2. Sepucuk Surat Merah

3.9K 493 40
                                    

Kalau lapar ya obatnya makan, kalau rindu ya obatnya temu. Begitu pula saat ini, aku duduk di sudut cafe nuansa vintage sambil menyesap cappucino hangat.

Lagu barat menemani kehengingan sore di penghujung bulan. "Kamu selalu kelihatan cantik, Nya.", wajahnya bersemu. Terlihat lesung pipinya, cacat yang paling indah.

"Dan kamu selalu berhasil buat aku bersemu dan rindu, Daff.", senyum yang aku tahan akhirnya terbit juga. Melihat pujaan hati setelah tiga purnama tak berjumpa.

"Gimana kuliahnya?", tanyaku pada Anya. Ranyana Soebakti, perempuan yang selalu membuatku tersenyum di setiap kedip lentik matanya. Perempuan yang membuatku merindu setiap ada jarak.

Bahkan lima menit setelah pertemuan pasti sudah ada rindu yang bergelayut.

"Alhamdulillah baik, Daff. Kamu gimana?", aku mengangguk. Menatap lekat manik mata coklatnya.

Aku ingat betul saat jantung ini tak biasa. Saat kami sama-sama di balairung Pancasila berdiri bersama ratusan siswa yang lain. Tapi mataku tak bergerak, hanya dia yang selalu kutatap. Tubuhnya tinggi semampai untuk ukuran anak SMP yang baru saja lulus. Senyumnya manis ditambah dengan kawat gigi di tahun pertamanya. Dia berdiri di sampingku, menerima topi dari kepala sekolah bukti bahwa kami diterima di SMA Taruna Nusantara tercinta.

Rasanya setiap tahun begitu terasa cepat. Hingga di penghujung tahun, kami cukup dekat. Beberapa kali bersama dalam ajang lomba bersama Kayla. Dan rasa itu semakin yakin. Bukan hanya sebuah kagum anak SMP, tapi memang rasa cinta anak SMA. Yang semoga labuhnya seperti cerita ayah bunda.

Aku tak berani mengungkapnya hingga saat Prasetya alumni kutuliskan sepucuk surat merah untuknya. Sepucuk surat cinta yang mengungkapkan isi hatiku padanya.

Untuk Ranyana Soebakti

Hai Nya..

Tiga tahun sudah kita bersama dalam kawah candradimuka lembah tidar di SMA tercinta ini.

Dan tiga tahun pula semua sesak dan sebuah rahasia besar kupendam...

Ranya.. Aku terlalu takut untuk mengungkap secara langsung...

Aku seperti seorang pecundang yang takut akan sebuah penolakan.

Ranya..

Tiga tahun sudah mata ini tak ingin berpaling sedetikpun untuk melihat manik coklatmu. Lentik matamu...

Tiga tahun sudah hatiku terjatuh dengan rasa yang bernama cinta..

Kupikir hanya sebuah rasa seorang anak SMA. Tapi semakin kutahan dan semakin kupendam. Inginku ini berlabuh pada sebuah kata cinta...

Ranya,....

Maaf untuk kelancangan hati ini yang tak bisa berhenti sedikitpun untuk tak memikirkan dan mencintaimu...

Dan maaf tentang sebuah ketakutan untuk berbicara langsung...

Aku harap tulisan tanganku ini mewakili sebuah rasa yang akan labuh pada cinta...

Aku harap suatu hari nanti rasaku akan terbalas dengan sebuah cinta pula.

Jika memang iya, aku harap sebuah balasan dari pesanku ini..

Agar aku tetap mencintaimu terus dan terus. Hingga nanti...

Dan hingga nanti saat kamu dan aku menjadi kita.

Saat rasa kita menjadi cinta, di saat yang tepat saat aku menjadi seorang letnan dua....

Dariku yang lancang mencintaimu...

DAY

✨✨✨

Flashback on

"Eh, ayo kita foto sama-sama dulu yuk!", suara Kayla yang membuat aku menoleh. Di sana ada Ranyana yang sedang bersama Kayla.

"Sini, Daff! Mepet.", aku ikut tersenyum ke arah kamera. Jantungku makin berdebar saat aku melihat bahwa di sampingku ada Ranya.

