Sang Masa Lalu [END]

By kosmosterbang

266 93 97

Ini tentang dia. Dia yang membuat hari-hariku menjadi berharga. Dia yang selalu ada. Dia yang meninggalkan l... More

prolog
Chapter I : Pertemuan
Chapter II : Rumah Adisa
Chapter III : Telat
Chapter V : Masuk BK
Chapter VI : Tugas dari Bagas
Chapter VII : Cari Adit
Chapter VIII : Fakta
Chapter IX : Ke Dokter
Chapter X : Fakta Baru Lagi
Chapter XI : Pantai
Chapter XII : Panti
Chapter XIII : Masuk Sekolah
Chapter XIV : Ucapan Terima Kasih
Chapter XV : Jalan lagi
Chapter XVI : Ujian Akhir
Chapter XVII : Lulus
Chapter XVIII : Kali Terakhir
Chapter XIX : Kenyataan
Epilog

Chapter IV : Bolos

17 5 3
By kosmosterbang

Hari ini mungkin menjadi hari kesialan bagi Adisa sekali lagi. Karena hari ini ia telat lagi dan dihukum membersihkan sampah dedaunan di taman belakang sekolah. Namun, Adisa tak sendiri, melainkan bersama kembali dengan Adit yang memang hari-harinya selalu telat jika ke sekolah.

"Kamu tiap hari telat ya, Dit?" tanya Adisa di sela-sela ia memasukkan daun kering ke tong sampah.

Adit menoleh, "ya begitulah. Kenapa?" tanyanya balik. "Mau ikutan?" lanjutnya membuat Adisa mendecih. Dan Adit tertawa menanggapi.

"Eh ini tong sampahnya udah penuh, mau dibuang ke mana?" Adisa mengernyit melihat Adit yang sudah tak memunguti dedaunan.

"Adit mau ke mana?" Adit menyampirkan tasnya di pundak kanan. "Saya mau bolos, ikut?" jawabnya sekaligus menawarkan.

Adisa yang mendengarnya menggeleng pelan, tapi kemudian berpikir. Sedangkan Adit sudah melangkah meninggalkannya.

Karena terpikir akan membersihkan dedaunan ini sendirian, Adisa menghela napas sejenak kemudian mengambil tasnya dan mengejar Adit yang mulai jauh.

"ADIIIIIIT!"

Hosh ... hosh ....

Adit berhenti, membalikkan tubuhnya menghadap Adisa yang membungkuk sambil memegangi lututnya. "Ikut bolos?" tanya Adit membuat Adisa mendongak kemudian mengangguk.

Adit terkekeh, "ya udah ayo!" ajaknya seraya menarik tangan Adisa dan mulai melangkah. Adisa hanya bisa terseret pasrah mengikuti ke mana Adit akan membawanya bolos.

***

"Dit, ini tempat apa?" tanya Adisa setelah turun dari boncengan sepeda milik Adit.

"Kamu bakal tau nanti Dis kalo udah masuk. Ya udah ayo masuk!" Adit sudah melangkah masuk diekori Adisa di belakangnya.

"Assalamualaikum *Inak." Adit berteriak sembari terus melangkah mencari seseorang.

Note: *Inak = sebutan ibu dalam bahasa Sasak (Lombok).


"Kak Adit!" Sebuah suara menghentikan langkah Adit dan menoleh ke arah suara, begitupun dengan Adisa.

"Hei, mana Inak?" tanya Adit pada gadis kecil yang baru saja memanggilnya.

"Di dapur, Kak." jawabnya sembari berlari kecil hendak menunjukkan di mana orang yang dipanggil Inak itu berada.

"INAAAAAK KAK ADIT DATENG NIH!" teriak gadis itu saat memasuki pintu dapur.

"Ya?" Wanita dengan ciput di kepalanya menghampiri gadis kecil itu yang sudah duduk di balik meja panjang.

"Eh?!" kejutnya melihat siapa yang duduk bersama dengan gadis kecil itu. "Adit kan?" Adit mengangguk sambil menunjukkan senyum tulusnya, kemudian berdiri.

"Ya Allah ... kamu kok tumben ke sini? Inak udah kangen banget loh!" ujar wanita itu sudah memeluk Adit penuh haru. Adit dengan santai membalas pelukan wanita yang dipanggil Inak itu.

"Ekhem." Adisa berdehem, merasa hanya menjadi pot hidup.

"Eh iya, Inak ini kenalin Adisa temen Adit di sekolah," kata Adit memperkenalkan Adisa. Adisa hanya mengangguk menganggapi sembari tersenyum canggung. Beda dengan Inak yang malah antusias mendekat ke arah Adisa dan memeluknya hangat.

"Aaa Inak masak apa?" tanya Adit mengalihkan perhatian Inak untuk melepas pelukannya dari Adisa, karena melihat Adisa seperti tidak nyaman.

Inak berjalan ke arah kompor, kembali mengaduk masakan yang dirasa sudah siap untuk diangkat. "Sebentar ya."

"Dis, Inak orangnya emang gitu, meluk orang yang baru dikenal sebagai salam hangatnya. Maaf ya kalo kamu gak nyaman," bisik Adit memiringkan sedikit tubuhnya ke arah Adisa.

Adisa terkekeh pelan, "gak apa-apa kali Dit. Aku suka kok, berasa jadi punya bibi," ucap Adisa kemudian yang membuat Adit tersenyum samar.

"Eh Dit, kamu sampai lumutan mau berdiri di sana? Kasian Adisa loh!" ucap Inak yang menuang semur ke masing-masing mangkuk yang sudah ditata di meja.

"Adit panggil adik-adik dulu deh, Adisa diam sini ya!" Adisa mengangguk saja dan Adit segera keluar dari dapur.

"Inak, aku boleh bantu?" tanya Adisa mendekat ke arah Inak.

"Boleh dong sayang," ucap Inak sambil tersenyum, kemudian menyodorkan sendok ukuran besar itu kepada Adisa untuk menuang semur dalam panci ke mangkuk yang tersisa.

Setelah selesai menyiapkan hidangan makan siang, dan Adit sudah kembali bersama anak-anak penghuni Panti, maka makan siang hari ini berjalan lancar dengan Adisa yang antusias ikut makan siang bersama di meja panjang.

***

Usai makan siang, Adisa dan Adit menemani anak-anak Panti bermain di taman belakang. Namun, keduanya hanya duduk memperhatikan anak-anak yang berlarian saling kejar.

"Adit, kamu sering ke sini?" tanya Adisa memecah keheningan di antara keduanya. Adit hanya mengangguk, kemudian berdiri membuat Adisa mengernyit. "Ke mana?"

"Tunggu bentar," Adit sudah masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian kembali lagi dengan menenteng sebuah gitar.

Adit kembali duduk di samping Adisa. "Adik-adik nyanyi bareng yok!" ajaknya membuat anak-anak Panti yang bermain seketika berhamburan duduk bersila di rumput taman menghadap Adit dan Adisa yang duduk di kursi.

"Wah antusias sekali," kekeh Adit dibalas sorakan semangat oleh anak-anak Panti. Adisa yang di sampingnya ikut antusias.

Adit mulai memetik senar gitar, disusul dengan suaranya yang lumayan merdu. Adisa yang tadinya ikut bersorak bersama anak-anak Panti kini terdiam, menatap Adit dari samping. Ia terpana melihat Adit yang berbeda di sini. Dia terlihat lebih keren dengan kaos oblong dan celana abu serta gitar di pangkuannya. Dan dengan caranya mengucapkan nama memanggil dirinya, tidak menggunakan 'saya' seperti biasa.

Beberapa menit kemudian, mereka mengakhiri bernyanyi bersama. Adisa dan Adit pun pamit kepada Inak sebelum pulang. Dan kepada anak-anak Panti yang sudah semangat melambaikan tangan mereka ke arah Adisa dan Adit yang siap dengan sepedanya.

"Assalamualaikum, Inak!" pamit Adit kemudian mulai mengayuh sepedanya dengan Adisa yang sempat melambai ke arah Inak dan anak-anak Panti.

***

"Adit, kita mau ke mana?" tanya Adisa yang memegang erat bahu Adit agar tidak jatuh dari boncengan.

"Kamu maunya ke mana?" Adit bertanya balik. Adisa diam, berpikir. Adit yang melihat itu hanya terkekeh pelan.

"Ih Adit, kenapa ketawa?" protes Adisa yang merasa Adit sedang menertawainya. Adit menggeleng, lantas kembali fokus ke depan.

"Adit ih gak jawab! Kita musuhan." Lagi, Adit hanya terkekeh membuat Adisa gemas mencubit pinggangnya. Akibatnya Adit mengaduh dan membuat sepeda sedikit oleng ke kanan. Namun, Adit berhasil menyeimbangkan sepedanya kembali.

"Jangan mukul gitulah, Dis," protes Adit pelan masih mengayuh sepedanya.

"Abis kamu ngeselin!" balas Adisa cemberut.

