Act 3 - Pemakaman

224 72 8
                                    

Keluargaku menangis histeris, tak terkecuali kekasih cengengku. Hal yang paling menyayangkan dari upacara pemakaman adalah adikku yang mendadak jadi pemurung dan enggan didekati siapa pun. Kasihan, aku melayang di balik pohon cemara. Berlindung dari terik sinar matahari dan doa ustad yang membosankan. Bukan karena kepanasan, seperti di film-film horor picisan.

Tetapi karena matahari membuat sosokku transparan (aku benci tidak bisa melihat kaki dan tanganku sendiri) dan doa terdengar seperti racun untukku. Sebuah racauan tak berkesudahan dari orang-orang yang malas berusaha dan menunggu untung jatuh di atas kepala. Aku muak berdoa dan didoakan. Aku juga muak salat dan membangkang pada Ayah-Ibu yang terus menyuruhku beribadah. Apakah menjadi baik dan berguna bagi lingkungan sosial tidak cukup?

"Berdoalah demi orang tuamu, sebagaimana kami mendoakanmu setiap habis salat."

"Kalau tidak ikhlas, lebih baik berhenti saja, kalian buang-buang waktu."

"Astagfirullah,justru kami mendoakanmu karena kamu begini. Sadar, Nak."

"Aku lebih suka kita berusaha lepas dari kemiskinan dengan bekerja dan bekerja. Bukan doa setiap malam sampai jidat menghitam."

"Jangan sombong jadi manusia," Ayah menghardik dari balik meja kayu. Ia masih menyabarkan diri. Hal baik yang orang tuaku miliki selain taat agama dan kadang terlalu takut bertingkah karena ancaman neraka. Seperti sekarang, mereka tahu memukul itu tidak baik, meski kuyakin keduanya sangat ingin menggorokku sekarang. "Tujuan kita hidup bukan hanya bekerja dan harta, tapi beribadah. Itu sudah tertuang dalam Alquran."

"Bekerja juga ibadah. Lihat saja dalam Alquran."

"Lebih baik berdzikir dan menghitung dosa yang sudah kita perbuat."

"Ha! Aku lebih suka menghitung uang. Jujur, aku bosan dengan kalian yang kaku."

Lalu aku pergi, menemui kekasih cengengku di depan pangkalan ojek yang sepi. Ia sebenarnya jelek, sangat kikuk, dan canggung. Pertemuan kami dulu cuma sebatas pelanggan dan penyedia jasa. Aku butuh dia mengantarku ke tempat kerja, dia butuh aku untuk mencari makan. Dan setelah perkenalan singkat, PDKT yang lama, kejar-kejaran yang memuakkan, kami akhirnya jadian.

Sesungguhnya aku kasihan pada Arman—si kekasih cengengku, karena hidupnya penuh derita dan selalu disisipi tragedi yang kalau didengar penulis skenario FTV, bisa menghasilkan ratusan judul yang membuat remaja ingusan menangis. Waktu perkenalan pertamaku, ia cerita bahwa dulu sewaktu kecil, ia ditinggal sang Ayah karena menikah lagi. Saat itu usianya delapan tahun. Dan Ayahnya mengaku, bahwa ia telah punya anak dengan perempuan lain berusia tiga tahun.

Perkakas melayang, meja hampir hilang. Ayah Arman diusir paksa oleh sang Ibu sebelum akhirnya wanita itu memaki 'burung bangsat!' dan menutup pintu. Tapi beberapa detik kemudian jendela terbuka dan ia menambahkan "Potong saja burungmu! Dasar laki-laki murahan!"

Akhirnya, Arman terpaksa ikut bekerja menjajakan dagangan warung dan membuat kue bersama Ibunya. Hanya mereka berdua anggota keluarga, saling menguatkan. Kemudian setelah Arman beranjak SMA, ia memakai tabungan yang berasal dari sisihan uang jajan sebanyak beberapa juta, untuk kuliah dan mendapat ijazah. Supaya Arman bisa kerja dengan layak dan mendapat kehidupan bahagia seperti pegawai kantor yang saban hari selalu cerah dan mengetik di ruangan berpendingin.

"HAHAHAHAHAHA!" Aku tertawa ngakak. Terjungkal pada impian polos Arman yang sangat kekanak-kanakan. "Percayalah, pekerja kantoran itu gila semua! Kami cuma sekumpulan budak korporat, diperdaya kapitalis, dan terpaksa bekerja demi menyambung nyawa karena gaji pokok cuma cukup dipakai hidup sebulan. Betapa pintarnya mereka membuat kita selalu butuh pekerjaan."

"Jadi, tidak menyenangkan?" Arman bertanya, wajah gelap terpanggang matahari dan penuh jerawat itu menatapku penasaran: bola mata yang indah.

"Entah. Yang pasti menjengkelkan." Aku mengayun-ayunkan kaki pada dipan bambu yang dijadikan pengojek sebagai tempat duduk atau ranjang tidur siang. Sejak kemunculan Ojek Online, penghasilan ojek konvensional memang menurun. Banyak teman Arman beralih jaket jadi hijau dan bermerek. Nampak keren, sebenarnya. Tapi Arman tidak mau. Karena gaptek—hal yang membuatku tidak bisa mengontaknya kecuali lewat SMS dan telepon langsung, dan hal itu sangat mahal di jaman serba kuota.

Arman cukup bahagia jadi pengojek biasa. Yang duduk menunggu pelanggan dan tidak iri pada teman-temannya yang sudah bisa beli televisi baru, kulkas canggih, dan istri yang cantik.

"Kamu tidak mau berjuang, gitu?"

"Selama aku punya rumah yang bagus, makan yang cukup, dan kamu. Aku tidak merasa kekurangan apapun." Arman bersandar, pada batang mangga yang menjadi peneduh pangkalan ojek. Sedikit menggeser punggung ke sisi lain karena ada barisan semut melintas.

"Aku butuhnya kamu berusaha, ambisius."

"Untuk apa?"

"Untuk membuatku semangat."

Another Fairytale [On Hold]Where stories live. Discover now