Penantian Cinta

Oleh IrenaRin

147 34 8

"Kalau kamu jadi calon suami aku mau?" Pria melamar seorang wanita itu sudah biasa. Bagaimana jadinya jika se... Lebih Banyak

Cinta
Keinginan Menikah
Niat Melamar
Ungkapan Rasa
Kabar Buruk
Tawaran Calon Istri
Pinangan
Gerbang Rumah Tangga

Berusaha Move On

12 4 0
Oleh IrenaRin

Nuha menunggu dan terus menatap layar ponselnya. Pesan yang beberapa waktu lalu dikirim kepada pujaan hatinya itu masih bercentang abu, tidak berubah menjadi biru. Benar, Ghalib mungkin membencinya dan enggan untuk kembali menjalin pertemanan dengan dirinya. Tak apa, Nuha merasa dirinya sudah berusaha untuk meminta maaf dan mencoba melupakan kejadian malam itu. Bila sudah kesal dan membenci, Nuha tidak bisa berbuat apa-apa selain akhirnya kembali menangis karena benar-benar merasa tertutup dengan peluang untuk kembali bisa dekat dengan Ghalib. Semua karena dirinya sendiri yang tidak bisa menahan perasaan.

Hari-harinya Nuha hanya bisa memandang layar ponselnya bahkan hingga satu bulan berlalu dari terakhir Nuha mengirim pesan, pesan itu masih bercentang abu tidak pernah berubah menjadi biru. Akhirnya Nuha selalu melihat pesan-pesan terakhir seolah pesan-pesan terakhir itu menjadi penawar rindu di kala hati Nuha ingin menyapa sang pujaan hati, padahal jelas pesan terakhirnya saja masih ceklis abu. Bukan hanya itu, Nuha pun sering stalking profil Ghalib setiap harinya. Selain membaca pesan terakhir, Nuha pun melihat profil Ghalib hanya untuk melihat foto profilnya dan melihat apakah Ghalib online atau tidak.

"Teh, mau di kamar terus dan gak akan keluar untuk makan?" Panggil ibunya.

Teh atau Teteh adalah sebuah panggilan untuk perempuan di Sunda. Nuha asli Sunda begitu pun Ghalib. Semenjak lahir hingga kini dewasa dan usia sudah cocok untuk menikah, Nuha tinggal di Bandung.

Nuha membuka pintu kamarnya dengan wajah lesu tanpa semangat. Keceriaannya pudar hanya karena sebuah penolakan cinta.

"Sudah satu bulan berlalu, Mama rasa sudah saatnya kamu semangat lagi. Kecewa boleh, tapi jangan sampai berkepanjangan. Kamu mengurung terus di kamar tidak akan membuat Ghalib datang dan berubah pikiran untuk menikahi kamu, Teh."

Nuha menatap wajah ibunya yang menampakkan raut kesedihan karena kondisi anaknya yang terpuruk. Air mata Nuha tiba-tiba saja jatuh setelah menatap raut kesedihan di wajah ibunya.

"Maafkan Nuha, Mama. Nuha egois memikirkan diri sendiri."

Fatimah memeluk putrinya itu dan ikut menangis. Fatimah merasa sedih melihat putrinya yang berbeda dari satu bulan yang lalu. Selama ini tak pernah dilihatnya Nuha yang begitu terpuruk. Ibu mana pun akan merasakan kesedihan yang lebih mendalam ketika anaknya sedih.

"Anak Mama kuat, Mama kangen sama Teteh yang selalu ceria dan selalu buat Mama bangga. Jangan terus-terusan berdiam diri di dalam kamar, karena Mama ada untuk mendengarkan cerita, Teteh."

"Kenapa harus Ghalib pria yang Nuha cintai selama ini, Ma? Nuha selama ini selalu menganggap teman-teman Nuha begitu lebay karena mereka banyak menangis karena cinta, ternyata Nuha merasakannya dan itu Menyakitkan." Nuha menangis tergugu di pelukan ibunya karena merasakan kesakitan atas penolakan rasanya pada pria yang dicintainya, pun dia merasa menjadi wanita yang dibeci oleh dia yang namanya masih apik tersimpan di hati.

"Tidak ada yang salah menurut Mama, karena cinta itu fitrah. Dari setiap masalah yang Allah timpakan itu adalah ujian pendewasaan. Anak cantik Mama harus semakin dewasa setelah ditimpa masalah penolakan ini. Yakinlah bahwa Allah sedang memepersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk Teteh."

Fatimah melepas pelukannya lalu tangannya menghapus jejak air mata di pipi Nuha, sudah sangat lama Nuha tidak menangis seperti ini di hadapan ibunya.

"Sekarang makan dulu biar lebih kuat lagi dalam menghadapi masalah. Kalau fisik saja lemah bagaimana kedepannya menghadapi masalah lainnya karena dalam hidup ini kita butuh energi. Ingat pesan Mama! Jangan menyiksa diri sendiri apalagi melakukan tindakan yang membahayakan, karena Ghalib tidak akan datang hanya untuk menikahi."

Nasehat ibunya begitu manjur. Nuha akhirnya keluar dari bersemedinya setelah satu bulan mengurung diri di kamar. Bersemedi bukan untuk mendapatkan kekuatan tapi meratapi kesedihan.

Nuha melupakan rasanya dengan berusaha menyemangati dirinya sendiri setiap harinya. Benar, mau sampai kapan menyiksa diri sendiri karena cinta butuh logika, bukan hanya tentang pemuasan hati.

"Mau pergi kemana, Teh?" Fatimah yang sedang menggunting tanaman hias yang berada di halaman depan rumahnya seketika berdiri ketika melihat putrinya keluar dari rumah dengan pakaian yang sudah rapi.

"Mau ketemu teman, Ma. Sudah lama Nuha tidak bertemu dengan teman. Benar kata Mama bahwa Nuha harus semangat. Kalau Ghalib saja di luar sana tertawa dan bahagia, masa aku malah nangis terus di kamar." Nuha tersenyum merasa bahagia karena ternyata dirinya bisa keluar rumah dan siap menghadapi dunia setelah sebelumnya merasa terpuruk dan malu.

"Alhamdulillah, ya sudah hati-hati bawa motornya jangan ngebut."

Nuha mencium tangan ibunya dengan takzim lalu mengucap salam dan bersiap menyalakan motor. Nuha bertemu dengan temannya untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Berdiam diri di rumah setiap harinya hanya kan menambah kesedihan hatinya karena senantiasa memikirkan Ghalib.

***

Wanita dengan rambut digerai indah, berkemeja putih dengan celana katun berwarna khaki masuk ke sebuah cafe. Matanya melirik menyusuri ruangan cafe yang sore ini tidak terlalu banyak pengunjungnya. Alunan musik klasik mengalun merdu menemani langkah gadis itu menghampiri wanita berkerudung lebar yang berada di pojok cafe.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah Mae," sapa gadis itu pada sahabatnya yang bernama Mae. Keduanya bertemu di sebuah kafe yang tidak jauh dari kampus mereka ketika kuliah.

"Mulai ngeledek pake nyebut ustadzah segala, Wa'alaikumsalam, Nuha."

"Sudah lama nunggu?" tanyanya tanpa raut bersalah. Nuha menarik kursi yang berada di depan sahabatnya lalu duduk di kursi yang telah ditariknya.

"Jelas lama, kamu kan WIB alias Waktu Indonesia Bersantai. Santai bener ngaret sampai setengah jam." Mae mendelik kepada orang yang ada di hadapannya itu.

"Maaf deh. Gimana ada lowongan kerja buat aku?"

"Ngajar mau gak?" tutur Mae sambil menyimpan ponselnya di atas meja.

Nuha nampak berpikir karena selama ini tak pernah terpikir mengajar akan menjadi pilihan dirinya. Selama ini dirinya berpikir untuk bekerja di perkantoran dengan membayangkan setiap hari di depan komputer dengan ruangan yang ber-AC dan juga gedung yang tinggi.

"Gajinya kecil kalau ngajar, pengen yang gajinya gede gitu."

"Bapak kamu itu sepervisor ngapain nanya lowongan ke aku kalau ayah kamu sendiri aja bisa jadi orang dalam buat masukan kamu ke pabrik tempat bapak kamu kerja."

"Gak ada lowongan kata bapakku."

"Sebenarnya ngajar di sekolah tempat aku ngajar gajinya lumayan."

"Hmmm....Boleh deh aku coba."

"Maaf, Nuha, tapi ngajarnya harus pake hijab. Sekolah Islami lah jadi wajib bagi setiap guru atau pun siswa untuk menggunakan pakaian tertutup."

"Jadi aku harus kaya kamu pake gamis dan kerudung begitu?" tanya Nuha memastikan ucapan sahabatnya itu.

"Iya, itu kalau kamu mau, kalau enggak aku kasih ke orang lain lowongan ngajar ini."

"Mau deh sekalian belajar untuk menutup aurat daripada di rumah terus kepikiran si dia."

"Alhamdulillah kalau kamu ada niat untuk menutup aurat. Gimana hubungan kamu sama Ghalib? Katanya mau ajak dia nikah."

Mae adalah sahabat kuliah yang senantiasa menjadi curahan hati Nuha. Nuha percaya bahwa Mae akan senantiasa menutup rapat curahan hatinya. Mae adalah seorang gadis yang senantiasa menutup auratnya dengan rapat. Tak pernah terlintas ketika awal masuk kuliah Nuha akan bersahabat baik dengan wanita berhijab lebar itu. Setiap harinya Mae akan memberikan ceramah-ceramah yang membuat telinga Nuha panas. Tapi bagi Nuha, Mae adalah yang terbaik hanya saja selama ini dirinya belum bisa sebagaimana Mae berprilaku terutama dalam persoalan agama.

"Dia nolak aku, Mae." Wajah Nuha menjadi sendu.

"Dia kasih kamu alasannya gak?"

"Dia gak cinta sama aku dan dia gak mau menikah dengan orang yang tidak dicintainya."

"Astagfirullah, mungkin dia bukan jodoh kamu dan Allah sedang persiapkan pria yang lebih baik dari Ghalib." Mae berusaha menghibur sahabatnya itu.

Nuha menganggukan kepalanya dengan menerbitkan senyum terpaksanya.

"Maaf ya, Nuha. Kamu jangan kecewa atau pun marah, sebenarnya Ghalib menyukai Arini, anak jurusan Hubungan Internasional."

"Arini yang suka pakai gamis dan pakai kacamata itu bukan?" tanya Nuha memastikan bahwa Arini yang dimaksud sahabatnya ini adalah Arini dikenalnya.

"Ya, Arini yang itu."

"Tahu dari siapa kamu, Mae."

"Aku dan Arini kan ikutan Mading. Suatu hari aku bertemu dengan Arini dalam sebuah rapat. Setelah rapat aku dan yang lainnya pergi ke masjid untuk menunaikan Sholat Ashar. Ketika akan masuk ke pelataran masjid ternyata ada Ghalib dan teman-temannya yang kelihatannya mereka baru selesai sholat. Teman-teman Ghalib manggil-manggil Arini, mereka bilang, 'Teh Arini ada Kang Ghalib nih, Kang Ghalib katanya suka sama Teh Arini'. Awalnya aku kira bercanda tapi ketika aku lihat Ghalib ternyata dia wajahnya merona. Setelah selesai sholat aku tanya Arini dan Arini bilang katanya emang Ghalib suka sama Arini bahkan Ghalib pernah menghubungi Arini lewat pesan," tutur Mae panjang lebar.

Matahari semakin berjalan ke arah barat menuju peraduannya. Nuha dan Mae harus berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.

Setelah mendengar cerita Mae di kafe tadi membuat luka Nuha kembali terbuka. Rasanya baru kemarin hati ini disiram oleh ceramah sang bunda agar hati kembali segar, tapi kenyataanya benar saja bahwa masalah kembali hadir. Nuha harus berusaha keras untuk mengobati luka hatinya seorang diri. Intinya sadar diri bahwa bukan dirinya yang dicinta oleh Ghalib tapi wanita lain dan perasaan tidak bisa dipaksakan.

'Ya Allah, kalau memang dia bukan jodoh untukku maka mudahkanlah aku untuk melupakannya dan berusaha ikhlas dengan siapa pun aku berjodoh.'

Nuha berusaha untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang kamarnya. Tanganya membuka-buka ponselnya hanya untuk stalking istagram atau pun membuka pesan-pesan whatsaap dari teman-temannya. Tak dinyana pesan yang setelah satu bulan ceklis abu itu kini berubah biru, yang artinya Ghalib sudah membaca pesan darinya.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

6.9M 963K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...
170K 16.3K 52
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
4.9M 296K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
76.6K 3.9K 24
Ayana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di seki...