00 | Tentang Karka

1.7K 225 41
                                    

Karka Wisesa
01.09.97

Kalau saja orisinalitas adalah hal lazim, tentu Karka bukan aberasi dalam perputaran kehidupan ini. Terutama di dalam garis edarnya sendiri, keluarga, lingkungan sosial, bahkan alam pikirnya. Karka menyukai kebebasan, tidak suka peraturan, cenderung lebih dekat dengan hidup segan mati tak mau. Ia benci bagaimana tubuhnya impulsif bergerak mengikuti alur, tersenyum ramah saat ibunya pulang ke rumah, atau ikut-ikut tertawa ketika kakak laki-lakinya melantingkan gurauan versi intelektual bergelar Ph.D padahal ia tidak memahami apa pun. Karka benci bagaimana daksanya sibuk mengimbangi orang lain, sedangkan setan-setan dalam nadinya memasak darah, dan akibat dari itu, ia sering merasa panas serta marah karena kehidupannya sendiri. Keadilan hanya ada ketika ia tertidur pulas tujuh belas jam setelah mengonsumsi dua pil paramex, atau tiga, tergantung mood.

Bulan lalu, umur Karka genap dua puluh tiga tahun, dan ia masih di tempat yang sama seperti tahun lalu, sebuah kampus Negeri di Jakarta Selatan yang tidak bagus-bagus amat peringkatnya dalam ukuran nasional. Sekarang Karka sudah naik ke semester tiga belas, kalau skripsi belum juga rampung, dengan terpaksa ia harus menerima gamparan ibunya yang tidak lebih menyakitkan daripada tatapan penuh merendahkan dari orang yang sama. Karka tidak suka politik, tetapi kedua orang tuanya memaksanya masuk Ilmu Politik, dan bertahun-tahun ia cuma tahu main game online di warkop depan kampusnya ketimbang materi-materi di kelas. Dan sebenarnya, ketika Karka dengan gamblang mengatakan bahwa ia tidak suka politik, itu bukan berarti ada hal lain yang disukainya. Karka bahkan tidak tahu bakat apa yang dimilikinya, ia juga tidak punya hobi. Kehidupan ini terlalu gelap untuknya, tetapi memikirkan alam kubur juga sama ngeri dengan menjalani hari-hari penuh ketersesatan. Karka mau mati, tapi takut.

Masalah hidupnya tidak datang seperti trayek, ia berpikir semua persoalan menyusahkan itu tidak mengenal pemberhentian sama sekali. Bukan Karka tidak bisa menjalaninya, tetapi terkadang, ada masanya ia menemukan dirinya berselerak terkominusi, di dalam delirium sendiri, hancur berkeping-keping. Kemudian esok lusa ia tetap akan menghadapi semua problematika yang sama, dan emosinya dibakar habis-habisan tanpa ampun.

Ibunya pilih kasih, Karka paham, terutama karena ia adalah yang terbodoh di antara saudara-saudaranya. Rad sedang mengerjakan disertasi di Yale University, dan bocah itu bahkan hanya lebih tua satu tahun darinya, baru dua puluh empat. Pencapaian Rad adalah rudal baginya sendiri, tetapi Karka tahu ia tidak bisa meminimalisir itu. Rad persis seperti milyaran manusia di bumi ini yang gila dengan pencapaian.

Begitu juga adiknya, Das. Das baru saja wisuda tepat di hari ulang tahunnya, membuat ibunya mengatakan hal seperti; “Tidak ada hadiah buat ulang tahun kamu, Ka. Das bahkan udah wisuda, sedangkan kamu menua di kampus jadi mahasiswa abadi. Ibu gak mau memanjakan anak pemalas.” Dan Karka tidak menanggapi apa-apa selain tersenyum saja, sedang hatinya bertanya-tanya, memang sejak kapan ia pernah dapat hadiah ulang tahun, ibunya terlalu mengada-ada. Tetapi tetap saja, kelulusan Das menjadi pukulan untuknya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya menjalani kehidupan ini dengan sisa separuh napasnya yang sudah terlanjur dirampas oleh regulasi kehidupan.

Semua tidak pernah baik-baik saja, seolah-olah kehancuran mengantre sepanjang-panjangnya cakrawala hanya demi menjumpainya. Karka sulit mengontrol emosi, terkadang ibunya yang paling ia cintai pun mesti menamparnya karena ia berteriak marah; “Karka gak mau diatur-atur terus!” dan berakhir ia mengemudikan motor seperti orang kesetanan sebab menyesal telah lepas kendali di hadapan ibunya. Itu tidak sekali. Karka bahkan pernah memukul Rad sampai kakaknya itu pingsan. Ia memiliki alasan atas tindakannya itu, Rad membuatnya kesal setengah mati karena telah memojokkannya mengenai skripsinya yang katanya tidak terfokus, tidak memiliki masalah yang jelas, bahkan penulisannya benar-benar berantakan. Kalau saja Rad tidak menggunakan intonasi merendahkan di hadapan makan malam, lauk-pauk enak, dan ibunya, Karka mungkin bisa menahan. Tetapi ya, seperti itulah semua terjadi. Ibunya mengatainya tidak beradab, dan setelah itu, ia benar-benar hanya bisa diam-diam menyesal telah kehilangan kontrol diri.

Karka memang tidak dekat dengan ayah, dan ia merasa ayahnya juga tidak dekat dengan siapapun kecuali ibunya. Sedang Rad dan Das benar-benar anak emas yang selalu dibanggakan keluarga besar. Terkadang Karka menyesal lahir di keluarga seperti ini. Kakeknya berumur tujuh puluh tahun, tetapi masih gagah, dan sekarang sibuk mengurusi Negara karena menjabat sebagai Menteri Ketahanan. Ayahnya baru berumur empat puluh delapan dan sudah memegang partai politik besar yang anggotanya paling banyak duduk di kursi DPR. Ibunya dicalonkan menjadi Bupati Semarang, karena itulah hanya pulang dua kali seminggu, dan terkadang tidak pulang selama berbulan-bulan. Toh, Rad masih di Amerika, dan Das sibuk mendaftar beasiswa S2 di selandia baru, sehingga bocah itu ambil kos dekat kedutaan Selandia Baru di Jakarta, lantas, untuk apa ibunya pulang? Jelas presensinya tidak senyata itu untuk dijadikan alasan kepulangan.

Di antara kehancuran yang begitu akrab mengetuk kening kosongnya, Karka paling tidak bisa menahan ketika ayahnya menjodohkannya dengan anak kerabat, anak ketua DPR RI, dan ibunya setuju. Untuk pertamakalinya, ibunya berbicara dengan ramah dan penuh kasih sayang padanya, memintanya dengan hormat, tanpa paksaan secara verbal kecuali itu sehalus-halusnya tekanan tak kasatmata. Ibunya mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk dapat membuat perempuan cantik yang telah melahirkannya itu bahagia selain dengan menerima perjodohan itu. Karka masih ingat apa yang ibunya bilang hari itu.

“Gak ada cara lain untuk kamu bisa membanggakan keluarga kita selain dengan menikahi Chilla. Selama ini kamu cuma bisa bikin ibu darah tinggi dan capek hati. Kalau kamu mau ibu bahagia, ya sudah, nikahi Chilla.”

Rima suara ibunya tidak ditekan, tetapi dadanya tetap merasa sesak. Karka tahu bahwa kehadirannya tidak bernilai, sehingga ia bahkan dengan pasrah menerima perjodohan itu untuk sekadar membuat citra dirinya lebih baik di depan ibu. Tahun lalu, pernikahan itu digelar cukup mewah, tamu-tamu ibu dan ayahnya berdatangan, juga tamu-tamu pihak istrinya tandang silih berganti. Keluarga besarnya telah menyatu dengan keluarga besar Chilla, dua keluarga pejabat Negara telah membentuk dinasti melalui perampasan kebebasan atas dirinya. Pernikahannya baik-baik saja sampai saat ini, sebab ia dan Chilla bukan tipikal yang sudi ikut campur kehidupan orang lain, kebebasan adalah hak dasar manusia, dan dengannya Karka bahkan tetap menjalani masa kuliahnya dengan damai di warung kopi. Tidak ada yang tahu bahwa lelaki berumur dua puluh tiga ini telah menikahi dosen di departemen Sosiologi di kampusnya. Ya, Chilla, Dosen dengan nama lengkap Gerimis Kecil itu adalah dosen muda tiga puluh satu, dan perempuan itu adalah istrinya.

Rasa sakitnya tidak pernah menjadi penting untuk ditanggulangi. Luka-luka itu abadi bersemayam dalam dadanya.

_____

hai :)

normatif | jungkook lokal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang