AORTA

Da MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------πŸ’ŠπŸ’‰------------------ πŸ‘ΆπŸ‘Ά Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... Altro

00 β€’ Prolog
01 β€’ Little Crazy
02 β€’ More Than That
03 β€’ Love is Love
04 β€’ Jelajah Rindu
05 β€’ Mimpi Masa Depan
06 β€’ Battle Bro
07 β€’ Cerita Cinta
08 β€’ Strunggle Love
09A β€’ Pengawal Hati
09B β€’ Pengawal Hati
10A β€’ Stupidity
10B β€’ Stupidity
11 β€’ Contemplation
12A β€’ Sacrifice
12B β€’ Sacrifice
13A β€’ Merenda Mimpi
13B β€’ Merenda Mimpi
14B β€’ Try To be Strong
15 β€’ Game Over
16 β€’ Emergency Unit
17 β€’ Mencoba Bicara
18 β€’ Menunggu Mukzizat
19 β€’ Gegabah
tok tok tok
11 β€’ Contemplation
12 β€’ Sacrifice
13 β€’ Merenda Mimpi
14A β€’ Try To Be Strong
14B β€’ Try To Be Strong
15 β€’ Game Over
16 Emergency Unit
17 β€’ Mencoba Bicara

14A β€’ Try To be Strong

4.5K 664 89
Da MarentinNiagara

🍬🍬 ------------------------------
believe that God created you for me to love. He picked you out from all the rest cause He knew I'd love you the best
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

DIADUK perasaan kecewa. Tak bisa dipungkiri rasa itu tiba-tiba datang dan menyapa. Meskipun sesungguhnya tahu bahwa roda kehidupan selalu berputar dengan sempurna. Hawwaiz masih belum beranjak dari tempatnya berdiri meski mobil yang ditumpangi oleh Arfan dan Vira sudah tidak lagi terlihat matanya.

Jika itu merupakan hukuman sekaligus tantangan, tentu saja Hawwaiz akan senang hati menerimanya. Namun, ketika semua terasa seolah menghempaskan Hawwaiz layaknya sepah yang harus dibuang, tentu saja hatinya tidak bisa menerima.

Hawwaiz memilih segera menuju ke hotel yang telah di pesannya. Melupakan rasa lapar yang mendera karena insiden yang tidak mengenakkan hatinya. Takdir seolah mengajaknya bercanda atau dia yang terlebih dulu memancing amarah semesta.

Andai dulu aku lebih mendengarkan apa kata Daddy, mungkin nggak akan pernah ada penyesalan seperti ini. Hawwaiz menghela napasnya dalam-dalam. Renungannya malam ini bukan hanya tentang masa depannya dengan Vira, tetapi juga hubungan keluarga mereka yang telah bersatu dengan pernikahan Aftab dan Ayya sebelumnya.

Hawwaiz menimbang gawainya, dia ingin bertanya kepada iparnya, tapi logika lebih menguasai otak cerdasnya. Aftab pasti sangat sibuk dengan persiapan sidang doktoral dan juga merawat kakaknya. Namun, saat semua terasa rumit, tiba-tiba gawai Hawwaiz bergetar dan nama Hanif membuat bibirnya tersungging untuk menampilkan senyuman meski sangat tipis.

"Gimana urusan dengan Ormond Hospital?" Hanif yang selalu perhatian kepada adik-adiknya tidak lupa mengontrol setiap kegiatan penting mereka.

"Baik, Mas. Hari ini harusnya sudah selesai tapi karena SDMnya nggak ada jadi besok pagi aku disuruh kembali ke sana lagi," jawab Hawwaiz.

"Lalu sekarang kamu di London apa di Oxford?"

"Capek juga kalau harus bolak balik London-Oxford, aku menginap di London."

Mendengar jawaban sang adik, seketika Hanif meminta perubahan panggilan video.

"Astagfirullah, Mas. Aku di hotel ini, sendirian. Nggak percaya amat sih!" seru Hawwaiz.

"Bukan begitu, tapi Mas memiliki tanggung jawab untuk memastikan." Hanif terlihat tersenyum tipis kepada Hawwaiz. "Matamu bengkak kenapa? Habis nangis?"

