Bab 21 Cofee Latte

4 0 0
                                    

Makassar, Maret 2019

Lima belas menit berlalu, aku duduk sembari menyilangkan kaki. Lantainya sedikit licin. Mata ku tertuju pada seseorang yang hendak masuk ke tempat ini. Tampaknya ia belum datang. Aku memesan secangkir kopi dan juga coffe latte. Dua pesanan diletakkan di meja oleh seoang pelayan perempuan yang ramah. Rambutnya diikat rapi, dengan beberapa jepitan di sebelah kanan dan kirinya. Ia mempersilakanku untuk menikmati minumannya dan segera berlalu menuju meja lain untuk mengantarkan pesanan.

Seseorang akhirnya datang, Rutinitasnya selalu membuatnya terbunuh oleh waktu. Sampai-sampai untuk sekadar tidur pun kadang tidak cukup. Ia bingung mengapa aku mengajaknya untuk mengobrol di tempat ini. Aku pikir tempat ini sangt pas untuk aku bisa bercerita lebih panjang kepadanya. Hal yang akan aku ceritakan dengan tulus tanpa tahu dimana aliran air akan menuju arus. Ia meneguk secangkir coffe latte pesananku, rasanya masih sedikit pahit, katanya.

Aku kemudian mengejutkannya dengan beberapa kalimat yang membuatnya heran, matanya terbuka dengan lebar. Aku menyukai seseorang, ia tak menyangka aku akan membicarakan hal seperti itu di banding candaan-candaan dan pengalaman saat masih di Yogya.

"Kamu serius Ri?...." tanyanya heran.

"Iya Ras...."

Aku menjelaskannya kepada Laras, Ia memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menyebut satu nama, aku mengangguk.

Laras tersenyum, "Kamu sudah menemukan sosok pengganti Alya," Ia mendekat. "Butuh waktu yang cukup lama untuk kamu bisa menerima orang baru lagi Ri...."

"Entahlah Ras... saya merasakaan perasaan itu kepada Sarah," aku menghela nafas, "dan saya tak ingin membandingkan Sarah dengan Alya... keduanya berbeda... saya ingin memulai kembali, dan Sarah adalah orangnya."

"Aku pikir, inilah saatnya kamu melepas semua kenangan kamu bersama Alya... hidup terus berlanjut Ri... sekalipun kamu kehilangan seseorang yang paling kamu cintai. Ibu kamu atau pun Alya." Laras merangkulku dengan hangat.

"Aku ingin kau bahagia." Pinta Laras.

Laras adalah perempuan yang mengenali masa laluku. Ada beban terus tertahan, ada perasaan lama yang terikat dan tak kunjung pergi. Laras sangat mengerti tentang itu.

"Terima kasih Ras...." Jawabku.

*****

Mengapa mata ini selalu memberikan pertanda, hal yang kerap kali tak ingin aku lihat. Namun tetap saja kalah, kalah pada setiap keyakinan yang akhirnya membuat ragu. Ada apa? Mengapa ini membingungkan. Jika ditakdirkan sepasang, mengapa sebatas bayang? Atau jangan-jangan diri tengah berkhayal.

Aku menghalau pandangan, saat di mana aku melihat Fakhri dan Laras tengah berduaan layaknya sepsang kekasih. Mengapa harus risau? Mengapa harus memikirkan mereka berdua?.

"Sarah... fokuslah pada apa yang menjadi impianmu... persoalan perasaan jangan kau hiraukan." Bisikku dalam hati.

Seseorang di depanku, tengah memerhatikan. Ia menanyakan sesuatu yang membuat konsentrasiku tak berada di sana. Sesekali ia mengulang pertanyaannya lagi. aku tersadar dan berusaha untuk mengendalikan diri. Semua harus tuntas, semua harus jelas, dan lepas.

Aku melanjutkan persentasi kepada Mas Andra terkait project kami berdua. Ia memerhatikan setiap detail dari pemaparanku. Sampai akhirnya ia mengucapkan setuju pada konsepnya. Ia memuji kerja keras dan semangatku karena merasa puas bisa berkaloborasi bersama.

"Tampaknya Irwan tak salah memilihmu..." puji Mas Andra.

"Tapi ini bukan karena Kak Irwan kan ... Mas memilih saya untuk jadi partner project Mas?," tanyaku ragu.

"Sepertinya kamu salah memahami Sar... bagi Mas kualitas, skill tetap jadi pertimbangan pertama, disamping urusan personal... dan saya memilihmu karena kemampuanmu, bukan karena Irwan menyukaimu." Terang Mas Andra.

"Saya takut Mas, jika kerja keras saya selama ini dinilai hanya karena hubungan personal ...." Balasku.

Mas Andra tersenyum, "Saya paham... kamu perempuan yang sangat mandiri dan tak ingin menggantungkan segala sesuatunya kepada orang lain." Lanjutnya. "Tapi kamu perlu mempertimbangkan seseorang yang berjuang untuk kamu."

"Iya Mas...."

*****

Fakhri menyadari kehadiranku, tepat setelah Laras berlalu pergi. Ia mendekat dan menghampiri. Aku memperkenalkanya kepada Mas Andra begitu pun sebaliknya. Hanya saja Mas Andra meninggalkan kami berdua setelah menerima balasan pesan dari seseorang.

"Mau tetap disini?" Tanya Fakhri

"Emang punya opsi lain?" Jawabku.

"Punya"

"Ke mana?"

"Memahami cahaya"

Aku memegang dahi Fakhri "Sepertinya kau butuh istirahat Ri" lanjutku.

Fakhri merapikan beberapa barang bawaanku dan segelas coffe latte yang diambilnya di atas meja. "Sudah, ikut saja" Ia menarik tanganku. "Ini bisa mengurangi keteganganmu".

"Hah... tegang apaan" tanayaku.

Ia menyodorkan segelas coffe latte di mulutku. "Minum saja dan tidak usah banyak bicara"

Kami berdua meninggalkan tempat yang menyediakan berbagai varian coffe. Sore berlalu di tengah keramaian dan kemacetan kota membuat badan ini terasa gerah karena keringat.

"Sar..."

"Emmmm"

"Kok diam, kalo minumnya sudah habis boleh dibuang Sar" Ucap Fakhri dibalik kaca menghadap ke arahku sembari menahan tawa.

Aku pun baru menyadarinya, melihat sedotan coffe latte yang masih menancap di bibirku.

"Apaan... sudah perhatikan jalan saja" ketusku.

Fakhri tertawa lepas.

Aku membalasnya dengan ketukan di kaca helmnya.

"Okay... ampun Sar."

****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Afeksi KaktusWhere stories live. Discover now