Jejak Mimpi

14 2 0
                                    

Oleh : · Pamula Sah Putri

Room Genre : FANTASY

Tema : Midnight

========

Di tengah malam, Gendhis terbangun. Sudah beberapa hari ini ia memimpikan seorang lelaki yang sama—lelaki rupawan yang menyebut dirinya Raden Antasena. Anehnya, setiap kali memimpikan lelaki itu, Gendhis selalu merasa kalau itu bukan sekadar mimpi.

Di dalam mimpi, lelaki itu sangat baik padanya. Raden Antasena bahkan membawanya ke suatu tempat yang sangat indah—sebuah istana di mana ia diperlakukan bagai ratu.

Diperlakukan seperti itu membuat Gendhis merasa bingung; terlebih karena selama ini, ia dianggap sebagai pembawa sial dan nyaris diusir dari kampung. Ia beruntung karena sang ayah adalah salah satu tetua. Jadi, meski ia dikucilkan ke pinggir kampung dan harus tinggal sendiri, ia masih bisa menemui orang tuanya setiap pagi.

Kehadiran Raden Antasena di dalam mimpinya membuat Gendhis selalu terbangun di tengah malam. Ia pun bingung karena perasaannya semakin aneh setiap harinya. Akhirnya, saat orang tuanya datang, Gendhis pun menceritakan tentang mimpi itu.

Setelah mendengar cerita Gendhis, raut muka orang tuanya berubah; dahi ibunya berkerut cemas, sementara sang ayah menundukkan wajah.

"Maafkan bapak sama ibu, ya, Nduk," ucap sang ibu, menatap lekat sepasang netra abu-abu di hadapannya. Menarik sang anak ke dalam pelukan, tangan sang ibu mengelus rambut putrinya yang telah dirawat selama tujuh belas tahun.

Sebelum pergi, sang ibu berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, ya, Nduk. Jangan khawatir, kita akan bertemu lagi nanti."

Pesan yang ditinggalkan sang ibu masih sama seperti biasa. Namun, Gendhis merasa ada sesuatu yang berbeda, membuatnya merasa khawatir. Jawaban atas kekhawatiran itu Gendhis dapatkan ketika di hari berikutnya dan esoknya lagi ayah dan ibunya tidak datang ke kediamannya.

Sementara itu, sejak kepergian orang tuanya, Gendhis tidak lagi memimpikan Raden Antasena, membuatnya merasa kehilangan. Namun, rasa itu tertutupi oleh rasa sedih karena kehilangan orang tuanya.

Maafkan Gendhis, Pak, Bu, batinnya terenyuh, merasa kalau dirinyalah penyebab utama orang tuanya menghilang.

Memikirkannya, Gendhis pun merasa kalau kesialan yang menimpa kampungnya—ternak yang hilang, anak-anak yang tersesat lalu kembali dalam keadaan hilang akal, serta penduduk yang jatuh ke jurang dekat alas di sebelah timur kampung—selama satu tahun terakhir benar-benar salahnya. Padahal, selama ini, alas tidak pernah melukai penduduk kampung. Keduanya seolah saling menjaga. Mungkinkah kesialan menimpa karena kampung ini tidak lagi menerimanya?

"GENDHIS, KELUAR, KAMU!" Gendhis tersentak tatkala mendengar suara gedoran yang begitu keras, disusul seruan yang saling bersahutan.

Setelah menarik napas dan mengembuskannya perlahan, Gendhis membuka pintu.

"Pergi kamu! Karena kamu, alas marah kepada kita!" seru salah seorang perempuan paruh baya.

"Benar, pergi!" Seruan tersebut datang tidak hanya dari satu orang, membuat Gendhis merasakan sesak di dada.

Gendhis tahu kalau dirinya tidak pernah diterima karena fisiknya berbeda; kulit putih pucat, rambut putih lurus, alis putih, bulu mata putih, mata abu-abu, dan bibir pucat. Namun, semua itu bukan salahnya, 'kan?

Gendhis tak pernah meminta untuk dilahirkan berbeda. Namun, ia harus menerima kenyataan. Ia dikucilkan, tapi setidaknya ada orang tua yang menyayanginya. Sayang, ayah dan ibunya pergi entah ke mana, membuat Gendhis tidak bisa lagi bertahan.

"Tolong tenang dulu, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Biar saya yang bicara dengan Gendhis," sela seorang pria yang rambutnya sudah beruban. Gendhis mengenalnya sebagai Pak Darmo, teman ayahnya.

Mereka berdua pun masuk ke rumah yang selama ini ditinggali Gendhis. Rumah itu sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan berlantai tanah, sama seperti rumah lain di kampung tersebut.

Pak Darmo duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari papan kayu. Saat Gendhis akan masuk ke dapur untuk membuatkan wedang, Pak Darmo mencegah.

"Sudah, Nduk, tidak perlu," ujarnya. "Lagi pula, saya tidak akan bicara banyak."

Sementara Gendhis mengambil posisi dan duduk di hadapan Pak Darmo, pria paruh baya itu menghela napas. "Maafkan bapak, Nduk. Kali ini bapak tidak bisa lagi membantu," ujarnya. "Orang tua kamu tidak pulang, itulah buktinya."

Gendhis termangu. "Maksud Bapak?"

Pak Darmo menggeleng. "Bapak tidak bisa menjelaskan lebih jauh lagi, Nduk. Kalau kamu ingin tahu, kamu harus pergi ke timur, menuruni jurang, ke alas. Semua jawaban atas pertanyaan kamu ada di sana, termasuk kenapa kamu dilahirkan seperti ini dan kenapa orang tua kamu tidak kembali."

Pak Darmo pergi begitu saja, meninggalkan banyak pertanyaan bagi Gendhis. Ia belum pernah pergi keluar rumah karena penduduk melarangnya untuk menampakkan diri. Alhasil, Gendhis hanya bisa keluar rumah di tengah malam, saat penduduk tertidur, sekadar untuk melihat bulan dan menikmati semilir angin.

Walau sempat bingung, akhirnya Gendhis nekat memulai perjalanan pertamanya; berbekal dua potong kain jarik, beberapa buah ubi jalar, dan sebuah obor.

Tanpa diduga, hanya dengan mengandalkan firasat, ia bisa sampai ke jurang di sebelah timur kampung hanya dalam waktu setengah hari.

Gendhis melongok ke dasar jurang yang tampak dipenuhi pepohonan. Ada rasa khawatir yang hinggap di hatinya. Namun, hawa tak biasa yang keluar dari jurang itu mengingatkannya kepada Raden Antasena, membuat rasa khawatirnya lenyap.

Dengan hati-hati, Gendhis menuruni jurang. Kecuraman jurang membuatnya baru sampai ke dasar saat malam tiba. Menatap kegelapan yang ada di hadapannya, Gendhis menelan ludahnya kasar. Ia takut, tapi entah kenapa kakinya seolah bergerak dengan sendirinya.

Di sepanjang perjalanan, Gendhis dapat merasakan tatapan-tatapan yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah memperhatikan gerak-geriknya, tapi tak berani mendekat.

Gendhis menghela napas kasar. Tatapan-tatapan tak kasat mata itu membuat nyalinya menciut. Jantungnya berpacu, napasnya tertahan, dan lidahnya kelu. Namun di saat yang sama, Gendhis mendengar bisikan yang menenangkan, mengatakan kalau perjalanannya hampir sampai.

Di tengah malam, tepat saat bulan bersinar di atas kepala, langkah Gendhis terhenti di sebuah pohon besar yang dililit ular putih berukuran besar. Ia ingin lari, tapi kakinya tak mau diajak bekerja sama, seolah menancap di tanah.

"Jangan takut." Suara yang begitu familier berdengung di telinganya.

Dalam waktu singkat, ular putih itu berubah menjadi lelaki rupawan yang selama ini muncul dalam mimpinya. Tubuh bagian atasnya manusia dan tubuh bagian bawahnya masih dalam wujud ular putih.

Lelaki rupawan itu berambut putih panjang. Matanya tajam dan garis rahangnya tegas. Di bagian dahi, tertanam kristal besar berwarna putih yang tampak berkilau.

Lelaki setengah ular itu tersenyum, mengulurkan tangan. "Selamat datang, Pengantinku. Orang tuamu sudah menunggu."

OCTOBER EVENT GEN 2Where stories live. Discover now