Bab 14 Pilihan

6 1 0
                                    

 "Kau dari mana Sar?"

"Dari belakang, ada apa Tih?"

Ratih menghela nafas. "Laras Sar, Ia menghabiskan sebotol minuman beralkohol. Ia menyuruh saya keluar kamar"

"Bagaimana ceritanya Tih?" Tanyaku

"Selepas kau pergi tadi, Laras mengangkat telepon dari seseorang. Wajahnya seketika berubah menjadi murung. Ia kemudian berjalan ke arah kamar tapi saya tak mengikuti. Beberapa menit kemudian, saya kembali ke kamar dan melihat kamar sangat berantakan. Ia menyuruh saya keluar. Apa ada baiknya kita sampaikan pada Fakhri?"

"Tidak usah Tih, biar saya ketemu Laras dulu"

Ratih mengangguk.

"Kau belum makan kan, di dekat meja ada kantongan. Siapa tahu kau mau masak"

"Iya Sar"

****

Aku membuka pintu kamar dengan pelan, menjumpai Laras tengah duduk sembari melipat kedua kakinya. Aku masuk. Ia tak bergeming sedikit pun. Kujumpai beberapa botol minuman di dekatnya. Tampak seperti kapal pecah. Beberapa pakaian miliknya berhamburan. segelas air tumpah dan membasahi lantai dengan serpihan kaca kecil di unjung kaki. Aku tak berpikiran kalo ia akan melakukan hal yang justru akan membuatnya terluka. Rambutnnya terlihat berantakan, dan tersisa beberapa puntung rokok. Aku tak mengerti laras sepenuhnya, ia mungkin diterjang beberapa ombak besar, membuatnya acak. Bibirnya tampak pucat tak seperti saat pertama kali melihatnya dengan tampilan lipstick berwarna merah. Tak ada polesan bedak di wajahnya. Justru wajahnya terlihat menguning di bawah cahaya lampu. Ia tersadar dan menoleh ke arahku. Matanya sedikit bengkak, terlihat tetesan air mata yang membekas.

Laras menatapku "Jangan mendekat". Nada suarnya tertahan. "Mungkin kau akan berpikiran sama dengan mereka, dan itu adalah hal biasa yang sering saya dengar. Tak apa. Hidup saya memang seperti ini. Mereka menilai saya salah untuk sesuatu hal yang justru membuat saya kuat dan tenang. Apakah kita selalu terkungkung pada apa yang dianggap benar oleh orang-orang? Terpenjara dengan kebiasaaan-kebiasaan karena kita perempuan? Jawab Sar?".

"Ada hal yang tak saya mengerti dari ucapanmu" Jawabku.

"Perempuan baik-baik adalah ia yang mampu menjaga harga dirirnya, dan bersikap manis kepada semua orang tanpa pernah menyalahi kebiasaan-kebiasaan di sekelilingnya. Mengenakan pakaian tertutup? Apakah kau berpikiran sama dengan mereka?"

"Saya tdiak pernah berfikiran untuk mengukur kebaikan seseorang dengan cara ia berpakaian. Pun ia perempuan atau laki-laki. Hal-hal yang tidak bersesuain dengan kebiasaan pun bukan sepenuhnya salah. Mungkin kau paham ketika saya berbicara mengapa kita diciptakan dengan sidik jari berbeda-beda atau dengan karakter yang berbeda. Apakah itu permasalahan mendasar kita sebagai manusia?. Kita selalu saja berhenti pada titik itu. Hal terpenting dari itu semua bahwa seberapa berharga dirimu ialah sebagaimana kau mampu menjadi cermin bagi dirimu sendiri. Kau yang lebih mengerti dirimu, bukan orang lain. Ketika kau keluar dari kebiasaan-kebiasaan itu, telinga kau harus cukup kuat untuk menutup. Bukan melemahkanmu. Tidak semua hal yang kau adopsi, entah itu cara pandang cocok dengan kebiasaaan-kebiasaan di sekelilingmu".

"Kita bebas untuk lakukan apa saja di hidup kita Sar, asal kita tidak merugikan siapa pun. Tapi apa? When I do this for my own pleasure. Justru penilaiannya menjadi berbeda".

"Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memahami kita" Sahutku.

Aku merangkul Laras, mengelus rambutnya dengan pelan dan membiarkannya bersandar di bahuku. Ia menangis tersedu-sedu, entah seberapa banyak bulir yang jatuh membasahi malam. Ia sedikit lebih tenang. Aku bangkit mengambil segelas air putih, tubuhnya pun masih terlihat lemas. Aku menyarankannya untuk beristirahat setelah meneguk segelas air.

Afeksi KaktusWhere stories live. Discover now