STALKER - Beside Me [REVISI] āœ”

By smileracle

103K 13.8K 13.3K

Bagaimana jika setiap aktivitasmu diawasi oleh seseorang yang tak dikenal? Hidup Ruwi menjadi lebih tidak ten... More

Prolog
1 - Arti Nama
2 - New Friends
3 - Seseorang yang Peduli
4 - xxxx is Calling
5 - What I Feel (1)
6 - What I Feel (2)
7 - Preman dan Bunga
8 - Sebuah Surat
9 - The Incident
10 - It's okay, But...
11 - Kecurigaan
12 - Benang Merah
13 - Hidden Person
14. Chandra's Side Story
15 - Serpihan
16 - Serpihan 2
17 - Lindungi Ruwi!
18 - Save Me!
19 - Rumah Sakit
20 - Pengakuan
21 - Maaf...
22 - Happy Ending?
23 - 1004
24 - Siapa Mr. R?
CAST
25 - Pria itu...
26 - Belum Usai
27 - Sebuah Janji
28 - Ketemu
29 - Dua Perisai
30 - Memori Masa Lalu
31 - It's Okay not to be Okay
32 - Kembali pada Kenyataan
33 - H-1
34 - D-Day
35 - His Face
36 - Kepingan Rahasia
37 - Serious Talk
38 - Stalker Baru
39 - Laporan Terakhir
40 - Ayah Idaman
41 - Face to Face
42.a - Hari Yang Dinantikan
42.b - Hari Yang Dinantikan
44 - Fakta Lain
45 - Untitled
46 - Sebuah Keputusan
47 - Kalimat yang Membunuh
48 - Kabar Buruk
49 - An Apology
50 - Lembaran Baru
51.a - (Stalker) Beside Me
51.b - (Stalker) Beside Me
52 - R, Si Baik
53 - Love You Goodbye
54 - Untitled
55 - Love to Love
56 - One Fine Day
EPILOG
Special Part - Mr. R's Side Story

43 - Black Memories

598 96 75
By smileracle


15 tahun lalu...

"Seorang pembunuh bayaran tidak boleh memiliki kelemahan. Tapi, kau memiliki satu kelemahan, Tuan Lingga. Ruwi adalah kelemahan terbesarmu!" seru seorang pria berpakaian resmi yang saat itu berdiri di sebuah gang sepi dengan satu lampu oranye di atas. Di hadapannya ada Lingga yang menunduk dalam.

"Dia hanya menjadi beban untukmu! Cepat bunuh dia! Atau aku akan melakukannya dengan caraku sendiri!" ancam pria itu.

Lingga sontak terkejut dengan perkataan bosnya. "Jangan! Jangan bunuh Ruwi! Hanya dia yang aku punya di dunia ini," jawabnya memohon.

"Terakhir kali kau gagal melakukan tugasmu. Kenapa? Apa sekarang kau memiliki rasa empati pada calon korban? Sekali pun kau berempati, kau tetap harus membunuh mereka! Kau sudah terlibat cukup jauh di dunia bisnis ini, dan kau tidak bisa keluar dengan mudah!" Pria itu nampak sangat kesal.

"Aku yakin rasa kemanusiaanmu itu muncul karena kau terlalu menyayangi Ruwi. Jadi, aku hanya memberimu satu pilihan. Bunuh Ruwi!" tandas pria itu.

"Ayah!"

Lingga menoleh saat mendengar putrinya berteriak memanggilnya dari kejauhan. Ruwi kecil terlihat berusaha melangkah cepat meski sesekali hampir kehilangan keseimbangan karena permukaan tanah yang tidak rata.

"Aku harus membunuh putriku sendiri?" Lingga bergumam sembari menatap nanar putrinya yang masih berusaha melewati beberapa kubangan air.

"Aku beri waktu 24 jam. Kalau sampai besok anak itu masih hidup, jangan salahkan aku kalau aku akan memenggal kepalanya tepat di depan matamu." Pria itu berbisik di sebelah telinga Lingga. Kemudian, dia segera pergi sebelum Ruwi tiba.

Lingga bersikap seolah tak terjadi apa-apa begitu melihat putri semata wayangnya sudah berdiri di dekatnya. Pria bertubuh tegap itu tersenyum lebar. Sayangnya itu palsu demi menutupi kesedihannya.

