Fase dalam Lingkaran [Selesai]

By gemamembiru

42.6K 8.7K 3.6K

[Trigger / content warning: domestic violence, self injury, negative vibes] Sejak di-PHK, Ayah berubah 18... More

Awal
[1] Tingkat Kesadaran Sigmund Freud ⚠️
[2] CoA: Fase Satu ⚠️
[3] Simsalabim!
[4] Memori Manusia dan Stereotip
[5] Sebelum Beranjak Dewasa, Dunia Terlihat Menyenangkan
[6] Tempat Pelariannya Hilang
[7] CoA: Fase Dua ⚠️
[8] Rentetan Tanda Tanya
[9] Tempat Aneh dari Ajakan Orang Aneh
[10] Malam Ini Berisik, Pun Pikirannya
[11] Menghancurkan Bongkahan Batu ⚠️
[12] Kehidupan di Tanah Bumi ⚠️
[13] Harapan tanpa Nama
[14] Manusia di Posisi Tengah
[15] Pertikaian di Mendung Pagi ⚠️
[16] Berteman dengan Luka ⚠️
[18] Kedekatan; Penetrasi Sosial
[19] Manusia dan Peran Mendengar
[20] Film dari Dunia Tanpa Suara
[21] Pernikahan, Frekuensi, dan Komunikasi
[22] Berpendar, Buram, dan Runyam ⚠️
[23] Dunia sedang Tidak Baik ⚠️
[24] Pada Waktu Itu, Semua Lepas Kemudi ⚠️
[25] CoA: Fase Tiga ⚠️
[26] You Did Whale
[27] Dimensi Religiusitas dan Kebersyukuran
[28] Dialog Ibu, Monolog Ayah
[29] Kapal Ini Berlayar ke Mana?
[30] Kaleidoskop

[17] Tidak Ada Cahaya di Ruang Gelap ⚠️

1K 239 69
By gemamembiru

[Trigger & content warning: pembahasan tentang self injury / self harm, KDRT, negative vibes]

Part ini ada gambar yang dibikin Ladin. Tolong hati-hati saat dilihat, takutnya bakal ngasih trigger.

Happy reading~!

Barang kali satu-satunya hal yang Ladin dapat setelah selesai bekerja dari Karsa adalah kekosongan di rumah. Ia tidak lagi mendapati dirinya terkejut pada kehidupan dunia malam di Karsa, tidak juga punya alasan untuk menghilang dari rumahnya yang penuh sesak. Kembali menatap atap kamar adalah kegiatan pertama yang Ladin lakukan setelah pulang kuliah dan berhenti bekerja di Karsa.

Ladin mengangkat sedikit lengan tangan kirinya untuk menatap lamat bekas sayatan luka yang mengering di sana. Dalam hati, ia menghitung jumlah goresan itu. Ada 12 sayatan dan Ladin tidak yakin jika suatu waktu kembali merasa sesak, ia bisa memberi satu sayatan baru di sana. Lengan kirinya sudah terlalu penuh untuk kembali menampung luka.

Jam dinding merujuk pukul tujuh malam saat Ladin bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar. Ia mengambil duduk di kursi ruang tamu, depan asbak rokok Ayah, satu kotak rokok, juga macis. Di kesunyian rumah dan isi kepalanya yang kosong, tangan Ladin terulur untuk mengambil satu batang rokok di dalam sana.

"Ngerokok jauh lebih membantu daripada cutting."

Dadanya kembali sesak saat asap rokok itu kembali mengisi rongga dadanya. Ladin terbatuk, kali ini lebih parah dari percobaan pertamanya saat merokok di Karsa. Ladin sampai berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan dahak. Detik setelahnya, ia tersenyum samar sebelum kurva bibirnya berubah menjadi isakan panjang.

Apa Ladin egois kalau bilang bahwa dia sangat rindu momen di mana Ibu bertanya setiap rasa sedih mendatanginya? Apa Ladin egois jika menginginkan dekapan hangat Ayah yang melindunginya dari kelakar sandiwara dunia yang tak habis-habis mengujinya?

***

Jika Ladin bisa, Ladin pasti akan kabur dari mata kuliah pertama di hari Rabu. Ia tidak suka mata kuliah wajib ini, tidak setelah keluarganya hancur berantakan. Kalau bukan karena sedang menghemat jatah bolosnya, Ladin pasti tidak akan masuk kuliah sekarang.

Psikologi Keluarga adalah mata kuliah wajib di semester lima dan Ladin bersumpah bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan apa pun yang ada di dalamnya. Memangnya Ladin masih perlu mempelajari materi-materi mengenai keluarga di mana kondisi keluarganya merupakan sumber utama yang dibencinya di dunia?

Perempuan dengan sorot mata redup itu duduk di sudut kelas tanpa siapa pun orang yang dikenalnya. Ladin tidak kenal ratusan orang di angkatannya sehingga ia tidak pernah hapal orang-orang di kelas baru. Jadi, sampai dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga datang dan menyalakan infocus kelas pun, Ladin tetap tidak peduli.

"Kenapa Psikologi Keluarga perlu dipelajari?" Itu pertanyaan pertama Bu Indri, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga, saat membuka kelas pagi. Pandangan Bu Indri mengedar sebentar sebelum menunjuk acak salah satu mahasiswanya. "Ya, Mas. Jawab."

Orang yang ditunjuk langsung gelagapan. Agam melirik laki-laki yang duduk di sampingnya untuk meminta bantuan, tapi orang yang diliriknya justru menggeleng tanda tidak tahu.

"Ng, karena semua o-orang punya keluarga, Bu," jawab Agam kaku.

"Yang tegas toh Mas, jawabnya!"

"Karena semua orang punya keluarga, Bu," jawab Agam lagi, kali ini lebih serius. "Karena keluarga adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi tiap anggota untuk berinteraksi dan membentuk kepribadian seseorang."

"Kalau Mas di sebelahnya, gimana Mas?" Bu Indri melempar pertanyaan yang sama pada orang lain. "Kenapa toh harus belajar Psikologi Keluarga? Kenapa nggak psikologi individu aja, supaya fokusnya di memperbaiki per individu saja?"

"Izin menjawab, Bu. Setau saya, Psikologi Keluarga merupakan penggabungan ilmu Psikologi dan ilmu tentang keluarga. Kita dapat mempelajari pola asuh dan interaksi yang ada di dalam keluarga tersebut. Hal ini terjadi karena keluarga menjadi salah satu faktor kuat dalam membentuk individu," ujar Tama. Laki-laki berkaca mata itu tersenyum puas setelah menyelesaikan jawabannya.

"Ya, benar itu." Bu Indri mengangguk. "Psikologi Keluarga juga bertujuan untuk menggali kekuatan yang ada di dalam keluarga. Selain itu, pendekatan dalam psikologi keluarga juga dapat mencegah terjadinya gangguan psikologis dalam anggota keluarga. Dalam Psikologi, banyak terapi yang dapat diberikan kepada keluarga. Baik untuk per individu atau seluruh anggota keluarga."

Ladin mendengar diskusi itu sambil mencoret kertas bindernya dengan tiga gambar stick man. Satu stick man paling besar digambarnya memiliki dominasi terbesar dan coretan spidol merah. Satu stick man yang lain terlihat mengecil di sampingnya. Sementara stick man terakhir sedang berdiri di bawah pohon dan gantungan tali.

Ladin sudah bilang, 'kan? Ia sama sekali tidak tertarik dengan mata kuliah ini. Keluarganya sudah hancur. Mata kuliah ini sama sekali tidak berguna karena dipelajarinya pun, tetap tidak akan membuat keluarganya utuh seperti semula.

"Keluarga adalah lingkungan pertama anak, tempat pertama belajar untuk bersosialisasi dan mempelajari ini-itu. Ingat teori kelekatan Erik Erikson? Di tahap pertama, ada trust VS mistrust. Jika anak tidak mendapatkan trust (rasa aman) di rumah, anak tersebut akan tumbuh dengan mistrust atau rasa tidak percaya. Peran keluarga yang memberikan rasa aman sangat penting dalam perkembangan anak."

Tangan Ladin semakin bergerak cepat di atas binder. Ia mencoret stick man paling besar gigi bergemeletuk. Ladin tidak sadar seberapa jauh ia menumpahkan emosinya, sampai kertas bindernya bolong dan ia mengembuskan napas berat.

