1 : 📖 +🍺

14K 1.2K 317
                                    

Chenle menutup ponselnya. Lagi-lagi dia menyiksa perasaannya sendiri. Ia tahu dan akan selalu tahu saat Jisung, temannya bilang akan keluar itu berarti ia akan menghabiskan malam dengan teman wanitanya. Dan ia sangat tahu, setelah itu foto-foto mesra pemuda itu akan ada di sosial media. Namun bodohnya, Chenle tetap mengeceknya, membuat rasa nyeri memenuhi rongga dadanya.

Ia menggeleng, menghilangkan bayangan tentang Jisung yang mungkin kini tengah bercumbu dengan Alea, gadis yang baru Jisung temui dua minggu yang lalu.

"Kenapa sih?" tanya Chenle pada dirinya sendiri. Ia berfokus pada buku di hadapannya, kembali mempelajari apa yang tertulis di sana.

Kepalanya berdenyut, ia tidak bisa fokus sedikit pun. Disertai helaan napas yang berat, ia beranjak dari duduknya, berjalan keluar dari kamar menuju dapur.

Sebotol wine kini berada di tangannya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk meminum satu atau dua gelas saat merasa lelah, pusing, atau stres. Tangannya yang bebas menarik pintu kulkas, berniat mengambil apa pun yang tersedia di sana.

Iris hitamnya terfokus pada kaleng-kaleng bir milik Jisung. Chenle tidak terlalu menyukai bir, aroma dan rasanya terlalu kuat. Lagi pula, ia akan lebih mudah mabuk dengan minuman itu, kadar toleransi alkoholnya terlalu rendah.

Namun, entah apa yang berada di pikiran Chenle. Ia menaruh botol wine miliknya sebelum akhirnya mengambil tiga kaleng bir tersebut.

"Jisung besok aku ganti," ucap Chenle.

Ia menutup pintu kulkas dan sesegera mungkin kembali ke kamar.

Ia mendesah lelah saat melihat tumpukan buku tebal dan laptop menyala di mejanya. Ia duduk di sana, menyingkirkan beberapa buku agar memiliki tempat untuk menaruh makanannya.

Chenle meringis saat satu tegukan kecil dari minuman beralkohol tersebut menyentuh indra perasa kemudian mengalir ke tenggorokan. Meski begitu, ia tetap melakukannya lagi. Dua teguk, tiga teguk, hingga tidak sadar kaleng pertamanya sudah kosong.

Kedua matanya masih mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah di depannya. Meski sejujurnya, semakin Chenle mencoba fokus, pandangannya semakin berkabut.

Ia mengambil kaleng kedua, menghabiskannya dalam beberapa tegukan besar. Kepalanya semakin berat, ia terkekeh kemudian melempar kaleng kosong tersebut ke sembarang arah.

Saat kaleng ketiga mulai ia nikmati, kesadaran Chenle benar-benar tidak lagi dapat terkontrol. Ia meraih ponselnya, mencari salah satu kontak seseorang kemudian menelfonnya.

"Kenapa, Le?"

"Pulang," ucap Chenle dengan suara berat. Ia benar-benar sudah mabuk sekarang.

"Hah kenapa?"

"Pulang, Ji. Pulang! Aku ga suka," rengek Chenle tiba-tiba. Tentu saja hal tersebut membuat seseorang di seberang sana menautkan alis.

"Ji ... hiks ... pulang," imbuh Chenle.

Jisung sadar, sahabatnya itu sedang mabuk. Namun, ia tetap saja menuruti ucapannya.

"Iya ini aku lagi jalan ke parkiran."

Setelahnya Chenle menutup panggilan secara sepihak, membiarkan jisung yang kini dipenuhi kebingungan.

Chenle kok sampai mabuk? batin Jisung bertanya.




















Hening. Itu lah yang Jisung rasakan saat memasuki apartemennya. Ia memanggil nama Chenle berulang kali dan tidak mendapatkan jawaban satu pun. Kini Jisung berdiri di depan pintu kamar Chenle. Ia mengetuk sembari memanggil nama si pemilik kamar, tetap saja, Jisung tidak mendapat jawaban.

"Chenle," panggil Jisung.

Ia mendorong pintu kamar yang sebenarnya memang sedikit terbuka. Helaan napas keluar dari mulut Jisung saat mendapati Chenle dengan kepala tergeletak di atas meja. Dengan pelan, Jisung mendekat ke arah Chenle. Namun, karena ketidak hati-hatiannya, ia justru menginjak kaleng bir yang tergeletak di lantai.

Jisung berdecak menyadari bahwa temannya itu mengambil minumannya. Sementara itu, Chenle mengerang. Dengan enggan, ia memaksa diri untuk bangun, duduk dengan tegak di kursinya.

"Jisung," panggil Chenle dengan suara seraknya.

"Apa?" jawab Jisung ketus.

Ia mendekati Chenle, mengambil bir di tangannya.

"Punyaku," rengek Chenle. Tangannya mencoba meraih kaleng bir dari tangan Jisung, namun tentu saja tidak berhasil.

Melihat Chenle yang benar-benar menginginkan minuman tersebut, Jisung segera menegak minuman yang tinggal setengah itu lalu melempar kaleng kosongnya ke sembarang arah.

Chenle mendecih kesal melihat ulah Jisung.

"Kamu sudah terlalu mabuk, mau minum sebanyak apa lagi?" tanya Jisung. "Bangun, tidur di kasur."

Chenle menggeleng, tetapi ia tetap mengikuti gerakan Jisung saat pemuda itu memapah tubuhnya ke kasur.

Begitu membenarkan posisi Chenle agar nyaman, Jisung berniat meninggalkan pemuda itu. Sejujurnya ia sedikit kesal karena meninggalkan acara malamnya demi mendapati orang mabuk seperti ini. Namun, niat Jisung tertahan saat merasakan tangan halus Chenle menggenggam tangannya.

"Mau ke mana?"

"Pergi, apa lagi?" jawab Jisung ketus.

Chenle menggeleng, "Jangan, aku ga suka."

Jisung duduk di sisi ranjang Chenle saat lawan bicaranya itu menarik tangannya.

"Jangan pergi lagi, aku ga suka, aku cemburu," Chenle terkekeh, matanya terpejam. Ia benar-benar mabuk.

Sementara Jisung mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud Chenle.

"Iya aku cemburu Jisung, kamu haha kamu terlalu sering berkencan dengan banyak wanita." Chenle berhenti berbicara tangannya memukul-mukul lengan Jisung dengan lemah.

"Aku ... aku ... hah, lupakan." Chenle berdecak kesal.

"Apa?" tanya Jisung ketus.

Tubuh Chenle berguling sedikit, mencoba untuk duduk.

"Aku melakukan banyak hal, tapi selamanya aku hanya teman untukmu." Chenle tertawa. Tubuhnya limbung, membuat kepalanya bersandar di dada Jisung.

Lagi-lagi Chenle tertawa canggung. "Lupakan, ini sudah cukup."

"Cukup apa?" Tangan Jisung mendorong bahu Chenle, membuat dia duduk dengan tegak di hadapannya.

Dengan mata yang sayu, Chenle mencoba menatap langsung ke iris kelam Jisung. "Ciuman."

"Apa maksudmu?" Nada suara Jisung naik sedikit, sejujurnya ia terkejut dengan satu kata yang keluar dari mulut Chenle.

"Kita berciuman." Chenle kembali terkekeh. "Kamu, bir, kita berciuman."

Jisung terdiam, ia mengerti dengan apa yang dimaksud Chenle. Helaan napas keluar dari mulut Jisung. Entah mengapa, ada perasaan aneh yang mengganjal di dalam dirinya.

"Chenle," panggil Jisung lembut.

Ia salah saat memutuskan untuk memandang wajah lawan bicaranya lekat-lekat. Kulit yang biasa seputih porselen kini berubah semerah udang rebus. Netra yang biasanya berkilau penuh semangat kini terlihat sayu, dan sedih. Bibir ranumnya terbuka sedikit, membuat pahatan wajah Chenle tampak begitu panas.

Entah bagaimana hal itu terjadi, Jisung kini menangkup pipi Chenle, mengikis jarak di antara keduanya hingga bibirnya kini menyentuh milik Chenle.

Rasa pahit dari bir yang sebelumnya Chenle minum masih dapat Jisung rasakan, hal tersebut justru membuatnya semakin bergairah. Jisung melumat lembut bibir atas dan bawah Chenle secara bergantian. Dan saat lidahnya mulai melesak masuk ke mulut Chenle, sebuah erangan lembut pun keluar dari sana. Menjadi melodi baru yang membuat Jisung benar-benar tidak dapat mengontrol dirinya.

HONEST (JICHEN / CHENJI)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें