[sembilan--b]

17.8K 1.9K 285
                                    

Sudah tiga puluh menit waktu yang dihabiskan Bagas dalam diam. Berdiri dan memandang ke arah luar jendela ruang kerjanya. Terus menerus memperhatikan bangunan di seberang kantor, dalam kebisuaan yang sengaja diciptakannya. Dicekam kegamangan tanpa tahu bagaimana mengusir rasa tak nyaman itu. Sebagian dirinya merasa tak mampu untuk melakukan sesuatu dengan baik hari ini.

Sedari kecil, Bagas telah dididik untuk bertindak, berpenampilan, serta memiliki kemampuan yang harus mendekati kesempurnaan. Kekurangan sekecil apa pun tidak akan luput dari perhatian kedua orang tuanya. Orang tua Bagas tidak pernah mau menerima kesalahan sedikit pun dari anak-anaknya.

Bagas pun tumbuh menjadi pribadi yang menilai segala sesuatunya dari fisik semata. Termasuk ketika pertama kali ia bertemu dengan seorang Praya Arthawidya. Bagas benar-benar terpikat dan dibuat jatuh hati melihat kecantikan yang dimiliki Praya. Sosok wanita anggun dan juga pintar itu berhasil menarik keinginan Bagas untuk memilikinya.

Akan tetapi, lambat laun waktu telah mengubah Praya menjadi sosok yang bukan seperti Bagas harapkan. Ia jenuh dengan kemonotonan rumah tangganya, yang kemudian menggiringnya untuk mengejar kesempurnaan pada wanita lain. Bagas hanya ingin bersama seseorang yang menurutnya pantas. Itu saja.

Lalu kenapa dirinya sampai sekarang masih mempertahankan Praya?

Bagas tak mampu menemukan jawaban saat pertanyaan itu terselip dalam pikirannya. Padahal ia merasa sudah mati rasa pada sang istri. Namun, raganya tetap belum bisa membiarkan Praya menjauh.

Apa yang salah dengan dirinya?

Bagas hanya ingin segala sesuatu di sekelilingnya bergerak sempurna. Tanpa cacat maupun kerusakan yang ada dalam diri Praya. Ia hanya perlu membuangnya, tanpa perlu merasa peduli lagi. Ego Bagas untuk mempertahankan Praya telah memaksanya berdiam di tempat.

Bagas tidak memahami perasaannya sendiri. Kenapa ia harus membenci Praya, tapi sekaligus juga menginginkannya. Ia kesal dengan kebingungannya sendiri. Sama halnya kala ia menikmati tubuh Praya. Ia kerap mencaci, tapi di lain sisi ia begitu puas memiliki kuasa atas tubuh Praya.

Kemunculan Pijar menjadi tantangan baginya. Sejak dulu ia tidak menyukai lelaki itu, karena telah berani-beraninya menyimpan rasa pada Praya. Bagas tidak suka kalau sampai Pijar merasa dibutuhkan oleh Praya. Bagas hanya bisa terdiam tanpa perlawanan saat Pijar memintanya menjauh dari hidup Praya. Sekarang Pijar telah memegang kendali atas hidup Praya. Ia akan sulit menjangkau Praya untuk kembali.

Bagas mencoba memejamkan mata, tapi seseorang membuka pintu ruangannya. Bagas berbalik, dan melihat Raisa sudah berdiri di muka pintu. Wanita bersetelan rapi itu menutup pintu, lalu berjalan menghampiri Bagas dan langsung memberi pelukan.

"Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" tanya Raisa. Dia mengusap lengan Bagas dengan lembut. "Dari kemarin, telepon aku nggak kamu angkat. Kenapa?"

Bagas mendesah dan meraup wajah. Menunjukkan kalau ia sedang tidak dalam keadaan yang baik.

"Kasih tahu aku, Mas," desak Raisa.

"Praya dalam keadaan koma. Sekarang dia masih di rumah sakit," jawab Bagas kemudian.

Raisa menaikkan alis. "Kenapa bisa sampai koma?"

"Jatuh dari mobil." Hanya itu jawaban Bagas. Ia enggan untuk menjelaskan lebih jauh.

Raisa membaca kerisauan Bagas. Dia lalu berkata sambil membetulkan lipatan kerah kemeja Bagas yang kurang rapi.

"Apa ada hubungannya sama kamu, Mas?"

Sepasang mata indah berbulu mata nan lentik itu menatap Bagas dengan penuh tanda tanya. Menuntut penjelasan dari lelaki yang selama setahun ini memiliki hatinya. Raisa mengusap rahang Bagas yang terasa kasar. Tanda kalau Bagas belum sempat bercukur. Penampilannya hari ini bukan seperti Bagas yang biasanya.

Raisa mendaratkan ciuman di bibir Bagas. Memberikan kelopak bibir yang ranum untuk dinikmati kekasihnya. Berharap Bagas akan luluh dan menceritakan masalahnya secara gamblang. Namun, Bagas tidak membalas pagutannya. Bibir Raisa bergerak sendiri tanpa ada aksi sama sekali dari Bagas.

"Mas ...." Raisa berbisik tepat di telinga Bagas. Menuntut perhatian.

Tanpa disangka, Bagas melepaskan diri dari rengkuhan Raisa. Ia sedikit mendorong tubuh Raisa agar menjauh. Diperlakukan seperti itu, tentu membuat Raisa kaget.

Sebelum Raisa sempat memprotesnya, Bagas sudah lebih dulu berujar, "Maaf, aku sekarang belum bisa jelasin apa-apa sama kamu."

Raisa sepertinya tidak bisa menerima alasan Bagas.

"Kamu khawatir, kan, sama istri kamu?" tanya Raisa yang kini diliputi rasa cemburu.

Bagas malas menanggapi. Isi kepalanya sedang tidak berkompromi untuk menenangkan kecemburuan Raisa.

"Kamu nggak usah berpikir yang aneh-aneh," tukas Bagas. Ia lalu memilih duduk dan mengalihkan pandang ke arah lain.

"Tapi jadi jelas sekarang, kenapa kamu selalu menunda untuk bercerai. Kamu memang masih belum mau melepas dia, karena kamu masih sayang sama dia. Kamu nggak bisa bohongin aku, Mas," beber Raisa yang semakin membuat Bagas tertekan.

"Apa salah kalau aku khawatir dengan istri aku sendiri? Dia hampir mati!" Seruan Bagas itu bukanlah hal yang biasa, karena Bagas tidak pernah meninggikan suaranya di depan Raisa.

Bagas mengembuskan napas. Bingung sendiri dengan yang dikatakannya tadi. Raisa terdiam untuk beberapa saat. Cukup terkejut mendapat perlakuan seperti itu dari Bagas.

"Jadi selama ini percuma aja aku bersabar menunggu kamu bercerai, Mas." Tampak kekecewaan di raut wajah Raisa.

Bagas bangkit dan mencoba meraih tubuh Raisa agar mendekat. Namun, wanita itu buru-buru menjauhkan dirinya dari Bagas.

"Aku cuma minta kejelasan kamu tentang hubungan kita. Tapi sikap kamu malah begini," ujar Raisa.

"Maafin aku ...." sesal Bagas. "Aku benar-benar lagi nggak bisa berpikir jernih. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sa. Aku lelah kalau harus ditambah berdebat sama kamu."

Raisa menggeleng. Heran dengan Bagas yang menurutnya malah membuat hubungan mereka berdua menjadi pelik. Tak ada tanggapan lagi dari Raisa, yang kemudian meninggalkan ruangan itu secepatnya. Bagas pun tidak berniat mengejar atau berusaha meminta pengertian Raisa lagi. Mungkin nanti malam ia akan mendatangi apartemennya, karena saat ini ada urusan yang lebih penting.

Bagas melirik jam tangannya, karena sedang menunggu seseorang menghubungi sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Bagas berharap banyak, kesempatan itu didapatnya sekarang.

Beberapa menit kemudian, kabar yang dinantinya muncul juga. Bagas begitu antusias membaca isi pesan yang diterimanya.

- Sudah aman Pak

- Dia baru saja pergi

Bagas bergegas keluar dari ruangan. Mengabaikan pandangan beberapa pasang mata mengekori kepergiannya yang tergesa-gesa. Bagas tak ingin kehilangan waktunya dengan percuma.

•••♡•••

Mau ke mana Bagas?
Fans-nya Bagas coba ada nggak? Hehe ... 😁

Jangan lupa untuk VOTE dan komentarnya. Saya usahakan update lagi secepatnya ❤

Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤

Mampir ke cerita saya yang lain juga, ya. Terima kasih banyak ❤

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Where stories live. Discover now