Hawwaiz berdeceh perlahan lalu tersenyum miring pada Hanif. Kalaupun dia harus menangis tentu saja tidak akan membaginya pada Hanif semudah ini.

"Jangan mengalihkan topiklah, Mas. I'm okay, What's wrong you calling me this early morning?"

Hanif tertawa mendengarnya. Adik kecilnya ini kalau mode serius mengalahkan dirinya. Di London memang masih menjelang tengah malam, tapi di Indonesia Hanif baru saja melaksanakan salat Subuh.

"Ada kalanya insting saudara itu jauh lebih peka dibandingkan dengan orang tua. What's wrong with you?" kata Hanif.

"Nothing," jawab Hawwaiz singkat.

Hanif tertawa lebar sesaat lalu mengernyitkan keningnya mulai serius. Pagi ini dia menelepon Hawwaiz karena mendapatkan kabar dari Ayya bahwa mertuanya sedang berada di London. Sedikit cerita dari adik perempuannya itu bahwa sang mertua datang dengan membawa misi mendekatkan Vira dengan atasannya.

"Dik, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Hanif.

Hawwaiz menyeringai heran. Tidak biasanya kakak sulung sedingin salju itu menatapnya sendu seperti yang dilakukannya pagi itu.

"Mas Hanif sakit?" tanya Hawwaiz khawatir.

Hanif terlihat menghela napasnya dalam-dalam. Dia mencoba memancing Hawwaiz dengan pertanyaan lainnya. Namun, adik bungsunya itu masih bisa dipercaya memegang janji yang telah dia ucapkan pada orang tua mereka.

"Jadi beneran kamu nggak pernah komunikasi dengan Vira lagi, Dik?" tanya Hanif.

"Mas, sebanyak apa pun kamu bertanya tentang itu, jawabanku juga akan tetap sama. Kami sepakat menunda, seperti halnya Mbak Ayya dan Kak Aftab dulu," jawab Hawwaiz.

Kesungguhan itu jelas terlihat dari mimik muka Hawwaiz.

"Kalau Mas Hanif menghubungiku hanya untuk menanyakan itu, semua sudah jelas, kan? Aku capek, istirahat dulu ya, besok pagi harus ke rumah sakit lagi." Sesungguhnya itu hanyalah alasan Hawwaiz supaya kakak tertuanya itu tidak semakin ingin tahu dengan apa yang tersembunyi dibalik tatapannya.

"Ya sudah kamu istirahat dulu. Jaga diri baik-baik di sana. Mas hanya ingin berpesan, terkadang hidup itu nggak selalu sama seperti apa yang kita mau. Takdir Allah bisa jadi memberikan kenyataan yang sebaliknya. Apa pun itu nanti yang terjadi—" Hanif menatap Hawwaiz seperti ingin menyalurkan kekuatannya untuk sang adik agar tetap tegar menghadapi semua takdirnya.

"Kamu harus tetap berjalan lurus, ingat Daddy, Bunda dan kami, semua saudaramu selalu menyayangimu."

"Ah, Mas Hanif mengapa berkata sebijak itu sih? Aku jadi ingin nangis beneran nih," jawab Hawwaiz segera.

"Nangis saja kalau kamu ingin menangis, tapi kamu juga harus tahu, jika kamu merasakan berat untuk menjalani sesuatu, yakinlah bahwa Allah akan membuatmu naik kelas jika kamu sabar menjalaninya dengan meninggikan derajatmu, adikku."

Setelah itu, Hanif memilih mengakhirkan panggilan teleponnya pada Hawwaiz. Dan benar saja, nasihat menggantung yang diberikan Hanif membuat Hawwaiz semakin overthinking atas pertemuannya dengan Arfan, Vira dan pria yang tidak Hawwaiz kenal di restoran tadi.

Ah, harusnya tadi aku langsung menuju ke hotel. Akan jauh lebih baik jika aku nggak melihat kejadian itu di depan mataku sendiri sehingga nggak perlu juga mencurigai Vira akan mencurangi janji kami. Hawwaiz kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri tanpa bisa memejamkan matanya hingga alarm di gawainya berbunyi.

'Gumuzh, tahajud yuk, berhajat mari.'

Demikian tulisan yang ada di layar gawainya. Hawwaiz mencoba untuk merilekskan tubuhnya kembali kemudian dia memilih untuk bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Rasa-rasanya dia akan melihat fajar sebelum matanya terpejam.

Mencoba menenangkan hatinya dengan melantunkan kalam Illahi. Hawwaiz menyuarakan dengan sangat merdu puluhan ayat hingga azan Subuh berkumandang nyaring dari gawainya. Kembali dia berdiri untuk memuja zat yang memberinya kehidupan di dunia.

"Allahku, tidak ada kesempurnaan kecuali milik-Mu yang Kau sertakan dalam setiap rahmat dan rezeki pada kami setiap harinya. Tidak ada kemuliaan lain kecuali cara-Mu memuliakan kami untuk selalu bertakwa dan merintih meminta pertolongan-Mu. Namun, Ya Rabb, izinkan aku untuk bisa memuliakannya sebagai wanita dengan caraku yang sempurna. Izinkan aku menjadi satu-satunya pria yang halal baginya dalam segala hal." Hawwaiz masih menengadahkan tangannya. Perlahan air matanya ikut menetes sebagai dukungan suara hatinya yang dia bisikkan pada bumi fajar pagi itu.

Tak lama setelah itu Hawwaiz melipat sajadahnya dan memilih menikmati cerahnya pagi hari di London yang mungkin akan membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.

Menyusuri pedestrian di pagi hari yang membuat Hawwaiz bisa sedikit menghirup udara segar di tengah kota tersibuk di dunia. Hawwaiz bahkan berniat menyewa sebuah sepeda yang bisa dia pakai berkeliling ibukota Inggris dan mengenalnya lebih dekat lagi.

Satu jam berkeliling dengan sepeda membuat keringat Hawwaiz mengalir deras. Udara yang tidak terlalu panas membuatnya betah mengayuh sepeda sampai di sebuah pasar tradisional yang ada di London. Mengingatkannya saat masih sering berkunjung ke flat Vira, mereka sering belanja kebutuhan sehari-hari di sana.

Refleks bibir Hawwaiz tersenyum sekilas mengingat semuanya. Pesona gadis itu memang telah berhasil menyihir hatinya untuk tidak bisa berpaling walau keadaan menjadikan jarak antara mereka.

Tiba-tiba perut Hawwaiz berbunyi, dia baru ingat sejak kemarin siang belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.

"Astagfirullah," kata Hawwaiz lirih. Dia melihat jam yang melingkar di lengan kirinya.

Kakinya kembali bergerak mengayuh sepeda kembali ke hotel tempatnya menginap. Restoran menjadi tujuan utama ke mana kedua kaki Hawwaiz melangkah. Dia harus memulai aktivitasnya dengan semangat dan untuk itu Hawwaiz membutuhkan asupan nutrisi yang pas.

Lagi-lagi semesta seolah menguji nyalinya. Kebetulan yang seolah telah diatur sebelumnya. Setelah semalam dia menyaksikan Arfan bertemu dengan pria yang tak dikenalnya, pagi ini pun kedua matanya menjadi saksi pertemuan mereka kembali. Namun, kali ini terlihat tanpa ada Vira di antara keduanya. Mungkin Arfan dan Hawwaiz menginap di hotel yang sama.

Hawwaiz sengaja tidak menyapa setelah semalam dirinya dihantui rasa kecewa. Dia memilih mengambil makanan dan menikmatinya sedikit jauh dari tempat duduk Arfan dan pria itu. Jendela yang ada di sebelah Hawwaiz membuatnya bisa leluasa menatap kota London dari lantai 11.

"Aku harus waras dan tetap sehat. Sepertinya setelah ini jadwalku akan padat merayap seperti lalu lintas di Jakarta saat jam pulang kantor tiba." Hawwaiz menggelengkan kepala lalu segera menyantap makanan yang telah tersaji di depannya.

Namun, hambar tetap saja menjadi rasa yang utama yang terkecap oleh bibir Hawwaiz hingga dia enggan melanjutkan dan memilih segera beranjak.

"Saya ingin tepat di ulang tahun Vira nanti, Om."

Sebuah kalimat pendek yang terekam di telinga Hawwaiz ketika dia melintas di belakang kursi Arfan.

"Kamu lebih tahu teknisnya seperti apa, Heff. Om hanya ingin kalian berdua bisa saling menerima sehingga kami bisa menentukan langkah apa yang harus kami ambil selanjutnya sebagai orang tua," jawab Arfan.

Hawwaiz bukan pemuda bodoh yang tidak bisa menelaah potongan informasi yang dia dengarkan tanpa sengaja itu. Hanya butuh kesabaran untuk membuktikan semua praduga yang terangkai dengan cepat dalam otaknya. Di hari ulang tahun Vira semua akan menjawab semua pertanyaan yang tiba-tiba hadir di hatinya.

Aku masih percaya kamu setia padaku, El. Hawwaiz mengepalkan jemari tangannya. Lalu meninggalkan restoran hotel itu secepatnya.

Sesampainya di kamar, Hawwaiz segera menekan nomor telepon Regita untuk meminta tolong padanya.

"Git, rasanya terlalu naif jika aku mengatakan ini, tapi aku hanya ingin memastikan sebuah prasangka yang mungkin akan menimbulkan fitnah," kata Hawwaiz tanpa basa-basi.

"Apa yang bisa aku bantu, Iz?" jawab Regita.

"Kamu tahu Vira lagi dekat dengan siapa akhir-akhir ini?"

"Vira?" Regita menghela napasnya perlahan. "Kamu lihat sendiri atau hanya mendengar dari orang lain?"

"Ayolah, Git. Aku hanya butuh informasi."

"Setahuku nggak ada siapa-siapa. Dia masih sama seperti Vira yang aku kenal dulu. Fotomu saja masih ada di atas meja kerjanya sampai sekarang." Regita tertawa lirih sengaja meledek Hawwaiz supaya menghilangkan aura keseriusannya.

"Oke, kalau gitu aku bisa minta tolong ya?" pinta Hawwaiz.

"Selama aku bisa. Kamu ingin aku melakukan apa?"

Pekerjaan menguntit itu adalah hal yang sangat tidak manusiawi dilakukan siapa pun. Namun, kata terpaksa membuat Hawwaiz meminta Regita melakukannya agar dia tidak salah menentukan langkahnya ke depan.

"Jadi kamu hanya ingin tahu nanti di ultahnya Vira keluar dengan siapa dan ke mana?" ulang Regita.

"Ya."

"Mengapa nggak tanya langsung saja pada Vira, Iz?" Regita semakin heran dengan sikap Hawwaiz. Perhatiannya pada Vira tidak perlu diragukan lagi, tapi mengapa pemuda itu justru lebih menyukai bermain kucing-kucingan.

"Justru karena aku nggak ingin dia tahu." Hawwaiz berdeceh.

Regita tertawa dan meledek Hawwaiz ketika dia mengerti maksud teman barunya itu. "Oh paham, kamu ingin memberi Vira surprise, kan?"

"Whatever-lah, aku tunggu ya, Git." Hawwaiz kemudian kembali mengucapkan tanggal dan bulan lahir Vira.

"Iya, aku paham kok. Nanti kalau sudah dapat infonya, langsung aku beritahukan."

Panggilan terputus, Hawwaiz segera bersiap berangkat ke rumah sakit sesuai jadwal yang telah dia sepakati dengan pihak rumah sakit sebelum akhirnya dua minggu lagi dia akan menetap di London untuk kegiatan clerkship selama kurang lebih tiga tahun ke depan.

"Management will be arrange which team you will join soon. So one day before the activity takes place, you have to check with us first."

Hawwaiz mengangguk kemudian berdiri dan menyambut uluran tangan pria setengah baya yang berbicara dengannya pagi itu. Ada beberapa tes yang harus dia ikuti hari ini termasuk dengan tes kesehatan untuk memastikan kesiapannya mengikuti clerkship, karena nantinya mereka akan berhadapan langsung dengan pasien yang memiliki riwayat penyakit beraneka rupa.

"Thank you for this opportunity and I will not waste the opportunity that has been given. I feel happy to be part of this hospital," jawab Hawwaiz.

Kesepakatan pun telah tercipta. Hawwaiz hanya perlu mempersiapkan semuanya dan mengurus kepindahannya dari Oxford ke London tidak lebih dari satu minggu ke depan.

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Tanggane Ostrali, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

3M 151K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
262K 11.9K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
ALZELVIN Da Diazepam

Teen Fiction

5.5M 307K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...