"Ayah sudah pulang!" seru Lingga sembari berjongkok untuk menyambut pelukan dari sang anak.

"Kenapa Ayah lama sekali? Apa pekerjaan di sana sulit?" tanya Ruwi kecil yang masih dalam pelukan hangat pria yang dia panggil Ayah.

"Maaf karena membuat Ruwi menunggu lama. Ayah janji akan pulang lebih awal besok," balas Lingga disertai senyuman hangat.

"Tidak apa-apa, Ruwi suka menunggu Ayah. Meski Ayah perginya lama, Ruwi akan terus menunggu Ayah pulang." Tangan mungil Ruwi mulai menepuk bahu lebar ayahnya dengan lembut. Berusaha menyalurkan energi positif untuk sang ayah yang baru pulang bekerja.

.
.
.

"Ayah, kenapa kita ke bukit malam-malam?" tanya Ruwi kecil sembari berusaha menyamakan langkahnya dari sang ayah.

"Ruwi takut, Yah. Ayo kita pulang." Ruwi mulai merengek. Wajar, usianya kala itu masih 4 tahun.

Sosok pria jangkung yang menggandeng tangan kanan Ruwi akhirnya berhenti melangkah begitu mendengar Ruwi menangis. Ia pun mengambil posisi jongkok untuk menyejajarkan pandangannya.

"Malam ini Ayah dan Ruwi akan berkemah di sini. Ayah udah menyiapkan tenda di sebelah sana. Jadi, Ruwi jangan nangis, ya," jawab sang ayah. Sejurus kemudian, tangan pria itu mengelus pipi Ruwi dengan lembut.

"Tapi, di sini gelap, Yah. Ruwi gak suka gelap."

Keadaan bukit memang gelap. Itu karena sebagian cahaya bulan dan bintang telah tertutupi awan hitam. Saking gelapnya, Ruwi tidak bisa melihat dengan jelas wajah sang ayah yang notabenenya berada di depan matanya.

.
.
.

"Ruwi tidak mau sendirian, Ruwi takut gelap. Ruwi ingin pulang aja, Yah." Sedari tadi Ruwi kecil terus merengek. Ia benar-benar ketakutan saat hendak memasuki bukit yang penuh dengan pepohonan rindang.

Lingga tersenyum hangat. "Ruwi tidak usah takut, ada Ayah di sini yang akan melindungi Ruwi."

"Siapa yang akan melindungi Ayah kalau Ayah melindungi Ruwi?" tanya Ruwi dengan polosnya.

"Ayah bisa melindungi Ayah sendiri, Ruwi gak usah khawatir, ya." Lingga menyelipkan beberapa helai rambut lembut Ruwi ke belakang telinga, lalu mengelus-elus pipinya.

Tiba-tiba Ruwi memeluk tubuh ayahnya begitu erat. Dia tak ingin segera melepasnya. Sedangkan, Lingga sudah tahu cara menyikapi tingkah manja putrinya itu. Dia melingkarkan tangan kekarnya pada tubuh mungil Ruwi dengan penuh kelembutan. Pemandangan kasih sayang seorang ayah pada anaknya terlihat jelas di sana. Namun, hal itu tak berlangsung lama.

Tangan kanan Lingga mulai bergerak menuju samping, mengambil sesuatu yang dia sembunyikan dari balik jaket kulitnya. Diam-diam dia mengeluarkan sebuah pistol lalu mengarahkannya ke belakang kepala Ruwi.

"Sekarang Ruwi tidur saja, ya. Ayah akan langsung menidurkan Ruwi, tidak akan sakit, kok," lirih Lingga sembari mendekatkan moncong pistol.

Lingga merasa itu adalah kesempatan terbaik untuk melakukannya. Dirinya tinggal menarik pelatuk maka peluru di dalam pistol akan langsung berpindah sarang, melubangi kepala seorang anak kecil yang tak lain merupakan putrinya sendiri.

"Ruwi sayang Ayah," lirih Ruwi tepat di telinga ayahnya. Dapat dirasakan sebuah ketulusan yang berasal dari hati murni seorang anak kecil.

"Ruwi percaya Ayah bisa melindungi Ruwi. Karena itulah Ruwi sayang banget sama Ayah," lanjutnya.

Fokus Lingga menjadi pecah. Dia merasa kesulitan hanya untuk menggerakkan jari telunjuknya. Tersisa satu langkah lagi yang perlu dia lakukan dan masalah yang dia hadapi akan selesai. Jika dipikir semudah itu, tapi mengapa rasanya sangat sulit untuk melakukannya? Nyatanya, kalimat yang diucapkan putri kecilnya barusan sudah seperti bom yang berhasil menghancurkan tembok pertahanan Lingga. Niatnya untuk membunuh Ruwi seketika hilang.

"Ayah menangis?" Ruwi segera melepas pelukan ketika mendengar suara isak tangis pelan dari ayahnya.

Pandangan Ruwi beralih menatap pistol yang baru saja dilepaskan Lingga ke tanah. Sepertinya Ruwi sudah tahu fungsi benda itu, karena itulah dia mengambil langkah mundur perlahan.

"Kenapa Ayah membawa benda itu? Ruwi pernah melihat di TV kalau benda itu bisa membunuh manusia. Benda itu berbahaya, Yah," ucap Ruwi takut.

"Apa... Ayah akan membunuh Ruwi?" tanyanya kemudian. Sorot matanya yang sedih berusaha menemukan manik mata sang ayah.

"Tidak! Ayah tidak akan melukai Ruwi. Ruwi gak perlu takut." Lingga menggeleng kuat. Dia berusaha menggeser tubuhnya mendekati Ruwi yang terus melangkah mundur ketakutan.

"Pㅡpistol ini untuk membunuh harimau. Ruwi tahu 'kan kalau di dalam hutan ada harimau? Ayah tidak ingin ada harimau yang menyakiti Ruwi," dusta Lingga berharap putrinya yang masih polos langsung percaya.

"Harimau? Ah, jadi Ayah akan melindungi Ruwi dengan pistol ini," ucap Ruwi disertai senyuman lebar.

Lingga mengangguk mantap. "Apapun yang terjadi Ayah harus melindungi Ruwi."

.
.
.

Ruwi hanya menurut saat disuruh untuk tidur di dalam tenda. Sementara ayahnya berdalih akan pergi mencari kayu bakar yang nanti digunakan untuk membuat api unggun. Ruwi kecil yang tidak tahu apa-apa hanya bisa diam di tengah kegelapan. Lama ia menunggu, tapi ayahnya tak kunjung kembali. Malam semakin larut. Seekor burung hantu yang bertengger di atas pohon sedari tadi menemani Ruwi untuk menghabiskan malam di dalam hutan.

"Ayah..., jangan tinggalin Ruwi sendirian. Ruwi takut."

Ruwi mencoba berjalan di tengah kegelapan. Gadis kecil yang terbilang cerdik itu meraba-raba pohon di sekitarnya untuk dijadikan penunjuk arah. Suara retakan ranting yang ada di tanah sesekali terdengar saat Ruwi tak sengaja menginjaknya.

"Kenapa Ayah belum kembali?"

Duar!!!

Suara ledakan seperti tembakan pistol tiba-tiba terdengar dan memecah keheningan. Ruwi kecil semakin ketakutan dibuatnya. Dengan isakan tangis yang tertahan, ia mencoba mencari tempat persembunyian. Gadis kecil yang pintar. Beruntung, ada sebuah pohon besar di dekatnya. Pohon itu memiliki akar besar yang mencuat keluar sehingga mampu menutupi tubuh mungil Ruwi.

"Ayah... Ruwi takut," gumam Ruwi kecil sembari memeluk kedua lututnya erat.

.
.
.

Duar!!!

Sebuah pistol mengarah ke udara saat tembakan dilakukan. Beberapa burung yang bertengger di ranting pohon seketika beterbangan ke segala arah.

Lingga bergeming di tempat seraya menatap kosong ke depan. Tangannya meremas kuat-kuat pistol yang menjadi senjata untuk memalsukan kematiannya.

"Malam ini, pria yang dipanggil 'ayah' oleh Ruwi sudah meninggal karena menembak kepalanya sendiri. Yang ada sekarang hanyalah 'Harimau', nama samaran dari seorang pembunuh bayaran." Lingga bermonolog dengan tegas.

Kepala Lingga menengadah. Saat itu langit malam nampak berwarna keruh. Sama seperti hatinya. Lingga memaksakan seulas senyum. Kehidupan yang dia jalani nampak lucu dalam benaknya.

Tak lama kemudian, gerombolan polisi bersenjata datang mengepung. Lingga sama sekali tidak terkejut karena dia sendiri yang mengundang aparat negara itu untuk datang menangkapnya. Tembakan yang dia lepaskan tadi merupakan tanda yang dia kirim kepada polisi.

"Buang pistol Anda ke samping, lalu letakkan kedua tangan Anda di belakang kepala!" perintah salah seorang polisi sembari menodongkan pistol ke arah Lingga.

"Apa kalian sudah menangkap temanku yang lain?" tanya Lingga.

"Tiga orang yang terlibat dalam kelompok pembunuh bayaran sudah kami amankan. Terima kasih karena telah membuat laporan terkait kasus kejahatan ini. Kami juga akan menangkap Anda sebagai salah satu tersangka. Anda berhak diam karena setiap ucapan Anda dapat memberatkan Anda di pengadilan. Anda juga memiliki hak didampingi pengacara."

Begitu Miranda Rule selesai diucapkan, tiga polisi mulai mendekati Lingga dengan kehati-hatian. Salah satu polisi dengan cekatan langsung menarik kedua tangan Lingga ke belakang lalu memborgolnya.

.
.
.

Esok pagi, sepasang penduduk setempat berjalan menyusuri hutan sembari memunguti ranting kering yang bergeletakan di tanah. Setelah dirasa cukup banyak ranting yang terkumpul, keduanya memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum kembali ke desa.

"Pak, itu di sana seperti ada orang yang bersandar di pohon," ucap Nenek memberitahu suaminya.

Pria tua yang sudah beruban itu mempertajam penglihatannya. "Iya, Buk. Sepertinya anak kecil. Coba kita datangi saja."

Pasangan suami istri itu bersama-sama mendekati anak kecil yang tak lain merupakan Ruwi kecil. Mereka langsung terkejut begitu melihat kondisi Ruwi yang memprihatinkan.

Tubuh Ruwi sangat dingin saat kakek itu menyentuh dahinya. Kemudian, Kakek mengarahkan telunjuknya ke bawah hidung Ruwi. "Masih hidup, Buk!" serunya setelah merasakan udara yang keluar masuk melalui hidung Ruwi.

"Alhamdulillah!" ucap mereka bergantian.

"Aku akan lapor ke rumahnya pak lurah. Kamu di sini dulu temani genduk ini," perintah Kakek yang langsung disetujui Nenek dengan anggukan.

Tak lama setelah kepergian Kakek menuju desa, tubuh Ruwi melakukan pergerakan samar sembari terus mengucapkan kata yang sama terus menerus.

"Ayah..." ucap Ruwi kecil dengan bibir gemetar kedinginan.

"Nduk, kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanya Nenek cemas.

"Ayah..." ulang Ruwi terus menerus.

"Ayah?" ulang Nenek. Pandangannya merotasi menatap sekeliling. Selama memungut ranting pohon, dia dan suaminya tidak pernah menjumpai seorang pun di dalam hutan. Apa Ayah anak ini pergi meninggalkan dia sendirian di hutan? batinnya.

Nenek itu bergerak mendekat Ruwi yang masih menyebut kata 'Ayah'. Tangannya yang sudah keriputan langsung memegang kedua tangan mungil Ruwi, mengusapnya perlahan untuk memberikan kehangatan pada gadis kecil yang malang itu.

"Tidak apa-apa, Nduk. Tidak usah khawatir, ada Nenek  di sini. Nenek akan menjagamu biar aman. Semua akan baik-baik saja. Tidak apa-apa," kata Nenek.

.
.
.
.
.

Hari ini akan double update jadi ditunggu yaaa...

Love,
Arama 🐾

Continue Reading

You'll Also Like

369K 24.1K 45
Hidup Naomi awalnya baik-baik saja namun semua berubah ketika sang Papa mengenalkan calon Mama barunya. Banyak pertentangan yang dialami diumurnya ya...
1.2M 118K 55
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
1.2M 3K 18
šŸ”ž Bluesy area, mengandung 21+ šŸ”ž - oneshoot ! ranked; #1 Karina 24/6/2023 #1 Bluesy 25/6/2023 #1 Karinajeno 7/9/2023
3.1M 320K 30
[M] Mikasa kabur dari rumah sang Bibi yang berniat menjualnya kerumah bordil. Gadis itu berlari masuk kesebuah hutan terlarang di daerahnya. Hutan At...