Memandang perempuan yang menjadi temanku selama beberapa bulan ini, "Sa__Sawitri, bisa diam se__sebentar! Aku pusing!" ucapku terbata dan tidak tahukah dia suaranya membuatku tambah pusing.

"Maaf... maaf... aku terlalu gembira!" balasnya tampak ceria dan tentu juga salah tingkah karena dia sempat melirik sekilas pada Raden Panji Kenengkung.

"Sawitri ambilkan minum untuk Rengganis!" perintah Raden Panji Kenengkung mengambil alih situasi.

"Baik Raden," jawab Sawitri sigap, kemudian meningalkan tempatku berbaring.

Memindai sekeliling, sebenarnya aku ada di mana? Sepertinya aku ada di dalam gua jika dilihat dari stalaktit dan stalakmit yang bisa kulihat di sekitar tempatku berada. Aku sebenarnya ingin menjelaskan perbedaan stalaktit dan stalakmit pada kalian, tetapi berhubung kepalaku pusing minta ampun. Jadi mohon pengertiannya.

Mencoba merangkai kejadian sebelumnya. Ah, sepertinya aku pingsan setelah terkena panah semalam. Lihat saja kini sudah pagi karena sinar matahari samar terlihat dari pintu gua di kejauhan.

"Rengganis, apa yang kau rasakan, hm?" tanya Raden Panji pelan mengalihkan perhatianku dari keadaan di sekitar gua.

Menelan saliva yang entah ada dimana sangking keringnya mulutku, lagian Sawitri mengambil air dimana sih? Apa dia mengambil airnya di Papua? Lama sekali dia, tidak tahukah dia walaupun aku sakit tetapi tetap saja grogi jika harus berduaan dengan Raden Panji Kenengkung. Dimana juga semua orang, kenapa jadi sepi begini sih? Apa mereka pergi berburu lagi? Hadeeeh... sempat - sempatnya, padahal baru saja semalam melewati suasana genting.

"Rengganis, kau dengar aku?" Dia menggoyangkan sebelah tangannya di depan wajahku.

Memandangnya sejenak, ekspresi wajahnya tampak khawatir atau itu hanya perasaanku saja "Ham__ hamba baik - baik saja, Ra__raden," balasku pura - pura karena tidak mungkin memberitahu dia jika badanku rasanya sakit semua. Walaupun aku juga malu padanya karena hanya tergores panah saja aku sampai pingsan semalaman.

Kemungkinan besar aku kaget karena terkena panah tadi malam. Maklumi saja, sebenarnya aku tidak sekali dua kali terkena panah, tapi panah virtual hasil panahan cupid... Eaa... tetapi kalau panah sungguhan tentu belum pernah. Lagian aku tidak hidup di zaman Robin Hood. Bayangan aku ini jenis orang yang bertemu jarum suntik saja sudah keluar keringat dingin, apalagi berhadapan face to face dengan panah. Maka tidak heran jika aku langsung pingsan di tempat.

"Kau ingin sesuatu?"

Aku ingin obat sakit kepala atau obat penghilang rasa sakit, jika tidak ada maka obat tidur juga boleh, namun semua itu tidak mungkin aku katakana padanya. Maka aku mencoba tersenyum sebisaku "Hamba tidak menginginkan apapun, Raden," jawabku pelan dan berusaha tidak membuka mulut terlalu lebar karena khawatir akan bau mulutku sendiri. Aku yakin 99,99% baunya tidak enak sebab mulutku rasanya pahit sekali.

Sawitri akhirnya kembali dari mengambil air yang entah dimana, "Ini airnya, Raden," ucapnya lalu ikut duduk bersimpuh di sampingku.

Aku terkesiap karena wajah Raden Panji Kenengkung tiba - tiba berjarak dekat denganku, ternyata dia membantuku bangun dari pembaringan, rasanya pandanganku berputar sesaat... waduh apa aku juga terkena vertigo?

Mungkin juga ini efek karena tangan Raden Panji Kenengkung melingkar di pundaku yang terbuka. Kenapa kini aku malah mirip anak ABG yang pertama kali jatuh cinta dan pertama kali skinship dengan laki - laki sih? Tuhan... Tolong... Eh, kok jadi mirip lagu Budi Doremi... Halaah

"Minum perlahan!" perintah Raden Panji Kenengkung pelan setelah mengambil air dalam buluh bambu kecil yang dibawa Sawitri tadi.

Meminum air yang telah dia dekatkan dengan mulutku "Uhuuuk... Uhuukk..." Aku terbatuk sesaat karena jujur konsentrasi minumku terpecah. Bayangkan bagaimana mau minum dengan tenang jika dia masih mendekapku begini. Mengapa bukan Sawitri saja yang membantuku minum sih?

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now