Bab 13 Gelap

4 1 0
                                    

Keramaian kadang kala tak menyelamatkan, pikirku. Anggapan kesepian bukan karena tak ada yang menemani. Lontaran kalimat Doni yang menganjurkanku untuk segera memiliki pasangan mungkin bisa sedikit menjadi pertimbangan untukku. Ketertarikanku terhadap seseorang mengakar dari pribadi yang kucari selama ini. Bukankah ada berbagai pilihan diantaranya, mengapa aku kemudian terjatuh? Pengalaman sebelumnya membuatku berpikir dua kali untuk memulai. Konsekuensi yang saharusnya aku terima. Menetap atau pun pergi. Aku tak akan tahu seperti apa nanti, tapi kejujuran dengan diri sendiri kurasa jauh lebih penting. Keberanian lelaki adalah memperjuangkan sesuatu tanpa pernah mundur sedikit pun. Apakah aku akan kembali menjadi pecundang yang kalah pada perasaan sendiri dan tak mampu menetukan jalannya sendiri. Bayangan lalu mungkin akan tetap muncul tapi apakah akan tetap tinggal bersama bayangan itu? Kurasa tidak. Saatnya berangkat dari itu semua.

Dinginnya malam ini begitu terasa, aku hendak membuat secangkir teh. Barangkali cukup menghangatkan tubuh. Sesekali aku perlu membiasakan diri dengan minuman lainnya, tak melulu dengan kopi. Aku melangkahkan kaki dan mengambil segelas air hangat, tak begitu menyulitkan. Setidaknya di tempat ini, tidak harus memasak air dan menunggunya hingga mendidih. Cukup dengan mengambil air pada sebuah teko listrik yang menghantarkan panas kemudian menuangkan sekantung teh. Aku memilih untuk tidak menyajikannya dengan tambahan gula. Kepekatan teh jauh lebih nikmat. Rasa-rasanya hampir mirip saat pertama kali aku merasakan afeksi. Sedikit banyak, mengantarkan retrospeksi.

Kudengar suara dari luar memanggil, menyebut namaku. Suaranya berulang. Aku berusaha mengenalinya. Ku palingkan wajahku mengarahnya dan menatap bola mata yang mengalirkan kehidupan, senantiasa membuat teduh orang di sekelilingnya.

"Iya, tunggu" Sahutku.

Aku tak lagi sempat merapikan sisa kantungan teh yang kini terbuang oleh pekat, sedikit air tumpah dan beberapa gelas berantakan. Aku berjalan keluar menuju halaman villa, suasananya jauh lebih menarik dan hidup. Lampu-lampu rumah bercahaya, dari satu titik ke titik lainnya kujumpai warna cahaya putih dan kuning kecoklatan persis ketika melihat bintang pada malam hari. Jika beruntung seperti melihat bintang kejora. Dari kejauhan titik cahaya itu begitu rata. Setidaknya dengan cahaya kecil itu aku bisa menghintung beberapa keluarga yang mungkin sedang menikmati makan malam bersama.

"Ayo sini Fakhr, duduk melingkar" Sahut Laras

"Ada apa Ras?"

"Buruan sini Fakhri"

Aku lihat semua orang berkumpul di halaman depan, ada Laras, Ratih, Cipet, Emen, Azis, dan anak-anak yang lain. Aku menghamipiri mereka, dan tak ku jumpai bola mata yang kupandang dari kejauhan tadi. Aku mencari keberadaannya. Kemana dia? Pikirku.

****

Apa yang harus kukatakan, ku harap ini bukan sesuatu yang berlebihan. Mengapa begitu ragu, gugup. Aku tak pernah merasakan gugup hingga memejamkan mata beberapa menit dan menghirup udara malam dengan lebih pelan. Ada apa denganmu Sar? Katakan apa yang mesti kau katakan. Kau bukanlah pecundang, justru pandanganmu lebih berani di banding mereka yang memilih mengenakan topeng dan tak jujur akan dirinya sendiri. Sedikit lagi. Aku memejamkan mata kembali.

"Disini tidak ada hantu"

Aku mendengar suara yang membisik di telinga, membuatku sedikit ketakutan dan membuka kedua mata. Sontak desahan nafas tepat berada di depan wajah. Suasana hening. Aku kikuk. Mengapa seseorang itu muncul tepat di hadapanku. Hampir saja dibuatnya tak bernafas.

"Ayo kesana, Schizotypal".

Schizotypal? Kata yang dilontarkannya barusan membuatku bertanya-tanya. Ia tampak puas menyebutku seenak hatinya dengan kata aneh dalam pikirannya. Aku memilih meninggalkannya, cara terbaik untuk tak memperpanjang percakapan. Ia berjalan mengikutiku.

Afeksi KaktusWhere stories live. Discover now