4

19K 340 6
                                    

°°°°

"Kamu maunya berapa?" tantang Andri dengan tangan bersedekap.

Iren mengusap dagu seraya menatap langit-langit gedung sekolah. "Berapa yaaa ..." Iren pun kembali menatap Andri dengan senyum kecilnya. "Kamu sanggupnya berapa?"

"Kamu sebutkan saja berapa. Biar kamu bisa terlepas jadi sugar baby. Aku akan melakukan apapun untuk itu."

"Oiya? Nggak usah sok belaga mampu deh kalau emang nggak punya. Lagipula anak sekolah macam kamu punya duit darimana? Minta gitu ke orang tua? Lalu nangis kalau nggak dikasih?" Tatapan meremehkan dari Iren membuat harga diri Andri sedikit teremas. Ia mengepalkan tangannya menahan kesal.

"Lagipula aku tidak butuh belas kasihan apalagi sumbangan. Hidupku, aku sendiri yang menentukan. Bukan kamu atau orang lain. Selagi aku susah memang ada yang peduli? Nothing. Jadi berhenti dengan bersikap sok peduli padaku. Bagiku itu semua bulshit!" Iren mendorong tubuh Andri dengan telunjuknya, lalu berbalik pergi. Kelasnya sudah terlihat melambai menawarkan perlindungan.

Ia muak dengan orang-orang bermuka dua. Belaga terlihat peduli padahal dibelakang menertawakan. Ia sudah kenyang di hina.

Memang apa salahnya jadi sugar baby?

Abian yang mengangkatnya dari lumpur kehinaan. Abian yang peduli dengan hidupnya disaat orang lain lebih suka menghina dan mencibir daripada mengulurkan tangan. Lalu apa salahnya Iren memberikan apapun yang lelaki itu inginkan? Bahkan dengan nyawanya sendiri pun Iren rela saja.

Selama menjalin kasih dengan lelaki itu, tak pernah sekali pun Iren merasa disakiti. Apalagi ia memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Tak ada yang melakukan dengan terpaksa dalam hubungan ini.

Simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan dan tentunya membahagiakan satu sama lain.

Iren heran saja, bagaimana bisa istri Abian menyiakan lelaki sebaik ini? Sungguh aneh. Tapi Iren tentu saja tak mau peduli lebih jauh tentang rumah tangga Abian. Itu urusan lelaki itu. Walau Iren belum tau akan sampai di mana hubungan ini akan terjalin. Mungkinkah selamanya? Entahlah.

Tanpa bisa dicegah, ada setitik bening yang mengalir di sudut mata. Entah kenapa pula akhir-akhir ini ia sedikit perasa dan melow. Padahal biasanya ketika ada yang menghina tentang dirinya apalagi dengan profesinya, Iren tetap bisa mendongakkan kepala dengan angkuh. Aneh.

Sesampainya di kelas, ada beberapa siswa yang terlihat bergerombol. Seperti sedang mengerjakan sesuatu.

Penasaran, Iren menghampiri gerombolan tersebut. "Kalian ngerjain apa? Sibuk amat."

Siswi yang rambutnya di kuncir dua, menoleh menatap Iren. "Ada peer fisika. Gue lupa ngerjain. Nanya ke teman lain, eh mereka juga ternyata belum ngerjain."

"Mana mumet lagi ini. Hadeuhh."

"Lu, udah ngerjain belum, Ren?" tanya siswi berponi dengan mata bulatnya menatap Iren.

"Halah, Iren aja ngerjain peer," celetuk siswa lain.

Iren hanya mendelik dengan orang yang meledeknya. "Kata siapa? Lihat nih. Gue udah ngerjain dong." Iren menunjukan buku peernya dengan bangga.

"Tumben amat ngerjain, lu. Biasa juga langganan hukuman guru BK."

Iren menepuk kerah kemejanya. "Kalau Iren lagi rajin, kelar idup, lo! Bisa-bisa anak terpintar di kelas ini bisa gue kalahkan, loh."

"Huuuuu."

Iren hanya terkikik. Ia pun menuju bangkunya di belakang paling pojok.

"Lihat dong, Ren. Pinjem peer lu."

Sugar BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang