O8. Seperti Bintang

Mulai dari awal
                                    

“Buat yang mau diramalin silahkan komen mau diramalin soal apa, oke?” Kata Lingga.

Januar tersenyum sambil mengocok kartunya.

“Lingga, ramalin dong gimana perasaan doi sama gue. Sumpah dah capek di gantungin setahun,” Danish membaca komentar.

Lingga menaikkan tangannya membentuk tanda oke lalu selanjutnya mengambil satu kartu yang telah Januar jabarkan di atas meja. Jangan lupakan hape Alpha yang sengaja Lingga sandarkan ke vas bunga biar doi nggak capek-capek pegang.

“Masalah anda cukup berat ya? Bisa kita katakan bahwa anda digantung sepanjang satu kalender alias satu tahun,” Lingga mulai menarik satu kartu, “Wow! Q heart!”

Lingga mulai memejamkan matanya seolah sedang menuju ke dimensi lain. Raut seriusnya sukses membuat Januar ikutan serius sedangkan Danish cuman ketawa. Gimana doi gak ketawa, orang mereka bertiga gak pinter ngeramal.

“Bisa dilihat orangnya disini pada terbalik,” Lingga memamerkan kartu yang dipegangnya ke depan kamera.

“Konsep kartu ini yaitu Mirroring. Dalam Indian Journal Psychiatry dijelaskan bahwa Mirror neuron system is a group of specialized neurons that “mirrors” the actions and behaviour of others,” Januar ikut mengangkat suara.

Lingga terdiam sejenak lalu saling menatap dengan Danish. Ya, gini nih kalo kita main ngajakin orang yang senang baca buku jadi wawasannya luas. Dari omongan Januar aja Lingga nggak ngerti, dia pahamnya bagian kata cermin doang.

“Jadi sama halnya waktu kita belajar terus gurunya angkat tangan dan nyuruh kita buat bertanya. Biasanya secara tidak langsung hal ini buat kita meniru apa yang guru lakukan dan akhir kita bertanya,” Tambahnya.

Lingga tertawa tidak paham, “Punten, Januar...kita ini lagi meramal bukannya lagi belajar IPA, ehehe,”

Januar tersenyum, “Lagi inget teori aja, ehehe. Ayo dilanjutkan,”

“Karena kartunya kayak gini, itu tandanya kalian saling mencintai tapi ada satu sisi yang menghalangi kalian yaitu ego. Jadi, mungkin ada beberapa hal yang buat dia gengsi ngungkapin perasaannya kepada anda,” Ucap Lingga masih dengan bahasa formalnya.

“Kak kok ramal pake kartu remi sih? Biasanya kan orang ngeramal itu pake kartu tarot,” Danish kembali membaca komentar.

Lingga menjentikkan jarinya beberapa kali sambil berusaha menyusun kata-kata di kepalanya biar terdengar cukup rasional.

“Ramalan ini adalah warisan dari leluhur kami yang belum pernah di ekspos. Tapi...demi kalian kita terpaksa memperlihatkan hal ini kepada kalian semua,” Katanya.

Danish mengangguk, “Sebenarnya kita itu kayak Hermione Jean Granger,”

Lingga memperbaiki kacamatanya lalu menunjuk diri mereka secara bergantian, “Cuman kita lagi cosplay aja jadi Harry Potter,”

Ketiganya tertawa.

“Lingga kamu kok kayak Dilan? Jago ngeramal,” Setelah capek ketawa akhirnya Danish kembali membaca pertanyaan.

Lingga berdehem sejenak sambil menahan tawanya, “Kalo kamu bilang aku kayak Dilan. Boleh nggak aku juga bilang kalau kamu mileanya?”

Danish dan Januar kompak tertawa. Baiklah sahabat sepertinya bujang lantai satu telah memasuki masa randomnya. Ramalan abal-abal mereka kembali berlanjut hingga charger hape Alpha sisa sepuluh persen. Mereka tuh random, kadang kalo narsis itu bisa menghabiskan waktu yang lama tapi kalo udah introvert kadang juga nyereminnya minta ampun.

---

Trio penggibah alias Haikal, Lukas dan Tezar lagi coba tikusan mainan yang Lukas baru beli di ruang tamu lantai dasar.Kalo diliat dari bentuknya, tikus ini lebih lucu daripada tikus yang dirusakin mba mawar pas jatuh dari tangga. Kayaknya tikus ini sukses buat nakut-nakutin bujang lantai dua.

KOSAN 23 BUJANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang