipesankan oleh bos saya untuk membeli kue dari sini. Tapi kami membutuhkannya untuk acara minggu depan."

"Acara kantor ya, Mas? Kira-kira dibutuhkan berapa banyak ya?"

Pria tersebut membuka sebuat buku catatan kecil dan mulai membicarakan harga dengan Sachi. Sachi jelas sangat menerima baik kesempatan tersebut. Baginya ini pertama kali, ia mempersiapkan banyak kue untuk sebuah acara. Sebuah langkah maju meskipun dia harus kehilangan jam tidur tetap akan Sachi laksanakan dengan penuh semangat. 

Semakin sore, hari semakin terik di Mahajana. Toko roti yang menghadap ke barat tersebut menerima cahaya matahari penuh. Warna jingga memenuhi segala sudut ruangan. Bayangan perabotan membentuk sudut lancip mengaburkan cat warna pastel tembok toko. Sachi tengah menghitung bahan baku yang digunakan untuk menyediakan lima ratus paket roti untuk minggu depan. Sepertinya Sachi harus menutup toko rotinya untuk hari minggu esok. 

Ia mengistirahatkan kakinya sebentar. Ia membutuhkan bantuan, tapi siapa yang bisa membantunya membuat kue? Dia tidak memiliki kenalan yang bisa membuat kue? Nama Dimas terlintas di kepalanya. Dimas adalah anak pemiliki toko bahan baku kue, pasti ada kemungkinan Dimas memiliki kenalan seseorang yang juga bisa membuat kue. 

Tepat saat Sachi menutup kembali ponselnya, loceng pintu kembali berbunyi. Sachi segera bangun dan membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Lagi-lagi Hayam Wuruk muncul dengan setelan kantor yang sama dengan tadi pagi.

"Hai!" sapanya dengan riang.

"Ha-halo juga, ada yang bisa dibantu?" Entah mengapa Sachi tidak bisa menutupi kegugupannya. Padahal baru tadi pagi Sachi dan Hayam mendeklarasikan bahwa mereka berteman tapi Sachi sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa sebagai seorang teman.

"Kopi hitam satu ya, Chi, nggak pake gula."

"Ok, tunggu sebentar ya, Kak."

Hayam mencari kursi kosong yang tidak langsung terkena sinar matahari sore. Ia menuju meja pojok ruangan, satu-satunya meja dengan sofa panjang. Sepertinya meja itu dikhususkan untuk keluarga. Sachi membawa secangkir kopi hitam dan meletakkannya di hadapan Hayam.

"Duduk di sini saja, kalau nggak ada kerjaan."

"Aku masih mau cuci beberapa piring bekas makan pelanggan di belakang."

"Aku boleh bantu?"

Sachi segera menolak, "Eh? Nggak usah, Kak! Cuma beberapa kok."

Aneh-aneh saja batin Sachi. Sejak kapan pelanggan ikut membangu mencuci piring? Meskipun mereka kini berteman tapi tetap saja canggung dengan perubahan secepat itu.

Hayam hanya mengangguk sebentar membiarkan Sachi berlalu di balik pintu di belakang meja kasir. Entah mengapa kakinya tak bisa diajak berdamai. Setelah menyeruput kopinya dua kali, Hayam bangkit dan ikut masuk ke dalam ruangan belakang.

Pria itu melongokkan kepalanya mencari keberadaan Sachi. Selama di dalam, Hayam sempat terpukau dengan dapur yang sangat luas, bersih dan rapi. Tak ada noda debu sedikit pun saat Hayam menyolekkan telunjuknya pada permukaan meja. Paling-paling terdapat tumpahan tepung di atas telenan dan lantai. Aroma manis menyeruak memanjakan indera penciumannya.

Rasanya Hayam tengah mengintip jati diri Sachi sesungguhnya di dalam ruangan itu. Hangat dan manis. Hayam mengistirahatkan kedua tangannya pada saku celana sambil melihat sekeliling. Sebuah kertas jadwal tergantung di samping kulkas besar. Kepalanya menggeleng melihat jadwal tidur Sachi yang hanya dua jam sehari. 

Setelah menutup toko, Sachi menyiapkan adonan dan menguleninya hingga pukul dua belas malam. Setelahnya Sachi beristirahat dan jam dua pagi Sachi kembali bangun untuk mengolah adonan yang sudah didiamkan. Dia juga terkadang memiliki jadwal gila dalam mengurus perusahannya tapi kadang Hayam masih bisa mangkir dan pergi bermain ke panti jompo tempat teman-teman lansianya berada.

Senyumnya terbentuk membayangkan Sachi berkeliaran di dalam ruangan tersebut. Hayam bisa melihat bagaimana Sachi duduk mengusap peluh di kursi sembari memandangi kue atau roti yang mulai mengembang di dalam oven.

Lamunan Hayam terhenti saat mendengar suara berdenting. Terlihat Sachi muncul dari pintu belakang dengan kesusahan. Kedua tangannya mengangkat bak berisikan piring-piring kecil serta banyak cangkir. Beberapanya terlihat basah yang artinya baru selesai dicuci. Sachi masih belum sadar akan keberadaan Hayam yang memandanginya.

Ia meletakkan bak di atas meja lalu mengelap piring satu per satu kemudian ditata ke dalam rak besi di ujung ruangan. Hayam mendekati punggung Sachi yang masih sibuk.

"Ini semua dalam sehari?" tanya Hayam tepat di belakang Sachi.

Sachi yang terkejut sampai melepaskan genggamannya pada cangkir yang tengah dikeringkannya. Gadis itu mengusap dadanya yang berdetak lebih cepat.

"Ah ... Kakak kenapa bisa di sini?" tanya Sachi sambil kembali memberesken serpihan cangkir kaca yang pecah. Hayam menggaruk keningnya yang tak gatal merasa bersalah.

 "Aku masuk dari pintu itu." Hayam menujuk pintu masuk dapur yang bertepatan di balik meja kasir. Sachi hanya mendesah dan memunguti serpihan kaca. Hayam ikut berjongkok membantu Sachi membereskan serpihan cangkir tersebut.

Hayam dan Sachi bersamaan mengambil satu pecahan yang sama, karena tenaga Hayam lebih kuat tanpa pria itu sadari ujung pecahan kaca tersebut menggores kulit telunjuk Sachi yang telat melepaskan pecahan. 

"Ack!" Sachi menahan pekikannya, ia melihat telunjuknya yang mulai berdarah. Tidak sakit, hanya sedikit terkejut saja. Hayam yang melihat jemari Sachi yang berdarah segera melepaskan dan membuang serpihan yang ia kumpulkan ke tempat sampah. 

"Waaaah ... Maaf, Chi, aku nggak liat kalau tanganmu tergores, sini biar dibersihkan dulu!" ucap Hayam setengah khawatir.

"Nggak apa-apa, Kak, ini nggak sakit, kok," jawab Sachi mencoba menenangkan Hayam yang bergerak resah melihat lukanya.

Hayam tak mendengarkan ucapan Sachi. Pria itu memikirkan cara membereskan kekacauan yang ia perbuat dan tanpa ia sadari ternyata juga melukai Sachi. Sial, apa yang telah terjadi padanya? Tidak pernah Hayam merasa segugup, khawatir ataupun takut seperti ini. Pria itu menarik tangan Sachi menghindari serpihan kaca yang masih berserakan di lantai. 

Ia menyalakan keran westafel di dekat kulkas, mengalirkan air sejuk pada luka Sachi yang berdarah. "Kak, ini nggak perlu. Aku bisa ngobatin ini sendiri, kok."

"Nope, aku di sini sekarang, bersandarlah padaku akan hal terkecil sekali pun."

Sachi terdiam dan membiarkan Hayam membersihkan lukanya. Hayam mengambil kursi  kayu dan menyuruh Sachi untuk duduk di atasnya. Ia bertanya letak kotak P3K dan Sachi menunjukkan tempatnya. 

Kini Hayam kembali duduk berjongkok. Diteteskannya obat merah pada luka yang memerah. Hayam mendesah mengingat kelalaiannya. Sachi yang melihat Hayam memasangkan perban sedikit tersenyum geli. Ia mengalihkan wawajahnya yang memerah saat Hayam mendongak menanyakan apakah lukanya terasa sakit atau tidak.

Sachi sedikit berdehem, "Se-sedari awal udah nggak sakit, kok," jawab Sachi gugup. Ia meletakan tangannya yang terbebas di depan dadanya. Ada debaran yang aneh dan Sachi belum pernah merasakan jenis emosi seperti ini sebelumnya.

"Sachi, maaf, ya, tanganmu sampai terluka seperti ini."

"Aku beneran nggak apa-apa, kak."

Hayam ikut menolehkan kepalanya mencoba mencari tatapan mata Sachi. Ia menarik tangan Sachi yang terluka agar gadis di depannya menatapnya. Saat Sachi memberinya perhatian, pria itu pun tersenyum. "Kita teman, kan?" Sachi segera menunduk menahan malu kemudian mengangguk.

"Sachi, nenekmu kangen kamu."

Mendengar neneknya disebut Sachi segera menarik tangannya dari genggaman Hayam. "Setiap aku mengunjungi panti, nenekmu selalu bertanya akan kabarmu, kamu nggak mau menemuinya?"

Sachi menggeleng lemah menahan diri untuk tidak merasa sedih. Dia masih memiliki rasa bersalah saat keluarga neneknya memutuskan meletakkan neneknya ke panti jompo. Neneknya tidak memiliki anak lain selain ayahnya. Hanya dirinya yang masih ada di dunia ini tapi Sachi tidak memiliki kekuatan apapun untuk menopang neneknya.

Bahkan untuk mempertahankan toko roti milik ayahnya butuh berbulan-bulan sampai stabil lagi seperti ini. Ini pun belum berjalan normal, banyak pelanggan yang sudah tidak lagi memesan roti saat mereka tahu ayahnya bukan yang membuat roti lagi. 

"Nenek baik-baik saja kan di sana?" tanya Sachi menyembunyikan matanya yang mulai berair.

"Mbah Nun sehat, disana beliau dapat banyak teman, tapi tetap saja, teman itu berbeda dengan cucunya sendiri. Kamu nggak kangen sama nenekmu?"

Sebuah lonceng pintu kembali berbunyi menandakan pelanggaran baru yang datang. Tanpa menjawab pertanyaan Hayam, Sachi menyingkir meninggalkan pria itu yang masih terduduk di lantai. Hayam mengusap wajahnya. "Maaf, Mbah, kayaknya butuh waktu lebih lama untuk yakinin Sachi," gumamnya.

*

Sachi udah mulai melembut nih ke Hayam, tapi apakah Sachi bisa ketemu lagi sama neneknya?

Continue Reading

You'll Also Like

69.4K 10.7K 43
Zhu Yinan berasal dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Gu Shangjun disisi lain adalah Jenderal yang dulu berada di pasukan yang sama dengan Zhu Yinan...
392K 58.3K 83
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
360K 30.7K 155
Title: Death Is the Only Ending for the Villainess BACA INFO!! Novel Terjemahan Indonesia. Hasil translate tidak 100% benar. Korean » Indo (90% by M...
50.2K 4.6K 43
"I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-lak...