Struggling

15 2 0
                                    

Oleh : · Kholilah

Room Genre : TEEN FICTION

Tema : Midnight

========

"Sori, Jane. Tapi janji, sebelum pukul delapan pagi, aku sudah di rumah."

Aku menghela napas, lalu mendudukkan diri di kursi. "Tidak. Sebaiknya kau beristirahat. Kita bisa menundanya sampai minggu depan."

"Jane, aku sudah berjanji kepada anak-anak. Mereka―"

"Rob, ini sudah tengah malam. Kau masih bekerja sampai―entah―beberapa jam ke depan. Aku tidak bisa mengemudi, dan kau juga tidak bisa dengan keadaan mengantuk," timpalku, memijat pelipis lalu menguap.

Inginnya aku bersikap egois. Anak-anak sudah menantikan ini selama berbulan-bulan demi bisa mengunjungi kakek-neneknya di desa. Mereka sudah terlalu senang mendengar kabar bahwa besok kami akan pergi, bahkan mereka sudah mengemasi barang-barang dalam tas besar. Namun, aku tidak bisa memarahi Robert karena pembatalan mendadak ini―perusahaan tempatnya bekerja sedang dalam masalah.

"Jane ... anak-anak―"

"Aku akan menjelaskan kepada mereka. Kau tenang saja." Aku bahkan tidak yakin mereka bisa menerima kabar ini. Daisy, yang masih berusia 3 tahun, akan sulit bagiku untuk menangani tantrumnya. "Sebaiknya kau kembali bekerja. Ingat, Rob, kau hanya perlu meminta James mengantarkanmu pulang. Selamat bekerja." Aku langsung menutup panggilan tanpa menunggu Robert menjawab, dan kembali memijat pelipisku yang berdenyut.

Entah sudah keberapa kalinya aku menghela napas, bahkan tak sadar air di gelas sudah kosong. Aku terlalu pusing memikirkan semua ini, sampai hidungku mencium sesuatu yang hangus, kemudian dilanjutkan dengan padamnya listrik.

Aku mengernyit, menatap sekeliling. Sesaat aku mengira ini pemadaman masal, tetapi cahaya dari arah ruang tamu membuatku berdiri bersama ketegangan.

Anak-anak sudah tidur, aku bahkan tidak mengajarkan mereka menyalakan lilin, apalagi ini sudah tengah malam. Cahaya itu merah, bersamaan dengan asap tebal. Arahnya dari tangga, dan itu berarti ....

Jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku seperti orang tolol: berdiri tanpa melakukan apa-apa. Namun, sedetik kemudian, aku segera berlari ke ruang tamu, tak lupa menyambar ponsel, mengabaikan kakiku yang tersandung benda keras.

Aku hampir pingsan kala mataku melihat bayang-bayang merah di atas sana yang membesar, lalu teriakan anak-anak menyadarkanku dari keterkejutan ini. Mereka terbangun karena udara panas, bukan dinginnya malam seperti biasa. Sembari menaiki tangga dengan cepat, jari-jariku menekan nomor darurat untuk menghubungi pemadam kebakaran―harap-harap semoga mereka tidak tidur.

Karena kepanikan, terlalu susah bagiku untuk menekan digit angka pada ponsel, juga berkali-kali kakiku tersandung dan hampir terjatuh. Sesampainya di atas, kepanikanku bertambah. Api sudah menjalar di sepanjang koridor, aku bahkan tidak bisa melihat pintu kamar anak-anak dengan jelas.

"Sir, Miss? Anda di sana?" Pemadam kebakaran masih bekerja di tengah malam. Syukurlah ....

Aku mengerjap dalam kepanikan, berusaha bernapas dengan benar, lalu berjalan ke arah api dengan kaki lemas, tetapi kuurungkan. "Terjadi kebakaran di sini―76 Neanda Street. Kumohon secepatnya!"

"Baik, Miss. Dimohon untuk tenang," sarannya. Aku menggeram. Bagaimana aku bisa tenang di saat seperti ini?! "Apa di sana ada orang lain selain Anda?"

"Anak-anak. Cepatlah! Mereka terjebak!" Aku berteriak sampai air mata masuk ke mulut. Anak-anak menjerit di kamar mereka, sementara diriku hanya berdiri panik seraya mengobrol dengan operator sok asyik.

Aku tidak tahan lagi! Kakiku dengan berani menerjang api setelah mengulang alamat rumah kami dan membuang ponsel ke sembarang arah. Panas, tentu saja. Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, sehingga menimbulkan kepanikan yang amat sangat besar mengingat anak-anakku sudah lama di antara kobaran api. Namun, mereka masih bisa berteriak. Secuil kepanikanku memudar. Mereka bertahan, entah berapa lama lagi.

Apinya cepat menyebar, bahkan plafon berjatuhan hingga hampir mengenaiku. Aku tidak bisa kembali turun dan memanggil tetangga―itu salah satu kebodohanku―mereka pasti sudah tidur nyenyak; kepalaku juga tidak bisa memikirkan kausalitas dari semua ini. Daripada itu semua, adrenalin menggerakkanku menebus kobaran api, melompat bahkan berguling demi bisa mencapai kamar anak-anak.

"MAMA!" Hanya suara Joe yang masih terdengar keras. Tangisan Daisy bahkan tidak terdengar lagi. Jarakku dengan kamar mereka sekitar lima meter, tetapi sulit bagiku sebab api dan hujan plafon.

"Joe, kau mendengar Mama?" teriakku seraya terbatuk-batuk, kemudian sahutan Joe membuatku sedikit lega. Seraya berjalan dengan susah payah, aku melanjutkan, "Dengar, basahi bajumu dengan air milik Kiky."

"Kiki-nya mati."

"Lupakan Kiki, Joe. Cepat lakukan!" Aku masih berteriak, menghindar saat plafon kembali berjatuhan. Dadaku sesak karena terlalu banyak menghirup asap, tetapi Joe masih bisa berteriak dengan keras. Dan teriakannya itu, kuharap bisa terdengar di tengah malam. "Sudah, Joe?"

"Aku tidak bisa melihat Kiky. Api menelannya!"

Aku berhenti, membungkuk menebas lengan bajuku yang terbakar. Aquarium milik Kiky letaknya dekat dengan pintu. Jika pintu itu tertutup, api tidak akan cepat menyebar ke sepenjuru kamar anak-anak. Namun, mendengar teriakan Joe barusan, telah menandakan bahwa api sudah melahap pintu.

Kembali berdiri, kuabaikan kaki dan tanganku yang melepuh, lalu menembus kobaran api sampai kurasakan rambutku terbakar. Tidak mudah. Luka bakar di tubuh membuatku berguling di lantai bebas api.

"MAMA! DAISY PINGSAN! MAMA?!"

Suara Joe terdengar samar-samar, tubuhku lemas, pandanganku berputar, bahkan kulit di kaki dan tanganku sudah melepuh. Namun, teriakan Joe yang tidak berhenti, menggerakkanku untuk bangkit sembari menahan semua beban di tubuhku.

Rasa cemas berlebih akan anak-anakku di dalam sana, mendorongku untuk kembali menerjang api dan mendobrak pintu yang terbakar. Dadaku terasa sakit karena menghirup asap terlalu banyak, tetapi lebih menyakitkan lagi kala melihat putraku memeluk adiknya yang terkulai di sudut ruangan.

Mereka tidak baik-baik saja, terutama Daisy. Tanpa berlama-lama memandangi mereka, segera saja aku berlari ke arahnya. Namun, punggungku terasa panas. Aku terjatuh, merintih berusaha berguling untuk memadamkan api di punggungku.

Plafon berapi mulai berjatuhan. Aku lebih mengkhawatirkan anak-anakku daripada diriku sendiri. Setelah merasakan api di punggungku sudah padam, dengan susah payah aku berjalan ke arah Joe yang berteriak histeris. Anak itu tidak bisa mencapaiku karena hujan plafon menghalangi. Usianya sudah 8 tahun, cukup pandai untuk tidak membakar dirinya sendiri.

Rasa sakit di kaki membuatku kesal―menghambatku untuk bisa mencapai mereka, sehingga jalannya kembali terhalang api. Entah berapa menit yang kuhabiskan untuk mencapai kamar ini, tetapi aku terlalu kesal karena pemadam kebakaran belum juga datang, padahal ini tengah malam, dan sudah pasti jalanan lengang.

Dengan perasaan kesal bercampur khawatir, adrenalin menggerakkanku meluncur melewati api, mendarat tepat di depan Joe.

"Mama ...," isak Joe. Aku mendongak menatapnya dengan senyuman. Air matanya berderai di antara wajah coreng-morengnya. "Kau terluka ...."

Bangkit dengan susah payah tanpa menghilangkan senyuman, tanganku merentang ke arahnya, berniat untuk memeluk mereka, tetapi pandanganku mengabur sebelum semuanya gelap.

OCTOBER EVENT GEN 2Where stories live. Discover now