Hingga semua tersebar. Aku memberanikan diri sebagai laki-laki.

"Ranya.", panggilku. Dia langsung menoleh. Gerakan rambut doranya membuatku teringat iklan shampoo Lifeboy yang sering kulihat bersama Mbak Calla. Tetapi versi rambut pendek.

"Iya, Daffa. Gimana?", aku tersenyum malu. Merogoh sepucuk surat merah yang ada dalam saku celana.

"Selamat ya, Ranya. Aku harap kamu baca ini. Maaf untuk semua salah saat kita bercanda. Sampai ketemu di lain waktu ya, Ranya.", Ranya menerima surat merah itu dengan gemetar.

"Makasih Daffa. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu. Sukses ya buat tes Akmil nanti semoga lolos dan bisa tercapai cita-citanya ya.", aku menangguk. Sejak saat itu kami tak lagi bertemu karena kesibukanku. Hingga di bulan keempatku di akademi militer setelah wisjur, aku mendapat balasan surat yang kutunggu. Melalui e-mail di sore hari saat pesiar.

Dear Daffa.....

Lama banget berfikir, nggak tahu mau jawab apa. Makasih banget untuk tiga tahun kemarin. Eh iya, gimana kabarnya Daffa di Akmil. Selamat ya atas pelantikannya. Semoga sehat terus di pendidikan.

Aku udah keterima di UGM, Jurusan Psikologi. Semoga kita bisa ketemu ya. Semoga waktu yang mempertemukan kita...

Dengan sampainya e-mail ini. Maka jawaban atas surat merahmu akan terjawab di sini. Makasih ya Daff udah kagum sama aku dan menjatuhkan hatimu buatku.

Aku cuman bisa berdoa. Semoga kamu bisa lewati semua pendidikan kamu sampai letnan dua. Dan buktikan semuanya ke aku....

Aku akan nunggu kamu sampai empat tahun lagi... Sampai kamu benar siap dengan keseriusan kamu.

Mungkin benar kadang takdir itu lucu. Coba tanya Kayla, siapa yang aku taksir selama ini. Selamat pendidikan Daffa, See you very soon DAY

With love

Ranyana Soebakti

Sejak e-mail itu kuterima, langsung kuhubungi Kayla. Memastikan siapa yang ditaksir Ranya. Dan ternyata itu adalah aku.

Dan mulai hari itu, aku berjanji. Aku akan sukses hingga nanti waktunya tiba. Aku akan meminta Ranya pada ayah dan bundanya. Pasti itu pasti

Flashback off

✨✨✨

"Aku juga baik, selalu baik. Biar bunda, ayah, Mbak Calla, dan semuanya bangga. Juga kamu.", dia tersipu lagi.

Kulihat lesung pipinya membuat senyum Ranya semakin manis, "Jangan senyum terus! Diabet aku nantinya."

"Oh iya, Mbak Calla mau menikah ya? Aku turut berbahagia ya, Daff. Sampaikan salamku untuk Mbak Calla.", ucapnya begitu lembut. Ya, kalau ketemu hanya gini. Padahal kalau di chat sok berani gitu.

"Siap. Kamu datang ya besok. Nanti aku kirim undangannya.", ia mengangguk lagi. Ranya di Yogjakarta hanya tinggal di kost karena aslinya Jakarta. Kota metropolitan yang penuh kebisingan.

"Siap aku pasti datang kok.", kami menghabiskan tiga puluh menit dengan saling tatap dan melepas rindu dengan obrolan kecil.

Hingga waktu sudah lumayan petang, aku harus kembali ke rumah karena pasti sudah mulai ramai karena esok adalah waktu Mbak Calla siraman.

Aku mengantar Ranya sampai ke depan mobilnya, "Hati-hati Ranya. See you on saturday.". Aku melambaikan tangan lalu bergegas masuk ke mobil Mbak Calla yang kupinjam.

Sepanjang perjalanan terus tersenyum. Ranya selalu cantik dengan senyumnya yang manis. 

Adnyana YuddhagaWhere stories live. Discover now