20. New Day

395 85 86
                                    

Bintang dan kembang api di langit jadi saksi pembicaraan kita malam ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bintang dan kembang api di langit jadi saksi pembicaraan kita malam ini. Rupanya bukan hanya pelajaran hidup yang gue dapat di sini, ternyata perasaan yang gue sembunyikan rapat-rapat ada yang mendobrak, dan beruntung si pendobrak rasa itu adalah Dejun.

Semua kebingungan gue tentang arah perasaan ini akhirnya lenyap seketika. Gak ada lagi keraguan, my Dejun comes for real.

"Gue boleh peluk lo, Fa?" Gue ngangguk dan di tempat ini kita berpelukan. Perasaan yang membingungkan, kerinduan, dan kekhawatiran yang kita tanggung melebur bersatu menghasilkan satu kebahagiaan.

Hari makin larut, satu per satu orang mulai ninggalin tempat ini dan kembali ke tempat berlindungnya. Dengan bekal penerangan seadanya, kita juga balik ke barak untuk istirahat karena besok waktunya pulang.

Salah satu orangtua anak yang pernah gue asuh ngasih kita obor buat nemenin perjalanan pulang. "Sini gue aja yang pegang." Dejun ngambil alih obor yang lagi gue genggam.

"Jun, lari aja yuk?" Makin malam gue merasa udara makin dingin dan kaki gue kebas karena cuma beralaskan sandal jepit aja.

"Gelap, Fa. Lo bilang katanya suka ada lubang-lubang jebakan?"

"Dingin, kaki gue kebas."

"Lagian lo jalan cuma pake sandal jepit. Rasain!" Belum ada sehari kita berdamai dan— hm, pacaran, tapi dia udah nyebelin lagi, ishh!

"Bodo amat, gue duluan bye!" Gue ngibrit lari ditemani cahaya senter dari hp. Lumayan juga, selain menghangatkan badan, ngos-ngosannya bisa jadi alasan kalau gue ditanya kenapa senyam-senyum terus. Padahal lari tuh alibi, soalnya gue masih gugup gara-gara kejadian tadi.

"Heh, tungguin gue!"

***

"Fa, udah? Gak ada yang ketinggalan?" gue natap tempat ini sekali lagi sebelum kita ninggalin tempat yang memorable ini. Setiap sudut tempat ini menyimpan cerita yang gak akan pernah gue lupa selamanya.

"Hmm, udah." Dan untuk terakhir kalinya, gue natap tempat ini dan menyimpan kenangan sebanyak yang gue mampu. Setelah itu gue sama Dejun naik bis menuju ke bandara.

Setelah menerjang perjalanan kurang lebih tiga jam, kita sampai di bandara berpisah sama teman-teman seperjuangan yang pulang ke negara asalnya. Selama di sini, gue ketemu banyak teman baru dari berbagai negara. Bahkan kebetulan gue ketemu lagi sama kenalan lama gue dari Jerman.

"So, it's time to say goodbye?" ujar Fritz, temen gue yang dari Jerman itu.

"Unfortunately yes. Auf Wiedersehen-" Sambil ngobrol sama Fritz, gue dadah-dadah sama teman lain yang udah check in duluan.

"But this ain't really goodbye after all." Fritz ngajak gue high five dan kita beradu bahu sebagai salam perpisahan. Fritz ini orang baik, dia sering melakukan kunjungan kemanusiaan ini setidaknya empat kali dalam setahun.

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang