Act 1 - Matinya Tokoh Utama

345 84 20
                                    

Aku terjun dari ketinggian, hancur tercerai-berai. Kepalaku pecah, isinya berhamburan. Tangan kakiku terkulai tak tentu arah, patah semua. Leherku melengkung dan dadaku membusung remuk berisi organ yang meledak bekas terhantam paving trotoar. Darahku merembes, membentuk kolam di sekitar tubuh malangku yang terkapar kedinginan di bulan Desember musim hujan.

Aku seharusnya tamat. Tapi malaikat kematian menimang jiwaku dan tidak membawanya pulang ke alam baka. Ia membuai, berkata aku tidak seharusnya mengakhiri hidup dengan mengenaskan. Masih banyak cara yang lebih elegan, seperti minum obat tidur banyak-banyak, atau menikah dan mati perlahan karena suami main serong dan punya mertua penuntut.

"Aku mau cepat," jawabku. Dalam dekapan kematian, aku selemah bayi yang baru dilahirkan. Kepalaku masih pening dan sepertinya butuh paracetamol 500 mg sebanyak dua kaplet supaya tenang.

"Kenapa buru-buru?" tanya kematian lembut. Suaranya bergema dan seakan datang dari dalam kepala. Bau kematian mirip padang rumput setelah ditebas dan disiram air hujan.

"Soalnya aku bosan."

Lalu malaikat kematian tersenyum (cuma imajinasiku, tengkorak tidak punya otot untuk tersenyum). "Ah, kau hanya butuh hobi, pekerjaan, dan pasangan untuk dicium."

"Aku punya semuanya dan tetap bosan."

"Berarti kau kurang bersyukur. Banyak di luar sana yang menganggur dan kurang beruntung dalam percintaan—"

"Seseorang boleh menganggur, tapi ia bahagia punya keluarga yang tidak menuntut. Atau bisa jadi, ia sengaja melajang demi meluangkan waktu untuk membantu usaha keluarganya. Kenapa kita selalu mematok kebahagiaan dari kebahagiaan orang lain? Bukankah setiap manusia itu unik?"

"Kau menyindir ketetapan Bos-ku?"

"Aku cuma menyuarakan isi kepalaku."

"Isi kepalamu sudah tersebar di trotoar."

"Ralat: apa-apa yang tercecer di pinggir jalan."

Hening. Gerimis turun semakin lebat dan orang-orang mulai berteriak ketakutan sembari menunjuk mayatku yang tergenang air hujan. Hebat, kengerian itu akan membusuk lebih cepat. Seharusnya aku berpikir ulang sebelum berdiri di atap gedung kantor tempatku bekerja. Atau saat sebelumnya memutuskan rehat dengan mengisap rokok putih rasa rasperry di luar ruangan. Aku seharusnya berpikir dalam-dalam, siapa yang akan sedih pada hari kematianku, berapa biaya tahlilan selama tiga, tujuh, empat puluh, dan seratus harian nanti. Mungkin opor ayam akan jadi makanan pesta haul-ku. Ah, sial. Aku tidak butuh doa. Sudah lama tidak berdoa. Kelak jika kematian menghadiahkan neraka, akan kuberi seluruh raga agar berguna jadi bahan bakar tungku perebus para pendosa.

Toh, hidupku tidak berguna. Bertahun-tahun keseharian memamah kewarasanku sampai ke titik hampa. Keluargaku juga enggan bermanis-manis mulut. Yang manis hanya adikku yang masih bersekolah di kelas satu SMA. Lantas tanpa membuang waktu lagi, aku melempar puntung rokok yang masih membara, dan bersamaan dengannya, ikut melompat seperti anak kecil dengan tangan terentang.

Aku bebas. Aku akan pergi ke Neverland. Tidak ada ketakutan sama sekali. Hanya sedikit kengerian dan rasa sakit yang terngiang-ngiang. Selebihnya aku lepas, lepas dari tubuh yang membelengguku dalam kebosanan.

Aku tidak percaya, aku mati sungguhan di pinggir jalan.

Another Fairytale [On Hold]Where stories live. Discover now