1

23 9 17
                                    

"Ssst..."

Suara rintihan itu kembali terdengar. Hal tersebut tidak dihiraukan satu satunya orang yang tengah duduk bersamanya di ruang UKS. Ia hanya berusaha untuk fokus membersihkan luka di sudut bibir temannya yang doyan berkelahi itu.

"Gelut lagi gelut lagi, ga bosen lu hampir tiap hari masuk ruang UKS?" Tanyanya memulai pembicaraan.

"Yang luka gue, napa lu yang protes?" Balas temannya ketus.

Gadis itu membuang kapas yang ada di tangannya ke tempat sampah, lalu berbalik menatap sahabatnya. "Ra."

"Apa lagi?"

"Entar masuk ruang BK mampus lu!" Ancam gadis dengan nickname Aika Adiwidya tersebut.

Sahabatnya hanya tertawa kecil sambil mendengus kasar. "Terus maksudnya gue harus diem aja pas dipukulin kayak gitu?"

Aika menghela nafasnya berat. Tidak ada gunanya menceramahi Kirara. Gadis itu akan terus berkelahi membela dirinya saat hak nya diambil. Aika melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana cara sahabat sejak kecilnya tersebut menangkis dan membalas serangan yang ditujukan padanya. Jangan salah, tubuh Kirara memang kecil tapi tenaganya melebihi tenaga perempuan pada umumnya.

"Ga salah juga sih, tapi yaa ga bener juga," gumam Aika hampir tidak kedengaran.

Disisi lain, Kirara segera bangkit dari duduknya dan mengambil tas sekolah miliknya. Ia membuang nafas kasar, beruntung para laki laki itu menyerangnya saat pulang sekolah sehingga tidak ada yang mengetahui perkelahiannya kecuali si Ketua PMR, Aika.

"Gue bukannya doyan berantem, Aika. Gue cuman kesel aja ada yang malak uang sama adik kelas," jelas Kirara sambil tersenyum kecil.

"Serah lu, Adin!"

Plak!

Sebuah pukulan 'kecil' mendarat di lengan Aika. Membuat sang empu merasa kesakitan dan mengusap lengannya. Aika melayangkan tangannya, berniat membalas pukulan Kirara. Sialnya, sahabatnya yang satu ini cukup gesit dan cekatan. Kirara dengan mudahnya menghindari balasannya dengan senyum mengejek.

"Bisa gak pake acara pukul pukulan?!" Bentak Aika kesal.

"Salah sendiri, nama gue itu Kirara. Bukan Adin," balas gadis bersurai hitam tersebut.

"Salah? Nama lo itu Kirara Adinda, wajar dipanggil Adin."

"Serah lu! Gue mau pulang, bye!" Kirara melangkahkan kakinya meninggalkan ruang UKS, disusul dengan tatapan kesal dari sahabatnya.

Kirara berlari kecil menyusuri lorong sekolah. Dalam hatinya, gadis itu bertanya-tanya apakah salah membela seorang adik kelas yang tengah diperas oleh salah satu anggota dari sebuah geng yang berasal dari sekolahnya?

Kirara hanya merasa kasihan pada adik kelasnya. Melihat dia ketakutan dan berbalut seragam kotor yang terkena tanah membuat hati gadis itu berkata untuk segera menolongnya. Tentu saja Kirara berusaha untuk bicara baik-baik, tapi orang itu malah membentaknya dan memukulnya bahkan mengatai Kirara sebagai perempuan murahan.

Ya, siapa yang tidak marah saat kau diejek dengan kata 'murahan' hanya karena dirimu terlihat 'miskin' di sekolah yang bergengsi seperti ini?

Apa Kirara terlalu ikut campur dalam urusan orang lain?

Gadis dengan manik cokelat tersebut membuang nafasnya kasar. Mungkin besok dia akan terkena masalah karena telah berani memukul salah satu anggota geng yang ditakuti di SMA Muda Bangsa ini.

Kirara mengintip di balik jendela ruang praktek dan menatap jam yang  bertengger di ruangan tersebut. "Udah jam setengah lima," gumamnya santai.

Ia kembali berjalan menyusuri koridor yang terletak di antara kelas dan lapangan upacara. Kirara berhenti secara mendadak, gadis itu melebarkan matanya begitu mengingat sesuatu yang sangat penting. "Bentar, jam setengah lima?"

Kirara menepuk dahinya seolah dia adalah orang yang sedang mengalami frustasi. "Mampus nanti gue dimarahin lagi dah!"

Sadar bahwa hari sudah sore, gadis itu berlari kencang menuju parkiran tempat Ia menyimpan sepedanya. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Awalnya dia mau langsung pulang setelah perkelahian itu, sayangnya Aika malah mencegah dirinya dan memaksa untuk mengobati lukanya.

Kirara segera mengayuh sepedanya cepat. Dia tidak mau sampai dimarahi lagi di rumahnya. Tanpa disadari olehnya, sebuah sepeda motor berwarna merah menyerempet sepeda tua milik Kirara. Membuat gadis itu terjatuh dan menggesek sebuah mobil di sampingnya. Sang pemilik motor hanya tersenyum jahat sambil meninggalkan Kirara yang tampak kebingungan dengan tingkahnya.

Gadis itu menghela nafasnya berat. Ia kemudian menolehkan kepalanya ke belakang lalu melebarkan matanya kembali melihat seorang laki-laki yang tampak menggelengkan kepalanya.

"Parah, mobil nyokap gue lu rusakin," ucapnya tetap santai.

"Bu-bukan aku yang rusakin, beneran," elak Kirara sambil menggerakkan tangannya tanda membela diri. Tapi, pemuda itu tidak menghiraukan perkataan Kirara. Ia hanya terus menggelengkan kepalanya.

"Terus, lu ngapain disana? Satu satunya yang ada di parkiran ini elu kan?"

"Ya-tapi aku ga bermaksud gitu, i-ini ga sengaja." Kirara bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Melihat mobil yang Ia rusak tanpa sengaja, membuat keringat dingin mulai bercucuran kembali.

'Ferrari! Mampus gue!'

Kirara menolehkan kepalanya dengan gerakan patah patah. "Ba-bakal aku ganti kok, tapi aku butuh waktu buat ganti kerusakannya."

"Yakin bisa ganti? Biayanya LUMAYAN mahal, lo," ucap pemuda dengan tanda nama Ian Aditya tersebut.

"Ya, makanya aku butuh waktu buat ngumpulin uangnya."

"Kelamaan. Gue punya solusi yang lebih baik."

Kirara menatap lawan bicaranya heran. "Solusi?"

"Iya, kita bikin kesepakatan." Ian tersenyum dengan penuh kepercayaan.

"Kesepakatan apa?" Kirara tambah penasaran dengan ucapan laki laki satu ini. Apalagi dengan senyum yang mencurigakan bagi Kirara.

"Gini aja, gue ga bakal ngasih tahu nyokap kalo lo yang bikin mobil nyokap gue rusak. Anggap aja masalah ini selesai. Tapi........." Ian menggantungkan ucapannya, membuat Kirara menelan ludahnya kasar.

"Tapi?"

Laki laki itu menunjukkan smirknya seolah adalah harapan terakhir bagi gadis di hadapannya. "Tapi, lo harus jadi pesuruh gue sampai uang lo terkumpul buat ganti kerusakan ini."

Tatapan gadis itu berubah seketika mendengar perkataan Ian barusan. "Kalo gitu apa bedanya coba? Nambah beban aja!"

Ian menggelengkan kepalanya, ingin sekali dia mendorong kepala gadis satu ini dengan tangannya. Laki laki tersebut menghela nafasnya seolah memiliki beban hidup yang berat. "Lo ngerti gak sih? Bedanya, gue ga akan ngasih tahu nyokap gue kalo lo yang rusakin mobil ini. Otomatis, lo punya waktu banyak buat ngumpulin duit buat ganti kerusakan ini."

Kirara mengangguk paham dan ber-oh saja. Hal tersebut tidak berlangsung lama karena Kirara segera menyadari sesuatu. "Tunggu, jadi pesuruh?"

"Iya, artinya lo harus nurutin apapun kemauan gue. Di bully sama gue pun lo ga boleh ngelawan," jawab Ian dengan santainya. "Ga mau? Oke, gue laporin lo ke BK ya kalo lo udah berkelahi di belakang sekolah."

Kirara melebarkan matanya kembali. Jadi, sejak tadi ada tiga saksi yang melihatnya berkelahi?

'Kalau gini jadinya, apa boleh buat?' Batinnya berat.

"Iya deh, gue terima." Kirara pasrah dengan keadaan. Kondisinya memang tidak memungkinkan saat ini. Pilihan terbaik saat ini adalah menerima kesepakatan yang Ia buat dengan laki laki satu ini. Ralat, kesepakatan yang dibuat oleh Ian seorang tanpa menunggu persetujuan darinya.







Lama update again:).

Kalo ada kesalahan tolong lapor ya^^. Jangan lupa votenya juga😊. See You Next Time^~^

-Kang Halu

Cry? Im Not That Weak!Where stories live. Discover now