"Haha iya dah saya ngalah. Oke, sekarang kita mau ke mana?" Adit berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, menunggu jawaban Adisa.

"Ke mana aja deh, Dit. Soalnya aku bingung hehe ..." Adit menaikkan sebelah alisnya,"Dis, mau ke pantai gak?"

"Pakai baju sekolah?" Adit mengangguk saja.

"Oke, let's go!" seru Adisa antusias membuat Adit menarik sudut bibirnya.

Adit kembali mengayuh sepedanya, melewati jalanan yang cukup ramai. Beberapa lama kemudian, sepedanya naik ke trotoar hingga belok ke jalan setapak yang di kedua sisinya ada tumbuhan merambat sebagai pembatas. Adisa memerhatikan tumbuh-tumbuhan tersebut. Sedangkan Adit fokus menatap ke depan. Membuat suasana hening tanpa percakapan, hanya suara ayuhan sepeda yang mendominasi.

Tak lama, jalan setapak yang mereka lewati berakhir dan memperlihatkan daerah luas dengan pasir putihnya. Sepeda segera memasuki wilayah pantai. Sampai Adit memarkirkan sepedanya di bawah pohon kelapa, dengan Adisa yang sudah turun sedari tadi dan melihat suasana pantai yang sepi.

"Dis, mau duduk di mana?" tanya Adit mendekat ke samping Adisa yang masih melihat sekitar.

"Kok sepi sih, Dit?" tanya Adisa mengabaikan pertanyaan Adit. Adit yang mendengarnya terkekeh pelan membuat Adisa mengernyit heran.

"Sepilah Dis, kan baru jam 12," kekehnya lagi.

"Emang kenapa kalo jam 12, Dit?" tanya Adisa masih belum paham membuat Adit menepuk jidat. "Mana ada yang mau ke pantai jam panas kayak gini, Dis," ucap Adit dan akhirnya Adisa mengangguk paham.

"Terus biasanya orang ke pantai jam berapa, Dit?" tanya Adisa lagi, kini mengekori Adit yang mulai melangkah.

"Sekitar jam 4 mungkin," jawab Adit sembari menyapu pandangannya ke sisi pantai. Sedangkan Adisa ber-oh panjang menanggapi.

"Dis, duduk di situ yuk!" ajak Adit mempercepat langkah menuju *berugak tanpa atap. Adisa lagi-lagi hanya mengekori.

Note: *berugak: sebutan tempat duduk yang terbuat dari bambu, mirip gazebo ukuran kecil. (Tapi perlu kita tahu bahwa gazebo bermacam jenisnya, bahkan ada yang menyerupai taman mini)


"Adit," panggil Adisa setelah keduanya duduk.

"Hm," gumam Adit mulai membuka tasnya. "Aku boleh ke sana gak, Dit?" Adisa menunjuk ke pinggir pantai.

"Nanti ya siangan dikit," jawab Adit membuat Adisa mau tak mau mengangguk.

Adit melanjutkan aktivitasnya, menggambar suasana pantai di siang yang terik ini dengan buku tulisnya. Sedangkan Adisa menyipitkan mata memandangi ombak-ombak yang berkejaran.

Adit menoleh ke arah Adisa,"pengen banget ya?" Adisa yang merasa Adit bersuara mengerjap pelan kemudian menoleh membalas tatapan Adit.

Adisa mengenyir, "iya Dit, dari kecil aku gak pernah dikasih ke pantai sama papa," ujarnya kemudian.

"Dis, saya pasti ngajakin kamu ke pinggir pantai, tapi nanti setelah solat karena bentar lagi azan." Adit kembali menunduk, melanjutkan gambarannya.

"Ah oh iya kamu kan muslim ya, Dit. Hehe ... aku lupa," cengir Adisa membuat Adit menggeleng pelan dengan posisi masih menunduk.

Percakapan berakhir, keduanya sibuk pada aktivitas masing-masing. Hingga ....

"Nama pantai ini apa?" Adit menoleh, "kamu gak tau nama pantai ini?" tanya Adit tak percaya.

"Kalo aku tau, aku gak bakalan nanya, Adiiiit huh!" cemberut Adisa membuat Adit terkekeh pelan seraya mengacak puncak kepala Adisa.

"Ih Adit, rambut aku berantakan tauuu!" Kali ini berhasil mengundang tawa Adit, melupakan gambarannya yang baru setengah jadi.

"Sini saya rapiin," Adit mengulurkan tangannya merapikan rambut Adisa yang tadi ia buat berantakan.

Di saat Adit sibuk merapikan, Adisa menatap Adit tanpa berkedip. Ia memandangi wajah Adit lekat dan terlihat lebih tampan dari dekat begini. "Liatin aja terus," Adisa mengerjap membuat Adit terkekeh karena berhasil menciduk Adisa yang memandanginya.

"Ih Adit nyebelin!" gemas Adisa sembari memukul pelan lengan Adit beberapa kali.

"Waduh ternyata ganas," Lagi, Adit kembali menggoda Adisa seraya tertawa ringan membuat Adisa memajukan bibir bawahnya, cemberut.

"Haha Dis, kamu lucu kalo lagi cemberut. Jadi, sering-sering aja ya cemberutnya." Adit melanjutkan tawanya membuat Adisa geram, kini mencubit pinggang Adit.

"Ya ampun iya Dis, ya Allah maaf woi!" Adit berlari menghindari Adisa yang masih ingin mencubitinya karena gemas.

Keduanya pun saling kejar mengejar, hingga azan zuhur berkumandang. Adit berhenti terlebih dahulu, diikuti Adisa yang mulai duduk lagi di berugak.

"Sudah, saya mau solat dulu." Adisa mengangguk seraya mengambil tasnya.

"Aku ikut ya, Dit, soalnya takut di sini sendirian," cicit Adisa membuat Adit mengangguk begitu saja.

"Ya udah ayo!" Keduanya pun berjalan beriringan untuk memasuki wilayah pemukiman warga yang tak jauh dari pantai dengan sawah sebagai pembatasnya.

Mereka melewati sawah, Adit memimpin di depan. Tak terhitung beberapa kali Adisa hampir jatuh jika saja Adit tak segera menarik lengannya. Hingga akhirnya, keduanya pun sampai di sebuah rumah dengan jala di sisi dindingnya.

"Assalamualaikum, Tuak!" Adit mengetuk pintu dengan pelan. Dan muncullah seorang pria paruh baya dari dalam rumah.

"Waalaikumussalam ... ngonek ke wah?(Waalaikumussalam ... sudah lama?)" sahut pria paruh baya itu sekaligus bertanya.

"Beruk gati tiang rauh Tuak (Baru saja saya datang Paman)," Pria paruh baya itu mengangguk, lalu netranya tak sengaja melirik Adisa.

"Sai niki, Dit? Beraye ante? (Siapa ini, Dit? Pacarmu?)," kekehnya membuat Adit menggaruk tengkuk tak tau akan menjawab apa, sedangkan Adisa yang tak tau obrolan keduanya hanya tersenyum kikuk.

"Haha ndek ante mele ngaku (Haha ndak kamu mau ngaku)," tawa tersembur begitu saja dari pria paruh baya itu. Membuat Adit melambaikan tangan, agar berpindah topik.

Pria itu mengakhiri tawanya, "jak ante ngumbe jok te? (kamu mau ngapain ke sini?)"

"Nyodok sembahyang niki, Tuak. Sampun meno jak tiang bekedek lek sedi pante (Nitip solat di sini, Paman. Abis itu saya mau main di pinggir pantai)," jawab Adit dan pria yang dipanggil Tuak itu mengangguk sembari mempersilakan Adit masuk ke dalam rumahnya.

Sebelum masuk, Adit berpesan kepada Adisa untuk tidak ke mana-mana. Adisa mengiyakan, lantas Adit segera masuk ke dalam. Dan pria yang dipanggil Tuak itu ikut duduk di teras rumahnya melanjutkan merajut jalanya.

"Paman, itu untuk nangkap ikan 'kan?" tanya Adisa memecah keheningan. Pria itu bergumam menanggapi.

"Ini jam berapa ya, Paman?" tanya Adisa lagi, kali ini pria paruh baya itu menoleh lalu terkekeh pelan. "Mbe taok tiang jak nyeriok jam gamak dende ..." ujarnya sambil geleng-geleng membuat Adisa mengernyit.

"Adisa gak ngerti, Paman. Bisa pake bahasa Indonesia aja?" Pria paruh kini kembali terkekeh, dan kemudian dilanjutkan tawa panjang seperti tadi. Adisa menghembuskan napas, menipiskan bibirnya.

"Kamu lucu, Nak. Oiya tadi siapa namamu?" tanya pria itu dengan sisa tawanya.

"Gini dong dari tadi, kan jadi bisa jawab," cengir Adisa. "Oh iya, namaku Adisa, Paman. Kalo Paman siapa?"

"Panggil saja aku Paman Wil," jawabnya dibalas anggukan oleh Adisa. Kemudian keduanya berbincang ringan mengenai pantai dan tempat tinggal paman Wil. Hingga percakapan berakhir karena kemunculan Adit dari balik pintu.

"Sampun ngkah, Dit? (Sudah selesai, Dit?)" tanya paman Wil yang menoleh ke arah pintu. Adit mengangguk, lantas berpamitan untuk segera kembali ke pantai.

Sebelum beranjak pergi, paman Wil mencegatnya. "Tunggu dulu, Dit!" Adit mengernyit, tapi kemudian mengangguk menurut.

"Ini bawa dan cariin keke yang banyak!" Paman Wil yang baru saja keluar dari dalam menjulurkan sebuah botol bekas.

"Mana ada keke jam segini," gerutu Adit sambil menerima botol bekas tersebut.

"Nanti waktu sore," sahut paman Wil dibalas decihan oleh Adit. Paman Wil tertawa menanggapi, dan setelahnya mendorong pelan Adit agar segera menuju pantai.

Adit manyun karena terdorong pasrah. Dan Adisa terkikik geli melihat ekspresi Adit. Adit berjalan lebih dulu keluar halaman rumah disusul Adisa yang melambai riang ke arah paman Wil.

***

"Airnya panas, Dit," ucap Adisa membuat Adit yang duduk di pasir putih menoleh ke arahnya. "Apa airnya bisa diminum?" tanyanya.

"Dis, kalo haus bilang aja ntar saya beliin es kelapa muda." Adisa yang mendengar itu menoleh antusias sembari menghampiri Adit.

"Ayo! Di mana?" tanyanya sudah ikut duduk di samping Adit. Adit bangkit, Adisa meneladani. Kemudian Adit melangkah dan Adisa pun mengekori.

Tak berapa lama, Adit duduk di kursi panjang depan warung sembari memanggil penjual warung itu. Adisa lagi-lagi hanya meneladani.

"Pesan ap──, DEN ADIT?!" kejut wanita berjilbab biru polos itu.

Adit menyengir, "Bibi sampai kaget segitunya."

"Ya Allah, Den, gimana bibi gak kaget orang kamu baru keliatan lagi setelah sekian lama," ujar bibi itu dibalas cengiran lagi oleh Adit.

Bibi tersenyum,"ya udah Den tadi mau pesan apa?"

"Es kelapa muda dua, kayak biasa ya, Bi." Bibi mengangguk, hendak masuk ke warung. Namun, pandangannya jatuh pada Adisa yang duduk di samping Adit.

"Dit," panggil Bibi sembari mengode-ngode dengan tangannya, Adit terkekeh lalu menggeleng. Adisa yang memperhatikan itu hanya bisa diam, karena tak paham apa yang sedang mereka lakukan.

Bibi ber-oh pelan sambil mengangguk. Kemudian berjalan masuk ke dalam warung. Dan Adit masih terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Adisa mengernyit,"Dit, masih waras kan?" tanyanya membuat tawa Adit malah tersembur. Adisa mendecih, tak menghiraukan Adit yang terbahak tak karuan. Dan tawa Adit reda ketika pesanan mereka datang.

Keduanya pun menikmati es kelapa muda dalam hening, hanya suara ombak bak musik yang mengiringi.

Selang beberapa saat, keduanya pun sudah kembali ke pinggir pantai menikmati indahnya suasana. Tak jarang Adisa heboh sendiri ketika melihat beberapa batu karang yang terguling ombak. Dengan Adit yang duduk di pasir hanya memperhatikan.

"Adit, seru loh!" heboh Adisa menghampiri Adit dan menariknya bangkit. Adit tertarik pasrah mengikuti Adisa yang melompat-lompat kegirangan di depannya.

Adisa berjalan agak ke tengah laut, membiarkan baju seragam putih abunya basah tersiram ombak yang datang. Melihat Adit yang diam saja membuat Adisa menyiramnya dengan air laut sambil terkikik geli.

Adit mendecak, tapi kemudian menyusul Adisa ke tengah balas menyiram Adisa. Dan terjadilah saling siram menyiram antara keduanya.

Hingga sang surya memperlihatkan dirinya di ufuk barat yang mulai berubah jingga. Keduanya pun memilih duduk di tepi pantai sembari menikmati sang surya dengan balutan jingganya itu.

Apa kamu tau, Dit? Itu adalah pengalaman paling menakjubkan yang pernah aku alami, terlebih lagi jika itu bersama denganmu.

.

.

.

.

.

● Diikutsertakan dalam #challangenovelet45hari yang diadakan oleh KomunitasCIA


Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 285K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2.6M 127K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
497K 18.7K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
542K 26.5K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...