"Kasus kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun itu ada, bahkan meningkat. Umumnya, ayah yang menjadi pelaku kekerasan. Tapi juga nggak menampik bahwa sosok ayah juga dapat menjadi korban KDRT," tambah Bu Indri. "Banyak korban KDRT yang lebih milih untuk diam. Beberapa faktornya: takut menjadi omongan tetangga, takut justru korban yang disudutkan, masih bergantung secara ekonomi, diancam, dan lain sebagainya."

"Izin bertanya, Bu." Raya mengangkat tangan. Setelah dipersilakan, ia bertanya, "Karena menjadi korban KDRT sepertinya berada di posisi yang serba salah, apa yang bisa dilakukan oleh korban?"

"Jangan takut untuk melapor," jawab Bu Indri tegas. "Pertama-tama, bisa bercerita ke orang yang dipercaya. Rasa sedih perlu diselesaikan supaya segala emosi negatif tidak terus-menerus menumpuk. Kedua, konsultasikan kepada ahlinya, seperti komisi perlindungan anak dan perempuan, psikolog, atau konselor pernikahan," jelas Bu Indri. "Materi terkait KDRT menjadi salah satu bab di RPS Psikologi Keluarga. Jadi, sekarang bagi kelompok dengan empat anggota, lalu pilih materi presenatsi mulai minggu depan. Kormat bantu saya, ya."

Dengan begitu, kelas selesai. Kormat membagikan seluruh mahasiswa di kelad Psikologi Keluarga ke dalam kelompok secara acak. Saat dipanggil menjadi kelompok 12, Ladin berpindah duduk ke tempat kelompoknya. Semuanya berjalan lancar sampai kormat mengumumkan pembagian materi, Ladin mendadak mual.

"Kelompok 12, materinya KDRT."

***

Pulang kuliah, Ladin langsung melempar tasnya ke lantai. Ia mengambil posisi di balik pintu sebelum terisak dengan memeluk lutut. Dadanya bergemuruh, kesal sekaligus benci. Kenapa Tuhan senang sekali mempermainkannya? Kenapa dari sekian banyaknya materi kuliah, Ladin harus mempresentasikan mengenai KDRT? Apa Ladin akan memberi dongeng singkat saja mengenai kehidupannya sebagai keluarga yang mengalami KDRT?

Ladin begitu marah, bahkan sampai otaknya tidak mampu menitah tangannya untuk mengambil cutter dan menambah sayatan baru di luka bagian mana pun. Cutter itu tergeletak di sebelahnya tanpa berperan untuk menambah sayatan di sisi mana pun pada tubuhnya.

Ladin kewalahan. Ia tidak bisa menahan emosinya sendiri. Ladin ingin sekali menceritakan berbagai hal yang menjadi bebannya saat ini. Tentang Ayah yang berperilaku kasar, Ibu yang selalu minta maaf ketika Ayah memukul, juga tentang perasaan sesaknya karena tidak merasakan ketenangan apa pun.

Ia ingin sekali mengekspresikan rasa sedihnyaㅡapa pun yang mampu melapangkan perasaannya. Tidak dengan menyayat tangannya karena Ladin sangat lelah untuk menahan sakit. Tidak pula dengan rokok karena dadanya sudah sesak bahkan sebelum benda silindris itu diisapnya.

Lelah. Ladin seperti sedang berlari kencang di lapangan tanpa pemberhentian. Napasnya sudah lama kehilangan kata istirahat, dipaksa berlari sebab pacuan masalah tidak mau memberinya jeda. Dan Ladin pun tidak punya pilihan untuk istirahat karena ia tidak menemui siapa pun di tempat istirahat yang sedang menunggunya.

Pelukannya pada diri sendiri semakin erat. Matanya masih memproduksi air sebagai isyarat rasa sakitnya yang tidak diulurkan pertolongan tangan.

"AKU MAU SEKARANG!"

Saat Ladin butuh ditenangkan, satu-satunya yang ia dengar justru teriakan Ayah dari pintu rumah. Matanya terpejam untuk memunguti kembali sisa keberanian dan mencari-cari peluang rasa sabar. Lalu, saat suara Ayah dan jeritan Ibu terdengar, tangan Ladin menutup telinganya dan isakannya semakin kencang.

"Kau itu istriku. Nurut sama suami."

"Tolong, nanti ...."

"Aku maunya sekarang, Bangs**!"

Pada suara tamparan yang kembali didengarnya, Ladin bersumpah bahwa ia ingin balik menampar Ayah. Kakinya gemetar saat otaknya menitah untuk berjalan ke luar, mendekati raga Ayah yang berdiri tegap dengan sisa emosi marah, juga Ibu yang menangis dan kulit lebam-lebam.

Otaknya perlu memproses sesaat apa yang terjadi. Potret ini meski terlihat familier, tapi tidak sepantasnya terjadi. Ayah meracau membahas tentang peran istri yang harus melayani suami; sementara Ibu memohon untuk menunda keinginan Ayah karena kelelahan.

"Kenapa pula kau capek? Abis dipake kau makanya gak mau kupake lagi?" sinis Ayah dengan sudut bibir terangkat ke atas. Tubuhnya berdiri congkak dengan sorot mata yang merendahkan. "Ke kamar sekarang!"

"Kalau Ibu nggak mau, jangan dipaksa!" Itu teriakan kedua Ladin untuk menentang Ayah. Ia semakin menangis saat orang yang dibentaknya balik balas menatap bengis. "Maksa pasangan untuk melakukan hubungan seksual itu namanya pelecehan!"

"Dia istriku. Bercanda pula kau, aku ngelakuin pelecehan ke istri sendiri?"

"Pasangan suami-istri juga bisa ngelakuin pelecehan seksual! Makanya gak usah seenaknya!" jerit Ladin lagi. "Pergiiii!!!"

Ladin muak untuk tetap bungkam. Ia menatap tajam pada raut wajah Ayah yang semakin mengeras. Paduan emosi negatif berpendar di dalam sana, membisikkan dirinya sendiri bahwa Ladin pun harus menerima Ayah bukan lagi orang yang dulu. Ladin tidak bisa berlagak pilon pada kelakuan Ayah yang semakin menjadi.

Kekerasan yang dilakukan Ayah perlu Ladin sadari hingga keberanian menggerakkan tubuhnya berjalan ke depan Ibu, menjadi benteng terkuat agar Ayah tidak lagi menjadi diktator. Malam ini, Ladin sudah siap jika Ayah menyarangkan pukulan dan tamparan juga padanya.

Ladin sudah tidak keberatan jika ia terbangun di keesokan harinya dengan tubuh lebam seperti Ibu.

"Geser!" Ayah berteriak keras dengan bola mata membesar. Barang kali sepasang bola mata itu hendak keluar dan menghunus subjek di depannya. "Urusanku sama dia, bukan sama kau."

"Urusan Ibu itu urusan Ladin juga!" Ladin memekik tak kalah tinggi.

"Nyesel kau, Din," rutuk Ayah sambil meludah ke samping. Tangan besarnya dengan mudah menarik telinga Ibu dan menggeretnya masuk ke kamar. Tidak peduli bahwa Ladin semakin menjerit saat netranya menyaksikan adegan kekerasan yang Ayah lakukan.

Kepala Ladin sempat kosong sesaat. Ia terjebak pada ruang tak berpintu yang tidak didatangi seberkas cahaya. Badannya mengerang untuk luruh dengan peluh keringat yang membanjir. Ruang kedap suara itu perlahan diisi oleh rintihan sakit Ibu, menarik kesadaran Ladin untuk berlari keluar rumah dengan isak tangis yang berderai.

Ia berlari tanpa sempat memakai sendalnya. Tak peduli bahwa kaki telanjangnya akan terluka karena kulitnya tergesek aspal dengan kerikil tajam. Air matanya masih mengalir deras dan kepalanya menjadi satu-satunya pusat otiriter yang tidak memberi izin Ladin untuk berhenti.

Dunia harus tahu. Ladin tidak bisa tinggal diam untuk mengakhiri penderitaan di rumah.

"Pak ... tolong."

Pak Rudi tidak dapat menutupi keterkejutannya saat membuka pintu dan menemui seorang perempuan sedang menangis dengan kondisi acak-acakan. Ketua RT itu mempersilakan Ladin masuk, tapi Ladin menggeleng keras.

"Ke rumah saya, Pak. Tolong ... boleh percaya sama saya? Tolong ... tolong ... s-saya." Tubuh perempuan itu luruh ke lantai sebelum ucapannya selesai. Sadar keadaan darurat yang sedang terjadi, Pak Rudi segera bergegas mendatangi rumah Ladin sementara Bu RT menarik Ladin dalam pelukannya dan mengusap lembut rambut rapuh itu.

"Bu ... Ayah, jahat .... Kenapa nggak ada yang peduli?" isak Ladin.

"Saya peduli, Mbak. Mbak tenang dulu ya."

"Ibu nggak peduli kalau saya nggak datang ke sini. Semua orang nggak peduli!" Tangis Ladin semakin membesar. Ia tidak berpikir lagi bahwa air matanya sedang meninggalkan jejak pada daster Bu Erum, juga tidak peduli saat tetangga mulai keluar untuk melihat sumber kekacauan malam ini.

Boleh jadi air matanya sudah kering setelah dihabiskan dua jam penuh untuk menangis. Jam merujuk pada pukul 11 malam saat Ladin kembali diantar pulang dengan sisa ketakutan yang didekapnya. Bu Erum yang merangkul tubuh rapuh perempuan itu, memberinya sepasang sendal dan usapan lembut di kepala.

Ladin ingin bertanya ke mana Ibu dan Ayah karena ia tidak menemui siapa pun di rumahnya, tapi mulutnya malas terbuka. Namun Bu Erum menjelaskan sendiri bahwa kedua orang tuanya sedang diurus pada pihak berwajib. Saat Bu Erum izin untuk berpamitan pulang, wanita itu menyempatkan dirinuntuk berujar bahwa dunia tidak semenyeramkan pikiran Ladin. Bahwa keluarganya akan tetap baik-baik saja.

"Ladin istirahat sekarang, ya. Jangan nangis terus, keluargamu akan baik-baik saja," pesan Bu Erum sebelum menghilang dari pandangannya.

Seseorang yang tidak memahami kondisinya pasti akan berujar hal yang sama seperti Bu Erum: 'Tidak apa-apa', 'keluargamu akan membaik', 'ayo semangat', 'tidur yang nyenyak', 'jangan nangis lagi'. Padahal, kalimat-kalimat itu persis seperti racun dalam oksigen yang dihirupnya.

Mengatakan seperti itu sama saja berteriak pada seseorang yang terjebak di ruang gelap, bahwa di sana ada sependar cahaya yang bersinar.

Padahal, tidak ada apa pun selain kegelapan.

Racun itu terpaksa Ladin hirup. Ia harus berlagak melihat cahaya lampu yang diucapkan orang-orang pada ruang gelap dalam pikirannya.

Sekali lagi, Ladin tidak bisa bersuara. []

Catatan:

- Teori Erik Erikson tentang kelekatan pernah aku bahas sedikit di work 'Magnet' bab [17] Kelekatan. Kalau penasaran, boleh dicek :DD

- Gambar bisa jadi salah satu metode untuk mencurahkan isi pikiran yang (mungkin) susah dikeluarin sebelumnya. Begitu juga dengan gambar yang Ladin bikin, ada pesan yang lagi dia tumpahin.

Salah satu tes psikologi ada yang dilakukan dengan cara meminta individu pakai ngegambar, fungsinya buat lihat proyeksi pada individu. Mungkin pernah ada yang tes psikologi diminta menggambar pohon, orang, dan rumah?

Dan maaf karena update-nya lama banget HAHA aku kaget ternyata udah 2 minggu lebih FdL nggak update :'D maaf juga part ini panjang banget.

Kalau ada kritik-saran atau informasi yang keliru, boleh kabarin aja yaa. Hehehe.

Have a nice day! <3

17/01/2021

Continue Reading

You'll Also Like

8.3K 433 8
[Completed] "Hati ku telah lama memanggil mu dan selama itu pula aku menunggu mu mendengar panggilan ku"
16.9M 748K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
434K 2.7K 116
𝘙𝘦𝘬𝘰𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘴𝘪 𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘙𝘰𝘮𝘢𝘯𝘤𝘦, 𝘊𝘩𝘪𝘤𝘬𝘭𝘪𝘵, 𝘥𝘢𝘯 𝘍𝘪𝘬𝘴𝘪 𝘶𝘮𝘶𝘮. #2023
61.3K 5.1K 6
Bara ingin sekali bilang, malam itu Biru cantik sekali. Tapi kata-kata itu hanya berani Bara ucapkan di dalam hati. Entah kenapa, Bara selalu merasa...