2. 🌮🍹

9K 1.1K 398
                                    

Chenle terbangun dengan kepala yang sangat berat. Dengan berpegangan pada dinding atau apa pun yang bisa menjadi tumpuan, ia berjalan keluar dari kamar. Ia sedikit terkejut saat melihat Jisung berada di dapur. Mengingat selama dua tahun hidup bersama, Chenle tahu pemuda itu tidak tahu menahu sedikit pun tentang urusan dapur, bahkan Chenle berani bertaruh dia tidak tahu cara mencuci sayuran.

Pemuda itu menoleh saat mendengar suara langkah Chenle. "Sudah bangun?"

"Tidak, aku masih tidur," jawab Chenle sekenanya. Ia mengambil gelas, menuang air putih kemudian meneguknya hingga habis.

Saat itu, awalnya samar kemudian berubah sedikit lebih jelas. Bayangan tentang dirinya yang mabuk, ceracaunya, juga ciuman singkat yang Jisung berikan terputar di dalam kepala Chenle.

Ia tersedak airnya, terbatuk berkali-kali hingga wajahnya memerah. Sejujurnya Chenle sendiri tidak tahu ia berubah merah karena batuk atau karena malu.

Jisung yang berada di sana segera menghampiri temannya, menepuk punggung Chenle beberapa kali hingga batuknya berhenti.

"Apa?" tanya Jisung saat menyadari Chenle menatapnya dengan aneh.

"Aku semalam ngapain?"

Ia diam beberapa detik, mencoba berpikir lalu tersenyum tipis.

"Jisung!"

"Kamu mabuk," jawab Jisung sekenanya.

"Ya aku tahu aku mabuk, maksudku aku itu ... saat mabuk ... bilang ... atau ... aku," ucap Chenle. Ia seketika menjadi gugup antara malu, atau senang. Entahlah.

Jisung menghela napas. "Ga, ga ada apa-apa. Kamu mabuk berat waktu aku pulang habis itu udah aku cuma bantuin kamu pindah setelah itu aku keluar."

"Hanya itu?" tanya Chenle. Ditatapnya iris kelam Jisung lekat-lekat.

Pemuda itu mengangguk. "Jangan melihatku seperti itu. Chenle kamu membuatku takut."

Helaan napas keluar dari mulut Chenle.

"Kenapa tanya begitu?" tanya Jisung.

Chenle menggeleng. "Tidak ada, hanya bermimpi aneh."

Ia terkekeh. "Sangat aneh," sambungnya.

"Apa?" tanya Jisung.

Chenle hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rona merah di wajahnya yang sebelumnya telah pudar kini kembali terlihat, menyebar dari pipi hingga ke telinga.

Ia menggeleng, "Tidak ada. Aku akan memakai kamar mandi, perhatikan telur ceplokmu Jisung sebelum gosong."

Tanpa sadar, Jisung tersenyum saat melihat Chenle berjalan menjauhinya. Pipinya terasa panas saat memperhatikan Chenle yang terus memegang bibirnya. Pikirannya terus melayang pada apa yang ia lakukan semalam.

Tidak terbayangkan sedikit pun dalam diri Jisung bahwa ia akan mencumbu temannya. Dan yang lebih tidak dapat Jisung mengerti, bagaimana ia merasa candu terhadap bibir serta lenguhan Chenle semalam.

Jisung hampir membayangkan semua yang terjadi, jika saja aroma gosong dari telur yang ia goreng tidak tercium dan memaksa Jisung segera membereskan kekacauan itu sebelum Chenle datang dan memarahinya.








Benar saja, kini Jisung hanya bisa berdiri di sana sementara Chenle membereskan kekacauan yang dibuatnya. Sejak tadi, mulutnya terus menggeluarkan omelan-omelan terhadap sahabatnya itu.

"Jisung kenapa masak?"
"Biasanya kan pesan di luar?"
"Kenapa tidak menungguku bangun?"
"Harusnya kamu membangunkanku."
"Ini bahkan hanya telur."
"Bagaimana bisa ada orang yang tidak bisa menggoreng telur?"

Jisung mengepalkan tangan. Tidak, ia tidak marah, hanya saja ... setelah sekian lama, Jisung baru meyadari betapa menggemaskannya Chenle saat berbicara terlalu banyak seperti sekarang. Bibirnya terus bergerak, membuatnya ingin segera melumatnya. Jisung hanya sedang menahan dirinya.

"Kenapa?" tanya Chenle tiba-tiba.

Sementara Jisung, ia tersentak kaget kemudian tersenyum canggung.

Chenle menyodorkan sepiring sandwitch pada Jisung. "Besok-besok ga usah nyoba masak."

"Baik, Baginda," ucap Jisung, ada sedikit nada meledek dalam ucapannya yang membuat Chenle mendecih kesal.

Lucu, batin Jisung.

Ia menerima sarapannya dan memakannya berdua, dalam keheningan. Hanya suara televisi yang mengisi ruangan tersebut yang terdengar.

"Jisung," panggil Chenle begitu keduanya telah menghabiskan sarapan mereka.

Sementara Jisung hanya menanggapi dengan deheman.

"Nanti aku mau-" ucapan Chenle terhenti saat suara bel pintu terdengar.

"Ah sebentar itu pasti Alea." Jisung menaruh piringnya dan bergegas beranjang, membukakan pintu untuk tamunya yang tidak sabaran.

Chenle memutar bola mata saat mendengar suara manja gadis itu bersama tawa Jisung yang mendekat. Dengan kesal, Chenle mengambil piring kotor miliknya dan Jisung lalu segera mencucinya.

"Kok dicuci?" tanya Jisung.

"Gapapa, sekalian aja," jawab Chenle ketus.

"Oh." Jisung mengangguk. "Makasih."

Chenle tidak menjawab.

"Tadi mau ngomong apa?" tanya Jisung saat Chenle hendak pergi.

"Aku mau pergi ke toko buku, mungkin bakal sampai malam. Kalau lapar beli di luar jangan nyoba masak sendiri." Chenle menghentikan ucapannya, melirik Alea yang kini duduk di sofa. "Tapi kalau Alea bisa masak, gapapa masak aja."

Setelah mengucapkan itu, Chenle segera meninggalkan kedua muda-mudi tersebut dan menutup pintu kamar dengan kasar.

Jisung tersenyum kecil. Ia baru menyadari Chenle memang sering terlihat kesal saat Jisung membawa teman wanitanya ke apartemen mereka. Selama ini ia kira sahabatnya itu hanya tidak menyukai kebisingan atau situasi berantakan yang sering kali terjadi. Namun sekarang, Jisung paham, Chenle cemburu.

Pemuda itu tengah menyaksikan sebuah film saat Chenle yang sudah rapi ke luar dari kamar.

"Mau dianter?" tawar Jisung.

Chenle menggeleng. "Ga usah."

"Chenle," panggil Alea. "Maaf ya, Jisung jadi ga bisa nemenin kamu."

Ia hanya tersenyum canggung. "Ga masalah, aku yang minta maaf karena semalam ganggu acara kalian. Take your time."

"Gapapa kok, makasih," balas Alea.

Gadis itu tersenyum manis sembari menyenderkan kepalanya ke pundak Jisung. Jika diizinkan, ingin sekali Chenle menyeretnya ke luar.

"Beneran ga mau dianter?" tawar Jisung sekali lagi.

"Iya. Aku sama Kak Mark kok."

Setelah mengatakan hal tersebut, Chenle segera keluar dari apartemennya.

Begitu sosok Chenle menghilang, Jisung tersenyum hambar. Entah ada apa, suasana hatinya berubah buruk saat mendengar nama yang Chenle ucapkan. Bahkan, Jisung tidak terpengaruh dengan Alea yang kini mulai mencumbu leher jenjangnya.

HONEST (JICHEN / CHENJI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang