Act 8 - Tur Ruangan

70 23 2
                                    

Bagaimana rasanya kehilangan?

Satu per satu memoriku sirna dalam kegelapan. Memejamkan mata terasa seperti melewati puluhan tahun dalam kehampaan. Laci-laci ingatan tenggelam, berkarat, hancur, dan remuk. Tidak ada kenangan, belenggu yang mengikatku ke dunia lepas menyisakan rasa ringan. Tangan-kakiku bergerak bebas. Tetapi kenapa aku lupa cara merasakan?

Apa itu senang? Marah? dan Kesal?

"Aron, kau siapa?" tanyaku, saat bangkit dari sofa bulukan dan merasakan ketajaman duri per menusuk punggung. Tidur lima jam lagi, dan aku akan jadi sundel bolong.

"Amnesia arwah," Aron menjelaskan, "Adalah kondisi di mana arwah hilang ingatan sebagian, ini mekanisme penyucian diri untuk membuatnya lupa rasa bosan dalam penantian. Kadang, arwah hanya ingat satu kenangan dan mengikat dirinya di sana terus-menerus sampai akhirat menjemput. Contoh: kuntilanak yang hanya menghantui satu pohon keramat."

"Aron, aku tanya siapa kau, bukan aku."

Aron menarikku dari sofa dan membantuku duduk. Saat ini ia memakai jas putih panjang melapisi kemeja kotak-kota biru navy dan celana katun hitam semata kaki. "Aku Aron."

"Kenapa kau jadi dukun?"

"Karena ini pekerjaan dan hobiku." Aron melepaskan jasnya dan menutupi bagian bawahku sebagai selimut dadakan.

"Kenapa di ruangan ini wujudku padat?"

"Kamar antar dimensi. Aku tinggal nomaden dalam ruangan yang tidak terikat aturan waktu dan ruang baku. Kadang pintu itu bisa bermuara ke gudang apotek, pintu kamar mandi sekolah, atau pintu rumah tua yang ditinggalkan."

Aron menggamit lenganku dan mengajakku berdiri. Ia merentangkan tangannya separuh lingkaran memenuhi ruang tengah. "Ini lobi, sekaligus ruang tamu, ruang makan, dan ruang diskusi. Di sini aku menerima klien dan makan bistik sapi."

Aron setengah berlari ke pintu berdaun dua yang terbuat dari kayu dan dibingkai besi. Seperti pintu abad pertengahan kastil kuno. Terlihat berat dan lembab. "Ini pintu utama kita. Kalau dibuka ...," Aron mendorong salah satu daun pintu. Cahaya kuning kejinggaan menerobos masuk disertai embusan angin yang cukup kencang. Samar terdengar kaokan burung gagak dan adzan. Saat pintu terbuka separuh, tampak pemandangan dari atas bukit beserta kota yang bersinar-sinar seperti hamparan bintang. "Kita berada di rumah di atas bukit."

Aron menutup pintu lagi, tidak menguncinya sama sekali.

"Apa kau tidak takut ditemukan manusia asing?"

"Tidak. Pintu itu tidak akan mengijinkan siapa pun masuk. Ruangan ini seperti tubuhku, bergerak atas kemauanku. Ayo ke atas."

Kami menaiki tangga kayu yang berderit setiap kali dipijak. Tangganya sempit, dipagari terali tipis yang dingin dan berkarat. Sampai di atas, kami menapaki balkon yang salah satu sisinya dinding dan sisi lainnya pemandangan ke ruang tengah.

Ternyata ruang tengah lebih luas dari bayanganku. Terdapat globe berdiameter dua kali rentang tanganku di pojok ruangan, didampingi patung zirah, dan beberapa kotak kayu bertuliskan FRAGILE. Sofa bulukan itu masih sama, bertemankan meja kayu rendah, dan karpet biru tertutup debu. Ruang sebesar itu hanya diterangi kandelir kusam yang separuh menyala. Perpustakaan, meja kerja Alice, dan lukisan di dinding mendapat sebagian cahaya dari lampu dinding yang redup.

"Suram sekali," komentarku.

"Cuaca yang bagus untuk ritual," balas Aron.

"Atau kau malas membayar listrik."

"Tidak ada kabel yang sanggup mencapai ruangan ini, Nona. Nah, ini ruang kerjaku." Aron membuka salah satu pintu, di luar dugaan, isinya tampak rapi, minimalis, dan modern. Ruangan didominasi warna putih dan hitam. Meja putih, kursi bundar hitam, dan laptop berlogo Apple. Di sisi kiri dinding terdapat rak buku yang tipis tapi artistik. Sisi kanan ada jam yang jarumnya menempel langsung pada dinding. Menunjuk angka-angka yang dilukis dalam huruf romawi.

"Bagaimana cara klien menghubungimu?" tanyaku, setelah melihat sekilas laptopnya yang masih terbuka. Tertulis Facebook di sana.

"Begini," Aron memasukkan e-mail dan kata sandinya. Aku tahu sandinya 1q2w3e4r5t dari cara ia menekan keyboard. "Ada forum khusus membahas hal-hal ghaib, kemudian akun-akun yang mengatakan hal ganjil kusadap. Asal mendapat titik kordinat lokasinya, aku bisa menggunakan bola kristal untuk melihat dari perspektif orang ketiga dan mencari keganjilan."

"Lalu?"

"Aku menawarkan diri. Hanya kasus tertentu yang kuselidiki."

Kutunggu Aron menjelaskan apa kriteria khusus dari kasus-kasus istimewa tersebut. Ia malah bungkam. Mimik wajahnya yang santai dan ramah, tiba-tiba berubah serius dan tegang. Aron segera mematikan laptopnya dan menyingsingkan lengan kemeja sampai siku. Tanpa ajakan, ia melangkah lebar dan tajam ke luar menuju balkon.

Dari balik punggung Aron, kulihat seseorang duduk di sofa bulukan. Alice bahkan menyuguhkan teh dan biskuit.

"Terima kasih, Manis." Wanita berambut panjang lurus dengan poni rata itu tersenyum. Setelah menyesap minumannya, ia mendongak dan menoleh ke arah kami.

"Selamat sore, terima kasih sudah membukakan pintu tadi."

Another Fairytale [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang